Archive for Juli 2011
Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak
Jangan sesekali kau dekati batang kayu itu. Selalu itu yang Emak katakan bila mata bocahku (dulu) mulai berbinar-binar menatap batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas kami itu. Lalu, aku akan melempar tanya yang sama lewat retina mata yang seketika meredup mendengar larangan Emak itu. Mengapa?
Di dahan yang paling dekat dengan pokok batangnya, ada seekor ular coklat besar bersarang. Ular itu akan menggigit siapa saja yang mengusiknya.
Mendengar jawaban Emak itu, aku pasti akan berjinjit ngeri. Terburu membunuh keinginan yang meluap-luap untuk bergumul di dahan-dahannya. Dan sejak saat itu, aku selalu menikam luapan rasa yang sama.
Perpisahan
HANS, tiap kali kita berdiri di tepi sungai itu, kamu selalu mengatakan hal yang sama, seraya menunjuk permukaan sungai yang kehijauan dan memantulkan bayangan kita: mereka menemukan tubuh Rosa*) di sini. Alirannya membelah kotamu, mengalir sampai ke Berlin, kota terakhir yang kamu bayangkan sebagai tempat memulai kehidupan baru setelah letih mengelana dan menjauhinya berulang kali.
Tiga hari setelah ibumu meninggal, kamu, kembaranmu Fabian dan ayahmu pergi ke Sungai Spree dan mengenang masa silam yang kini bagai mimpi. Sejak itu kamu ingin lebih dekat dengan mereka. Kamu akan mengunjungi ayahmu sebulan sekali setidaknya jika menetap dan bekerja di Berlin.
Kita sekarang berdiri dan menatap sungai yang sama, di bagian tubuhnya yang lain.
Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
(Buat GM)
Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
”Mencari bunga untuk apa Pak?”
Wiro Seledri
Berita lelayu yang diumumkan mesjid desa sesudah shalat subuh, mengejutkan saya. Mbah Prawiro meninggal dunia, padahal 3 hari yang lalu saya masih menjumpainya saat bersama ta’ziah di tetangga dekat rumah yang meninggal.
Bergegas saya menuju tempat tinggalnya. Setibanya di gubugnya, terlihat tidak banyak orang yang melayat. Hanya ketua RT setempat, beberapa hansip, pengurus mesjid, dan seorang polisi. Mbah Prawiro terbaring di atas ranjang bambu beralaskan tikar pandan yang sudah lusuh, diselubungi selembar kain batik. Di dalam ruangan yang cuma 3×4 meter yang sekaligus sebagai rumah tinggal dan dapur, di sekelilingnya teronggok kompor minyak tanah, periuk nasi, panci aluminium, dan dua buah cangkir dan piring kaleng.
Biografi Kunang-kunang
Pada malam hari, ibumu akan menjadi kunang-kunang, terbang ke hamparan bunga-bunga, ke sepanjang jalan, menelusuri remang cahaya, hinggap di daun-daun, berteduh dari embun, lalu terbang lagi, ke atap rumah, ke tiang listrik, ke bawah jembatan. Ibumu menjadi kunang-kunang sepanjang malam, mencari kamu yang sudah lama hilang.
”Di mana kamu, anakku? Di mana?”
Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ibumu—kunang-kunang itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, ibumu selalu setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk kembali di malam berikutnya….