Posts Tagged ‘Noviana Kusumawardhani’
Pemanggil Bidadari
Kenangan itu seperti kotak-kotak kardus yang berserak. Seperti saat ini ketika kumasuki desa tempat Simbah Ibu tinggal.
Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan sunyi.
Pemburu Air Mata
Buat penggemar matahari, malam selalu menakutkan. Karena hanya pada malam, semua khayalan tentang iblis dan hantu memiliki tempatnya. Malam entah kenapa selalu memecahkan rongga-rongga dada dan membuat denyut jantung lebih cepat.
Terkadang gemerisik angin terlembut pun entah kenapa tetap membuat helaan napas menjadi lebih berat. Malam adalah waktu di mana hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang menahbiskan dirinya pada kekuatan hati. Benar hanya orang yang berhati kuat yang akan berani menghadapi malam. Seperti para pemberani di desaku. Suatu tempat amat elok di kaki gunung Jaganmantri. Gunung yang kontur tanahnya menyerupai payudara ranum ibu yang baru melahirkan itu benar-benar sangat cantik. Ibu semesta begitu setiap kali ada orang yang bertanya tentang arti Jaganmantri.
Rongga
Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan, nyaris tak ada desah keluar. Suara bisu desir angin yang berbisik di celah hutan bambu, mencekam. Batu-batu jalanan desa seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai datang, dan kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan yang berwarna jingga.
Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan, tanpa ampun lagi, kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya.
Lelaki yang Membelah Bulan
Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam matanya. Aku tidak tahu apakah dia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.
“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.
Penari Hujan
”Aku akan selalu ingat kamu saat hujan.”
”Kenapa?”
”Karena kita sering menari bersama hujan.”
”Hanya itu alasanmu?”
”Bukan, karena kamu perempuan hujan.”
”Maksudmu?”
”Hujan dan kamu adalah cintaku…”
Lelaki itu datang dari kabut di satu sore yang mendung. Di antara detik suara gerimis dan leleh keringat yang bercampur dengan sengau napas yang mengeluarkan asap seperti naga yang kelelahan. Lelaki itu menyimpan mata yang aneh. Mata yang selalu murung meski urat-urat di sekitar mulutnya tertarik ke atas untuk mengukir sepenggal tawa. Mata itu membutuhkan kemampuan ekstra jenius untuk mengurai satu per satu sel-sel makna di dalamnya. Aku melihat Siwa sedang tidak menari di mata itu. Mata yang marah. Mata yang diam. Mata itu membutuhkan istirahat dari pertanyaan.