Archive for Agustus 2009
Dua Perempuan di Satu Rumah
Sampai tiba hari kematiannya, Oktober 1984, Seto sudah melakukan enam perbuatan tak pantas, memecahkan tempurung lutut anak buahnya yang berkhianat, dan menulis 37 puisi yang menyedihkan. Ia ditembak mati pada dini hari dan mayatnya dibuang di dekat petak-petak tambak di pesisir utara Semarang dan kelihatannya memang sengaja ditaruh di tempat yang mudah dilihat orang. Ketika hari terang, tiga orang yang berangkat mengail menemukan mayat Seto terbungkus karung. Umurku 5 tahun ketika pemberantasan misterius itu berlangsung dan ibuku 26 tahun. Sebulan setelah melewati usia 30, ibuku meninggal, sebagian karena sedih dan sebagian karena penyakit parah di tenggorokannya. Dalam dua tahun terakhir hidupnya, ia tidak bisa bicara dan tampak seperti cacing.
Seto mati pada usia 30 tahun kurang tiga bulan, kurang lebih sama dengan umurku sekarang. Aku sedang membaca puisi-puisi murungnya di kamarku dan tidak bisa tidur hingga larut malam dan merasakan desakan takdir untuk menuliskan cerita ini. Kupikir waktuku tinggal sedikit lagi untuk menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.
Taman Patah Hati
Benar kata orang, lebih mudah menikah daripada bercerai. Dan lebih mudah mengatakan cinta daripada memutuskan tali asmara.
Paling tidak begitulah yang dipikirkan Ajo Kawir. Ia harus mengeluarkan ongkos untuk pergi bersama Mia Mia ke Tokyo, ketika nilai yen sedang begitu congkak atas rupiah, demi niat mengakhiri pernikahan mereka; demi kepercayaan atas takhayul. Tak apa, soal ongkos, ia bisa menggunakan anggaran studi banding. Itu sudah biasa.
Bayangan Darah
Setelah semua perkelahian ini, lalu apa? Setelah perseteruan ini, lantas apa? Masih adakah yang tersisa ketika kita habiskan seluruh kebencian dan sakit hati ini? Ataukah kita memang dilahirkan untuk saling bunuh? Mungkinkah kebencian adalah kehidupan kita? Dan tanpa itu, kita bahkan tak berbekas sama sekali?
Dua sosok itu termangu oleh pikiran masing-masing. Tubuh mereka menua. Napas mereka memburu, tetapi keinginan untuk saling bunuh masih saja menyala di mata mereka.
”Mengapa tak kau akhiri saja semua ini, di sini, sekarang juga…,” ucap yang satu dengan suara setengah menggeram.
”Aku pun heran, mengapa kau berlama-lama dengan urusan ini?” balas yang satunya dengan suara penuh dendam.
Ayat Keempat
Niat Syahbuddin maju sebagai calon anggota DPRD di Kabupaten Solok disambut hangat keluarga besarnya.
Bagi mereka, itu adalah awal kebangkitan sejarah. Kali pertama anggota keluarga mereka mengajukan diri sebagai calon wakil rakyat. Pertama kali anak kemenakannya maju sebagai calon anggota dewan yang terhormat dan menikmati fasilitas serta hak-hak kedewanan.
Malah Datuk Birahin, ketua suku Caniago, mendukung sepenuhnya dan siap menjadi ketua tim sukses kemenakannya itu.
Malam Kunang-Kunang
Merekalah bocah-bocah yang selalu bahagia. Jika malam tiba, mereka akan berlari-lari girang, mengejar-ngejar dan menggapai-gapai kunang-kunang yang berkerlap-kerlip melayang-layang serupa sebaran serbuk cahaya. Mereka jugalah bocah-bocah yang menghadirkan tawa dan canda di lembah itu hingga membuatnya hidup, terasa dihuni.
Selebihnya adalah gelap. Listrik belum masuk dan orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan urusan ranjang. Maka, belum genap malam, bocah-bocah pun diusir pergi ke luar rumah, ke surau untuk mengaji atau berlatih silat ke lapangan sepak bola asalkan jangan bermain kunang-kunang. Karena bagaimanapun, orang-orang tua tetap meyakini kunang-kunang sebagai jelmaan kuku-kukunya orang mati. Jika menjadikannya sebagai mainan, maka akan menyebabkan kesialan.