Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Posts Tagged ‘Indra Tranggono

Wajah Itu Membayang di Piring Bubur

with 63 comments

Selalu setiap hari, Sumbi menyiapkan bubur gula jawa kesukaan Murwad, suaminya. Bubur itu ia buat sendiri, dari beras terbaik—rojo lele—yang dicampur santan kelapa kental, sedikit garam dan ditaburi gerusan gula jawa. Setiap menyajikan bubur itu, mulut Sumbi selalu mengucap doa untuk keselamatan Murwad yang hingga kini belum pulang.

Sejak Pasar Kliwon terbakar, keberadaan Murwad tidak jelas. Ada yang mengatakan, Murwad tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Arwahnya gentayangan. Seorang bakul sayuran mengaku melihat Murwad berjalan melayang di antara los-los dan selasar pasar.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

8 April 2012 at 08:49

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Sonya Rury

with 37 comments

Mendengar isak tangisnya, aku terhisap memasuki lorong panjang, penuh kelokan. Pada setiap tikungan, aku menemukan jejak luka yang dalam. Aku tak ingin mencari sebab di balik matanya yang sembab. Aku sangat menghormati keputusannya untuk menangis, di antara detak jarum jam yang menikam dan mengiris.

Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa permata. Aku ingin memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di leher jenjang perempuan itu. Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu pupus. Ia tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?”

Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk mendengarkan tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega dan dia pun meneruskan tangisnya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

18 Juli 2010 at 20:21

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Pesan Pendek dari Sahabat Lama

with 18 comments

Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di Ibu Kota itu meletus dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa sabun: pecah di udara, lalu tiada.

Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak.

Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

26 April 2009 at 08:52

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Jas, Tongkat dan Kesunyian

leave a comment »

Laki-laki tua itu berjalan terbungkuk-bungkuk, diiringi derai suara batuk. Dengan tongkatnya, ia menyusuri jalanan desa Tawang Abang. Jas potongan kuno yang riuh dengan hiasan pangkat-pangkat telah lekat di badan karena cucuran keringat. Di dekat gedung sekolah, ia berhenti melepas lelah. Bagi anak-anak, kehadiran laki-laki itu selalu dianggap aneh dan merangsang untuk digoda.

“Mbah Jagal… siapa lagi yang mau kamu sembelih?” teriak si Gendut.

“Katanya tukang jagal, kok tidak bawa pedang?” sahut si Gundul.

“Pembunuh jelek!” teriak si Jegrak.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

29 Oktober 2006 at 15:29

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Lagu Malam Seekor Anjing

with 4 comments

Aku sempat melihat ekor gerakan sesosok bayangan melintas di samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang turun deras membuat malam makin kelam, hingga aku kehilangan jejak orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu terlalu sigap menyelinap.

Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras. Kuharap orang itu panik, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik. Bayangan kengerian mengepungku: orang itu menjeratku dengan kawat baja dan mengantarkan tubuhku di penjual tongseng, seperti ratusan bahkan ribuan kawan-kawanku.

Kantuk yang menggelayut di mataku keempaskan. Tatapan mataku terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam. Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di lehernya. Awas! Waspadalah hei bedebah!

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

28 Mei 2006 at 01:50

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Kulihat Eyang Menangis

leave a comment »

Sudah hampir seminggu Eyang Putri mengurung diri di kamar. Kecemasan pun tergambar pada wajah bapak-ibu dan para cucu. Bubur yang disediakan Mbok Nah hanya sedikit yang dimakan. Dua-tiga kali bubur itu hanya disisir bagian pinggir, kemudian dibiarkannya mencair. Eyang juga jauh dari bantal dan guling. Kalau toh ia tertidur, itu bukan karena ia ingin. Mungkin hanya karena terlalu lelah. Tapi tidur itu tak pernah panjang. Sangat sering ia mendadak terjaga dan membangunkan Mbok Nah yang tidur di bawah samping ranjang.

“Gendut sudah datang?” ujarnya pelan.

Mbok Nah diam. Kantuk masih menggelayutinya. Pertanyaan serupa diulang, namun tetap tanpa jawaban. Eyang Putri tak tega bertanya lagi, melihat wajah Mbok Nah yang tertidur lelap dikeroyok kelelahan.

Mobil sedan putih mengilap menembus tirai hujan, memasuki pekarangan luas yang ditumbuhi pohon sawo dan pohon melinjo. Pada siang yang murung itu, seorang laki-laki tambun keluar dari perut mobil dan berlari menuju beranda rumah bergaya limasan. Bajunya yang merah maroon dipahat rapat jarum-jarum hujan, hingga warna itu berubah tua. Kedatangan laki-laki itu disambut seorang perempuan yang langsung menyodorkan handuk. Laki-laki itu menggosokkan handuk di kepalanya, “Mana Eyang Putri?”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

24 April 2005 at 06:30

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Gerimis Logam

with one comment

Gerimis yang turun seperti jarum-jarum logam pada senja itu gagal mengirimkan harum tanah dan hawa sejuk ke ruang sebuah paviliun di pinggang bukit itu. Jaket dan sweater memang tetap melekat di badan, tapi panas di kepala sangat sukar ditahan. Entah sudah berapa kali gelas-gelas dituang kopi panas. Entah sudah berapa puluh puntung rokok menggunung dalam asbak. Ruang itu tetap saja dibungkus asap. Ribuan kata pun meluncur dari belasan mulut. Kata-kata itu menjelma ular kalimat yang saling mendesak, saling menindih, saling menghantam, dan saling memagut.

Saudara tahu, belasan warga desa kami mati gara-gara sumur dan sawahnya tercemar limbah pabrik saudara! Apa pun alasannya, pabrik jeans itu harus ditutup jika saudara tidak becus mengelola limbahnya. Jangan paksa kami meminum air wenternya!!” Jajak menggebrak meja.

Laki-laki botak dan tambun yang disebut “saudara” itu kaget. Urat-urat di wajahnya seperti mungkret. Tangannya cepat-cepat meraih gelas dan meminumnya.

“Pakai sopan santun, Bung!” hardik lelaki bertubuh gempal yang duduk di sebelah laki-laki botak. “Bos kami tidak seburuk yang bung sangka!”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

27 Maret 2005 at 06:37

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Bulan Terbingkai Jendela

leave a comment »

Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi ia toh nekat. Ia percaya, sehelai syal yang melilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam. Kemesraan yang menyakiti? Ah, tidak juga. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat angin, toh aman-aman saja. Kalau sedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayar buat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja bertiup, entah sampai kapan. Hanya air yang selalu mengalir, pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin. Juga ombak, yang tak pernah jera memukul-mukul pantai dan karang. Betapa melelahkan. Tapi, cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia, pikirnya.

Bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit. Ia diam tak bergerak, seperti terjebak dalam bingkai jendela kamar perempuan itu. Dari dalam kamarnya, perempuan itu menatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya. Suatu kebiasaan yang membuat hatinya tergetar. Kini, bulan itu menari-nari di manik matanya. Menjelma wajah seorang lelaki yang sangat dirindukannya: suaminya, yang jantungnya meledak oleh timah panas pada sebuah zaman yang begitu gelap, begitu kalap, di mana setiap kekuatan dan semangat menjelma menjadi api yang membakar ratusan ribu jiwa hingga tinggal rangka. Memandang bulan itu, ia merasakan ada getaran kerinduan yang mengaliri rongga jiwanya. Kerinduan yang terasa pahit, tapi tetap saja diharapkan hadir memeluknya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

15 Agustus 2004 at 09:53

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Liang

with 2 comments

Tangis Wasti pecah, pagi itu. Kantong air matanya jebol ditohok kalimat-kalimat runcing mengilat para tetangganya. Liang matanya terasa perih, sangat perih. Air matanya terlalu banyak mengalir, hampir sepanjang waktu, seperti aliran selokan yang membelah kampung itu.

Kompleks perumahan di pinggir sungai itu terasa tambah sesak saja dengan penghuni baru. Kompleks perumahan? Ah, tidak juga. Yang disebut “kompleks” itu sebenarnya tak lebih dari deretan atau jejalan rumah-rumah kecil ukuran 3 x 3 meter. Bahan yang dipakai umumnya batu bata tanpa diplester dan dikerjakan secara “ekspresif”. Tonjolan dan lepotan semen mencuat seperti goresan kuas seorang maestro. Beberapa bagian dari rumah-rumah itu ditutup dengan tripleks atau papan kayu bekas peti kemas. Cat rumah-rumah itu berwarna-warni, seperti gebyar pawai, begitu riuh, seperti percakapan mereka yang berlangsung setiap waktu.

“Lha kalau setiap tahun Wasti pulang bawa anak, tempat kita pasti sumpek,” seorang perempuan gemuk tertawa berderai. Tawa itu disambut para “nasabah” yang bergerombol merubung rentenir.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

31 Agustus 2003 at 12:07

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with