Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Al Furqon, Sebuah Malam Sebuah Sajak

with 36 comments


Malam. Bulan timbul tenggelam di lautan awan. Gerimis sesekali menyapa bumi dan mengabarkan langit masihlah ada. Namun tak benar-benar turun hujan. Sesekali segaris cahaya mengerjap dan gemetar di angkasa. Bukanlah kilat atau petir, hanya segaris cahaya mengerjap dan gemetar.

Orang-orang di kampungku menyebutnya kingkilaban. Seperti sebuah isyarat atau gelagat. Kau ingin memahaminya, tapi bagiku menghayati sudah cukup. Sebab ada banyak rahasia yang tak terurai dalam bening pikir manusia. Semakin ingin memahami, semakin jauh tersesat dalam pemahaman yang terkadang memasuki wilayah amarah.

Kita masih di teras sebuah mesjid. Menunggu gerimis reda. Kau tak ingin menyeberangi titik-titik air itu. Kau ingin berteduh dan menunggu. Menghitung gerimis yang malas. Atau angin yang benar-benar nyaris diam. Cahaya-cahaya temaram di sekitar pelataran mesjid ini semakin meremangkan suasana, koridor yang melingkari mesjid, sungguh sunyi, memanjang dan berkelok, namun di sanalah sesungguhnya matamu mengembara, entah kepada kenang atau harapan, namun aku tak terletak di sana. Entah di mana aku malam ini pada dirimu.

Kau menyandarkan tubuh pada tembok yang mulai lembab. Menggenggam pemantik dan memainkan percikan api. Seperti ada sesuatu yang ingin kau bakar. Entah apa. Sebab masa silam tak bisa dibakar dengan apa pun. Seperti juga dosa yang tak bisa dihapus.

”Di mesjid ini dulu aku sering kali tidur dan koridor itu tidaklah seperti ini.” Bisikmu saat percikan api semakin sering di jarimu.

”Ada banyak burung bersarang di kubah masjid ini. Kicaunya menyusup dalam sujudku.” Kataku sesaat menatap matamu yang asyik menatap api lantas pandanganmu menyeberang ke setiap lekuk koridor. Pada salah satu tiang penyangganya kau katakan, kau sering kali duduk dan bersandar. Mungkin seperti posisi dudukmu sekarang.

”Ada banyak malam yang terjaga.” Ucapmu sesaat setelah kupinjam pemantik dan kunyalakan rokok terakhirku.

Aku seperti mendengar malam-malam yang resah. Entahlah, barangkali aku salah mengartikan namun kata terjaga terucap sedemikian berat. Seperti memanggul beban dan murung.

Asap rokok keluar masuk paru-paruku, lalu melayang di udara basah. Seperti juga kabut yang pelan-pelan muncul di matamu. Melayang, naik, kemudian hilang begitu saja. Sering kali kutanyakan kepadamu. Ke mana sesungguhnya api lenyap, ke manakah asap sirna. Dan sering kali kau hanya diam.

”Terdapat banyak sajak dalam malam-malam terjagamu.” Pada isapan ketiga aku menimpali. Dengan berusaha mengulang intonasimu pada kata terjaga.

”Bukankah kita disarankan untuk terjaga ketika orang lain terlelap.” Kau menggeser duduk dan berbalik menatapku. Sepertinya kau terganggu dengan cara pangucapanku yang terkesan seperti meledek. Padahal aku cuma ingin sedikit merasakan suasana terjaga.

”Ya. Teramat banyak malam-malamku terjaga lantas terlalu lelap dalam terjaga itu.” Aku kini terseret jauh ke belakang pada malam-malam yang dipenuhi hujan. Terjaga dengan gigil. Tanpa api sama sekali. Tak ada api.

Beberapa helai rambut nampak lolos dari perangkap kerudungmu. Garis-garis hitam lembut itu begitu tegas pada pipimu. Sementara di langit garis-garis bulan nampak perlahan membongkar awan. Angin mulai bangkit di bumi maupun di langit, di teras mesjid maupun di hati. Gerimis belum usai. Di lampu-lampu temaram, jarum gerimis masih berguguran. Pada koridor beberapa orang melangkah dengan hening. Tak ada suara sama sekali.

Kau seperti merindukan sesuatu, sementara aku kembali merindukan gaduh kicau burung-burung di kubah mesjid. Barangkali kau merindukan gaduh yang lain, kicau yang lain, burung yang lain pula. Aku merindukan kembali sujud yang riuh itu. Tak bisa kusebut khusyu namun aku mendapati sebuah pengembaraan yang ajaib, ketika tiba-tiba mendapati seluruh burung menyusup dalam sujudku. Kukatakan padamu, bahkan aku tak mengingat apakah membaca doa atau tidak pada sujud itu. Entah berapa lama aku tersungkur. Karena seluruh yang ada di mesjid telah kosong ketika aku ucapkan salam ke arah kanan dan kiri hidupku, padahal sebelum aku shalat masih banyak yang shalat maupun dzikir. Tinggal aku, suara burung dari kubah, detik waktu dari jam dinding.

Mesjid sungguh lengang namun terasa sangat berisi. Utuh. Dan aku ada dalam lingkaran keutuhan itu, menjadi bagian di dalamnya. Dan ini saat aku mengenal sesuatu yang bernama haru. Tadinya aku ingin mengajakmu untuk shalat berjamaah. Tapi sayangnya ini masa saat kau sedang tak shalat. Seandainya tadi kita jadi berjamaah, mungkin kau pun merasakan apa yang kurasakan.

”Tuliskan dalam sajak-sajakmu.” Pintamu, matamu semakin jauh menerawang. Mungkin masih mengembara. Masih tak kutemukan diriku di sana. Di mana kau letakkan diriku sesungguhnya.

”Ah, barangkali kau sekarang sedang menemukan getar sajak dari tanah kenanganmu.” Sesungguhnya aku meraba kegelisahan dari tatapanmu. Akar seluruh sajak-sajakmu.

”Masa itu telah usai pada sajak-sajak yang telah lewat. Aku tak bisa lagi menulis sajak sejak menemuimu. Seluruh sajakku melulu tentang duri waktu. Tentang manis kematian. Telah kau rontokkan seluruh duri itu. Kini aku hidup. Ingin hidup. Maka aku tak menemukan sajak lagi.” Kau kembali mengambil pemantik dari jariku, mempermainkannya layaknya anak kecil menemukan mainan.

”Sajak tak pernah mati, bukan?”

”Ya.”

”Dan kau merindukannya?”

”Aku lebih merindukanmu.”

”Dan kau gelisah.”

”Ah, pada setiap sajakmu, sekarang ini, aku mencecap kenikmatan seketika aku menulis sajak. Pada setiap kata-katamu kutemukan kata-kataku.”

”Lantas di mana kau tempatkan aku pada dirimu?”

”Utuh pada diriku.”

”Belum seluruhnya utuh.”

”Kau tak percaya padaku?”

”Utuhkan diriku pada sajak-sajakmu.”

”Dirimu hidup dalam doa-doaku.”

”Doa adalah penyatuan dengan-Nya. Sedang denganku akan utuh dengan sajak-sajakmu. Aku merindukan kata-katamu, terlebih jika diriku terdapat di dalamnya. Jangan membuat sajak untukku. Sebab itu hanya akan membuatmu kehilangan kata-kata. Jadikan aku kata-kata dalam sajakmu. Mungkin kau akan kembali menulis. Karena aku pun begitu.”

”Kau hanya membujukku untuk menulis kembali.”

”Kau gelisah. Diam hanya akan mengasahnya menjadi gelisah lain yang liar. Kau tahu? Aku tak bisa melukiskan kicau burung tadi, ataupun sujudku tadi. Sampai kapan juga kau tak bisa merangkainya jadi kata. Tapi burung dan sujud adalah kata itu sendiri. Sajak itu sendiri. Karena itu aku akan menulis diksi burung dan sujud dalam sajakku. Seperti apa sajakku, entahlah. Aku hanya akan menuliskannya. Baru niat. Tapi ini lebih baik dari tidak sama sekali. Setidaknya gelisah sedikit reda. Jika menunggu memahaminya, aku tak tahu kapan aku akan mulai menulisnya.”

”Kaulah yang meredakan gelisahku.”

”Lantas gelisah yang kini mekar di matamu, nyatanya tak reda dengan kehadiranku. Gelisah yang murni lahir dari persinggunganmu dengan hidup, dengan semesta.”

”Sudahlah. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita kali ini. Mungkin lebih pekat, karena tempat ini menyimpan beragam kenangan bagiku.” Kau berusaha tersenyum seperti ingin menyudahi percakapan dan kembali sama-sama hening dan sunyi. Seperti koridor itu, seperti koridor itu.

Gerimis tinggal jejaknya. Bulan purnama begitu bulat merayap di langit yang mulai ditinggalkan awan. Bintang bersinar terang di puncak langit, tepat di tempat kita menengadah. Terdengar bunyi saklar dari dalam mesjid. Satu per satu lampu ruangan padam. Seseorang membawa sapu lantas menyapu lantai.

”Kenapa kau mengantarku shalat di mesjid ini?” ucapku sembari berdiri dan mengajakmu untuk segera beranjak, karena gerimis tak lagi hadir.

”Karena aku ingin menulis sajak.” Ucapmu menggenggam jemariku.

”Sudah?” ucapku sedikit terkejut.

”Telah lunas seluruh kenangan, maka kau akan temukan dirimu dalam sajak-sajakku. Tak lama lagi. Aku akan kembali menulis.”

”Aku tak sabar untuk membacanya. ”Bisikku, saat dua pasang kaki menyusuri koridor yang sunyi. Dan kutemukan dirimu pada setiap tiangnya. Tersenyum padaku. Tanpa kutahu artinya. Tapi kutemukan diriku dalam senyum itu.

”Kau telah membacanya.”

”Yang mana?”

”Aku mengirim seluruh burung dari hutan hatiku untuk bersarang di kubah mesjid ini, telah kususupkan seluruh kicau rindu pada sujudmu, telah kau dengar seluruhnya, sajak-sajakku kembali hidup. Di mesjid itu kusimpan seluruhnya, kata dan kalimat, cinta dan perjalanan. Telah kau reguk seluruh isinya. Kini kata-kata kembali mengalir dengan dirimu berdenyut di sajakku.” Kau berbicara dengan tenang dan pelan. Aku perlahan melayang dalam kata-katamu. Meninggalkan mesjid dengan sesuatu yang tak terkatakan.

Written by tukang kliping

16 Mei 2010 pada 10:39

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

36 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. cerpennya bagus dengan diksi yang sangat puitik. cerpen seorang penyair…

    surey

    16 Mei 2010 at 19:27

  2. Seperti dugaanku, Kompas akan selalu menghadirkan nama cerpenis yang mengejutkan, kali ini Toni Lesmana, sastrawan dari Jawa Barat (maaf kalo salah). Saat membaca judulnya, sudah kupasti, cerpen ini penulisnya dari Bandung. Bukankah Masjid Al Furqon yang paling top yang di Bandung?

    Kalau dari isi cerpenya, cukup biasa. Mungkin tema dalam cerpen tersebut, tema yang kini menjadi trend kembali di halaman sastra Republika.

    Sebagai cerpen yang mempunyai misi penyampai pesan, cukup berhasil. Tapi, agak jauh dari selera Kompas biasanya hehehe…

    Bamby Cahyadi

    16 Mei 2010 at 21:28

  3. Lagi-lagi senang ada nama baru. Tetapi lagi-lagi kecewa karena cerpen ini hanya permainan kata, penuh retorika, tak ada isinya…..

    bhoernomo

    17 Mei 2010 at 08:21

  4. bagaimanpun juga. saya senang ada nama baru di cerpen kompas…

    Budi Setiyarso

    17 Mei 2010 at 09:01

  5. “Aku mengirim seluruh burung dari hutan hatiku untuk bersarang di kubah mesjid ini.”

    Sebagian kalimat di dalam cerpen ini terasa berbeda, meskipun jujur saja saya tidak mengerti benar akan sajak. Dan satu hal: cerpen Toni Lesmana ini hanya berjarak 4 halaman lebih sedikit dengan spasi 1,5. Sungguh menakjubkan terbius oleh kata2 di dalamnya dan tiba-tiba diputus ending.

    Bintang 4 deh.

    Agus

    17 Mei 2010 at 10:52

  6. memusingkan, tapi suka…
    gw suka ni cerpen.

    kunto

    18 Mei 2010 at 11:04

  7. Dalem banget maknanya, nyaris tak kuasa daku memahaminya.But I like this story.

    Mimin

    18 Mei 2010 at 14:04

  8. Salam Hangat selalu,
    Kata ‘selamat’ saya maklumatkan pada pengarang baru yang rupa-rupanya seorang penyair. Dari diksi cerita sangatlah kentara sekali bahwa cerpen diatas merujuk pada setumpuk sajak yang terukir jelas pada tekanan judulnya. Jadi, jelas sekali isi cerpen merupakan pengejawantahan dari judul. Titik lemahnya adalah begitu kerasnya untuk memecahkan pemahaman jalan cerita dalam pikiran para pembaca budiman.
    Saya akan memberikan sedikit pemikiran saya untuk mengulas cerpen diatas sebagai resensi. Saya akan memberikan resensi dengan judul : KILAU BERLIAN YANG TERTUTUP MENDUNG.
    Saya menemukan cerpen yang kilau katanya bak berlian. Begitu mewah, puitis dan menyilaukan hati sehingga saya tertarik dengan keindahan berlian sajak dalam cerpen diatas. Apalah artinya suatu keindahan, jikala saya melihat kilau itu tertutup mendung. Tak ada bias sinar yang terpantul pada batu berlian diatas ( makna dari isi minim, alur tak jelas, ceritanya membingungkan). Bahkan saat mendung kian kelam, saya hanya bisa duduk dalam rasa kecewa tentang kilau yang hilang. Sungguh kalimat-kalimat cerpen berlian diatas menyilaukan hati, tapi sayang mendung menutupi kilau sajak cerpen berlian diatas dalam sebuah arti.
    Dalam sebuah renung, saya teringat Hesoid, seorang penyair Yunani( hidup sekitar tahun 800 Sebelum Masehi) yang menyebutkan dalam karyanya tentang ‘adamas’ untuk berlian. Adamas yang berarti tak dapat ditaklukkan atau dihancurkan, yang merujuk pada sifat kekuatan berlian. Berlian cerpen diatas bak ‘adamas’ yang susah sekali di taklukkan esensi, alur, dan pesan ceritanya. Tentu saja saya tak mungkin bisa menaklukkan ‘adamas’ cerpen berlian diatas. Tak apalah meski saya tahu begitu nihil dalam menghancurkan cerpen berlian diatas untuk menemukan arti dan makna cerita, tapi paling tidak saya akan berupaya mencari kilau berlian cerpen tersebut dengan menggosokkan kain pikiran saya.
    Saya duduk sambil terus menggosokkan berlian cerpen dengan kain pikiran saya untuk menemukan kilau indah dalam kalimat sajak berlian cerpen diatas. Ternyata kilau itu ada dan merasuk lembut ke hati pikiran saya, saya sedikit terpana dengan kilau redup berlian cerpen itu. Tak apalah, yang penting saya suka melihat kilau berlian cerpen diatas, meskipun kilau terangnya tertutup mendung kelabu dan saya jelas tak bisa menyapu mendung untuk menemukan kilau keindahan cerpen berlian diatas. Apakah pembaca budiman sekalian bisa menyapu mendung untuk memperlihatkan kilau cerpen berlian diatas? Kabarkan lah ke saya, saya akan melangkah datang sambil menyunggingkan seyum pada Anda(pembaca budiman).
    Saya dikirimi berlian indah dari seorang penemu, bung Toni Lesmana namanya. Terimakasih juga pada tukang kliping yang telah mengantarkan berlian cerpen indah itu pada saya melalui kreta blog Anda. O, ternyata ramai sekali kreta blok Anda. Lihat! Banyak penumpang(pembaca budiman) yang terkagum pada kilau sajak berlian cerpen diatas. Mereka juga menyayangkan kilau yang redup dalam berlian cerpen, “tapi tuan-tuan(pembaca budiman), di luar mendung. Jadi, Anda(pembaca budiman) belum bisa melihat cahaya terang sajak berlian cerpen”, kataku pada tuan-tuan(pembaca budiman). “Baiklah, saya akan gosokkan dulu, supaya tuan-tuan(pembaca budiman) bisa melihat kilau berlian cerpen itu”.
    Saya pun menggosok berlian cerpen milik bung Toni Lesmana dengan kain pikiran saya. Sebelum itu saya teringat tentang penemuan cerpen berlian dari bung Toni Lesmana. Saat saya membaca sambil terus menggosokkan baju pikiran saya, terungkap lah tentang tempat-tempat dalam paragraf yang mengabarkan indahnya cerpen berlian. Saya berkelana dalam membaca cerpen berlian diatas untuk sekedar membayangkan tempat di setiap paragraf yang tergurat keindahan.
    Berhati-hatilah melangkah jika berada di Letseng, Lesotho, Afrika Selatan. Siapa tahu Anda akan menginjak krikil berlian atau tersandung bongkahan berlian. Tentu saja senang tak terkarang, jikalau menemukan sebutir saja berlian. Sepertihalnya cerpen diatas, senang jika bisa menemukan kilau sebuah esensi cerita. (Kerajaan Lesotho merupakan tempat langganan di temukannya berlian mentah berukuran besar).
    Ungkapan pada seorang kekasih yang terhayut dalam buai fiksi sebuah kata sayang berbalut sajak di sebuah teras Masjid( apakah di teras masjid Al Furqon? Berdasarkan info dari bung Bamby). Al Furqon merupakan bacaan yang tak di jelaskan artinya secara tersurat dalam berlian cerpen diatas. Saat sedang menggosokkan berlian cerpen diatas, saya melihat dialog tokoh utama yang berhutang sajak pada kekasihnya untuk segera menuliskannya( di teras masjid sambil merokok? Dilarang merokok di tempat umum/ibadah bung Toni, tak apalah yang penting jangan di dalam ya bung). Sepertinya sang kekasih asyik sekali memainkan pematik api( aduh mesranya).
    Percakapan batin tokoh utama pun di mulai tentang perasaan hati(percakapan fiktif dalam sebuah sajak yang bagus sekali saya kira) pada kekasihnya. Banyangan si tokoh utama terlintas di masa dia sedang sujud menghadap Illahi, di temani bunyi merdu burung di kubah masjid(dengan kicau burung, jadi tidak kusyu kan ibadahnya hehe..). Ternyata di cerpen berlian diatas juga tertulis bahwa si tokoh tak kusyu dalam melantunkan doa bercampur bunyi burung yang merasuk ke pendengarannya( hingga meresap ke hati). Si tokoh utama mengkhayalkan kekasihnya akan mengalami hal yang sama jika dulu sholat di temani sang burung di kubah masjid(bayangan rasa yang indah saya rasa).
    Sang kekasih meminta si tokoh utama untuk menuliskan sajak-sajaknya….”Ah, pada setiap sajakmu, sekarang ini, aku mencecap kenikmatan seketika aku menulis sajak. Pada setiap kata-katamu kutemukan kata-kataku.”….
    Si tokoh utama menuliskan sajak berupa doa-doa pada sang kekasih. Si kekasih berkata : …..”Doa adalah penyatuan dengan-Nya. Sedang denganku akan utuh dengan sajak-sajakmu. Aku merindukan kata-katamu, terlebih jika diriku terdapat di dalamnya. Jangan membuat sajak untukku. Sebab itu hanya akan membuatmu kehilangan kata-kata. Jadikan aku kata-kata dalam sajakmu. Mungkin kau akan kembali menulis. Karena aku pun begitu.”….
    Si tokoh utama sangat lihai mengirimi kasih sayang tetang perasaan dalam sebuah ungkapan sajak : …..”Aku mengirim seluruh burung dari hutan hatiku untuk bersarang di kubah mesjid ini, telah kususupkan seluruh kicau rindu pada sujudmu, telah kau dengar seluruhnya, sajak-sajakku kembali hidup. Di mesjid itu kusimpan seluruhnya, kata dan kalimat, cinta dan perjalanan. Telah kau reguk seluruh isinya. Kini kata-kata kembali mengalir dengan dirimu berdenyut di sajakku.” Kau berbicara dengan tenang dan pelan. Aku perlahan melayang dalam kata-katamu. Meninggalkan mesjid dengan sesuatu yang tak terkatakan. …..
    Kesimpulan yang saya temukan saat menggosok berlian cerpen diatas adalah suatu rasa tentang sajak indah yang di minta tuliskan/utarakan untuk kekasihnya. Sang tokoh hanya cukup berujar kata bahwa sajaknya adalah doa, dalam kicau burung yang diresapinya dalam sujud untuk kekasihnya. Amin.
    Saya sejenak teringat film Blood Diamond(2006) disutradarai Edward Zwik dan di bintangi Leonardo DiCaprio dan Djimon Hounsou. Esensi film menceritakan pesan agar masayarakat internasional menghentikan perdagangan berlian berdarah dari konflik berlian tersebut. Sementara cerpen diatas setelah kain pikiran saya menggosoknya, saya temukan esensi sebuah doa yang patut di persembahkan untuk sang kekasih(doa dalam sebuah sajak).
    “Tuan-tuan(pembaca budiman), lihat berlian sudah saya gosok esensinya, Lihatlah! Mengkilap bukan kilau maknanya. Jika tuan-tuan(pembaca budiman) belum puas tentang kilau berlian cerpen, maka saya akan persilahkan tuan-tuan(pembaca budiman) mengosoknya sendiri dengan kain pikiran tuan-tuan”, kataku pada penumpang kreta blog tukang kliping.
    Sebelum turun dari kreta blok tukang kliping, Anda pasti sudah bisa melihat mendung yang kini telah tersapu. Wah! Cerahnya kilau cerpen berlian diatas.
    Di samping kekuatannya, berlian juga terkandung lambang cinta. Buktinya pada tahun 1477 Archduke Maximilian dari Austria mempersembahkan ‘Diamond Solitaire’ yang betahta pada sebuah cincin untuk Mary Burgundy. Begitu juga esensi kilau berlian cerpen diatas, berisi cinta si tokoh pada kekasihnya dalam sajak-sajak doa Al Furqon. Amin.
    Weel, sebelum saya terburu-buru menjatuhkan vonis nilai dalam cerpen diatas, buang semua pandangan berlian cerpen yang susah di temukan kilau maknanya, sebab asalkan kita tepat dalam meresapi kata perkata dan menyelaminya, maka kilau itu akan muncul. Berlian cerpen diatas bisa menjadi inspirasi pembaca budiaman. Lihat! Mendung sudah tersapu dengan kecerahan, pembaca budiman sekalian bisa meresapi kilau indah maknanya.
    Sukses berkarya selalu.

    Tova Zen

    19 Mei 2010 at 08:25

  9. Saya suka ulasan Tova Zen. Terima kasih juga sudah mengulas cerpen saya di Berita Pagi dengan 5 PELURU Senjata Api.

    Bamby Cahyadi

    19 Mei 2010 at 13:29

  10. @Oneke

    Kepada rekan Oneke yg menulis komentar di arsip cerpen ‘Air’ karya Djenar M.Ayu pada 14 Februari 2010 pada 20:47,
    perlu saya beritahukan pd anda, bhw komentar yg mengatasnamakan ‘A’ di cerpen itu pada November 2009 BUKAN dibuat oleh saya.
    Mudah2an terbaca oleh anda. Terima kasih.

    @tukang kliping
    Mohon perhatian anda pada komentar di arsip cerpen tersebut.
    Saran saya mungkin sebaiknya komen dari ‘A’ Palsu itu dihapus saja. Terima kasih.

    A

    21 Mei 2010 at 12:28

  11. @tukang kliping
    Rupanya pemberitahuan saya di atas membuat org yg memalsu nick saya aktif kembali.
    Mohon perhatian anda di cerpen Orang Bunian dan Janji. Terima kasih.

    A

    21 Mei 2010 at 14:10

  12. @tukang kliping
    Orang tersebut kini malah meneruskan olok2nya di berbagai cerpen lain.
    Bisa anda cek nanti, orang tsb pasti memakai email yg sama pada semua postingnya.
    Saya akan terus bantu melaporkannya pada anda.
    Terima kasih.

    A

    21 Mei 2010 at 14:23

  13. Buat “A” memang ada masalah ya untuk menampilkan jati diri anda yang sesungguhnya?

    menurut saya satu2nya cara untuk menghindari semakin banyak komentator2 yang mengatasnamakan “A” adalah dengan anda si “A” aseli ini berhenti untuk menggunakan inisial A, dan menggantikan dengan identitas anda sebenarnya.

    justru ketakutan2 anda dengan komentar2 yang dilontarkan oleh “A” palsu adalah merupakan collateral damage atas kepengecutan anda untuk menampilkan jati diri anda.

    Penulis2 disini rata2 memasang jati diri yang sesungguhya bahkan ada yang memasang link website pribadinya (Bamby cahyadi) dan itu suatu bukti kalau mereka adalah orang yang bukan tipikal pengecut seperti anda untuk terjun langsung dalam mengkritik & membahas karya2 cerpen KOMPAS.

    anda ini lucu. terlalu banyak komen dan terlalu eksis namun jati diri tidak mau anda ungkapkan sama sekali.

    ini adalah ciri khas tipikal masyarakat yang suka melempar batu sembunyi di tangan.

    denioktora

    22 Mei 2010 at 07:00

  14. emm.. salam kenal semua..
    saya pembaca kumpulan cerpen kompas ini, yah hanya membaca..
    tapi saya penasaran malah bukan ama penulis2 nya tapi ama mas “A” yang asli..
    siapakah “A”?
    penulis? pembaca ? pengkritik ? ato yang lain ?
    saya harap “A” yang asli adalah penulis.
    saya ingin melihat karya nya, pasti bagus deh..
    pemikirannya luas dan jarang memihak..
    😀

    joink

    22 Mei 2010 at 12:14

  15. @ A:

    Saya ingin tanya pada Anda. 17/5/2010 lalu ada seseorang berinisial ‘A’ komen di lakonhidup mengomentari cerpen ‘Percakapan Pengantin’ (Koran Tempo, 31 Januari 2010) karya Benny Arnas.

    Karena penasaran, saya coba search via facebook tentang siapa gerangan si ‘A’ dengan email yang entah sengaja atau tidak dicantumkannya itu. Dan saya menemukan akun itu, di wall ada status begini, mungkin tidak sama persis, “Sial! Cerpenku tidak dimuat koran minggu ini!”

    Hanya sayang, beberapa saat lalu saat saya mengecek akun itu lagi sudah tidak ada, kemungkinannya di nonaktifkan sementara.

    Jadi, apakah si ‘A’ dengan email (mohon maaf, saya cantumkan) putrajowo@yahoo.com itu Anda atau bukan??

    Hmm, cukup jawab dengan nurani Anda biar tidak ada lagi khalayak yang bertanya-tanya tentang siapa Anda sesungguhnya di sini. Atau, ya, Anda memang, maaf, the real coward.

    Saya akan jauh lebih respek pada Anda jika Anda sanggup menjawap pertanyaan saya itu dengan ‘Ya’ atau ‘Bukan’ saja. Saya tidak butuh kata-kata Anda selain dua kata itu saja. Terimakasih.

    lakonhidup

    22 Mei 2010 at 13:40

  16. @ tukang kliping dan rekans semua:

    Saya kira, kita akan lebih terhormat bila berani tampil apa adanya. Jauh lebih gentle dan elegan. Jadi, mohon maaf bila ada rekan lain yang tidak berkenan. Piss…

    lakonhidup

    22 Mei 2010 at 13:45

  17. Slam kenal semua…
    Saya “penikmat baru”.

    Membaca Pembaca membaca

    22 Mei 2010 at 15:27

  18. @ A : bila anda mau jadi pengkritik sastra, ada baiknya anda mengikuti jejak langkah Tova zen yang selalu eksis dalam setiap blog kumpulan cerpen dan mengkritisi setiap cerpen tanpa “sembunyi tangan”

    bahkan saya meng-add account facebook Mas Tova dan memersilakan dirinya untuk mengkritisi cerpen2 saya.

    atau kalau mau yang lebih kontroversial ada baiknya anda mengikuti jejak langkah bang Saut Situmorang yang anti-pati terhadap Goenawan mohammad dan Hudan Hidayat, beliau dengan gaya bahasanya yang nyeleneh kerap menghina habis2an cerpen yang dianggapnya jauh dari kualitas. Cerpen Bamby cahyadi adalah salah satu korban hinaannya.

    namun yang membedakan anda si “A” dengan kedua orang yang telah saya sebutkan di atas (Tova zen & saut situmorang) si “A” ini terlalu banyak berceloteh namun tidak berani menampakkan secuilpun jati dirinya.
    sementara kedua orang itu tak ragu untuk menampilkan jati dirinya dengan account facebook, maupun blog pribadi.

    denioktora

    22 Mei 2010 at 16:39

    • cerpen Bamby yg mana?

      Konil D

      24 September 2010 at 18:51

  19. heemmm,,,,
    jadi ada kemungkinan mas “A” adalah seorang penulis…
    bagus2..
    terkadang penjahat, kata2 baik yang terucap dari mulutnya akan jauh lebih baik, karena ia mengenal kejahatan yang sesungguhnya.
    begitu juga dengan seorang pengecut, kata2 nya akan keluar lebih berani karena dia mengenal kepengecutan yang sesungguhnya..
    saya tak ada masuk menyerang lho.., hanya teringat kata2 seperti itu saja..hehehe
    jadi penasaran banget karya’y kaya gimana, kalau memang dia seorang penulis..
    😀

    joink

    22 Mei 2010 at 16:50

  20. @denioktora, joink

    Maaf rekan2 semua, pertanyaan2 anda sudah pernah saya jawab pada komentar2 saya sebelumnya.
    Saya sudah pernah menjelaskan siapa jati diri saya sesungguhnya, dan mengenai nickname ‘A’, maaf,
    saya punya HAK penuh untuk memakainya, krn saya yg pertama kali memakai nickname tsb di forum ini, dan nick tsb jg sdh lama sekali saya pakai di forum2 lainnya.

    Sama halnya spt saya tidak bisa memaksa anda utk menanggalkan nickname ‘denioktora’ dan ‘joink’
    anda jg tidak bisa memaksa saya utk mengganti nickname ‘A’.

    Pertanyaan saya pada anda semua dari awal cuma satu:
    TUNJUKKAN DI MANA SAYA MENGKRITISI SETIAP CERPEN?
    TUNJUKKAN APA YG MENURUT ANDA SALAH DARI KOMENTAR SAYA.

    Jika anda tdak dpt menunjukkan apa yg keliru dr komentar saya, STOP memojokkan saya.

    Maaf, ini cuma menunjukkan jika anda semua tidak pernah benar2 membaca komentar saya.

    Coba anda bayangkan, bila nickname anda berdua yg dibajak?
    Bagaimana?
    Mau?
    Tidak keberatan?

    Tolong pahami dulu duduk persoalannya sebelum komentar.
    Saya justru heran sekali kenapa anda berdua malah memihak orang2 yg MEMBAJAK nickname saya, MEMFITNAH saya dan membuat olok2 di blog ini?
    Anda berdua mau forum ini jadi forum fitnah?
    Kalo mau silahkan,
    saya sih tidak mau.

    A

    24 Mei 2010 at 06:52

  21. @lakonhidup

    Maaf bung, saya BUKAN pemilik email putrajowo@yahoo.com
    Sekali lg saya ulangi, saya BUKAN pemilik email tsb.
    Maaf, saya blm pernah mengunjungi blog anda, apalagi komen di sana.
    Mungkin saja itu org yg sama yg berusaha memfitnah saya.

    Saya jg tidak tahu siapa anda, dibalik nickname ‘lakonhidup’
    Tapi toh saya tidak pernah menyebut anda sbg pengecut.

    Maaf bung, tolong baca dulu semua komen2 saya baik2 sebelum berkomentar.

    A

    24 Mei 2010 at 06:59

  22. @lakonhidup
    Saya sdh tinggalkan pesan di blog anda.

    A

    24 Mei 2010 at 07:11

  23. @ A:

    Anda bisa sekilas mengenal saya di link ini:

    http://lakonhidup.wordpress.com/about/

    Dan, maaf, komen Anda dan A satunya lagi dengan terpaksa saya DELETE dari lakonhidup. Saya tidak akan setoleran mas tukang kliping yang membiarkan pengecut–karena tak berani menyebut nama sendiri, berkomentar di lakonhidup. Terimakasih konfirmasinya.

    lakonhidup

    25 Mei 2010 at 03:50

  24. @lakonhidup
    Nickname itu juga NAMA Bung.
    Nickname ada kaitannya dgn privasi.
    Semua org punya HAK melindungi privasinya di internet.
    Anda tentu tau itu.
    Saya jg kurang setuju dgn kebijakan mas tukang kliping, tapi saya bisa lihat di mana poin beliau.

    Di kolom komentar ini kita semua org asing. Buat saya, ANDA jg tetap org asing walau di blog anda disebutkan nama.
    Buat saya ‘Setta’ itu jg tetap sebuah nickname krn saya tdk kenal siapa ‘Setta’ itu sebenarnya.
    Tapi saya tidak pernah menyebut anda ‘pengecut’.

    Jika memang dirasakan perlu lebih saling mengenal, bisa dgn bertukar email atau yg lainnya,
    tidak malah dengan memaki org lain sbg pengecut.

    A

    25 Mei 2010 at 06:51

    • ember….

      ABC DEF

      20 November 2010 at 23:53

  25. @A: Salam kenal, Mas..
    saya seorang penulis pemula… saya sudah membaca semua komentar dalam halamana ini. saya turut prihatin atas masalah yg menimpa Mas A (Setta) dan mengutuk orang yang menciplak tsb. saya harap Mas lebih meningkatkan kesabaran. ibarat kata guru saya dulu, “orang yang menciplak tak kan bertahan lama, ia akan ‘mati’ dengan sendirinya” 🙂
    @tova zen: akan bahagia rasanya jika kelak cerpen saya yang akan dikritik oleh Mas.. karena saya tahu, dalam kritikan dan sebuah apresiasi lah suatu karya bangun dan berkembang. salam knal 🙂

    arco

    27 Mei 2010 at 09:33

  26. @arco
    Salam kenal rekan Arco. Terima kasih atas komentar anda. Seblmnya mungkin perlu sedikit diluruskan, Setta itu nama rekan kita yg menggunakan nickname ‘lakonhidup’, bukan nama saya.
    Sebenarnya ini hal yg biasa terjadi dlm forum atau blog, pernah jg saya alami di blog lain, cuma mmg saya tdk menduga akan disikapi spt ini oleh bbrp org di sini dan pemilik blog ini.

    Selamat bergabung. Pesan saya, jangan takut menyatakan pendapat anda walaupun itu bertentangan dgn opini mayoritas.
    Seni itu demokratis.

    A

    27 Mei 2010 at 09:58

  27. @A: oh, maaf Mas. saya sedikit teledor dalam memahami nama Setta itu.
    ya, saya setuju. seni itu demokratis !
    kapan2 boleh lah karya saya yang mendapat kritik dari Mas… dg kritik itu saya harap saya lebih ‘hidup’ dalam berkarya…

    salam juga buat semua yang tergabung dalam forum ini.

    arco

    27 Mei 2010 at 19:13

  28. Susah untuk tidak menjadikan Kompas sbg SALAH SATU,sekali lagi-SALAH SATU, barometer cerpen berkualitas di Indonesia adalah karena dibanding koran lain, Kompas koran yg paling luas gaungnya dengan tema beragam seperti Indonesia dengan Kebhinekaannya. Cerpen bertema Inggris boleh, bertema campuran Indonesia-luar negeri pun pernah dimuat. Inilah okenya Kompas.
    Mestinya Koran Tempo, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan dan Suara Karya yg katanya koran nasional disirkulasi dari Sabang sampe Merauke. Dan hal ini bisa mengurangi jumlah pengangguran.
    Loker-DIBUTUHKAN : Wartawan, loper koran, asisten distributor, agen penjualan
    Jika majalah Femina dan Kartini juga dikategorikan majalah wanita nasional, tapi untuk cerpen temanya sebatas ttg wanita saja gitcuuu…(namax saja majalah wanita ,wajar temanya sebatas perempuan), tema yg boleh saja muncul di Kompas, bahkan sudah sering muncul.

    Hatare

    29 Mei 2010 at 21:21

  29. @tukang kliping: usul agar nama ilustrator cerpennya juga ditampilkan,slx tak setiap org bisa membeli Kompas tiap minggu,lalu kalau cari arsipx (baik lewat internet maupun di dunia nyata) tak setiap orang bisa mudah mendapatx. Banyak orang suka menulis cerpen sekaligus menggambar.pelukis sekaligus penulis cerita fiksi.wow….sedap…nikmat…!!

    Ran Pasnim

    30 Mei 2010 at 07:25

  30. @ran pasnim: nama ilustrator sebenarnya sudah saya cantumkan pada berkas ilustrasinya, meski tak ditampilkan.

    tukang kliping

    30 Mei 2010 at 12:20

  31. @tukang kliping: tapi tak kelihatan

    Ran Pasnim

    30 Mei 2010 at 18:40

  32. blog yang mantap.terima kasih untuk tukang kliping.

    Budi P. Hatees

    3 Juni 2010 at 11:26

  33. cerpen yang indah….

    Herlambang

    18 Juni 2010 at 20:47


Tinggalkan Balasan ke lakonhidup Batalkan balasan