Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Para Pembongkar Kuburan Massal

with 54 comments


Malam demikian pekat, hujan begitu lebat ketika kami mendengar suara ayunan benda tajam yang menancap pada entah apa. Banyak yang menyangka itu berasal dari ladang Pak Runci, satu-satunya juru kunci kuburan massal di wilayah kami.

Malam yang gulita hanya bisa ditembus pandangan mata beberapa depa, sementara tumpahan hujan yang tercurah mengaburkan pendengaran penduduk—bahkan bagi yang tinggalnya terdekat dengan kuburan massal itu.

Ada yang mengira, yang terayun adalah mata cangkul yang menancap di tanah yang gembur, yang di baliknya teronggok umbi jalar atau ubi singkong. Ada yang menyangka, yang terayun adalah bilah celurit atau kelewang yang membabat batang jagung yang semakin ranum. Banyak—termasuk keluarga kami—yang sama-sama menafsirkan bahwa Pak Runci yang sudah berhari-hari sakit itu tak lagi kuat menahan lapar; dan jagung atau ubi atau umbi itu hendak diganjalkan ke dalam perutnya yang mungkin meronta pada malam yang begitu pekat dan hujan yang demikian lebat.

Beberapa hari ini beberapa sudut kuburan itu tak berpenerangan lampu minyak. Tak begitu ada yang memedulikan, memang, karena memang tak ada jalanan—termasuk jalanan setapak—yang melewati dekat-dekat lokasi pemakaman itu. Bukan karena kuburan itu dianggap angker, tapi bagi sebagian orang, mereka tak ingin mengenang dan membangkitkan masa lampau yang kelam yang menjadikan jatuh banyak korban dan kemudian secara massal dimakamkan.

Lampu minyak di ujung-ujung pemakaman yang dinyalakan saat menjelang senja menjadi penanda bahwa Pak Runci masih menjaga makam itu. Bisa dikatakan, Pak Runci adalah satu-satunya penduduk asli tertua yang masih tersisa, yang tak ikut menjadi korban, sementara penduduk lainnya—yang lolos sebagai korban—mulai meninggalkan wilayah untuk menata hidup baru di lain tempat atau bahkan memburu peruntungan ke negeri seberang.

Sama sekali Pak Runci tak pernah alpa menyalakan lampu minyak itu, kecuali jika dia jatuh sakit, yang tak memungkinkan dia berjalan menenteng lampu minyak untuk dipasang hingga ujung pemakaman. Maka, jika dalam hujan lebat dalam malam pekat itu Pak Runci mampu memangkas batang jagung atau menggali umbi, kami bersyukur karena artinya Pak Runci sudah sehat—dan esok senja ujung pemakaman itu tak lagi disungkup gelap yang pekat. Namun, senja esoknya—hingga malam dan kemudian pagi hari—kuburan itu tetap saja gelap dari ujung ke ujung. Juga malam kedua berikutnya. Apakah Pak Runci kehabisan minyak untuk menyalakan lampunya? Rasanya Pak Runci bukanlah sosok pemalu yang enggan meminta minyak pada kami—sebagaimana biasa dia lakukan jika kami alpa memasok minyak untuknya secara sukarela.

Jangan-jangan dia masih sakit atau sakitnya kian parah sehingga untuk meminta minyak pada kami tak bisa dia lakukan karena tubuhnya masih susah bangkit. Karena itu, pagi esoknya, kami—tak hanya keluarga kami, ternyata juga tetangga lain—menengok ke pondok Pak Runci, yang tak jauh dari gerbang pekuburan. Dia tampak lunglai di dipannya. Satu dua orang buru-buru mengambil makanan dan minuman dari rumahnya untuk disuapkan pada Pak Runci.

Pada malam yang pekat dalam hujan yang lebat beberapa hari lalu itu memang tak ada yang menebang jagung atau menggali umbi dan ubi. Kami tak melihat ada tanda-tanda batang jagung yang ditebang atau tanaman singkong dan umbi jalar yang dibongkar. Yang dibongkar justru sebuah kuburan. Itu ada di pojok pemakaman yang bersampingan dengan belukar. Seseorang dari kami yang berkeliling pemakaman melihatnya.

Lahat itu menganga terbuka. Tak lagi ada sosok mayat di dalamnya. Juga sama sekali tak ada kerangka.

”Diambil keluarganya,” ucap seseorang, Pak Runci, yang sudah berada di belakang kami. Pak Runci tampak bugar.

Kami saling pandang—tak paham.

”Dua-tiga malam yang lalu,” Pak Runci menambahkan. Tiga malam yang lalu: hujan luar biasa lebat, malam sangat pekat.

”Pak Runci tahu?” kami bertanya nyaris bersamaan.

”Tahu ada pembongkaran? Iya. Yang bersangkutan minta izin saya.”

”Pak Runci tahu kalau….”

”Tahu kalau itu keluarganya? Entahlah. Saya tak menghapal ratusan jenazah yang dimakamkan di sini. Kan semua sudah bergeletakan di banyak tempat. Kan waktu dimakamkan tak ada yang diminta mengenali satu per satu jenazah, karena wajahnya memang sudah bubrah—tak lagi dikenali.”

Jika Pak Runci tak termasuk yang merasa sangat kehilangan saat terjadi musibah, itu dikarenakan sejak dulu dia tak berkerabat dengan sesiapapun.

”Pak Runci tahu….”

”Tahu untuk apa kuburnya dibongkar? Tidak.”

”Maksud kami….”

”Mungkin keluarganya punya makam atau tanah di tempat lain yang dianggap lebih layak untuk mengubur,” Pak Runci memotong.

”Maksud kami, Pak Runci kenal keluarga yang membongkar makam itu?”

Pak Runci hanya bergumam.

Kami tak yakin apakah Pak Runci mengenal seorang demi seorang penduduk yang pernah tinggal—juga yang kemudian meninggalkan—perkampungan ini.

***

Malam tak begitu pekat. Beberapa lampu minyak membenderangi setiap sudut kuburan massal itu. Namun, tetap saja, hujan yang begitu lebat menutup jarak pandang kami. Mata kami memang sedang menatap mengamati arah pekuburan massal itu. Menurut Pak Runci, malam ini—beberapa hari setelah pembongkaran kuburan pada malam pekat hujan lebat itu—bakal datang entah siapa ke pemakaman. Tak diketahui pasti jamnya. Tak diketahui pasti untuk apa. Tak diketahui pasti, siapa seseorang itu.

”Bagaimana Pak Runci tahu?” saya bertanya.

”Nalurinya mengatakan. Begitu katanya. Entahlah,” suami saya menjawab.

Kami penasaran. Untuk apa kuburan—massal pula—kembali didedah, padahal yang dikubur tak pernah dikenali rincian wajah-wajahnya. Bukan saja tak dikenali karena telah dimakan waktu, tapi waktu dimakamkan pun wajah-wajah itu telah dicacah-cacah oleh musibah. Karenanya, alasan memindahkan kerangka ke tempat yang lebih layak, bagi kami—setidaknya bagi saya—sungguh tak masuk benak.

Tak hanya di ujung-ujung pemakaman dipasangi lampu minyak. Di setiap ujung gang dan perempatan jalan, juga di antaranya, kami pasang pula lentera. Dengan penerangan lentera dan lampu minyak, setiap jengkal jalanan di hadapan dan sekitaran rumah-rumah kami, juga jalanan menuju pekuburan, akan menampak siapa saja yang bahkan lewat selintasan ke pekuburan. Namun, begitu hujan menderas, dan kami masuk ke dalam rumah, pindah dari teras karena menghindari percik air hujan yang menempias, kami jadi gagal mengamati kalau-kalau ada yang mendatangi pekuburan itu.

Hingga menjelang fajar, hujan masih membilas-bilas. Pelupuk mata kami mulai terkatup digelayuti kantuk. Kami rasa, tak ada yang mendatangi pekuburan massal itu yang kemudian membongkar salah satu sudutnya. Kami salah, ternyata. Begitu hujan mulai mereda dan matahari membiaskan cahayanya, kami dengar suara teriakan entah siapa dari arah pekuburan. Ada tiga lubang penggalian yang letaknya berjauhan dari pembongkaran pertama. Jenazah—mungkin kerangka, mungkin sekadar serbuk yang sudah berbaur tanah—tak lagi ada di dalamnya.

Tampaknya, penggalian itu dilakukan saat kami disungkup rasa kantuk ketika menjelang fajar itu. Rasa kantuk itu telah membuat telinga kami tak lagi peka untuk mendengar suara-suara ayunan cangkul yang beradu dengan tanah yang dibongkar.

Naluri Pak Runci terbukti.

Atau bukan naluri, melainkan benar-benar ada seseorang yang memberitahunya, meminta izin, sebagaimana kejadian pertama pada malam tanpa lentera dan hujan yang mendera-dera itu.

”Jika benar ada yang mendatangi Pak Runci, berarti Pak Runci membohongi kita,” ujar suami saya, yang juga menjadi ujaran penduduk lainnya.

”Tapi, apa untungnya Pak Runci berbohong?” suami saya bergumam, terkesan membantah kesimpulannya sendiri.

”Lagian, tak ada yang mengharuskan Pak Runci untuk melapor ke kita,” timpal saya pada suami saya saat kami makan malam.

”Lebih tepatnya, tak ada yang dirugikan di kampung kita ini karena dibongkarnya kuburan itu,” saya menambahkan.

”Juga hilangnya kerangka-kerangka itu,” suami saya menegaskan.

Gemuruh guntur di langit menghentikan percakapan kami. Kami buru-buru merapatkan daun pintu dan jendela karena hujan mendadak tumpah. Saya—juga suami saya—tak sempat menengok memastikan apakah lampu minyak sudah dipasang Pak Runci di segenap sudut pemakaman. Kalaupun lentera sempat kami pasang di depan rumah dan di setiap perempatan, pastilah akan segera susut, meredup, diguyur air hujan yang makin menderas, untuk kemudian padam.

Saya dan suami mencoba mencungkil-cungkil ingatan, apakah Pak Runci sempat memberitahu bahwa malam ini akan datang seseorang atau beberapa orang entah siapa hendak membongkar pemakaman massal. Namun, pemberitahuan Pak Runci—jika ada—tak lagi begitu penting, karena esoknya, setelah hujan yang terguyur sepanjang malam itu mereda, kami menemukan jawabannya, yakni: belasan kuburan dibongkar dan kerangka yang ada di dalamnya tak lagi ada di tempatnya.

”Saya setengah lupa setengah ingat mereka yang datang menggali kubur itu. Mereka adalah penduduk sini juga yang pindah rumah setelah musibah,” ungkap Pak Runci setelah kami mendesaknya agar memberikan keterangan. Kami, termasuk yang seharusnya sudah sampai di tempat kerja, pagi itu mendatangi pondok Pak Runci.

”Kata mereka, mereka hendak membuktikan bahwa kerabat mereka benar-benar meninggal. Suaminya tewas, istrinya wafat, orangtuanya—ayahnya atau ibunya atau dua-duanya—tak lagi bernyawa,” sangat panjang Pak Runci menjelaskan.

”Membuktikan pada siapa?” seseorang bertanya.

”Pada aturan di wilayah mereka berburu mata pencaharian. Mereka tak bisa menunjukkan bukti tertulis bahwa istri atau suaminya benar-benar meninggal.”

”Akta atau pencatatan kematian maksudnya?” Seseorang mencoba mempertegas.

”Dengan kepastian status mereka, janda atau duda, atau sebatangkara, mereka berhak mendapatkan santunan di wilayah tetangga,” Pak Runci tak menggubris pertanyaan.

”Lha, kan, semua surat-surat itu, termasuk akta tanah segala, ikut lebur dihancurkan musibah?” Seseorang tadi kembali mempertegas arah pembicaraan.

***

Senja jatuh di perbatasan. Banyak orang berbaris mengantre hendak melewati perbatasan yang ditandai oleh selarik garis itu. Wajah-wajah mereka lusuh karena lelah berjalan seharian dan semalaman. Mereka meninggalkan pemakaman massal pada dinihari usai menggali lahat yang diperkirakan sebagai tempat kerabatnya dikuburkan. Mereka bopong jenazah yang sesungguhnya sudah menjadi kerangka itu ke suatu tempat yang menyediakan peti jenazah. Setelah kerangka itu dimasukkan ke dalam peti, mereka menyeret peti itu menuju perbatasan. Seretan peti itu meninggalkan jejak berupa garis-garis bercak di sepanjang jalan yang mereka lewati, termasuk ketika kemudian menyeberangi sungai dan melintasi ngarai.

Sebelum benar-benar memasuki pintu-pintu gerbang yang dideret-deretkan di tembok yang memanjang dari pangkal ke tepian, ada berderet palang pintu yang dibuat dari bambu, yang dijaga para petugas. Mereka ini mencatat sosok-sosok yang menyeret peti mati itu, juga mencatati isi peti mati setelah terlebih dulu mereka membuka peti-peti itu. Setelah itu, para penjaga itu memberi selembar kertas kepada para penyeret peti mati itu. Lembaran kertas itulah yang dijadikan penanda bahwa pemegangnya diperbolehkan melewati gerbang yang dideretkan di tembok yang memanjang.

Begitu menerima lembaran kertas, rata-rata penerimanya langsung melonjak lega sebelum kemudian buru-buru menuju deretan gerbang. Di balik tembok yang memanjang itu, sekalipun dari kejauhan sudah tampak kilauan cahaya bauksit, mangan, perak, juga emas. Peti mati yang mereka seret sepanjang siang sepanjang malam itu begitu saja mereka tinggalkan di hadapan para penjaga. Memang, para penjaga itu akan melemparkan peti-peti dan isinya itu ke tubir jurang yang menganga di hadapan mereka ketika malam merayap perlahan.

****

Saya tiba di perbatasan juga pada saat matahari makin temaram. Saya rasa, bahkan sinar matahari tak pernah mampir di perbatasan ini. Udara cenderung menggigilkan.

”Nama?” tanya penjaga palang perbatasan begitu saya mendekati garis batas.

Saya sebutkan nama saya.

”Bukti apa hendak kamu sampaikan?” kata penjaga sambil membuka buku catatan.

”Saya seorang janda,” ujar saya.

”Buktinya apa?”

Saya mengerling ke peti yang saya seret semalaman hingga seharian. Penjaga itu memeriksa isi peti. Saya lihat wajahnya terperangah.

”Ini mayat baru?” katanya.

Saya mengiyakan. ”Beberapa hari lalu.”

”Ini bukan jenazah dari pemakaman!” penjaga itu membentak saya. Dia segera memberi isyarat kepada penjaga lain, yang segera meringkus saya dan melemparkan saya sejauh-jauhnya.

”Tapi saya janda. Saya punya hak mendapatkan santunan,” saya tersengal. Napas saya sesak.

”Santunan hanya untuk janda yang suaminya menjadi korban musibah. Atau anak-anak piatu, juga yatim, yang orangtuanya menjadi korban musibah. Kamu, bahkan kamu tak punya kerabat yang menjadi korban musibah. Juga suamimu.”

Benar. Penjaga itu tak salah ucap. Benar. Sejak beberapa hari lalu, semua jenazah, semua kerangka di kuburan massal sudah habis dibongkar. Karena itu, diam-diam saya asah ketajaman pedang sebelum kemudian saya hunus untuk saya tancapkan ke jantung suami saya setelah sebelumnya menerobos dan merontokkan tulang rusuknya.

Sangat ingin saya menjadi janda.***

Kupang, 06 Mei 2010;
Jakarta, 05 Juli 2010

Written by tukang kliping

3 Oktober 2010 pada 08:45

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

54 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. saya sangat menikmati cerita ini, meski banyak yg tdk masuk di akal.Namanya jg karya fiksi, t’serah si penulis bentuk ceritanya seperti apa. Tapi sy tdk suka dgn endingnya, terkesan memaksakan ending yg bagus dan tak dpt dterka…. pish mas veven

    monocotil

    3 Oktober 2010 at 09:44

  2. Salam hangat selalu untuk saudari Veven Sp Wardhana.
    Cerita yang bertutur dengan arah logika realis dengan benaman konflik narasi independensi yang mencatut teka-teki terselubung dalam ranah cerita. Opening cerita berupa narasi tentang Pak Runci, pekerjaannya, tabiatnya serta riwayatnya. Saya masih merasa datar di opening cerita. Middling cerita memvisualisasikan segala informasi dalam pikiran saya dan saya fokus membayangkannya, baik itu tentang pembongkaran mayat, peti mati, kuburan masal, musibah, kerangka, dan akta kematian untuk santunan yang mendasari ide cerita. Ending begitu menyentak, meski terkesan rancu di benak saya. Mungkin inilah kejutan yang menambah eksotik dalam kemuraman cerita. Janda yang menghunus pedang ke suami untuk mendapatkan santunan akta kematian. Alur cerita yang berkelok, buntu tapi dalam kebuntuan saya temukan ketegangan dalam jalan yang tak bisa mengembalikan arah pikir di benak saya. Saya meresapinya. Terima kasih. Sukses berkarya selalu.

    Tova Zen

    3 Oktober 2010 at 09:45

  3. ada 2 tokoh yg kasihan skali ya dlm cerpen ini:

    1. Pak Runci, dia tiba-tiba hilang bgitu saja di bagian akhir.

    2. tokoh suami, dia hanya muncul sesaat di bagian penutup dan itupun langsung dibunuh.

    saya malah membayangkan tokoh suami itu adlh Pak Runci sendiri, jadi, ketika makam sudah habis, Pak Runci dibunuh istrinya, jleb, jleb, ooh, gitu.

    Raga

    3 Oktober 2010 at 10:25

    • to: Raga
      Perihal Pak Runci, saya sependapat. Tapi mengenai tokoh “suami” saya tidak setuju.
      Menurut saya, tokoh suami tidak hanya muncul di bagian penutup, tapi juga di bagian tengah cerita. coba simak dialog “saya” dengan “suami” mengenai jawaban-jawaban Pak Runci tentang “penggali makam” menurut naluri Pak Runci dan perbincangan “saya” dengan “suami” di meja makan yang bersamaan dengan turunnya hujan! mungkin Raga kurang teliti aja!

      ical

      3 Oktober 2010 at 23:10

  4. Selamat ya Veven, kalau tidak salah ini adalah cerpen ketiga kamu di Kompas setelah cerpenmu yang lima tahun lalu…. 🙂

    Terus berkarya… kusuka cerpen ini !!

    Somad

    3 Oktober 2010 at 10:27

  5. Mendulang rupiah dari orang mati? Memang ironi yang gila. Menyegarkan ingatan kita pada “Jiwa-Jiwa Mati”-nya Gogol.

    rudi

    3 Oktober 2010 at 11:13

  6. tidak mengerti … 😦

    dion

    3 Oktober 2010 at 15:47

    • gondes

      gatot

      12 Oktober 2010 at 07:46

  7. salam kenal………………

    Menurut saya, inti cerita ini adalah bahwa musibah membuat orang jadi lupa pada harga diri. Orang-orang pun memanfaatkan ‘mayat’ untuk ditukar dengan santunan atau bantuan dari pihak penguasa. Yang lebih ironis, “saya” atau tokoh istri bahkan nekad membunuh suaminya agar statusnya berubah menjadi janda dan bisa mendapatkan tunjangan……!!!

    Sayangnya, ada sedikit paradoks: di bagian tengah cerita, tokoh suami punya pekerjaan (yang ditunjukkan dengan kalimat “berangkat ke tempat kerjanya masing-masing”). Sementara alur cerita mengesankan kalau “saya” – sepertinya – kelaparan hingga harus membunuh suami untuk mendapat tunjangan sebagai janda!

    Atau memang “saya” membunuh “suami” karena ada motivasi lain ya…? Jika memang begitu, malah semakin membingungkan dan kontradiktif. hm…….!!!

    gimana yang lain………!!!
    (arizani)

    ical

    3 Oktober 2010 at 23:17

  8. hmmm…asyik..

    bisyri

    3 Oktober 2010 at 23:28

  9. Hmmm…
    di Aceh pasca Konflik dan Tsunami banyak hal ini terjadi dimana-mana. seiring bantuan datang melanda.

    Ending akhirnya seperti dipaksakan untuk kita harus mengatakan bahwa ini cerpen yang bagus. Ok. Lah.

    Bang Maop

    4 Oktober 2010 at 00:45

  10. semua penulis menakjubkan.

    saya sedikit berkomentar, walau masih belum bisa mengomentari.

    menurut saya, tutur kata yang halus dan encer. ini sebagai kekuatan cerpen karya veven.

    tapi ada kalimat konyol dari saya:

    -hujan lebat, lampu minyak= mati, padam, basah kutup
    -menggali kuburan malam-malam= mencuri mayat
    – meminta santunan dari mayat korban bencana VS santunan suami mati terkena pedang, terbunuh istrinya.
    – konflik gelap tak terlihat, tapi tiba-tiba pedang menghunus kearah suaminya

    yah, itu sekedar kalimat konyol.

    lubab

    4 Oktober 2010 at 03:53

    • piye banget deh.
      emang konyol ?

      gatot

      12 Oktober 2010 at 07:47

  11. Cerita yang menarik dan bisa membuat hanyut di dalamnya, akhir cerita menyentuh tapi tidak ada hubungan dengan juru kunci makam jadi berkesan ngga nyambung jack,,,

    Lita Sudiono

    4 Oktober 2010 at 11:06

  12. ini cerita betulan atau karangan alias novel sih….serem juga

    kalakay

    4 Oktober 2010 at 11:15

  13. Awal” nya sih asik , tapi ending nya kurang asik
    😦

    moh. khaerul imam

    4 Oktober 2010 at 12:42

  14. saya merasakan suasana ‘gelap’ dan misterius, ada selimut ketakutan yang terpancar dari cerita ini. huhmmmm……

    miftah fadhli

    4 Oktober 2010 at 14:19

  15. buat komentator….

    memang budaya kritik Indon tidak akan pernah hilang lagi.. apa2 aja pasti ada respon miring… belajar menghargai karya oranglah… jangan banyak kali ngeritik orang.lihat diri sendiri.. bisa ngak nulis seprti ini…

    Roy Suryo

    4 Oktober 2010 at 15:33

    • kau tak paham tentang kritik sastra

      Bang Maop

      4 Oktober 2010 at 16:09

    • bungeh tat ngoen pue..???

      Roy Suryo,, kamu kenal ga sama Bang Maop. dia itu salah satu esais kritik sastra terkemuka di Aceh dan Malaysia. Dia juga mengajar sastra di Universitas Syiah Kuala..

      Azwar Khalid

      4 Oktober 2010 at 20:34

    • AZwar Khalid;
      palak kuh. si Gam Mae nyan, han meufhum masalah kritik sastra i jih…hahaha

      Bang Maop

      4 Oktober 2010 at 20:44

  16. Lon baca-baca mantong beh

    Taufik Al Mubarak

    4 Oktober 2010 at 20:53

    • hehehe…ta kritik chit bang.. hawa ta debat sigo go walau dalam ruang maya..hee

      Bang Maop

      13 Oktober 2010 at 02:24

  17. Semakin dikrtitik, suatu karya semakin kuat dan menggelitik

    Rifan N

    5 Oktober 2010 at 10:37

  18. kurang terkesan.
    hmmm,,, maaf ya.
    tapi tetep ” Selamat dan sukses “

    ipung

    5 Oktober 2010 at 14:45

  19. Kayak makan krupuk.. Jadi nagih, tapi tak kenyang2..hehe

    Wahyudi Eko S

    5 Oktober 2010 at 19:51

  20. ada yang belum nih….

    kutu kupret

    6 Oktober 2010 at 08:41

  21. Saya memang tak dapat menunjukkan data statistiknya, tapi saya kira priode dua dekade terakhir sastra-cerpen Indonesia masih belum bosan–dengan intensitas tinggi–menggarap cerita2 dengan tokohnya yang lunatic:liar, gila, tak terduga, asosial, dll, dll. Ia masih dapat dipertahankan, karena banyak pembaca sastra Indonesia merupakan pendatang baru–penulis menulis dengan cara lama, tapi mengejutkan bagi banyak pembacanya.
    Tapi saya bosan.
    Hidup kritik sastra!

    Oge Bual

    7 Oktober 2010 at 05:20

  22. Heran: kenapa di tiap kesempatan ada saja yang menyayangkan tanggapan miring? Apakah forum ini harus menjadi ajang paduan suara, dengan nada positif? Apakah ia yang tampil ke permukaan sudah sepatutnya sempurna? Apakah tukang kritik harus menunjukkan dulu tulisannya yang lebih baik, sebelum mengkritik karya yang lebih buruk?
    Kiranya, ke depan, forum ini dapat lebih cerdas. Tks!

    Oge Bual

    7 Oktober 2010 at 05:30

  23. maaf, endingnya seperti puntiran murahan film2 m night shyamalan yang belakangan, terlalu memaksa dan mudah ditebak… Selebihnya encer dan asyik…

    gide buono

    7 Oktober 2010 at 11:43

  24. Salam kenal semua,

    Hal yang lumrah jika sebuah cerpen membuat pembacanya menafsirkan macam2. Yang penting tidak keluar jalur.

    BTW: Numpang tanya:Ada yg tau cerpen yg dimuat Jawa Pos, Nova, Kartini dan Horison minggu ini dan bulan ini?

    Saya di pedalaman Indonesia, tidak bisa Online tiap bulan.sulit dapat koran dan majalah tersebut.

    Trima Kasih

    notan

    7 Oktober 2010 at 12:09

  25. Saya malas menulis.

    patahsemangat.com

    Tova Zen

    7 Oktober 2010 at 15:39

  26. serem juga ya…
    ini beneran g sich?
    masak suami sendiri dibunuh!??

    ih…. serem

    nurul

    7 Oktober 2010 at 16:50

    • namanya juga cerpen, Non

      Bang Maop

      13 Oktober 2010 at 02:26

    • banyak tuh, coba aja google

      tapi banyakan suami yang bunuh istri

      silla

      26 Januari 2011 at 07:09

  27. setiap penulis mempunyai cara bercerita, veven seperti menebar kelopak2 bunga dan kita-pembaca-mau tidak mau memungut dan memasangnya untuk menemukan bentuk asal mula bunga itu, hanya ialah yang tahu bentuknya, dan kita acap kali gagal.

    atau mungkinkah ia sendiri tidak tahu?

    ewing

    7 Oktober 2010 at 23:03

  28. menanti cinta penuh galau dan misteri pun meruap di akhir cerita.
    Keheningan berselubung ratusan mayat

    Unkam

    9 Oktober 2010 at 10:36

  29. Senada dgn rekan2 di atas : endingnya spt dipaksakan utk tampil mengejutkan/tak terduga. Kalo awalnya sih asyik, enak utk diikuti. Mgkn kl ada sdkt gambaran ttg konflik antara saya & suami, akan membantu pembaca utk ‘ngeh’ knp saya membunuh suami (org ke 3, suami kasar, ato apalah).

    @roy suryo : ah, anda ini sptnya masih blm bs lepas dari dunia anak2. Saya jd ingat alm. pak tino sidin, yg tiap kali mengangkat gambar seorang anak sambil (selalu) berkata, “bagus !” :p

    Veno

    9 Oktober 2010 at 12:24

  30. mungkin tokoh………suami kurang sisa dimengerti

    oca

    9 Oktober 2010 at 20:59

  31. Selama seminggu sy menyabar2kan hati untk membaca cerpen ini. Trims buat tukang kliping, shingga sy tk perlu khilangan tiga ribu perak hanya untk membaca cerpen ini.

    Geger

    11 Oktober 2010 at 11:34

  32. merinding baca ceritany

    defchania

    11 Oktober 2010 at 20:01

    • sumpah fotone. :\

      gatot

      12 Oktober 2010 at 07:48

  33. bagi saya, cerpen ini kurang masuk akal…

    fika

    22 Oktober 2010 at 13:45

  34. emm. kaget membaca endingnya

    mila

    25 Oktober 2010 at 15:28

  35. buat para komentatator / kritikus,,,sebaiknya kalian jangan hanya menyoroti hal-hal yang miring saja namun juga diberi solusi……

    adhitya

    27 Oktober 2010 at 16:15

    • komentator atau kritikus tidak harus memberi solusi mas, tidak perlu juga menjadi penulis, sudah ada bagiannya masing-masing

      paijo

      27 Oktober 2010 at 16:35

  36. save dulu………………

    fm 2011

    30 Oktober 2010 at 15:44

  37. salam hangat…
    luar biasa, menjadikan bencana demi bencana yang melanda Indonesia sebagai background cerita, akan tetapi tujuan sindirannya tersampaikan dengan baik. di negara mereka, menjadi janda, yatim piatu, dan berbagai status kehidupan lainnya dihargai dengan santunan-santunan yang sangat dibutuhkan korban bencana di saat itu, bukan sekedar datang menjenguk, atau janji-janji belaka, atau bahkan gombalan supaya dinilai sebagai pemimpin yang peduli pada nasib rakyat…
    luat biasa…

    azhari MS

    4 November 2010 at 22:23

  38. meski baru baca sebagian, aku dah tertarik sama cerpen ni lho…!!!
    dan cerpenya aku pinjam ya..buat dikaji dengan pendekatan analitis.

    FraNGky Newbie

    9 November 2010 at 10:07

  39. @ Veno : ndak juga harus digambarkan gamblang, kalau dilihat saya (istri) dan Suami, dalam penokohan selalu tak pernah searah dalam perbincangan yang menggambarkan ada suatu “keretakan atau suatu masalah” diantara keduanya.

    Ferry

    9 Desember 2010 at 15:56

  40. bagus skali, salut mas!!* dan buat kalian para kritikus muda! mav brikan solusi d akhr krtkanya dong, kucing aja berak tainya diamankan sendiri, sy kr saudara2 bkn kucing, bukan?

    roy sukro kacang bawang

    11 Februari 2011 at 23:40

  41. Kenapa harus suami?

    Wandoet

    19 Februari 2011 at 14:45

  42. endingnya kok sadis amat sih….pdhal tokoh ‘saya’ dan suaminya dlm cerita adem ayem saja,tp kenapa akhirnya bs spt itu..ckckckck

    Adri

    22 Februari 2011 at 15:31

  43. Akhir cerpennya aneh.

    darmawasih

    6 Mei 2011 at 16:47


Tinggalkan Balasan ke Tova Zen Batalkan balasan