Posts Tagged ‘Pamusuk Eneste’
Kursi Empuk di Dada Sumarti
Ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, tahulah Sumarti bahwa ia akan sendirian. Sumarti akan menjalani sisa hidupnya seorang diri. Ditemani pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan penjaga malam. Itu pun sepanjang Sumarti mampu membayar mereka setiap bulan.
Sesekali putri, menantu, dan cucunya akan datang berkunjung.
“Nuwun sewu…,” terdengar suara pembantu Sumarti.
Sumarti menoleh.
Raibnya Seorang Suami
Pakbitels sedang keluar negeri, kata orang. Pakbitels sedang menyingkir dari hiruk-pikuk kehidupan kota dan kini menyepi ke sebuah desa di lereng gunung, kata yang lain. Pakbitels diamankan yang berwajib, ujar yang lain. Pakbitels mungkin diculik orang tak dikenal, komentar yang lain lagi. Bermacam-macam lagi kata orang mengenai Pakbitels.
Sehari sebelum raib, Pakbitels bercerita bahwa istrinya mengomel terus semalaman karena merasa disepelekan. Dianggap sepi. Dicuekin.
“Masak kerjamu baca iklan melulu. Ngapain kek! Cari duit kek! Ngojek kek! Ngobjek kek! Cari tambahan penghasilan apa kek! Jangan baca iklan melulu dong! ’Kan Ayah tahu tiap bulan keuangan kita defisit. Aku terpaksa ngutang ke tetangga! Malu ’kan aku ngutang terus!” semprot istrinya.
Sebelum itu, istri Pakbitels mengeluh tentang kebiasaan Pakbitels menonton acara televisi.
Sepucuk Surat
Ketika Pakemon sedang membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia.
“Saya mengantar ini, Pak,” kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon.
“Dari siapa?” tanya Pakemon.
“Tidak tahu Pak. Saya cuma disuruh antar.”