Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Posts Tagged ‘Farizal Sikumbang

Peti Ayah dan Tiga Puluh Satu Tahun Setelah Itu

with 9 comments

Tiga puluh satu tahun silam, dari tahun kutulis cerita ini, aku memang ingat, tanpa sengaja, ayah menemukan sebuah peti besi seukuran kardus mi instan. Kala itu ayah menggali tanah di belakang rumah dengan hasrat menanam sebatang pohon pisang batu. Ketika galian telah sedalam betis ayah, kami mendengar bunyi berdentang keras ketika beliau mengayunkan cangkulnya. Dengan penuh heran ayah mengurik tanah berlubang itu dengan sebelah tangannya. Ayah merasakan sebuah benda keras. Di akhir cerita, ayah berhasil mengangkat peti dari tanah yang digalinya itu. Peti besi itu telah berkarat, termasuk gemboknya. Kalau tak salah, usiaku kala itu sebelas tahun. Aku menemani ayah menanam batang pisang batu itu.

Tapi ayah tak membolehkan aku melihat di saat beliau membukanya. Hanya beberapa kata yang terlontar dari mulut ayah, yang kuingat, ”Astaga. Tak salah. Benar-benar tak punya perasaan,” demikian kata ayah dengan muka merah dan pucat.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

29 Maret 2009 at 15:11

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Guru Safedi

with 18 comments

Setelah menumpahkan kegundahan hatinya perihal kebutuhan keuangan dalam keluarganya, istri Safedi lalu beranjak dan duduk di depan pintu rumah. Kedua kakinya diluruskan ke depan. Tatapannya tertekuk ke bawah. Dari atas kursi ruang tamu, beberapa saat kemudian Safedi mendengar tangisan istrinya yang terisak.

Berhentilah menangis, Aisia. Jika ada orang lewat, malu kita,” kata Safedi.

”Biar saja. Biar orang tahu,” jawab istrinya.

”Tetapi, itu tidak baik. Apa kata orang nanti. Aku tidak mau kita menjadi buah bibir pembicaraan orang. Bersabarlah Aisia,” sambung Safedi.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

14 Desember 2008 at 11:36

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Meisa

with 3 comments

Meisa berjalan menyusuri pematang-pematang sawah yang membentang. Langkah kakinya sangat hati-hati sekali. Pematang sawah yang dilaluinya itu terlihat agak basah. Dia tidak ingin terpeleset lalu jatuh ke kubangan lumpur seperti tiga hari yang lalu. Jatuh ke kubangan itu akan membuat pakaian putihnya menjadi rusak. Sesekali dia menghapus peluh yang keluar dari keningnya. Dan beberapa lama kemudian, hup! Dia meloncat dengan pelan. Maka sampailah kini dia di samping puskesmas yang dia tuju. Perlahan dia menarik napas. Menarik napas seperti telah terbebas dari perjalanan jauh.

Perjalanan jauh? Mungkin memang tepat. Sebab jarak tempat dia tinggal dengan puskesmas itu jika berjalan kaki membutuhkan waktu satu jam penuh. Sedangkan jika ingin menaiki kendaraan, itu teramat susah. Angkutan di sini sangat terbatas. Selain jalan yang terkadang masih sulit dilalui.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

31 Agustus 2008 at 10:23

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Uang Jemputan

with 8 comments

Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk sawah milik abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati, karena hati membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini. Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana akan terkondisi?

Iya. Seperti malam ini rasanya entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-bimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di bawah langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini ?

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

6 Januari 2008 at 09:39

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Dua Tanjung

with 2 comments

Ini bulan yang kesepuluh itu, Puti. Maka kini kau kutunggu di Sungai Batang Kuranji. Seperti janji kita. Kita akan bertemu di sini, bukan? Sambil menunggumu, aku mencelupkan jari-jari kakiku ke dalam sungai ini. Memain-mainkannya. Dingin yang menjalar ke seluruh tubuh kujadikan perisai kegundahan ini. Di sini, di sungai ini, kuharap tidak ada yang melihatku, Puti.

Kemarin, kudapatkan dirimu termenung di depan jendela kamarmu ketika aku lewat hendak mencangkul sawah bersama abak. Kau menatapku dengan raut sendu. Aku tahu apa yang ada dalam hatimu. Aku iba. Aku ingin menyabarkanmu kala itu, tapi itu tak mungkin, Puti, sebab ada abak. Aku tak ingin hari itu diceramahi abak dan kemudian kami bertengkar. Kamu tahu? Semalam kami telah melakukan itu. Puti, aku sudah tak sabar membawamu, seperti janji kita berdua. Membawamu ke kota jauh.

Puti, di awal cerita, kuingat, kita tumbuh beriring bersama kanak-kanak. Seperti mencabuti bunga-bunga di halaman rumah. Berlarian sepanjang kampung dengan dada telanjang. Membakar diri di sawah di samping rumah. Atau mengerjakan pekerjaan sekolah bersama-sama. Ah, masa lalu itu Puti, tak bisa aku lupakan. Ia seperti kenangan yang selalu menggaris seluruh ingatan. Kau juga begitu, bukan?

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

2 September 2007 at 13:46

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Abak

with 2 comments

Abak kata orang kini seperti telah dibuang. Dibuang oleh mande serta Uni Ida. Memang abak tidak tinggal lagi di rumah kami, semenjak Uni Ida bertengkar dengan abak dua minggu yang lewat, abak kini sudah tidak pulang-pulang. Kata orang-orang di kampung, abak sering tidur di dalam surau, atau kadang kala menumpang di rumah saudaranya. Abak makan terpaksa diberi oleh teman-temannya.

Pertengkaran Uni Ida dengan abak dua minggu yang lalu itu mungkin benar-benar telah menghancurkan hati abak, hingga kemudian membuat abak meninggalkan rumah. Selama ini Uni Ida memang selalu menunjukkan sikap yang kurang suka pada abak lewat tingkah lakunya. Pernah Uni Ida membanting piring plastik hingga menimbulkan suara berdebum ketika abak hendak makan siang, tapi waktu itu abak seperti tidak mempedulikannya. Walaupun saya lihat ada nada duka diraut wajah abak. Nampaknya abak seperti tidak dibutuhkan lagi di rumah ini. Abak hanya seperti menanggung beban di rumah. Abak telah dikucilkan.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

10 September 2006 at 15:40

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with