Posts Tagged ‘Triyanto Triwikromo’
Lengtu Lengmua
Tepat tengah malam celeng-celeng yang telah kerasukan ratusan iblis itu akan menyeruduk seluruh warga dan tak memberi kesempatan mereka untuk mendengarkan lagi keributan bangau dan gesekan daun-daun bakau dengan angin amis yang risau….
Laut tak sedang mendamparkan perahu Nuh ke kampung yang karena terlalu sunyi lebih mirip hiu tidur itu. Laut—dalam ketenangan musim kemarau—juga tidak sedang menebarkan kolera busuk ke tanjung tenang berpenghuni orang-orang yang teramat karib dengan lapar dan kemiskinan. Tetapi memang ada sembilan perahu yang merapat ke ujung tanjung tak jauh dari makam keramat. Sembilan perahu itu mengusung sembilan celeng milik Jamuri, juragan dari kota, yang dikawal oleh sembilan cempiang atau jagoan berseragam loreng-loreng.
Burung Api Siti
Burung-burung api itu melesat dan menembus jantung para pembantai. Para pembunuh terbakar. Tubuh mereka menyala. Siti bertanya, ”Mengapa bangau-bangau ini jadi ganas semua?”
Tak ada keindahan seanggun tarian burung bangau yang sedang bercumbu. Dan Siti menatap takjub beratus-ratus pasangan bangau yang sedang berkencan itu. Burung-burung itu serempak mencericitkan kicau mirip tangisan paling pedih yang memekakkan telinga tetapi pada saat sama mereka bergerak mirip penari keraton. Mereka mengayunkan sayap dalam gerak yang kadang-kadang lamban, kadang-kadang cepat, kadang-kadang ritmis, kadang-kadang sembarangan. Mereka juga melompat, berlari, melompat lagi, dan berlari lagi. Dan yang membuat lelaki kencur 10 tahun itu lebih takjub, bangau-bangau itu berdiri tegap saling menatap dengan paruh menusuk ke langit. Ia tak tahu kenapa sang pejantan hanya mengeluarkan suara sekali dan para betina berkali-kali.
Itulah pemandangan yang berulang-ulang dilihat oleh Siti dan berulang-ulang pula membuat dia kehilangan cara untuk mengungkapkan ketakjuban. Akan tetapi, hari itu, pada Oktober 1965 saat angin laut begitu asin dan amis, burung-burung bangau itu nyaris tidak melakukan gerak apa pun. Isya sudah usai menghampiri kampung di ujung tanjung itu tetapi satwa-satwa tropis ini tetap saja membisu. Siti menduga ada ratusan ular raksasa yang menelan mereka. Dan dalam benak lelaki kencur itu hewan melata yang menjijikkan itu mula-mula menyambar sayap, lalu menghajar, dan meng-kremus kepala-kepala mereka.
Ikan Terbang Kufah
Kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan?
Kufah tidak percaya pada akhirnya orang-orang kota benar-benar akan menghancurkan makam Syeh Muso yang menjulur di ujung tanjung yang dikepung oleh hutan bakau dan cericit ribuan bangau. Mereka akan membangun resor di kampung penuh ikan terbang itu.
Kufah keberatan bukan karena nisan Syeh Muso sering menguarkan cahaya hijau yang menyilaukan mata, tetapi jika sewaktu-waktu tanjung itu turut dilenyapkan, ia tidak akan bisa berlama-lama memandang bulan sambil mengecipakkan kaki di kebeningan air laut yang jika pasang tiba, kerap mengempaskan segala benda tak terduga.
Sepasang Ular di Salib Ungu
Akhirnya setelah mencicipi sihir James Bond Martini di balkon The Coogee Bay Hotel yang disaput dingin dan asin angin, Margareth Wilson, yang kupastikan berjalan sambil tidur, membaca juga nubuat tentang perahu kencana dalam Kitab Ular Kembar yang kabur dan penuh bercak darah itu. Kubayangkan ia harus memaknai segala tanda, gambar, simbol-simbol, dan kadang-kadang menyelam ke lautan misteri huruf-huruf Latin yang distilasi menjadi semacam reptil-reptil kecil dari gurun yang purba dan jauh itu.
Nubuat itu, kau tahu, agak berbelit-belit, sehingga untuk memahami pesannya, siapa pun akan seperti seekor koala yang kesulitan mencari jalan keluar dari labirin busuk yang mengepung dan membelit. Meskipun demikian seperti seorang penafsir peta harta karun piawai, Margareth tak kesulitan sedikit pun menyusupkan wahyu semesta yang mungkin penting itu ke lorong-lorong otak.
Dalam Hujan Hijau Friedenau
Kereta yang sesaat berhenti di Stasiun Friedenau itu memang semula ingin menumpahkan aku dan 99 pasang malaikat yang ingin merayakan pernikahanmu dengan Ellen Adele, Arok. Dari Apartemen Carstennstr 25 B—tempat kita (sepasang iblis manis pemuja Mozart), menggambar percintaan ribuan kelelawar di kanvas bekas dan menciptakan komposisi kebrengsekan Berlin di gamelan sengau dan piano busuk—aku memang merayu para malaikat itu agar mau mengunjungi makamku di Waldfriedhof Zehlendorf. Tentu aku tak bisa lagi melihat tubuhku yang hingga Agustus yang biru masih disorot kamera dan asyik masyuk dalam pemotretan untuk reklame sabun bagi para perempuan uzur itu. Tentu di bawah langit Berlin yang senantiasa menyerupai bentangan kain tetoron abu-abu aku hanya mendapatkan guci abuku dililit akar dan digerogoti para cacing. Dan setelah kremasi yang indah pada Rabu tersaput salju di kuburku, aku memang tak bisa lagi merasakan teduh cemara zedar perkasa yang kini mungkin dilupakan oleh siapa pun yang berjalan tergesa-gesa mengejar kereta. Namun, sebelum menghadiri pesta pernikahanmu, aku memang perlu merasakan sihir cinta yang pernah kausepuhkan di pohon-pohon dan dedaunan penuh embun itu.
Iblis Paris
Ya, jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong pistol ke lambungmu, sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini
Segalanya begitu cepat berubah setelah Khun Sa meninggal. Aku, boneka kencana Raja Opium Segitiga Emas yang disembunyikan dan kelak kau kenal sebagai Zita, memang tidak mungkin mengikuti upacara kremasi bersama-sama gerilyawan Shan. Aku tak mungkin mencium harum abu kekasih atau sekadar membayangkan mati perkasa dalam amuk api percintaan. Aku juga tak mungkin berjalan tertatih-tatih di belakang keranda dan mencoba menembakkan pistol di jidat sebelum kekasih lain mempertontonkan kesetiaan hanya dengan menangis sesenggukan. Sejak 1996 yang menyakitkan, Pangeran Kematian memang menyuruhku menghilang ke Prancis. Ia yakin benar Mong Thay Army, serdadu kepercayaannya, tak mungkin bisa melindungiku dari kekejaman para petinggi junta, sehingga memintaku menyingkir ke negeri yang tak terjangkau oleh bedil dan penjara Burma.
”Bukankah kau ingin sekali bertemu dengan Maria di Lourdes? Bukankah kau ingin mendapatkan tuah Bernadette Soubirous?”
Belenggu Salju
Tak ada kepak gagak di Compton yang selalu menguarkan bau sampah busuk, anggur murahan, dan bangkai manusia yang disembunyikan di ghettos atau rumah-rumah besar yang mengonggok tanpa lampu. Juga tak ada salju atau angin santer yang membekukan tiang listrik atau menggigilkan para negro yang sedang menari acakadut atau menyanyikan rap keras-keras di sembarang trotoar malam itu. Tetapi di kota yang seakan-akan tak pernah disentuh tangan Kristus itu, aku justru senantiasa mendengarkan jerit burung kematian memekik tak henti-henti sepanjang hari. Selalu terdengar berondongan peluru dan siapa pun menganggap letusan-letusan itu hanya sebagai derit mobil yang direm mendadak oleh pembalap kampungan. Selalu ada bisik-bisik transaksi kokain, morfin, ganja atau hasis, tetapi segala desis hanya terdengar sebagai siulan rahasia kanak-kanak untuk mengajak geng kecil mereka mengintip percumbuan sepasang kekasih di kegelapan taman.