Archive for Desember 2011
Tart di Bulan Hujan
”Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak,” kata Sum kepada lakinya, Uncok.
”Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat?” bertanya suaminya.
”Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar, cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu,” Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari bungkusnya dan mencoba menyalakan korek.
Di Persimpangan Pantura
Tak pernah sekalipun aku tampil dengan rok mini dan paha mengundang apalagi bahu terbuka dan dada menantang, tapi mengapa nasib tak berpihak juga?
Namaku Limbuk, asal Dukuh Menjangan. Hidupku isinya cuma kesedihan. Keceriaan adalah hal yang absurd bagiku. Lagipula tak ada yang aneh dengan kesedihan di negeri ini bukan? Namun aku selalu ingat kata simbok dulu, hidup ini memang sekadar mampir ngombe, singgah untuk minum.
Tak pernah aku mengerti arti perawan sampai suatu hari simbok bilang aku tak perawan lagi. Padahal hanya sedikit noda darah pada celana dalam, tapi mengapa nasibku jadi berputar seratus delapan puluh derajat? Sebelas tahun usiaku waktu itu, ketika dengan kejamnya Lik Sol mengenalkan arti perih sesungguhnya. Ego yang berbalut nafsu itu biang keladinya.
Sehelai Kain Kafan
1/
Ia bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci dari mata kaki. Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak. Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan kanannya mengapit sisi bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.
”Tukang bendring datang….”
Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan. Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala, kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut.