Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Archive for Mei 2012

Tembiluk

with 45 comments

Di masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang mendalami ilmu hitam.

Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian, agar pencapaiannya benar-benar tak diragukan. Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

27 Mei 2012 at 09:38

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Bu Geni di Bulan Desember

with 48 comments

Bagi Bu Geni, semua bulan adalah Desember. Bulan lalu, sekarang ini, atau bulan depan berarti Desember. Maka kalau berhubungan dengannya, lebih baik tidak berpatokan kepada tanggal, melainkan hari. Kalau mengundang bilang saja Jumat dua Jumat lagi. Kalau mengatakan tanggal 17, bisa repot. Karena tanggal 17 belum tentu jatuh hari Jumat. Kalau memesan tanggal 17, bisa-bisa Bu Geni tidak datang sesuai hari yang dijanjikan.

Masalahnya banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

20 Mei 2012 at 08:16

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Mengenang Kota Hilang

with 36 comments

Maka lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.
(Hasan Aspahani, 2006)

Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.

Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.

Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

13 Mei 2012 at 17:32

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with