Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Pilihan Sastri Handayani

with 64 comments


Begitu Sastri selesai membaca berita dan keluar dari studio, Barbara juga keluar dari cubicle—ruang operator tempat Barbara sebagai produser mengawasi karyawan yang bertugas menyiar—dan menyambut Sastri dengan tersenyum.”

”Sastri,” katanya dengan suara lembut. Nama Nicosia harus dibaca dengan tekanan suara pada ”si” bukan pada ”co”. Jadi Nicosia dibaca Nico’sia bukan Ni’cosia.

Sorry for the mistake, Barbara,” Sastri menyahut.

”Ok. No problem,” sahut produser yang berasal dari Australia itu.

Kemudian kedua perempuan itu melangkah bersama, Barbara ke kamar kerjanya dan Sastri ke ruang kerja para broadcaster. Rekan-rekan Sastri tampak sibuk mengetik bahan program masing-masing di ruang kerja itu. Mereka disebut broadcaster bukan announcer, karena tugas mereka bukan semata-mata menyiar, tetapi juga menyunting, mewawancara, mencari bahan-bahan dari perpustakaan yang akan mereka rangkum untuk program masing-masing, menyampaikan laporan pandangan mata, memperkaya berita dari yang diterima dari pusat pemberitaan (news room), bertugas keluar kota dan berbagai tugas lain yang menyangkut siaran radio.

Begitu Sastri membalik-balik bahan-bahan tertulis untuk acara mingguannya ”Arts in Britain”, Colin, kepala seksi, muncul di pintu masuk dan memanggil Sastri ke kamarnya.

”Sebagai orang yang besar perhatiannya terhadap sastra dan teater tampaknya kamu akan mendapat kepercayaan melakukan tugas yang tidak ringan dari atasan kita.”

”Mr. Hugh House?”

”Bukan”

”Lalu siapa?”

”Kepala Bagian Timur Jauh, Harold Dickens.”

”Tugas apa, Colin?”

”Saya tidak tahu. Tapi ada hubungannya dengan peningkatan persahabatan antara kedua negara, negeri ini dan negeri Anda. Juga ada kaitannya dengan pameran industri negara ini di Jakarta.”

”Oh, goodness.”

”Mengapa? Senang?”

”Tidak malahan takut”

”Takut?”

”Boleh dibilang begitu tetapi juga senang.”

***

”Saya mendengar banyak tentang Anda dari Colin, kepala seksi yang memimpin Anda.

Anda suka teater dan sastra, bahkan katanya Anda menulis karya sastra.”

Sastri hanya tersenyum mendengar kata-kata Harold Dickens, di ruang kerjanya itu.

”Karena itu saya mempercayai Anda untuk melaksanakan tugas ini. Saya rasa dari semua teman-teman Anda, hanya Anda yang dapat melaksanakan tugas ini.”

Setelah itu Harold Dickens menatap Sastri yang sejak awal tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sebenarnya, di matanya gadis berusia 24 itu terlalu muda untuk melaksanakan tugas yang akan dibebankannya. Tapi ia yakin atasan langsung gadis itu, Colin Wild, mencalonkan Sastri karena prestasi Sastri yang baik walaupun Sastri baru saja melalui probationary period atau masa percobaan enam bulan di kantor itu. Merasa tak nyaman dengan tatapan kepala bagian Timur Jauh itu, Sastri bertanya.

”Apa yang harus saya lakukan Mr. Dickens?”

Good question,” kata Harold Dickens sambil berdiri dan menyerahkan sebuah buku kepada Sastri. Sastri membaca judul buku itu. Sebagai gadis yang juga senang kepada sejarah buku itu tidak asing baginya karena ia pernah membacanya sebagian di Perpustakaan Nasional di Jakarta. ”History of Java” karyaThomas Stamford Bingley Raffles yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada abad ke-19. Merasa ingin tahu lebih jauh Sastri menatap wajah Mr. Dickens.

”Perdana Menteri akan ke Indonesia tiga bulan lagi, untuk meningkatkan hubungan kedua negara. Pada waktu yang sama pameran industri Inggris akan berlangsung di Jakarta. Nah, upaya yang baik ini akan kita meriahkan dengan mengudarakan sebuah sandiwara radio tentang tokoh yang ada hubungannya dengan negeri Anda yang dulu bernama Hindia Belanda. Tokoh itu, banyak melakukan penelitian tentang flora dan fauna di negeri Anda. Raffles ,tokoh yang saya maksudkan, dengan tekun meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Ia juga belajar bahasa Melayu dan meneliti berbagai dokumen sejarah Melayu dan sastra Jawa. ”History of Java” yang Anda pegang dan diterbitkan tahun 1817 itu adalah karya tulisnya mengenai penelitian yang dilakukannya di Jawa. Dan jangan lupa bunga Rafflesia Arnoldi yang aromanya menyengat itu diberikan sebagai penghormatan kepada Raffles yang menemukannya.”

Menyaksikan Sastri terus menatapnya dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian, Mr. Dickens tersenyum.

”Andalah yang dipercaya menulis sandiwara radio itu.”

”Saya?” Sastri bertanya karena ia tidak percaya kepada pendengarannya.

”Ya, Anda. Sastri Handayani.”

”Saya tidak pernah menulis naskah drama, apalagi drama radio,” jawab Sastri spontan. ”Saya hanya pernah menjadi pemain dalam sebuah kelompok teater.”

”Colin memperlihatkan novel yang Anda tulis.”

”Novel memang benar, Mr. Dickens, tapi bukan drama.”

”Saya tetap percaya Anda mampu menulisnya. Cukup dengan enam kali siaran dengan durasi masing-masing selama lima belas menit.”

Sastri terdiam. Baginya tugas itu tidak ringan. Waktunya hanya tiga bulan, sedangkan buku yang harus dibacanya cukup tebal. Di meja di depan Mr. Dickens masih ada dua buah buku lagi yang jangan-jangan harus dibacanya juga. Tetapi risikonya pasti ada jika ia menolak tugas ini. Pada waktu yang sama Sastri merasa kepercayaan yang diberikan kepadanya ini merupakan tantangan.

Menulis drama radio dari sebuah buku sejarah bukanlah pekerjaan mudah. Ia harus hati-hati sekali melakukan pilihan, mana yang harus diungkapkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan. Pilihan itu harus diwujudkan pula dalam dialog-dialog yang meyakinkan, pekerjaan yang jelas tidak mudah, karena ini adalah peristiwa sejarah dari masa lampau yang jauh.

”Bagaimana?”

”Sastri tidak langsung menjawab. Bahkan, ia pula yang bertanya.

”Mengapa Anda memilih Raffles, bukan tokoh lain atau drama Inggris yang sudah ada.”

”Hanya Raffles yang paling tepat. Dia cukup dikenal di negeri Anda. Monumen istrinya bahkan masih berdiri kukuh di Kebun Raya Bogor.”

Jawaban itu membuat Sastri merasa Harold Dickens tidak ingin mengubah rencananya. Susah untuk dibantah lagi. Di matanya Raffles mungkin akan ditampilkan seindah mungkin tanpa cacat cela. Saat itulah Sastri ingin menguji apakah Harold Dickens memang menginginkan begitu.

”Anda ingin saya menulis drama tentang Raffles seutuhnya, maksud saya apa adanya, dalam keterbatasan sebagai sebuah drama?”

”Benar.”

”Termasuk kedatangannya sebagai penjajah?”

Harold Dickens terkejut. Ia tidak menyukai kata-kata itu. Baginya Raffles hanya melaksanakan tugas dan banyak melakukan yang baik untuk Hindia Belanda termasuk memperkenalkan otonomi terbatas dan membagi Jawa dalam 16 karesidenan, mengubah sistem kolonial dan sistem hukum, memperbaiki kehidupan pribumi di samping menghentikan perdagangan budak dan membuat peraturan yang mencegah kaum feodal pribumi memeras rakyatnya.

”Anda tahu?” katanya menanggapi kata-kata Sastri. ”Raffles mengambil-alih jabatan Gubernur Jenderal dari tangan penjajah Belanda, hanya karena ketika Inggris tiba di Batavia dengan 100 kapal dan 12.000 tentara, penjajah Belanda mengaku takluk dan menyerahkan jajahannya kepada Inggris.”

”Apakah itu tidak berarti Raffles justru menjadi tokoh penting penjajah?”

”Itu hanya pengambilalihan sementara. Karena sangat banyak langkah-langkah yang baik dilakukan Raffles di Hindia Belanda, Inggris menganggap tindakan Raffles berbahaya dan menariknya pulang ke Inggris pada akhir 1815. Ia bukan penjajah, ia hanya mengambil alih jabatan untuk sementara mewakili Inggris.”

Sastri melihat kemarahan di mata Harold Dickens. Namun, hati Sastri berontak. Baginya Raffles tetap penjajah, mewakili negara Inggris. Setelah itu Belanda kembali menjajah negerinya 350 tahun ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda. Itu pun harus diungkapkan betapa pun banyak hal baik yang dibuat Raffles selama bertugas di Hindia Belanda.

Masih dalam suasana marah, dialog tetap berlangsung antara Sastri dan Harold Dickens tentang penjajah dan penjajahan. Mereka mempunyai pandangan berbeda tentang penjajah, dan penjajahan itu paling tidak tentang Raffles yang disebut Sastri sebagai penjajah itu. Debat berlangsung keras sekitar lima belas menit, karena Sastri berani membantah pendapat Dickens. Karena Harold Dickens tetap defensif dan menyalahkan Sastri, dengan suara pelan gadis berusia 24 tahun itu menjawab.

”Maafkan, Mr. Dickens. Bagi saya Raffles tetap petinggi penjajah dan itu harus juga diungkapkan walaupun hanya dalam satu kalimat. Kalau tidak bagaimana saya harus memulai drama ini? Apakah saya harus menyebut Raffles sebagai ilmuwan atau seorang peneliti yang secara sukarela datang ke Hindia Belanda untuk meneliti Candi Borobudur, Prambanan dan meriset sastra Jawa? Apakah saya harus menyebutnya seorang turis yang tiba-tiba berhasrat melakukan penelitian karena banyak obyek menarik di Hindia Belanda?”

Harold Dickens terdiam. Pertanyaan yang masuk akal, pikirnya. Tapi untuk menyebut Raffles sebagai penjajah ia tetap keberatan. Apalagi ia sendiri adalah anggota ”Zoological Society of London” yang didirikan Raffles. Ia tidak punya alasan untuk membantah kata-kata Sastri. Setelah lama berpikir dan terdiam akhirnya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan rencananya dan mengakhiri pembicaraannya dengan Sastri. Dia sangat sadar Sastri pasti akan menolak jika ia memaksa gadis itu untuk tidak menyebut Raffles sebagai penjajah. Inilah yang menyebabkan Dickens mengalah.

”Ya, sudah, kalau Anda tidak ingin menulis yang baik tentang Raffles, rencana ini saya batalkan saja,” ujarnya dengan dingin. Ia pun hanya mengangguk dan tidak berkata apa pun ketika Sastri meminta diri.

***

Satu minggu setelah itu, Harold Dickens kembali memanggil Sastri ke kamarnya. Kepada Bagian Timur Jauh itu tampak berubah dan sangat ramah kepadanya.

”Anda punya saran lain sebagai pengganti Raffles? Seingat saya minggu lalu Anda menyarankan drama Inggris yang ada. Drama mana yang Anda maksudkan?” ujar Dickens.

”Bagaimana kalau Shakespeare?”

”Shakespeare? Wah, itu ide bagus. Drama mana yang Anda pilih? ’Julius Caesar’ atau ’Othello’, ’Macbeth’ atau ’King Lear’?”

”Saya memilih Hamlet.”

”Mengapa Hamlet?” Dickens bertanya.

Ketika Sastri akan menjawab, Dickens meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, sebagai isyarat agar Sastri tidak menjawab.

”Pilihan yang bagus,” katanya kemudian. Saya pengagum Laurence Olivier yang berperan sebagai Hamlet dalam drama pengarang besar kami itu. Saya senang betul pada kata-kata yang diucapkan Hamlet pada saat ia dirundung keraguan. ”To be or not to be, that is the question.”

”Oke saya akan mengerjakan itu secepatnya,” sahut Sastri.

***

Ketika Sastri sibuk membolak-balik ”Hamlet, Pangeran Denmark” terjemahan Trisno Sumardjo yang dipinjamnya dari perpustakaan, Colin berdiri di depannya.

”Mr. Dickens mengatakan Anda anak yang berani dan keras kepala. Tapi dia senang karena Anda punya jiwa kebangsaan yang hebat.”

Ketika Sastri menatap Colin, atasannya itu mengangguk.

”Colin, aku juga senang kepada Mr. Dickens. Ia orang yang paling berkuasa di bagian Timur Jauh ini, tapi ia tidak mau menggunakan kekuasaannya karena cara berpikirnya tidak sempit. Kemarin ia menepuk pundak saya, karena saya tidak mengambil pilihannya, tetapi mengajukan pilihan saya sendiri yaitu ’Hamlet’.”

Jakarta, 1 Maret 2011

Written by tukang kliping

19 Juni 2011 pada 14:51

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

64 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. #Tukang Kliping _ setelah saya perhatikan, minimal penulis populer di sini (harus) ada tiga buah cerpen yg dimuat di Kompas. Tetapi setelah nyaris semua cerpen yang ada di blog ini saya baca. Ada yang kurang misalnya cerpen “F. Rahardi” dan “K. Usman” yang berjumlah (lebih) 3 buah, belum termasuk penulis populer.

    Demikian Tukang Kliping.

    Abdul Hadi

    19 Juni 2011 at 16:11

  2. Beberapa kali paman baca tadi pagi. Ternyata benar kesimpulan paman “Tidak ada bunyinya!”

    Paman

    19 Juni 2011 at 16:20

    • setuju deh kali ini sama paman. tapi bukan “Tidak ada bunyinya!” paman. Ada bunyinya, tapi monoton…

      keponakan

      20 Juni 2011 at 00:01

  3. rada gak engeh sama nih cerpen, gk ada meaning’a apa gue yang oon ya??
    hmm ya sudahlah thanks sudah menghibur,

    Nyla

    19 Juni 2011 at 17:13

    • halo nyla, aku sempat seneng kamu upload cerpen koran minggu di blog kamu. aku suka baca komen kamu soalnya, kok brenti upload? tetep dong bupload. supaya kita dapet lebih banyak perbandingan. biar temen2 yg laen juga bisa liat alternatif komen. thx. lam knal.

      naly

      20 Juni 2011 at 01:44

  4. datar sekali. tapi saya suka tokoh.

    adryan yahya

    19 Juni 2011 at 17:30

  5. Oh, iya. Hampir lupa. Kemarin ada klonengan yang menghujat paman peternak klonengan. Adakah contoh buktinya? Paman rasa tidak perlu lah paman kasih cara untuk membuktikanya. Paman yang gaptek pun bisa. Begini saja, supaya tidak ada lagi yang berprasangka hujatan klonengan tanpa sebab.
    Anda minta data ke tukang kliping alamat email pengomentar (jika valid) pegang erat dan telusuri. Selain itu and bisa tanyakan kepada tukang kliping apakah di blognya terpasang script web tracker. Jika iya, selamat. Kerana fungsi script tersebut merekan informasi yang amat penting yaitu IP adress, referral situs dan banyak informasi lagi untuk melacak lokasi koordinatnya. Situs web tracker yang baik bisa menggunakan statcounter. Paman kira tidak perlu paman kash tahu untuk penggunaan dan pengistalan scripnya, ya? Karna mudah, percyalah!
    Setelah digunakan, untk melacak lokasi catat waku (tersangka klon) saat memberi komentar, perhatikan data statistik yang ada. Jika ketemu jam, URL yang sama. Bidik data-data ISP, IP, dan provider seluler (if use handphone). Salin IP adressnya untuk kemudian masukan di situs IP adress Tracer. Klik tombol Track IP. Maka akan ditampilkan koordinatnya atau IP adress latitude, ip address longtitude, lalu konversikan ke Google Earth and then data tersebut akan disimpan sebagai bintik atau titik, semakin banyak titik yang serupa, semakin besar pula peluang si pemberi komentar tersebut orang yang sama. Di google earth kemungkinan letak alamat dan rumahnya akan terincikan. Ah, paman saja sudah tua dan gaptek tahu perkembangan jaman. Semoga ada manfaatnya.
    Paman mandi dulu, kasihan bini muda (yang seperti sudah sering paman ceritakan, cantiknya bukan kepalang cantik, 20 kali lipat dari si bibi) sudah lama menanti di ranjang untuk segera dipergunakan sebagaimana perempuan pada umumnya. Terima kasih.

    Paman

    19 Juni 2011 at 17:36

  6. jelek. Ini cerpen apa makalah anak smp? Bahasanya baku n kaku. Membosankan

    reveelantha

    19 Juni 2011 at 17:55

  7. Penguasa Timur Jauh aza takut pada tokoh cerpen ini, apalagi redaksi cerpen Kompas. Karena redaksi cerpen kompas takut, makanya “Pilihan Sastri Handayani” ini dimuat. Dari pada nanti Sastri bilang begini: “Hei Redaksi Kompas, apa lu gak paham nilai seni? Jangan cetek lu, Rafles dan Penguasa Timur Jauh aza gua hajar. Apalagi cuma lu”.

    meysan

    19 Juni 2011 at 19:18

    • hehehe…. sakit peyuuutt… komennya

      den sus

      20 Juni 2011 at 02:10

  8. ini cerpen bahasanya datar sekali. Apa saya yang enggak paham?.

    juharna nb

    19 Juni 2011 at 19:38

  9. konfliknya segitu saja nih? masih kurang greget…

    Adhi

    19 Juni 2011 at 20:01

  10. Jelek, jika perbandingannya cerpen miliknya cerpenis handal dan ternama. Tetapi memang kurang greget, kurang menyentuh emosi pembaca. Ini disebabkan gaya bercerita penulis yang terlalu kaku, sehingga luapan emosi itu tidak tersalurkan. Lain kali, pasti lebih baik. Sukses, Ito…!!!

    Rudiansyah Siregar

    19 Juni 2011 at 22:54

  11. sayang sekali…

    merdeka

    20 Juni 2011 at 00:07

  12. Idenya bagus, gayanya memang datar dan merayap ke tujuan (gaya khas prosa Inggris konservatif), tapi penulis gagal mencapai tujuannya. Yang lebih parah, cerpen dirusak sendiri dengan empat alinea terakhir (bagian penutup yang kekanak-kanakan—apakah dia terlalu khawatir pembaca terlalu bodoh untuk menangkap makna cerita dia?).

    Kegagalan penulis menuntaskan idenya disebabkan kegagalannya memperdalam pengucapan atau ekspresi karakter-karakternya. Akibatnya, seperti dibilang teman-teman di atas, datar dan monoton. Sayang disayang… si mangga udang… ini dia si jali-jali… lagunya enak, merdu sekali…. tapi cerpennya nggak merdu…

    den sus

    20 Juni 2011 at 02:05

  13. Kecewa dengan cerpen minggu ini… Kok kompas mau aj memuat cerpen kayak gini…

    Alt Mencari Mamah

    20 Juni 2011 at 09:21

  14. hebat cerpen nya mirip orang luar……..

    deny arisandi

    20 Juni 2011 at 10:38

  15. ganti orang yang memilih cerpen.. kalo tetap masih jelek, ganti lagi. masih jelek juga, ganti terus. cari yang perfeksionis…

    iyud

    20 Juni 2011 at 12:58

  16. satu-satunya yang bagus dalam cerpen ini adalah maksud dari cerpen ini terpampang jelas, tidak berbelit.. membaca cerpen ini seperti membaca penggalan dalam sebuah novel…

    auki

    20 Juni 2011 at 13:42

  17. cerpen yang enak kok, simpel. cuma kurang greget aja pas ngejelasin konfliknya, kayak ada yang kurang lengkap. tapi sekali lagi, ini cerpen yang enak

    adib

    20 Juni 2011 at 16:22

  18. cerpen apa laporan jurnalistik nih…??

    dimana nilai sastranya??

    saya tidak heran bila suatu saat nanti cerpen kompas
    akan memuat harga2 palawija diurut dari a sampe z. atau memuat laporan berita infotainmen.

    angling

    20 Juni 2011 at 17:01

  19. bagus, bagus banget…..

    vitgar

    20 Juni 2011 at 17:13

  20. Datar…

    mr good

    20 Juni 2011 at 20:01

  21. Engkau benar, Angling. Rubik opini pun nanti dicerpenkan, lho!
    Yang disalahkan sebaiknya jangan para pemalas yang nongkrong di meja redakturnya saja. Mereka kan cuman wayang. Sekalian jajaran teratasnya, Dek Jacob Oetama sebagai dalang. Kenapa bisa beranak buah seperti itu? Terus terang saja darah tinggi paman naik kalau membaca cerpen mode di atas. Ingin marah-marah namun kepada siapa? Akhirnya pusing mendaulat kepala, dan terpaksa paman membentur selangkangan bini muda tiada henti. Hanya itu kehidupan paman, daya hidup paman di usia yang semakin merenta. Kalau membaca cerpen model begini seperti menyisir di kepala yang tak berambut saja. Apa artinya? Pikir sendiri! Tahun 89-95 Magnet paman terhadap Koming kompas seperti lepas kutub. Setahu paman walaupun di tahun2 tersebut cukup rugi untuk mengatakan kiblatnya cerpen nasional terbaik adalah Kompas. Namun, paman masih menghargai kerana masih tersisa kerenyahan di setiap tutur kalimat-kalimatnya. Masih ada penulis yang mampu membuat kalimat2 yang mengandung mara bahaya, menginjak nurani, menentang keyakinan, menyembelih pemikiran, mencabik hingga menjambred jantung, mendobrak masa lalu, mengancam hari depan. Munculnya nama-nama baru yang secara keliru atau pun layak menempel di koming, memang indah. Dinamis, sastra memang dinamis. Hanya saja paman memohon, jangan jadikan kedinamisan tersebut sebagai alat untuk memperkuat alasan dekorasi atau pun kekayaan kata yang hanya akan mencairkan kekentalan sastra. Selamat malam.

    Paman

    20 Juni 2011 at 21:01

  22. MENARIK! Konflik sederhana tetapi mampu menelusup ke dalam hati. Saya yakin, semua pembaca akan sama merasakan seperti saya, “DIAM”. Penulis, membuat karekter tokoh masa lalu macam Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir, dan bung, bung yang lainnya seperti hidup kembali.
    BRAVO!!!

    zidan

    21 Juni 2011 at 01:04

  23. cerpen yang bagus….terimaksh suguhannnya….habis tidur,khuuuuuuuuuuuuuuuuakh jadi segar

    Mutiara Pembelajar

    21 Juni 2011 at 07:27

  24. Pilihan Sastri Handayani, karya Sori Seregar (Kompas, 19 Juni 2011), adalah salah satu fiksi populer. Ciri khas dalam fiksi populer adalah adanya dua unsur yang saling bernegosiasi. Yang satu unsur, mementingkan mimpi masyarakat. Unsur yang lain, memenangkan kekuatan kapitalis. Kapitalis yang dimaksud bukan sekadar pemilik modal, namun kepemilikan kekuasaan (hegemoni).
    Terlihat selintas, usaha untuk mempertahankan pendapat, seolah-olah memberikan kesan adanya kecerdasan dan keberanian Sastri. Sastri, yang dapat disimbolkan sebagai kekuatan Timur, mampu bertahan terhadap intervensi yang dilakukan oleh Barat, yang dalam hal ini dapat disimbolkan oleh Mr. Dickens. Tokoh, dengan demikian, menjadi sebuah wadah yang membawa pesan. Tokoh bukan sekadar memunculan karakter psikologis semata, namun ia membawa pesan yang lebih luas.

    Lebih lengkap bisa baca di blog saya: http://literary-criticism.blogspot.com/

    Eva Dwi Kurniawan

    21 Juni 2011 at 15:06

  25. Pak Sori barangkali satu-satunya eksponen cerpenis 60-an yang masih setia dengan pengucapan realis. Yah, rasanya seperti membaca cerpen tempo dulu, suatu gaya yang sudah jarang dipakai sekarang.

    Rozak

    21 Juni 2011 at 18:02

    • ini abdul rozak atau bukan? hehe.

      cahyoprayogo

      23 Juni 2011 at 23:28

  26. Paman paman…saya cinta kamu……

    robay

    21 Juni 2011 at 19:14

  27. mantap cerpennya

    cerita novel

    22 Juni 2011 at 14:27

  28. Paman.. Paman.. ceritamu hanya sekelas stensilan aja mulut besar..

    bulik

    22 Juni 2011 at 20:55

  29. kerinduan akan realisme Cerpen Kompas menjadi tak tertahankan karena Sori Siregar…

    miftah fadhli

    23 Juni 2011 at 15:11

  30. lumayan lah…

    tedjo

    23 Juni 2011 at 20:27

  31. tadinya saya hanya ingin membaca cerpen jadi ikut komen,,,,,
    ada kompetisi retorika dalam setiap komentar,,,,,padahal cerpen ini butuh kritik sastra,,,bukan hujatan,,,,,,,,, gak di mana2 masalahnya sama superioritas…..
    paman baik2 saja khan..? semoga cepat sembuh

    ananda

    23 Juni 2011 at 22:23

  32. @Ananda: gmana mksdnya, jeung?

    Kritik tanpa retorika sama dengan omng ksong. dmana mana kritik harus ada retorika dong, gmana si ?! Kritik dan retorika adlh bgian ya ga trpishkan. Cnth sdrhananya gni, gmana mau bsa kritik sdgkn bwt merangkai kta sja gak bsa, gmana mau kritik kalau tdk punya pnglman n pandai bcra? Smua sdh mrupkan st paket bukan, jeung? Dan itu harus…masalah superioritas, ya wajarlah. Namanya jg manusia..mana ada manusia yg gk ky gt, gak ada, jeung, gak ada! 🙂

    Pemuja sedan

    24 Juni 2011 at 02:33

  33. dasar klean,bisany mrotes..palgi si ”Paman”..bgos atw gk bgosny suatu cerpen bkan mutlak dr tlisan yg dy gnakan,tp trmsuk jg unsur pesanny..so,smangat bg cerpenis2 indonesia!!tr0s maju,wlaupun byk ‘paman-paman’ yg lain yg akn berkicau,toh mreka jg akn membca cerpen kalian..merdeka!!!

    alem

    24 Juni 2011 at 04:11

  34. cerpen yg bagus sekaligus pintar. Tak hanya mengandalkan pintar menulis atau meramu cerita.

    seroja

    24 Juni 2011 at 12:48

  35. ia ne PAMAN MULUT BESAR. . .!

    ugi

    24 Juni 2011 at 22:19

  36. penulis membutuhkan kritik yang membangun, bukan kritik asal jadi yang seperti sampah tidak dibuang pada tempatnya. Kalian hanya menghina untuk memuaskan nafsu, tidak ada satupun cerpen di mata kalian yang bagus.

    bimyonyo

    25 Juni 2011 at 20:13

  37. Cerpen realis dengan penuturan yang benar-benar mengajak pembaca ke alam real. Untuk kelas cerpen realis, ini sudah bagus. Tadi ada yang berkomentar “Di mana nilai sastranya?”. Nilai sastranya ada. Bersihkan dahulu pikiran buruk sebelum membaca lalu selami lebih dalam makna yang ingin disampaikan oleh penulis. Bila nurani telah berbicara, Anda menemukan makna, itu bagian dari nilai sastra.

    Mufi

    26 Juni 2011 at 08:57

  38. Pilihan Sastri handayani; sebuah judul yang menarik untuk sebuah cerpen yang menarik pula, sangat menggambarkan perbedaan pandangan orang Inggris dengan Indonesia. Namun diakhiri dengan bijak sebagai bangsa yang kini bersatu dalam globalisasi.

    Bernardia Vitri

    27 Juni 2011 at 22:20

  39. sayang ‘kolom’ yang seharusnya dapat digunakan untuk bertukarpikiran / adu pendapat yang sehat dan elegan untuk, setidaknya, mendapatkan atau meningkatkan pengetahuan sastra ini dikotori oleh sekawanan ‘sastrawan dan kritikus’ sakit. Tidak perlu mengomentari “komentar” dan “kritik” mereka karena memang tidak ada komentar dan kritik yang mereka buat. Saya hanya prihatin, karena kawanan “kritikus” ini benar-benar sakit, Andai tidak kotor seperti ini, saya yakin kolom ini akan dikunjungi oleh mereka-mereka yang benar-benar tahu tentang, katakanlah, sastra.
    ‘paman’ in particular, ungkapan sampeyan penuh kemarahan dan kepahitan, bahkan sudah mengarah ke kehidupan khayal (seksual utamanya) Ada kekecewaan dalam hal ini? (maaf)
    You really are,sure, need a professional help, if so.

    tunjung

    28 Juni 2011 at 02:15

  40. ngomong opo seeeee iki … ora nggenah blas critanyeeee … 😛

    she

    28 Juni 2011 at 15:31

    • durung umur dul

      tun

      28 Juni 2011 at 23:23

  41. Konfliknya biasa…penyelesaiannya pun biasa…ah!!! nggak puas baca cerpen ini….

    Laura

    29 Juni 2011 at 12:46

  42. Bro Eva,
    Terima kasih sudah berbagi dengan kami, semoga lebih banyak, dan lebih sering berbagi supaya ada pencerahan bagi kami-kami yang masih pemula, bahkan awam. Kalau memungkinkan, memberi
    tuntunan singkat melalui contoh, bagaimana cara mengapresiasi karya sastra (dalam hal ini cerpen), termasuk bagaimana memberi kritikan yang baik. (komentar anda kali ini sebenarnya sudah merupakan contoh :). Dengan demikian mereka yang tidak tahu tidak menjadi sok tahu bahkan mengumpat karena ketidaktahuan mereka bagaimana mengapresiasi sebuah karya.
    Bravo bro dan salam saya

    tunjung

    29 Juni 2011 at 23:09

  43. paman kyk orang IT saja. tapi kosong. hahahaha.. big mouth..
    pengen liat karya2 paman. seperti seorang senior yang angkuh. anda sendiri koki atau tukang cicip? yok mari kita lihat 😀 lebih seru kalo “Guest” ditiadakan. dan komentar filter lgsg aja pake facebook yg resmi… 😀 ini kan bukan sekedar kloningan.. head to head aja. biar kalo penulis merasa banyak kesalahan, bisa berguru sama paman, dan senior2 diblog ini

    Rani

    4 Juli 2011 at 09:52

  44. Membacanya membosankan!

    putri

    7 Juli 2011 at 20:40

  45. maaf ya, tapi menurut saya ceritanya picik.
    Kita cenderung memberikan label kepada orang yang sudah berjasa pada Jawa dan Indonesia: “Penjajah”. Sehingga kita menjadikan karakternya satu dimensional. Penjajah, sudah titik. Kita tidak mampu menggali betapa seseorang yang datang dari rubuan kilometer jauhnya justru mau membangun Jawa dan Indonesia. dan kemudian mau membangun SIngapura menjadi seperti sekarang ini. Kita tidak akan bisa membuka semangatnya.

    Lalu diganti jadi Shakespeare? Ini kayak ngegampangin endingnya aja. masa gantinya sama tokoh generik kayak Shakespeare yang tidak ada sangkut pautnya sama Indonesianya sih? Shakespeare cuma jadi “tiket”. Kalo orang tau Shakespeare maka orang itu berbudaya, bermutu, berkelas, dan global. menurut saya sih nggak kena.

    Tapi kalau liat dari awal juga yang dipusingkan adalah masalah pronountiation tempat. memang si tokoh hanya fokus pada tampilan luar saja.

    curhatanku80

    9 Agustus 2011 at 08:51

  46. sip

    BeemaLs d'Jokeys

    21 Agustus 2011 at 01:46

  47. jadi penikmat ajalah..

    zahra

    21 September 2011 at 14:52

  48. ada apa ini kok rame2 gini . Hadooh . .
    Sudah lah , mari kita terus membaca . . Apa saja yg bisa d baca . .

    andreasmara

    19 April 2012 at 00:40

  49. “Pilihan Sastri Handayani Kumpulan Cerpen
    Kompas” was a good posting. If only there was a lot more web blogs such as this specific one
    in the actual online world. Anyways, many thanks for your time, Julianne

    Vilma

    20 Februari 2013 at 18:58

  50. I’m really impressed along with your writing talents as smartly as with the layout to your blog. Is that this a paid subject matter or did you modify it your self? Anyway stay up the nice high quality writing, it’s
    rare to look a nice blog like this one nowadays.
    .

    www.zeitreise-2030.de

    7 Maret 2013 at 06:59

  51. Howdy very cool blog!! Guy .. Beautiful .. Amazing .
    . I will bookmark your blog and take the feeds also?
    I am glad to search out so many useful information here in the put up, we’d like work out more techniques on this regard, thanks for sharing. . . . . .

    bojler.co

    27 Maret 2013 at 20:37

  52. I got this web site from my friend who told me
    about this web site and at the moment this time I am visiting this web
    site and reading very informative posts here.

    Wallace

    30 Maret 2013 at 02:40

  53. Hi there, yes this post is truly fastidious and I have learned lot of things from it about blogging.
    thanks.

    Caleb

    2 April 2013 at 09:00

  54. Heya! I’m at work browsing your blog from my new apple iphone! Just wanted to say I love reading through your blog and look forward to all your posts! Carry on the great work!

    Christy

    9 April 2013 at 19:42

  55. I’ll right away seize your rss feed as I can not in finding your email subscription link or e-newsletter service. Do you’ve any?
    Please allow me recognise so that I may subscribe.
    Thanks.

    Visit My Web Page

    5 Juni 2013 at 10:32

  56. It is the best time to make some plans for the future and it’s time to be happy. I’ve read this post and if
    I could I want to suggest you few interesting things or advice.
    Maybe you can write next articles referring to this article.
    I want to read even more things about it!


Tinggalkan komentar