Posts Tagged ‘Putu Wijaya’
Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
(Buat GM)
Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
”Mencari bunga untuk apa Pak?”
Laila
Menangis tidak selamanya tanda kelemahan. Tapi istri saya tidak bisa menafsirkan lain, ketika melihat kucur air mata Laila.
”Ada apa lagi Laila,” tanya istri saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?”
Tangis Laila bukannya berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji naik.
Maling
I.
Jambangan bunga porselen di rumah Pak Amat hilang. Amat ngamuk.
“Itu hadiah dari Gubernur. Barang kuno Cina dari dinasti Ming. Kalau dijual sekarang bisa lima milyar harganya!” teriak Amat mencak-mencak.
Dari pagi hingga malam Amat uring-uringan dan menyalahkan segala macam sebab yang dianggapnya sudah jadi biang kehilangan.
“Teledor! Ibu kamu sih yang kurang menghargai Bapak!” kata Amat pada Ami, “semua koleksi Bapak dibuangin satu per satu. Mula-mula burung perkutut. Katanya perkutut hanya bikin orang malas. Lalu anjing tidak boleh dipelihara, katanya rumah jadi bau. Lalu kursi rotan warisan orang tuaku, dijelek-jelekkan sebagai sarang bangsat, lalu dikasihkan begitu saja sama tetangga yang aku benci, lantas beli kursi yang pakai bantalan, tapi kalau diduduki jadi kempes dan bikin aku sakit pinggang. Kemudian sepeda, jam dinding, radio antik, meja marmar, lemari, kap lampu, bahkan juga pakaian-pakaianku semuanya disumbangkan kepada korban banjir. Padahal di antaranya ada jaket yang aku pakai waktu melamar dia dulu. Ibu kamu memang kurang perasaan. Sekarang jambangan bunga yang kata tetangga bisa laku sepuluh milyar, hilang, hanya karena jambangan itu pernah dipuji oleh wanita yang dicurigai ibu kamu itu bekas pacarku. Padahal … .”