Renjana
Aku berangkat ke kotamu pagi ini dengan kereta paling awal, diantar hawa dingin dan kabut bulan Maret yang menusuk tulang. Mungkin kau tak mengira bertahun-tahun setelah kita tak lagi menghabiskan waktu bersama aku selalu melakukan perbuatan tolol ini: mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali.
Ataukah kau sudah menduganya, dan membayangkan dari kejauhan seluruh ketololan yang kulakukan ini, menertawai masa lalumu bersama seorang lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan?
Menjelang berangkat aku bangun sebelum cahaya kemerahan merekah di timur. Kubuka jendela kamar agar angin pagi menyegarkan ruangan kamar dan menahan mataku dari serangan kantuk. Kegelapan yang perlahan menghilang di luar rumah sungguh menggetarkan. Aku seolah terkurung dua makhluk mengerikan, di depan dan di belakang. Telinga dan benakku masih memperdengarkan gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan dari senapan tentara, dan tubuh teman-temanku yang roboh oleh peluru karet atau peluru sungguhan. Mungkin aku masih mengalami halusinasi berkepanjangan akibat peristiwa tiga belas tahun lalu itu.
Untuk menutupi rasa pedih kehilanganmu dan teror masa lalu itu, kunyanyikan lagu masa kanak-kanakku, ”Di Timur Matahari”. Di sekolah dasar, aku sangat menyukai lagu itu. Lima belas tahun kemudian aku dan teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman senapan.
Kau akan bangkit dari ilusimu, Sayangku. Semuanya telah selesai. Tak ada lagi orang yang akan menculikmu. Aku ingin kembali mendengarmu bercerita tentang film-film yang kau tonton atau melihatmu berlatih menulis skenario film. Paling tidak kita bisa menyusuri pantai di sore hari sampai lewat senja. Bukankah di pantai itu kau sering berkata bahwa esok, begitu matahari terbit, kau akan berjalan ke timur menyambut matahari baru?
***
Gerbong kereta ini memang membawaku ke arah timur, namun bukan menyongsong matahari. Ia menyongsong kotamu–ataukah menyongsong masa laluku? Di kereta aku benar-benar merasa menjadi orang lain. Sebagian di antara mereka adalah para pekerja kantor dan mahasiswa; hanya satu-dua yang berpakaian lusuh. Sementara aku, dengan celana jeans dan berkaus, memeluk tas ransel, tenggelam dalam pemandangan sawah di sebelah kiriku, deretan rumah-rumah penduduk yang berlarian ke belakang, gunung yang tak pernah bergeser dari tempatnya, dan kabut misterius yang menyelimutinya.
Di tengah deretan penumpang anonim ini, sering kubayangkan dirimu terselip di sebuah bangku di sudut dekat sambungan gerbong, menatap kabut pagi yang masih mengambang dan bayangan gunung berwarna biru kelabu. Kau menatapku terkejut, sementara aku segera menyongsongmu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol: Kenapa kau sendirian saja di situ? Ke mana saja kau selama ini? Apakah kau juga akan pulang kembali ke kotamu? Kenapa kau tak memanggil dan memintaku duduk di sampingmu? Bukankah setiap kita melakukan perjalanan dengan kereta kau selalu memintaku bercerita tentang rapat-rapat rahasia, para pengkhianat yang menukar perjuangan teman-temanku dengan keselamatan nyawa mereka, orang-orang yang selalu membuntuti ke mana aku pergi, dan kenapa kita bisa saling jatuh cinta sebegitu dahsyatnya di tengah ketidakmenentuan itu?
Semua ketololan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pengkhayal yang tak lagi memercayai hari esok. Bagaimana tidak, dalam satu tahun hampir setiap bulan aku melakukan perjalanan bolak-balik selama dua setengah jam, hanya untuk mencari sesuatu yang tak bisa kutemukan sampai kapan pun.
***
Apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku tak bisa melupakanmu, bahwa bayanganmu selalu mengikuti setiap adegan dalam film yang kutonton, bahwa tatapan matamu yang teduh bermain di antara halaman buku yang sedang kubaca? Bertahun-tahun setelah kau pergi, setelah demonstrasi mahasiswa yang heroik itu telah berlalu, setelah kusaksikan tumbangnya harapan-harapanku pada negeri ini, aku berpikir bagaimana akan kutulis skenario film tentang perjalanan kereta sepanjang dua setengah jam ini, kegelisahanku di dalam gerbong kereta dan para penumpang yang masih diterkam hawa kantuk luar biasa sekalipun tubuh mereka telah bersih dan wangi.
Sungguh, aku membayangkannya sebagai sebuah film dengan bagian awal seorang laki-laki yang berlarian tergesa ke loket stasiun karena kereta hampir berangkat. Kakinya hampir terpeleset ketika memasuki gerbong yang mulai bergerak perlahan. Perjalanan demi perjalanan tanpa suara. Hanya gerakan mata, langkah kaki, dan lanskap-lanskap yang berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Begitu turun dari kereta dan menjejakkan kaki di stasiun kotamu, mata lelaki itu akan bergerak memutari seluruh stasiun, menatap ratusan orang yang bergegas ke pintu keluar, para petugas kereta api yang sibuk, para calon penumpang yang sedang menunggu pemberangkatan dan para pengemis yang mulai berkeliaran di antara para penumpang.
***
Kau tentu belum lupa undak-undakan yang biasanya dilewati para penumpang begitu turun dari kereta itu bukan? Di situlah terakhir kali kita duduk berdua dengan tubuh berimpitan pada suatu sore, satu tahun setelah aku keluar dari klinik rehabilitasi jiwa, ketika suara-suara mengancam dalam benakku mulai mereda. Rasa-rasanya saat itu kita sedang memainkan adegan film menyedihkan senja itu. Seorang perempuan dengan mata bening dan pipi cembung, mulut kecil dan bibir tipis, tengah berada di simpang jalan perpisahan dengan seorang lelaki bodoh yang telah kehilangan banyak harapan pada kehidupan yang diarunginya. Aku membelai rambutmu yang panjang, menghapus air matamu dengan penuh kelembutan, sampai-sampai tak sadar bahwa kita telah menjadi tontonan orang-orang di dalam stasiun.
”Setelah ini mungkin kita tak bisa lagi bertemu. Ayahku tak pernah bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan bersama teman- temanmu. Ia menganggap dirimu dan teman-temanmu adalah perusuh dan generasi tak tahu diri,” katamu sembari memandang lekat ke dalam kedua biji mataku.
”Kau tak mau mengambil pilihan lain?”
”Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup,” ujarmu dengan tenggorokan turun-naik.
Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu lewat, aku tak bisa membedakan apakah kita sedang berpura-pura memerankan sebuah adegan menyedihkan dalam film ataukah tengah mengalami sesuatu yang benar-benar nyata, sebuah mimpi buruk yang tengah bersiap menerkam kedamaian hidupku. Warna langit sore begitu lembut, dan angin tajam yang menyisir kulitku saat itu seperti mengiris kenyataan pahit dan menghidangkannya padaku. Apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini? Masih kuingat jelas pesan ayahmu lewat telepon genggamku yang ia kirimkan tanpa sepengetahuanmu. ’Aku tak sudi memiliki menantu pemberontak dan berjiwa rusak sepertimu. Jauhi anakku, tak layak keluarga kami memiliki menantu yang mengidap sakit jiwa sepertimu!’
Dan kau, di ujung percakapan di undak-undakan lantai stasiun itu, memelukku untuk terakhir kalinya, sebelum kereta berangkat ke kotaku. ”Aku juga berlaku bodoh karena mencintaimu,” katamu.
***
Kini, begitu kakiku telah menyentuh stasiun kereta di kotamu, semua peristiwa yang mengikat kita berdua di masa lalu seperti hadir kembali dengan warna yang baru. Keluar dari stasiun kereta, aku menatap wajah kotamu yang sangat sibuk, ragu apakah harus berjalan kaki atau naik bis kota. ”Kau selalu tak bisa menikmati waktu setiap naik bis kota. Lebih baik jalan kaki daripada melihatmu selalu resah di dalam bis,” katamu setiap kali kita turun dari kereta dan akan naik bis.
Ingatan akan ucapanmu itu membuatku berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan. Langkah kakiku terhenti di benteng tua yang selalu kita singgahi setiap kali mengantarmu pulang ke rumah. Di salah satu ruangan benteng itu, di bagian yang paling gelap, aku pernah berteriak seperti orang gila menyebutkan namamu. Kau tertawa dalam kegelapan dan aku menikmati sensasi tawamu. Mataku benar-benar tak bisa melihatmu ketika tiba-tiba dari balik kegelapan kau memelukku erat-erat dan membisikkan kata-kata yang menenteramkan hatiku.
Untuk inikah aku melakukan perjalanan tolol yang tak pernah kau ketahui? Lihatlah taman kota yang penuh pohon beringin itu, undak-undakan yang ada di tengahnya, rumput hijau yang menutupi tanahnya, dan sinar matahari yang menyirami rerumputan dan seluruh pepohonan rindangnya. Ada sebuah bangku kecil dari kayu di tengah taman kota itu, tempat kita duduk dan menghabiskan sore hari ketika anak-anak kecil banyak berkeliaran di sini. Pernah kau bertanya padaku apakah aku akan suka punya banyak anak, dan aku menggelengkan kepala keras-keras.
”Aku tak mau diributi oleh teriakan dan tangisan mereka. Aku hanya ingin satu anak perempuan yang manis, berambut ikal dan berpipi cembung sepertimu!”
”Kau bodoh. Punya anak banyak sangat menyenangkan. Aku akan melahirkan banyak anak nanti, biar kau tak sempat menonton film atau membaca buku!” katamu sambil tertawa.
Taman kota ini, seperti halnya benteng tua, bioskop besar di pusat kota yang selalu kumaki karena kegelapannya menakutkanku, gedung kampus dengan bangunan tinggi yang tersebar seperti raksasa-raksasa bisu pada malam hari, dan sebuah kedai kopi yang tutup sampai larut malam di pinggiran kotamu, masih menyimpan aroma kayu putih dan bedak bayi yang sering kau pakai. Bahkan ketika kusentuh bangku kayu kecil di taman ini, perasaan melayang yang sama dengan mengisap aroma kayu putih di lehermu itu masih jelas dalam benakku. Aku selalu kehilangan diriku di saat seperti itu, melebur dalam sesuatu yang tak kupahami, sesuatu yang luas dan tak bisa kukendalikan. Hanya suara lirihmu, serupa rintihan lembut di ujung senja ketika aku masih kanak-kanak dan ibuku menyuruhku pulang ke rumah, yang menghadirkan diriku kembali ke dunia dan mendapati kau tengah menatapku dengan tatapan asing.
”Kau masih seperti anak kecil, bodoh,” katamu dengan senyum berbinar.
Sampai di depan bekas rumahmu, getaran perih itu tak pernah berkurang sedikit pun. Setelah bertahun-tahun kau tak di situ, tak ada yang berubah dari rumah itu. Sebuah rumah tua, dengan pintu kayu berukir, jendela-jendela panjang dan agak tinggi dengan jeruji kayu di baliknya, beranda dengan hiasan lampu tua, dan pagar kayu yang mengelilinginya. Sebuah taman kecil, penuh anggrek yang tertempel di pohon mangga serta kembang sepatu merah masih terpelihara dengan baik.
Kemurungan ganjil mengalir tak terbendung dalam diriku, melahirkan rasa sesal tak berkesudahan. Apakah manusia bisa terlepas dari kenangan? Apakah orang yang terjerumus dalam kenangan tak akan mampu memiliki impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya? Lalu untuk apa aku harus menjalani hari-hari seperti ini? Sepanjang perjalanan pulang kembali, aku selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu.
aku kok mengerti.. gak dapat gregetnya..
divamama123
12 Maret 2012 at 21:51
Iya nih… Gregetnya kurang dikit
😛
Roni Yusron
19 Maret 2012 at 22:31
iya mas dwi cip ini kurang konfliknya….
silmi
24 November 2013 at 12:59
Hmm, forgetable.
kucing senja
12 Maret 2012 at 21:52
wow…
abi asa
12 Maret 2012 at 23:20
Memang orang yang pernah kena depresi sampe masuk RSJ gak bisa sembuh total…. Contohnya tokoh diatas….
Lani Noor Hasibuan
13 Maret 2012 at 01:08
alur ceritanya kemana, gak jelas.
Yusriono
13 Maret 2012 at 07:01
so sweettt….mirip bgt dengan kisahku, sgt menyentuh hati…memang sangat sulit melupakan kenangan manis itu, sekalipun byk cinta yang dtg setelahnya, itu tdk akan rasanya…untung sy gk sampe gila pd saat itu. selama jantung msh berdenyut,xlalu msh ada harapan…hopefull!
elfrida siagian
13 Maret 2012 at 07:49
Cerita ini menurutku menarik sekali…bahasa kiasan yang begitu bagus..kisah ini menceritakan orang yang telah terjebak dalam kenangan masa lalu nya….sungguh aku bisa merasakan tokoh dalam cerita ini….
agus
13 Maret 2012 at 08:09
Setuju mas, rasanya sampai kapanpun kenangannya tidak akan hilang
rimba raya
10 April 2012 at 15:46
jadi pengen nangis bacanya…
naomi
13 Maret 2012 at 08:44
agak susah si, tapi setelah diikuti dengan sungguh2 dapet juga. :), unik alurnya, walu lompat2 tapi tetep mengerti, Penulis nya juga menempatkan diri sebagai pembaca, jadi setiap waktunya dijelaskan oleh penulis, dengan jelas dan ringkas. penggunaan kata2 nya pun indah, tak begitu memaksa. sukses bwt penulis!
mamo
18 Maret 2012 at 16:11
Meskipun terasa ada yang ‘hilang’ dari cerpen ini tapi maksudnya lumayan mengena. Kalo belum pernah kehilangan pasti nggak akan bisa meresapi perasaan tokoh cerita.
Yuli Widyastuti
13 Maret 2012 at 11:28
Setuju……… Org yg tdk pernah merasa kehilangn akan menganggap itu adlh hal bodoh. Tp org yg pernah mrs kehilangan akan melakukan halj yg sama
mamah cuci
13 Maret 2012 at 20:52
Setuju gan…
agus
13 Maret 2012 at 22:52
Benar, menilai suatu cerita tidak bisa lepas dari aspek subjektif si penilai (baca: pembaca). Kalau cerita itu secara aposteriori mirip-mirip dengan si penilai tentu akan mempengaruhi proses (kemudian hasil) pembacaan. Tapi tentu saja, ya, si penilai tidak boleh sama sekali lepas dari objektivitas, kemudian menghakimi pembaca lain (secara ad hominem) dengan alasan yang subjektif pula. Tak berarti pengunjung restoran yang tak pernah membuat sushi, tak bisa menilai sushi itu enak atau tidak, kan?
Menurut saya sih begitu.
miftah fadhli
14 Maret 2012 at 13:16
Majnun di era reformasi ini. Kasian banget tokoh kita ya. Tega-teganya penulis menelangsakan jiwanya, ckckckc.
Kompas kasih suasana yang berbeda minggu ini. Kisah asmara di balik tragedi pemberontakan anak muda Tanah Air.
Buat penulis, selamat ya. Nimbrung juga dong di sini 😀
Four stars 🙂
dedees
13 Maret 2012 at 12:10
sedikit romantis ketika membayangkan mengalami kisah yang dituliskan penulis ketika mengingat masa lalunya bersama kekasihnya. akan tetapi ketika tersadar hanya mampu menikmati masa lalu dan hanya harapan- harapan kosong, menjadi ada waktu yang sia- sia jika hanya larut dalam masa lalu…
arumjournalis
13 Maret 2012 at 14:34
endingnya gak ketemu kan ini>>?
pencarian yang sia-sia dan akan terus dilanjutkan, bukan?
zhafrel
13 Maret 2012 at 16:45
kya’nya gitu..
mamo
18 Maret 2012 at 16:14
ceritanya mengalir dan enak dibaca, tapi kurang greget….
Adryan Yahya
13 Maret 2012 at 17:07
suka sekali dengan bahasanya. ada kehampaan terasa setelah membacanya…membuat mata berkaca-kaca.
toto haryanto
13 Maret 2012 at 17:47
biasa aja nih, gak ada yang istimewa.
hmmmmhhh kompas, kompas.-
ijal
13 Maret 2012 at 18:24
bahasanya enak dan mudah di cerna, tapi endingnya ko serasa ada yang kurang..
efoel
13 Maret 2012 at 19:29
Cinta memang bodoh dan sulit dimengerti………..
mamah cuci
13 Maret 2012 at 20:46
Nyaman dibaca, tapi datar. Kurang greget.
Sayang sekali, ada komentar yang terkesan nge-junk di sini.
Argha Premana
14 Maret 2012 at 11:38
Romantisme tragis…….sebenarnya tema ini sudah klise, produk karya-karya sastra tempo dulu…..tapi karna dikemas bersama kisah sedih para aktivis reformasi yg pernah menggaharu biru negeri protagonis cerita (aku), ceritanya lumayan menarik………sayang imajinasi penulis kurang jitu untuk membuat akhir yang menusuk atau menantang…….terlalu datar
Mario P. Manalu
14 Maret 2012 at 19:10
Sepertinya cerpen ini sangat terpengaruh cerpen Ramadira yang hujan membawaku kepadamu..menurutku sih begitu
Khotiek
14 Maret 2012 at 23:34
waduuuhhh….. tumben tukang bakso hobi baca cerpen, biasanya kan hobi baca primbon
hahahahahahaaha…..
petani
16 Maret 2012 at 03:50
Memang kenangan masa lalu sulit untuk dihilangkan……..
Bahasa yang dipakai terlalu panjang dan bertele-tele…….
dan kurang menarik.
Edy SC
15 Maret 2012 at 13:29
lumayan daripada ngk ada yang dibaca…. sambil nunggu gerobak bakso.
Tukang Bakso
16 Maret 2012 at 00:07
Mungkin inilah yang dinamakan karya sastra, tak tersentuh oleh imajinasi yang hanya berfikir satu kali,…
rantinghijau
16 Maret 2012 at 16:40
berpikir dua kali hasilnya?
ijal
17 Maret 2012 at 16:32
Hasilnya tentu lebih baik ketimbang hanya ‘sekedar’ membaca,…
😀
rantinghijau
17 Maret 2012 at 21:22
Hmmmm…bingung menterjemahkan …….
agus
18 Maret 2012 at 00:12
sekali lagi setiap komentar memandang dari sudut pandang saya…alih – alih dari sudut pandang saya, kita mereka……
adi suyanto
18 Maret 2012 at 14:33
Pilihan katanya sangat bagus. Menarik untuk dibaca meskipun konflik kurang greget.
Belfin Ps
18 Maret 2012 at 20:25
dak taulah…………..
sonya ramadhani
19 Maret 2012 at 14:19
wow, saya jd ikutan berminat buat belajar nulis nih, mohon komentarnya di tulisan novel blog saya ya, masih amatiran sih : http://blackseru.wordpress.com
blackseru
19 Maret 2012 at 19:50
aku bisa merasakan sedihnya kehilangan, tapi kayaknya ending-nya kurang gimana gitu…
anak baru
20 Maret 2012 at 16:32
cerpen yang menawan hati bravo. Datang dan pergi ke kota di mana kau tinggal, tetapi aku hanya melihat rumah mu dari seberang pagar. berharap kau muncul di depan pintu, tetapi kau tidak pernah muncul dan aku pulang ke kota-ku untuk kembali esok hari-nya. terus menerus hingga usia-ku berakhir.
Ibnu Bhineka
22 Maret 2012 at 10:46
………..Apakah manusia bisa terlepas dari kenangan? Apakah orang yang terjerumus dalam kenangan tak akan mampu memiliki impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya? Lalu untuk apa aku harus menjalani hari-hari seperti ini? Sepanjang perjalanan pulang kembali, aku selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu….
Hemm….ending yg indah….semua org tentu pernah merasakan ini…
Arum
22 Maret 2012 at 19:37
Apakah seorang pria bisa sampai separah itu kelakuannya.. bolak balik sebuah kota hanya untuk membuka luka lama… kurang kerjaan amat.. yang lalu ya udah biarkan berlalu.. knp nggak buka lembaran baru… wqh sakit tuh orng..
luv_u
26 Maret 2012 at 00:09
bisa neng,
ini bisa terjadi, memang mungkin penyakit jiwa,
cinta
namanya
djoko
27 Maret 2012 at 06:44
25 tahun yng lalu, persis seperti ini,….bedanya kini dia tlah tiada,….menghadap Yg Maha Kuasa…..
jam's
26 Maret 2012 at 09:25
hmm…
ternyata sedikit banyak, aku menghidap penyakit gila seperti di tokoh ini,
walau datar, tapi itulah hidup yang sedang kehilangan arah, terasa hampa dan datar
seberapa besar pun gejolak yang pernah dilalui sebetulnya
djoko
27 Maret 2012 at 06:41
endingnya kurang wah!!! datar!!
tri
28 Maret 2012 at 15:39
horeeee dapat tugas meneliti cerpen iniii, gimana ini yaaaa?hehehe
mila
28 Maret 2012 at 23:43
ah, kenangan…
reno
30 Maret 2012 at 16:00
SElamat
Omo
30 Maret 2012 at 17:37
endingnya ga greget. si tokoh laki2 dan perempuan kurang dideskripsikan dengan baik, apa bapak si cewek pejabat atau intel kok anaknya bisa nylametin pacarnya dari daftar untuk “disingkirkan”? ending ngambang dan ga jelas, tidak mengarah satu kesimpulan yang bisa ditarik pembaca
rafsya
31 Maret 2012 at 19:24
Menurut saya bagus cerita ini, apalagi disusun dalam bahasa yang bagus. Selamat buat penulis.
rimba raya
3 April 2012 at 11:47
Cerpen ini hampi sama kaya Novel puthut eA (Cinta Tak Pernah Tepat Waktu).Bagus juga ceritanya sape aku jadiin kliping heheh
Morque Vanguard
7 April 2012 at 04:35
larut dalam kenangan?
Kita mmg tdk seharusnya melupakan masalalu, tapi untuk larut didalamnya, mgkin kita harus berpikir berkalikali.
Karena msh ada masa depan utk disongsong ^^
tp saya ttp apresiasi pada author, great job!
Ryzkiesomnia
11 April 2012 at 16:32
sepertinya familiar dgn penulis tulisan kayak gini….
hmmm…….
RetakanKata
14 Mei 2012 at 09:43
kenangan, ia akan hadir memburu
lintar
5 Juni 2012 at 21:32
I got you Mas Cip 🙂
Slamat P Sinambela
25 Juni 2012 at 11:57
cerita yg unik
زينل إقبال (@zainul_rocklee)
26 Juli 2012 at 14:34
walau aku tak tahu rumahnya.tapi aku membayangkan itu dia di pinggir jalan itu.setiap lewat rumah itu ada getaran aneh dalam dada.cinta pertama.telah membisu dalam dada.dan aku tak kuasa menghalaunya.karena aku begitu menikmatinya.walau aku tak pernah menemukan sosok dia di depan rumah itu tapi aku rasakan getaran aneh.
cinta…. telah hadir disaat kita bersama dulu.dan kini masih melekat di sini.di dada ini. pedih rasanya bila mengenang semua. pahit untuk ditelan. pahit banget.
walau perjalananku sia-sia tapi aku sudah puas melewati rumah itu. setidaknya aku bisa merasakan ada kau di dalam rumah itu. cinta… oh cinta…
terima kasih penulis… kau telah membangkitkan kenangan gila ini. walau sakit tapi akan aku nikmati.
hapex
28 September 2012 at 11:12
mblo, muvon mblo
HeruLS
7 Oktober 2012 at 00:04
Penulisnya cakep ga eaa…?
andy boy
11 November 2012 at 20:13
sudah berkali-kali saya baca cerpen ini, tak pernah bosan…
saya suka tenik penulisannya, isi ceritanya, gaya bahasanya, keren banget…
pengen banget nulis kaya gini, susah sekali..
fitria
31 Oktober 2013 at 12:05
sama …berkali2 juga aku membacanya….gk pernah bosan
Aguz
5 November 2013 at 00:21
Sebuah ungkapan cinta yang obsesif, ganjil bagi orang lain, menyakitkan, namun membuat kecanduan. Sebuah penulisan yang sangat bagus dan menyentuh…..terima kasih penulis.
erikhasman
17 April 2014 at 14:42
PROMO BESAR-BESARAN OLIVIACLUB 100%….!!!!
promo oliviaclub kali ini adalah promo deposit akan mendapatkan bonus chip sebesar nilai deposit yang disetorkan
jadi untuk para pecinta poker oliviaclub yang sudah lama mendaftar ataupun yang baru melakukan register.. akan bisa mengikuti promo ini…
SYARAT DAN KETENTUAN
1.pemain dapat mengklaim bonus promo melalui live chat kami
2.pemain yang mengikuti promo tidak akan bisa melakukan WD sebelum turnover/fee/pajak belum mencapai 30 x lipat dari angka deposit.
3.minimal deposit untuk promo ini adalah Rp.50.000
maximal deposit adalah Rp.200.000
apabila ada pemain yang melakukan deposit diatas 200rb rupiah..
hanya 200rb yang akan di hitung untuk mendapatkan bonus
promo ini
4. apabila pemain melakukan deposit sebanyak 50rb akan
mendapatkan bonus 50rb.. dan apabila chip habis dan melakukan
deposit 50rb lagi maka harus menunggu selama 6 jam terlebih
dahulu sebelum dapat mengklaim bonus 100% dari
angkadeposit..
batas maksimal klaim bonus tetap max deposit 200rb per hari
5. klaim bonus promo berlaku 1×12 jam..
para pemain diharuskan mengklaim bonus sebelum bermain..jika
ada pemain yang melakukan deposit dan bermain..
baru setelah bermain mengklaim bonus..maka tidak akan dilayani
6.PROMO OLIVIACLUB ini dapat berakhir sewaktu waktu tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu
7.keputusan pihak OLIVIACLUB tidak dapat diganggu gugat dan
mutlak
CARA MENGKLAIM BONUS PROMO :
1.setelah melakukan register dan deposit maka pemain harus melakukan login dan masuk ke menu memo,tulis subjek klaim voucher promo
2.admin OLIVIACLUB akan segera membalas memo anda dan
memberikan kode voucher.
3.setelah menerima kode voucher silakan menuju menu deposit
isi kan formulir deposit sebagaimana anda biasa melakukan deposit.
setelah itu pada kolom keterangan di menu deposit silakan anda tuliskan kode voucher yang telah diberikan
4.silakan gunakan jasa live chat kami untuk membantu anda dalam mengklaim bonus PROMO OLIVIACLUB
WARNING….!!!!!
apabila pemain belum melakukan deposit dan mencoba untuk mengklaim bonus.. maka id akan kami blokir/delete secara permanen.
transfer chip tidak di perbolehkan dan akan di tindak tegasS
regallia soh
11 Juli 2014 at 02:58
Ternyata aku sudah pernah baca cerpen ini di salah satu buku kumcer Kompas yg pernah kubeli bertahun2 lalu, Cip 😁
Sugi Siswiyanti
9 Maret 2020 at 23:02
Selalu enak dibaca walaupun berulang-ulang
erik
15 April 2021 at 08:51