Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Biografi Kunang-kunang

with 59 comments


Pada malam hari, ibumu akan menjadi kunang-kunang, terbang ke hamparan bunga-bunga, ke sepanjang jalan, menelusuri remang cahaya, hinggap di daun-daun, berteduh dari embun, lalu terbang lagi, ke atap rumah, ke tiang listrik, ke bawah jembatan. Ibumu menjadi kunang-kunang sepanjang malam, mencari kamu yang sudah lama hilang.

”Di mana kamu, anakku? Di mana?”

Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ibumu—kunang-kunang itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, ibumu selalu setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk kembali di malam berikutnya….

***

Ceritanya akan selalu seperti itu, turun-temurun. Di kampung sepanjang bantaran Sungai Logawa ini, kalau ada seorang anak yang kehilangan ibunya, entah meninggal atau minggat dengan lelaki kota, maka orang-orang akan menghibur dengan cerita itu, mereka akan mengatakan bahwa ibunya sekarang sudah berubah menjadi kunang- kunang yang rajin mengunjunginya. Meski tak berwujud manusia, anak itu harus sadar bahwa sang ibu masih benar-benar ada, masih suka berdiam di dekatnya, terutama di malam hari, untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya.

Sejak dahulu aku tak benar-benar percaya dengan cerita tersebut, sampai malam ini aku mendengar penuturan Antiona, gadis kecil yang baru sebulan lalu ditinggal sang ibu, menikah lagi dengan seorang pengusaha. Aku memang suka menemani Antiona yang kesepian, ia tinggal sendiri bersama sang Kakek, sementara ayahnya juga sudah tiada, menjadi korban tabrak lari oleh sebuah bus jurusan Surabaya-Yogyakarta.

Antiona berkisah padaku, bahwa semalam ia baru saja bertemu ibunya. Awalnya aku tak terkejut, sebab bisa saja ibunya memang berkunjung ke desa ini untuk menjenguk Antiona. Tetapi gadis itu berkata bahwa ibunya sudah menjelma kunang-kunang, dan ia melihat kunang-kunang itu terbang di luar kaca jendela kamarnya.

”Lalu? kamu buka jendelanya?” Tanyaku.

”Iya, kubiarkan kunang-kunang itu masuk, lalu tidur di sampingku, di atas kasur.”

”Terus?”

”Terus aku tidur dan bermimpi, dalam mimpi itu, aku benar-benar bertemu Ibu.”

”Jadi, kamu bertemu ibumu cuma dalam mimpi?”

”Iya.”

”Besok paginya bagaimana?”

”Besok paginya kunang-kunang itu hilang.”

”Hilang?”

”Iya. Hilang begitu saja.”

Wajah Antiona berakhir sedih. Namun saat itu juga pikiranku melayang jauh. Setelah berpamitan dan meninggalkan rumah Antiona, cerita itu seperti berputar kembali untuk diriku sendiri.

Aku membayangkan ibuku masih hidup sampai saat ini, sampai detik ini, dan dia pun amat merindukanku malam ini.

Tetapi, siapa ibuku?

Barangkali ibuku memang pelacur. Ya. Sudah jadi rahasia umum, bahwa aku hanya anak pungut yang ditemukan warga dan sempat dititipkan ke keluarga kepala desa, sebelum akhirnya diserahkan ke seorang nenek di gubug dekat masjid yang kesepian. Awalnya aku adalah bayi menangis di dalam kardus mi, menangis di bawah tiang lampu dekat pos ronda yang remang-remang.

”Dulu, kamu ditemukan warga di bawah sana,” Kata Nenek angkatku.

”Siapa yang membuang aku, Nek?”

”Mungkin saja ibumu.”

”Kenapa ibu membuangku, Nek?”

”Tidak tahu.”

”Terus ibu ke mana?”

”Tidak tahu.”

”Apa ibu tidak rindu aku?”

”Tidak tahu.”

”Apa Nenek mau bantu aku mencari ibu?”

”Hmm, tidak tahu.”

Lalu desas-desus pun mengiringi pertumbuhanku, ketika aku beranjak empat belas tahun, ketika aku dianggap sudah mulai bisa mengingat dan menampung kenangan, setiap tetangga berusaha memberikan versinya masing-masing tentang asal-usulku.

”Biasanya, yang suka membuang bayi adalah perempuan yang masih muda, masih SMA.”

”Betul itu, mungkin ibumu masih sekolah, dan ditinggal pacarnya sehabis dihamili, jadi kamu dibuang karena tidak dikehendaki.”

”Eh, tapi mungkin saja kamu dibuang suster rumah sakit, karena orangtuamu tidak bisa membayar biaya persalinan, sekarang kan banyak kasus seperti itu.”

”Atau kamu ini korban penculikan, orangtuamu tak sanggup membayar uang tebusan.”

”Atau mungkin kamu harus terima kalau ibumu memang pelacur. Wanita yang jadi pelacur memang suka membuang bayi yang telat diaborsi, sudah biasa itu.”

Semakin lama, kisah tentang asal-usulku membuatku pusing, namun aku sempat heran, mengapa tak ada yang menghiburku dengan cerita yang beredar di kampung ini, bahwa ibuku sudah menjelma kunang-kunang, dan hingga kini masih setia mengunjungiku setiap malam.

”Cerita itu hanya ditujukan untuk menghibur anak-anak yang benar-benar berasal dari kampung di tepi Sungai Logawa ini, diketahui jelas siapa ibunya, dan karena alasan apa perginya. Sementara kamu sudah pasti bukan dari kampung ini, karena sewaktu kamu ditemukan, orang-orang langsung lapor ke kantor polisi, beberapa hari dilakukan pencarian, tidak ada hasil, tidak ada seorang warga pun di sini yang merasa kehilangan atau ketahuan membuang anaknya. Jadi, pasti kamu dibuang orang dari kampung lain.”

Begitu penjelasan Nenek angkatku, ia suka berbicara sambil mengunyah sirih. Sebenarnya aku juga tidak terlampau berharap mereka akan menghiburku dengan cerita semacam itu, sebab toh cerita itu sangat tidak masuk akal, mana ada seorang ibu yang bisa menjelma kunang-kunang? Semakin bertambah umurku, aku semakin tidak percaya.

Tetapi semuanya nyaris runtuh setelah penuturan Antiona malam ini, entah mengapa aku merasa kisah kunang-kunang itu benar adanya. Barangkali memang tak ada yang mustahil di dunia ini.

Malam sudah larut, aku berjalan pulang dari rumah Antiona dengan setengah melamun, melangkah sendirian di jalanan kampung. Dan di sebuah perempatan yang remang, beberapa ratus meter sebelum rumahku, tiba-tiba kulihat seekor kunang-kunang terbang rendah di dekat tanah. Aku terheran-heran. Kunang-kunang itu sendirian saja, berkedip lemah.

Tunggu.

Apakah ia adalah jelmaan seorang ibu yang anaknya ada di kampung ini? Apakah ia ibu dari Antiona yang kemarin malam terbang di luar jendela?

Apakah ia ibuku yang pernah membuangku ketika aku masih bayi?

Kudekati kunang-kunang itu, kuambil salah satu botol bekas yang berserak di tempat sampah. Aku membentuk cekungan pada telapak tangan kiri untuk menggiring kunang-kunang itu masuk ke lubang botol, lalu aku menutupnya dengan telapak tanganku. Anehnya, kunang-kunang itu menurut begitu saja.

Kunang-kunang itu sekarang ada dalam botol, cahayanya tak memantul, ia terbang kesana-kemari, sepertinya kebingungan, berpindah-pindah pada dinding botol. Aku setengah berlari menuju rumah, langsung ke kamar, untung saja Nenek sudah tidur, jadi tak tahu apa yang kulakukan. Kututup bagian atas botol dengan plastik dan karet, lalu kuletakkan di atas meja. Dan seperti cerita Antiona, aku berharap malam ini bisa bertemu ibu, agar aku bisa tahu wajah ibu, walaupun hanya dalam mimpi.

Sambil merebah di atas tempat tidur, masih bisa kunikmati cahaya lemah kunang-kunang itu, hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya.

***

Entah sudah berapa jam berlalu, aku terjaga karena sebuah guncangan kecil, tetapi cukup untuk membuatku tergagap bangun, kemudian segalanya menjadi terasa amat ringan. Tubuhku seperti melayang di udara. Dan ketika perlahan kubuka mata, tampak seorang lelaki dan seorang wanita sedang duduk dengan pandangan mata yang mengarah kepadaku.

”Jadi ini kunang-kunang yang semalam tidak mau pergi?” Tanya si laki-laki sambil mengernyitkan dahi. Si wanita lantas tersenyum.

”Benar, aku menangkapnya dengan mudah, kumasukkan ke dalam botol.”

”Untuk apa sih? Kurang kerjaan saja.”

“Lho, kamu tidak tahu, ya? Di desa sepanjang bantaran Sungai Serayu ini, semua wanita yang pernah kehilangan anaknya, entah meninggal, hilang, diculik, atau dibuang, selalu percaya tentang sebuah cerita konyol yang diwariskan turun-temurun.”

”Cerita konyol?”

”Iya. Cerita bahwa anak mereka yang hilang itu masih selalu hadir dalam wujud yang lain, yaitu berwujud kunang-kunang. Jadi, kutangkap saja kunang-kunang yang kesepian ini. Soalnya, kalau melihat kunang-kunang, aku selalu teringat cerita yang sungguh tidak masuk akal itu. Lucu, ya? Mana ada anak-anak yang bisa menjadi kunang-kunang? Konyol sekali, kan? Ha ha ha.”

Wanita itu terbahak-bahak, namun si lelaki sepertinya tidak tertarik untuk ikut tertawa, kulihat ia justru mengernyitkan dahi.

”Nalea…” Panggil si lelaki tiba-tiba. Dan wanita itu pun berhenti tertawa.

”Ya Sayang?”

”Aku jadi berpikir…”

Lelaki itu menghentikan ucapannya, kini keduanya berpandangan, tak lagi menatapku.

”Berpikir apa?”

”Apa benar kata orang-orang, sebelum menikah denganku, kau sudah pernah punya anak?” Lelaki itu bertanya sambil menatap wajah si wanita dengan tajam. Wanita itu tiba-tiba terdiam.

Aku seperti akan merasakan keheningan yang amat panjang di antara mereka, sampai akhirnya wanita itu tampak tersenyum tipis, lantas memeluk tubuh si lelaki,

”Tentu belum pernah, Sayang…”

Situbondo, 2010

Written by tukang kliping

3 Juli 2011 pada 06:28

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

59 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Wah, bagus & kreatif. Terima kasih mau share. Keep posting ya.. 🙂 *saya gak langganan kompas soalnya hehehe..

    Rizal

    3 Juli 2011 at 06:57

  2. tulisannya bagus sekali…kirain masih belom selesai.

    Kei

    3 Juli 2011 at 07:04

  3. belum sempat baca karena penglihatan saya masih berkunang-kunang, tapi kayaknya bagus soalnya udah bisa masuk koran kompas.

    LaluLombok

    3 Juli 2011 at 08:18

  4. hem…idenya bagus, diceritakan dengan lancar, kelokan2 ceritanya mulus, endingnya surprise…Selamat Sungging!

    Arumbinang

    3 Juli 2011 at 08:22

  5. 3 cerpen Sungging Raga hari ini sama-sama dimuat. Rupanya absen selama 2 bulan membuat dia mengumpulkan tenaga. Dan minggu ini Raga mengamuk!!

    Abdul Hadi

    3 Juli 2011 at 08:29

  6. met pagi.
    Tak ada kunang2 pagini. Semalam juga tak ada. Mungkin lantaran dt4 q tak da ibu yg pergi taupun anak yg hilang.

    ugi

    3 Juli 2011 at 08:35

  7. lagi-lagi koran kompas menyuguhkan tentang kunang-kunang!!! halla sepeti ada hubunganya antara kunang-kunang dengan cerpen di kompas….

    hahhahaaaaaaaaaa….tetapi uokkkeeeeelah….dari pada cerpen saya tidak pernah terbit di kirim ke kompas…ya udah terbitin sendiri za

    menulisokejar

    3 Juli 2011 at 09:34

  8. wah, cepat sekali Bung Tukang Kliping. Tak seperti biasanya. Hehe

    miftah fadhli

    3 Juli 2011 at 12:26

  9. Mirip dengan banyak tema cerpen kompas lain, penuturnya anak di luar nikah. Berharap ada cerpen-cerpen yang mengangkat tema serupa tapi dikemas beda.

    anev

    3 Juli 2011 at 19:51

  10. akhrirnya seteLah kubaca cerpen yang ceritanya benar2 pendek ini, bagusssssss ^_^

    puput juni prayitno

    3 Juli 2011 at 19:56

  11. Cerpen ini memiliki kesederhanaan penuturan yang dikreasikan dengan kreatifitas yang bagus. Ending cerpen ini membuat saya teringat pada ending ‘No Country for Old Men’ yang memberikan ending yang menggantung. Rupanya penulis hendak memberikan kebebasan bagi pembaca untuk mengkhayalkan apa yang terjadi setelah ending cerita itu terjadi. Bagi saya, cerpen ini adalah cerpen yang ringan tapi tak murahan. Two thumbs up !

    Ardi Pramono

    3 Juli 2011 at 21:01

  12. Membaca cerpen ini seperti berada di sebuah perahu dan tak terasa sudah sampai di tepian tujuan…

    mataairmenulis

    3 Juli 2011 at 21:18

  13. seperti makan kerupuk… sebentar ditelan begitu saja, gak meninggalkan kesan di lidah

    Adhi

    3 Juli 2011 at 21:56

  14. menunggu paman penulis stensilan.. jgn jgn lama ga nongol krn ktangkep UU ITE.. wkwk..

    bulik

    3 Juli 2011 at 21:57

  15. mantaph raga!!1

    Budi Setiyarso

    3 Juli 2011 at 22:22

  16. paman kok blum hadir yaaa…

    pasir

    3 Juli 2011 at 22:35

  17. saya suka sekali pembukaannya.. membuat saya membayangkan sebuah adegan yang hidup dan bergerak

    gibb

    3 Juli 2011 at 22:49

  18. Iya benar, lagi-lagi kunang-kunang, tidak si ini tidak si Djenar. Ingat tidak cerpen kemarin yang menceritakan ikan dan perahu lalu anaknya sampai ke tengah lautan? Saya kira konsepnya sama persis. Lagi ngetren rupanya nih ending yang digantung? Banyak sekali yang seperti itu.
    Cerpen yang terlalu lemah untuk dibaca oleh saya, tidak ada aromanya!
    Kapan saya menemukan cerpen yang benar2 orisinal, tidak latah? Kurangajar sekali, saya kecewa!

    Dasuki Ruslam

    4 Juli 2011 at 01:21

  19. @Abdulhadi: benar, selain di Kompas cerpen Raga juga terbit di Suara Merdeka dan Lampung Post. Tapi ia bersaing dengan Dadang “Rashomon” Ari Murtono yang dimuat 2 cerpennya di Jurnal Nasional dan Suara Pembaruan.

    Rozak

    4 Juli 2011 at 13:42

  20. Walaupun cerpen saya tidak pernah diterima kompas, tapi entah kenapa agak terlalu hambar cerpen ini kurasa. Apa hikmahnya?

    zozocrocodile

    4 Juli 2011 at 16:39

  21. Cerpenna begus cak. . .
    Teros agebey cerita se lebih begus pole. . .

    Sry ni pke bhs inggris timur. Soalnya yg ngrim dri tmur sih. . Trpaksa deh aq ikutn nongol. .
    Ha ha ha. . .

    wong alus

    4 Juli 2011 at 16:57

    • Subhanallah,,, cerita yang menarik

      maaf, klo’ bleh tw penulis cerpen ini benar dari Pulau Garam y??

      alhamdulillah,,,
      ikut bangga 🙂

      faiqahnalini

      1 Agustus 2011 at 02:21

  22. Tak terlalu menarik. Saya pikir penulis langganan Kompas akan memberi yang luar biasa, nyatanya hanya yang biasa.

    welli

    4 Juli 2011 at 19:20

  23. Bagus 🙂
    Saya suka.

    Rainiku

    4 Juli 2011 at 21:28

  24. kupikir, ini jauh sekali dari “sebuah rencana hujan”-mu dan beberapa karyamu yang lainnya, raga

    benny arnas

    5 Juli 2011 at 01:00

    • “Sebuah Rencana Hujan” itu benar2 berasa… bahkan aku iri, bisa2-nya ia menulis cerpen sebagus itu. Entah alur, entah ending, entah penokohan, entah deskripsi, dan entah pesan moralnya… semuanya, baguss…
      setaralah sama “Percakapan Pengantin”.. ^^

      Somad

      5 Juli 2011 at 20:42

    • Sepertinya yang berkomentar atas nama somad dan benny arnas ini satu orang yang sama.

      welli

      5 Juli 2011 at 21:14

    • welli, kalau anda bisa meneliti IP dari PC atau laptop kami, akan lebih baik. anda akan tahu dari mana somad mengetik komentarnya, di mana ia berada–atau paling tidak apakah tempatnya berdekatan dengan saya. itu akan ketahuan, kalau anda mau melakukannya, karena memang ada caranya.
      saya selalu memakai nama dan email asli ketika berkomentar. perkara somad membawa-bawa “percakapan pengantin” itu bukan urusan saya. terimakasih

      benny arnas

      6 Juli 2011 at 06:35

  25. congrats buat bung raga…!!!
    saya suka cerita kunang-kunang versi anda ini (mengingat sangat tidak bermutunya cerita kunang2 nya kolaborasi Djenar dan Agus Noor pada Koming bbrp edisi yang lampau)

    adib

    5 Juli 2011 at 11:14

  26. Sedikit terganggu antara Sungai Logawa dan Serayu.

    Aba

    5 Juli 2011 at 14:11

    • ide awal cerita ini malah dr Serayu & Logawa yg bagi saya seperti ibu & anak yg dipisahkan (Logawa kan anak sungai Serayu), ditambah lagi keduanya sama-sama jadi nama kereta ekonomi yg arahnya berlawanan 180 drajat (Serayu ke Jkarta, Logawa ke Surabaya).. tp jujur saya memang ngerasa nggak enak bikin mitos fiktif tntang keduanya.

      S. Raga

      5 Juli 2011 at 19:02

  27. lumayan lah,,..slamat udah masuk k cerpen kompas… walopun saia seperti mmbaca dongeng sebelum tidur…hehe,,ntah karna mank saia bodo dalam hal ini ataupun tidakk(maklum bru lahir)… saia serahkan saja koment yank mgkin bih baik lagi yang membangun karya sastra ini,,kpda ahli jurnal si pak tova zen ataupun sesepuh paman stensilan. 

    numpanglewat

    5 Juli 2011 at 14:24

  28. @Raga: O, gitu ya. Awalnya saya kira seperti ketelisut set. Seperti, kalau di seputar saya ada dua sungai, Sungai Pasanggrahan dan Sungai Grogol. Tx…

    Aba

    5 Juli 2011 at 23:40

    • Serayu & Logawa sama2 diambil sbg nama kereta yg ditakdirkan berlawanan arah. saya pikir itu saja sudah cukup untuk memantik imaji.. skrg saya nggak ngerti maksudnya ketlisut set.. mungkin bisa dijelaskan tentang Pasanggrahan & Grogol?

      S Raga

      7 Juli 2011 at 18:45

  29. Hai, teman2 malam.

    Aku jadi tidak berharap untuk menjadi kunang2 apalagi menangkapnya dan memasukannya ke dalam boto 😀

    Peri Mati

    6 Juli 2011 at 22:52

  30. Sudah kupikir-pikir, siapa si laki-laki dan si perempuan. Aku sempat berpikir si perempuan ibu dari si tokoh. Tapi kok gak ya.

    Cerita ini melorot jauh dari cerpen SR sebelumnya.

    Hatees

    6 Juli 2011 at 23:14

  31. Sederhana…bagus…tapi emang…agak sangat light banget…emang tar dan nikotinnya diturunin ya raga….
    biar kita gak ketagihan terus…..bravo buat dirimu….

    btw paman gelo kemana ya? atau kangen nich ma “A” yang sepertinya sudah menjadi kunang2

    robay

    7 Juli 2011 at 20:09

  32. # Hatees _ saya malah berfikir bahwa Si Perempuan adalah Ibu dari tokoh utama. Cobalah anda membanya sekali lagi.! (jika benar interpretasi saya..)

    # Robay _ hahaha.. Iya. Si “A” mana? Biasanya di cerpen Sungging Raga, dia muncul terus dan mengatakan bahwa ada orang yg memakai nick name “S. Raga”. Hahaha..

    Abdul Hadi

    8 Juli 2011 at 06:57

  33. @pak robay n pak Abdul Hadi: betul tuh, biasanya si “A” suka grecokin cerpen om Raga. Kayaknya si “A” lagi berteduh di pos ronda yang lagi dihujani salju, trus si Paman lagi kelimpungan pake sendal jepit nyariin si “A”.. hehehe

    adib

    8 Juli 2011 at 09:35

  34. Sudah lama gak komen di sini, komen ah. Raga mantappp…!!!

    Bamby Cahyadi

    8 Juli 2011 at 18:02

  35. bagus. tapi tak istimewa.

    abdi procel

    9 Juli 2011 at 23:46

  36. thanks buat bang kipling.keep sharing….berkah dunia akhirat…

    boehar

    10 Juli 2011 at 11:05

  37. waaaaaaaaaah
    ai laik so mach, deh^_^

    Jakfar Enderrimtare Sodiq

    10 Juli 2011 at 20:01

  38. kalo bisa, di post juga penulisnya siapa, terus tanggal terbitnya di kompas…
    ^_^

    tika

    12 Juli 2011 at 09:04

  39. terus berkarya ya mas raga 🙂

    Ratri

    15 Juli 2011 at 19:35

  40. didaerahku ga ada kunang2,(almh)ibuku jadi apa ya…(alfatehah)

    adikobonks

    16 Juli 2011 at 14:25

  41. aku malah bingung karo endinge ngging..hehe tapi lancar jaya narasimu. seperti hujan dipagi yang terkadang tak terduga

    Abednego Afriadi

    18 Juli 2011 at 10:13

  42. suka bgt sm cerita ini 😀

    metakajo

    29 Juli 2011 at 22:00

  43. bagus nih. sayang di jakarta ga ada kunang2 😦

    monica devi

    24 Agustus 2011 at 20:08

  44. endingnya mulus… ironis banget yaa.. malah anaknya yang jadi kunang2..

    blogkubicara

    4 September 2011 at 16:28

  45. awal-awal menyentuh. Selanjutnya biasa.

    zahra

    21 September 2011 at 06:54

  46. Beberapa kali baca tulisan Anda pasti ada saja selipan nama tokoh ‘Nalea’.
    Siapa yah…? kebetulankah?
    cerpennya bagus2 Raga. ^_^b

    itaita

    9 November 2011 at 15:25

  47. bagus

    pardan

    20 Desember 2011 at 17:02

  48. cerpen yg bagus…

    ciunk

    23 Desember 2011 at 00:36

  49. Membacanya, menikmatinya. Bagus. Terlebih endingnya.

    Beda Saja

    25 Desember 2011 at 17:07

  50. […] Charlie), Ikan Kaleng (Eko Triono), Pring Re-Ke-Teg Gunung Gamping Ambrol (Seno Gumira Ajidarma), Biografi Kunang-Kunang (Sungging Raga), Wiro Seledri (GM Sudharta), ‘Pakiah’ dari Pariangan (Gus Tf Sakai), […]

  51. Reblogged this on Zaen ALL'S Blog and commented:
    sipp dah

    aditya1308

    11 Oktober 2012 at 17:59

  52. bagus…

    dragunov

    24 Oktober 2012 at 05:57

  53. […] Biografi Kunang-kunang (3 Juli 2011. Dimuat kembali di Antologi Cerpen Pilihan Kompas […]


Tinggalkan komentar