Nenek
Nenekku merokok! Inilah yang membedakannya dengan karakter nenek lain yang umumnya lemah lembut dan imut-imut; salah satunya. Ia juga garang, pemarah, dan suka cakap kotor!
Bila kesal ia menyebut-nyebut alat kelamin pria dan wanita. Orang yang pertama kali mendengar nenek menggerutu pasti kaget bukan alang kepalang.
Namanya saja nenek, jadi, ia memang sudah tua sehingga semua orang tampaknya memaklumi segala ulahnya yang menyimpang. Kalau menasihati orang, nenek selalu terus terang. ”Malas kau! Mana ada laki yang mau sama kau? Bisanya cuma duduk-duduk mengangkang dan berdandan. Sana cuci piring, cuci pakaian, masak, atau beres-beres! Jadi perempuan jangan sampai harus disuruh-suruh. Malu.” Saudara sepupu jauhku langsung merah matanya dan tersengal-sengal napasnya diomeli begitu.
Aku melihat nenek sendiri tidak mengerjakan apa-apa. Sepanjang hari ia cuma duduk-duduk di kursi-baringnya yang terbuat dari kayu dan kain terpal. Ya, duduk-duduk sambil berkipas-kipas bila hari panas dan merokok Kansas. Bibi Ketiga yang selalu membelikannya rokok sehingga nenek sering bercerita kepada orang mengenai anak bungsunya ini yang dikisahkannya sebagai anak berbakti.
Nenek suka membanding-bandingkan Bibi Ketiga dengan Bibi Kedua yang dilukiskannya pelit dan hanya peduli pada keluarganya sendiri. Maka Bibi Kedua suka menyela bila nenek sudah mulai menyinggung Paman Kedua dan membandingkan perhatiannya dengan Paman Ketiga yang selalu dipujinya royal. Seperti efek domino, nenek pun lebih menyayangi anak-anak Bibi Ketiga dan selalu mencela anak-anak Bibi Kedua yang dinilainya nakal karena dimanja.
Ada sebuah pispot tempat nenek buang ludah di samping kursi-baringnya. Keadaan ini membuat aku merasa jijik tetapi aku mendiamkannya. Kalau aku tak menahan diri, nenek mungkin akan langsung menuding aku durhaka atau entah apalah. Ayah adalah anak sulung nenek. Karena melahirkan anak sulung laki-laki, nenek disayang kakek. Nenek, dengan demikian, juga menyayangi ayah lebih daripada Bibi Kedua dan Bibi Ketiga.
Nenek suka membanggakan ayah yang sebenarnya kurang cakap berdagang, suatu kemampuan yang menjadi andalan banyak orang perantauan pada masa itu. Seingat aku, ayah gagal dan rugi melulu bila memperdagangkan sesuatu. Berbeda dengan sikapnya terhadap ayah, nenek kurang senang dengan ibuku. Mungkin lantaran setelah menikah dengan ibu, ternyata ayah tidak maju-maju. Nenek juga tidak mencintai kami, aku dan saudara-saudaraku.
Ada kalanya aku merasa cemburu kepada teman yang sering bercerita betapa mereka disayang nenek masing-masing. Bukan perkara mata duitan tetapi nenek orang lain ternyata suka memberi uang kepada cucu-cucunya. Nenekku tidak pernah memberi aku uang jajan. Bila menyuruh-nyuruh pun ia tidak membiarkan aku mengantongi uang kembaliannya. Aku tahu nenek tidak punya banyak uang maka aku tidak banyak menuntut dan mengata-ngatainya pelit atau apalah. Jika membeli mie pangsit, nenek memesan mie polos tanpa pangsit. Belinya selalu sebungkus untuk dirinya saja. Jajan apapun nenek hanya memuaskan dirinya sendiri. Sejauh ingatanku, aku juga tak pernah membelikan sesuatu untuk nenek. Hubungan aku dan nenek jauh dari ikatan kasih sayang.
***
Nenekku istri muda kakekku. Istri kedua. Dahulu, zaman kakek dan nenekku, cukup banyak wanita menjadi istri muda pria perantauan dari Tiongkok. Orang yang merantau tidak pernah membawa-bawa serta istri dan anak mereka. Tiba di rantau, suratan tangan berbelok ke mana-mana. Usia pria perantau umumnya masih relatif muda dan penuh gairah. Mana tahan tidak menyentuh perempuan dalam waktu lama dan tak ada ujungnya?
Beberapa yang berakhlak rendah masuk-keluar rumah pelacuran dan mengisap opium. Kakekku bermoral tinggi biarpun akhirnya ia menyerah pada nafsunya sendiri. Ia mencari jalan yang agak bersih dengan mengambil keputusan menikah lagi. Aku yakin nenekku yang mulai menggodanya. Walaupun sudah tua, aku tahu nenek bertulang sedikit genit dari sananya.
Belakangan nenek di Tiongkok tahu bahwa suaminya sudah menikah lagi di perantauan meskipun kakek masih setia mengirimkan uang secara teratur. Mungkin nenek di Tiongkok sakit hati dan sudah memikirkan akan menempuh sebuah jalan sendiri. Pada suatu kesempatan ia menitipkan putrinya, putri sulung kakekku, kepada seorang perantau dari kampung yang sama untuk diserahkan kepada kakek. Kukira kakek orang baik dan bertanggung jawab. Ia membesarkan putri sulungnya secara terpisah. Kakek sudah cukup kaya waktu itu setelah sukses di perantauan. Entah pekerjaan yang dilakukan kakek sebelumnya, hal yang aku ketahui adalah bahwa kakek berdagang ikan asin grosiran. Aku memang tidak tahu banyak sebab kakek meninggal dunia saat aku masih berusia antara 1-2 tahun. Cerita-cerita aku dengar dari keluarga dan nenek.
Nenek suka bercerita jika tak dapat dikatakan banyak mulut. Setiap kali duduk atau jongkok dan berhadapan dengan orang, ia akan mulai bercerita. Biasanya semua ceritanya menyinggung hal yang bagus-bagus mengenai dirinya dan soal yang jelek-jelek dan aneh-aneh jika menyangkut orang lain.
Sebagai sesepuh, nenek sesekali dikunjungi sanak keluarga yang lebih muda. Ia senang dihormati tetapi tak segan-segan menyerang orang dengan kata-kata polos. Suatu kali ia mengintip salah seorang kerabat yang bersimpuh mengenakan celana dalam mini dan berkomentar, ”Beraninya kau! Pada zaman aku, celana dalam seperti itu hanya dipakai pelacur!” Kontan sang kerabat memerah wajahnya.
Selain cerita sehari-hari yang dibumbuinya, nenek sering pula mendongeng. Tentang Sun Go Kong yang dapat berubah menjadi 72 wujud, tentang kera yang jempolnya lemah sebab jika kuat bisa memegang pisau dan membunuh manusia, tentang tokoh bernama Gong Beng (Beng si Bodoh) yang duduk telanjang di bawah meja untuk menjadi santapan nyamuk agar ayahnya bebas dari gigitan nyamuk, dan lain-lain. Paling heboh bila nenek mendongeng tentang neraka. Orang yang berbohong bakal dipotong lidahnya, (bukan memanjang hidungnya), orang yang berkhianat akan direbus, orang yang mencuri dipenggal tangannya dan diumpankan kepada anjing, dan macam-macam siksaan menurut imajinasi nenek. Tujuannya membuat kami takut dan menjadi anak penurut. Di atas semua itu, tentu kami paling suka mendengar kisah hantu.
***
Kamar nenek seram atau begitulah pendapat aku. Satu-satunya jalan masuk cahaya berasal dari genteng kaca di atap. Pada langit-langit kamar ada bagian yang diberi lempengan kaca sehingga cahaya dari atap tersebut dapat menerobos masuk. Tidak ada jendela sebab kamar nenek berada di bagian dalam rumah. Pada dinding kamar tergantung sepasang lukisan potret kakek dan nenek dalam bingkai oval. Lukisan itu dibuat oleh seniman Belanda yang datang berkeliling dan mengumpulkan foto mereka yang hendak dilukis. Foto-foto yang terkumpul dibawa pulang dan dilukis di negeri Belanda. Setelah selesai ia membawa hasil karyanya kembali ke sini.
Perabot milik nenek hanya sebuah lemari kayu besar tempat ia menyimpan pakaiannya dan seluruh rahasia hidupnya. Aku tidak pernah tahu isi lemari nenek dan tidak ingin tahu. Aku masuk ke kamar nenek biasanya lantaran hendak mengambil sesuatu dari meja belajar kakak yang sejak kecil tidur bersama nenek.
Setelah ia sakit-sakitan aku jarang mendengar lagi mengenai nenek. Aku sendiri kemudian meninggalkan rumah untuk merantau ke Jawa. Aku tidak merindukan nenek dan aku kira nenek juga tidak peduli padaku. Perpisahan kami seperti sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Suatu waktu aku tahu, pada saat sakit, nenek pernah menuduh adikku mencuri uangnya dari dalam lemari! Aku tidak percaya dan marah. Nenek juga menambahkan bahwa uangnya dipakai adik untuk berjudi. Astaga, orang tua ini mengigau atau berhalusinasi. Fantasinya masih berjalan ke mana-mana ketika ia terbaring lemah. Aku mengenal adikku dan berani berkata bahwa ia tidak mungkin berlaku sejahanam itu. Aku pikir, jika masih ada di rumah, barangkali aku yang akan menjadi sasaran hujatan nenek.
Setelah ibu mempertanyakannya, Bibi Ketiga mengaku bahwa dialah yang mengambil uang nenek. Alasannya, ia khawatir bila nenek meninggal, kami mengambil uang itu. Ia merasa itu uangnya sebab hanya dia yang selalu memberi nenek uang. Sayangnya, ia mengaku setelah nenek meninggal dunia. Bibi Ketiga berkelit bahwa ia tidak tahu nenek menaruh curiga kepada adikku. Nenek senantiasa memuji Bibi Ketiga. Kenyataannya memang Bibi Ketiga sering membelikan nenek sesuatu, hal yang jarang dilakukan anak-anak nenek yang lain termasuk ayah. Selain rokok yang sekali beli 2-3 slop (1 slop isi 20 bungkus), Bibi Ketiga suka membelikan nenek sarung. Nenek memang mengenakan kebaya (yang belakangan aku tahu namanya kebaya ”encim”) dan sarung seperti nyai-nyai di Jawa.
Aku tahu, tidak baik bercerita tentang orang yang sudah tiada, apalagi mengenai keburukannya. Aku hanya ingin orang tahu bahwa tidak semua nenek baik. Nenek juga manusia dan ada yang jahat. Mungkin bukan jahat dalam arti suka memukul atau mencaci maki, melainkan tidak menyayangi cucunya dan egois sampai mati. Nenek telah wafat dan dikubur. Aku tidak pernah mengunjungi kuburannya. Tidak ada kerinduan untuk itu.
Bandung, 11 Februari 2011
ini cerpen tentang apa ya…?
duh kasihan sekali kompas
surey
24 April 2011 at 13:39
Sangat “mengharukan”.. Tidak ada yang lain kah?
Pembukaan yang membosankan dan penutupan yang tidak menarik..
Pengko
24 April 2011 at 14:09
ceritanya datar,, biasa2 saja..
mas jawa
24 April 2011 at 15:49
iya ni, malah dapat tugas bahas cerpen ini lagi 😦
rayatbk
20 Oktober 2011 at 07:41
Surey dan Pengko, saudara berdua bolehlah sesekali membuat cerpen yang memiliki cerita dan juga yang tidak mengharukan dengan pembukaan yang bergairah dan penutupan yang menarik, nanti saya akan kasih review masing-masing.
roy sinaga
24 April 2011 at 15:54
Biasanya, cerpen Kompas bagus-bagus.
Mursyidi Prihantono
24 April 2011 at 16:29
orang yg sudah tua, tingkah lakunya akan kembali seprti anak” lagi…….
djazaakhir
24 April 2011 at 17:45
saya mencoba ingin menarik pesan pada bagian akhir namun sayang polos tapi ini masukan bukan mau menghakimi.. saya menghargai kejujuran itu. terima kasih
Robert Pujo
24 April 2011 at 18:06
ceritanya tentang apa ya? parah nih pilihan kompas sekarang…
franz
24 April 2011 at 18:44
Ini mirip cerpen “SAKIT”-nya Eka Kurniawan. Sayangnya endingnya tidak terlalu bagus. Berbeda dengan karya Eka.
Bagi saya, ini juga tidak terlalu membosankan. Ini juga tekhnik penulisan cerpen gaya “barat”.
Abdul Hadi
24 April 2011 at 20:06
…Sebetulnya pesan yang hendak disampaikan cukup bagus, namun cara penyampaian yang kurang menarik, terkesan sangat polos…kurang dipolesi dengan kalimat sastra…cerpen yang menarik buat saya adalah: rasa penasaran dan ending yang menjawab penasaran itu..
Darwance
24 April 2011 at 23:48
Hmm, paman jd ingat iklan rokok, komen dari paman cukup singkat sj kali ini “MANA EKSPRESINYA?”
Paman
25 April 2011 at 00:23
Wah, Kompas kok drop lagi ya…Cerpen begini kok dimuat?
Kaitan paragraf pertama (nenek yang merokok, pake tanda seru pula hehe) cuma dengan tiga paragraf terakhir. Paragraf kedua dan selebihnya cuma berisi biografi si nenek.
Hmm, baca paragraf pertama aja jadi mikir nenek2 itu umumnya imut2 or keriput sih? hehe…
Venta
25 April 2011 at 02:53
Tidak semua nenek baik, nah.
Abi Ardianda
25 April 2011 at 03:08
Cerita yang bagus, dari pada tidak cakap menulis sama sekali dan bisanya menyalahkan karya orang lain. selamat dan sukses yah….
Abd Jakfar
25 April 2011 at 07:51
Bagus. Sy suka karena mudah dicerna. Namun ke depan, setidaknya bisa digambarkan karakter, logat bicara dll sebagai org tiongkok. Apa org tiongkok berlogat seperti nenek? Mungkin saja, meski berbeda dg yg biasa digambarkan di film2 indonesia
arif
25 April 2011 at 08:22
biasa…. namun intronya cukup mengagetkan
ahmad salim
25 April 2011 at 11:57
wau critax sngt mnrik bnget oi
fifi rubianti
25 April 2011 at 12:21
Saya paling suka satu paragraf pertama, selepas itu tak nemu rasa, tanpa da hentakan atau apa, tapi tetep sukses lah sudah masuk kompas…
radar
25 April 2011 at 12:54
Paragraf pertama menurutku sudah bagus tapi pada bagian tengah cerita sudah terkesan menurun gregetnya.apalagi di ending, tak ada yang berkesan. datar saja. saya tak menemukan hal yang amazing d cerpen kompas kali ini.
Hernowo Bayuaji
25 April 2011 at 16:34
cerpen kan gk harus slalu ada suprise di ending nya…
cerpen lebih bertujuan tuk mengenalkan ato mengingatkan apa2 yg ada di sekeliling kita….
kalo bisa hargai karya org lain ,palagi dah di muat di kompas..brarti karya yg di akui…
al_BKT
25 April 2011 at 18:14
kurang suka dengan cerpen kompas kali ini…
menurut pendapat awam saya, bagian klimaks konflik dengan ending terlalu “dekat” jarak penyelesaiannya
Adhi
25 April 2011 at 21:18
siapa sih si Nenek? pasti tokoh nenek ini mau menjelaskan tentang figur atau kondisi tertentu. menurutku, si nenek ini mewakili orang yang hanya suka kepada orang2 yang bisa memberikan keuntungan kepadanya, seperti rokok. sementara yang tidak bisa memberikan rokok, dianggap tidak penting dan tidak berguna. apakah kita juga mewakili tokoh nenek?
gobin dd
25 April 2011 at 21:41
kok 2 thn belakangan ini, cerpen kompas full realisme. saya kangen sama cerpen Djenar M.Ayu & Triyanto Triwikromo. apa gak ada ya cerpen yg filsufisme.
riduan mangatas aritonang
25 April 2011 at 23:11
maaf bagiku ini sangat tidak jelas… aku mungkin agak konvensional dengan mengatakan bahwa cerpen ini tanpa klimaks, tanpa alur, hanya tokoh dan gambaran tokoh yang muncul, itu pun tak menyisakan apa pun setelah dibaca…
gide
26 April 2011 at 00:16
cerpen dengan prediket lulus : SANGAT MEMUAKKAN
Parewa
26 April 2011 at 12:24
neneknya gaul gan!
wahyu asyari m
26 April 2011 at 13:08
Banyak yang mencela cerpen ini karena memang sedikit aneh. Tapi unik walaupun tidak diimbangi dengna ‘akhir cerita’ yang baik.
larastiti
26 April 2011 at 14:35
saya suka membaca pada beberapa paragraf awal pada cerpen.selamat dan smoga trus brkarya
guru dari lembah seulawahl
26 April 2011 at 15:05
salam kenal aja yah buat seuanya,,,
Mifta
26 April 2011 at 15:56
ya, sy sependapat, benar2 datar..tp selamat sudah d muat..
santoni
27 April 2011 at 08:30
Parah. Redaktur cerpen kompas pasti sedang kelilipan lagi. Sudah hapal saya..
Juno
27 April 2011 at 10:21
walau isinya menarik ane jadi ngantuk ane bacanya gan
yagami
27 April 2011 at 12:04
salam kenal,,, tetap diupdate yah blognya….
Mifta
27 April 2011 at 16:49
cerpen paling payah!
cerpen paling gak jelas!
yoyo
28 April 2011 at 15:06
datar memang tulisannya…
sifa
28 April 2011 at 15:33
weleh2 tulisan opo toh ya iki reeeeeeeeeeekkkk … ora jelas blas … mending moco bungkus kacang wae lah …
she
28 April 2011 at 18:00
aduh…
Anies
28 April 2011 at 18:38
Kalian jangan hanya mencela, stiap kritikan haruslah diimbangi dg alasan serta masukanya. Sebuah karya sastra memang dibuat dg lbh brat kpd subjektifitas, penilaianyapun sm. Tp bukan brarti pnilaianyapun asal cuap tanpa dinalar. Inilah potret rakyat indonesia, hanya pandai kritik, ngebacot, tnpa ada alasan bsrta solusinya. Bgaimana kita mau maju? Otak kalian harus diasah, mangkanya jangan terlalu bnyak ngemil taik kering.
Paman
29 April 2011 at 04:20
yulusannya gak jelazzzzzzzz
anam
29 April 2011 at 18:41
Saya bukanlah ahli sastra yang jago mengkritik dan memberi saran, maka dari itu saya hanya memberi sudut pandang dari pembaca awam.
Menurut saya cerpen ini agak membosankan, awal cerita lumayan bagus. Diawali dengan “Nenekku merokok!” yang akan membuyarkan bayangan orang-orang terhadap sosok seorang nenek. Namun, makin dibaca makin buram pula arah ceritanya. Ditambah tidak ada konflik yang bisa membuat pembaca merasa gregetan sehingga akan membuat pembaca cenderung malas dan meninggalkan halaman ini tanpa membaca sampai tuntas
Diky Pratansyah
30 April 2011 at 05:29
Temanya menarik, tapi setelah dibaca kok ceritanya hambar ya? 😀
tapi nggak papa deh, moga-moga kedepannya penulis bisa menghasilkan karya yang lebih baik 🙂
sukses selalu.
Fernanda Veronica
2 Mei 2011 at 22:15
Sebaiknya pihak Kompas juga jangan membaca dari sudut pandang redaksi saja yg telah banyak membaca ratusan judul cerpen, yg bisa dibilang karena hal itu, menjadi lebih berpengalaman. Sebaiknya ketika menyeleksi cerpen, digunakan juga kacamata pembaca yg polos yg menginginkan cerita yg “menarik”. Bukan cuma berkualitas.
iyud
3 Mei 2011 at 12:59
Munkin karena Lie Charlie adalah seorang penulis artikel di berbagai media massa, sehingga, dengan alasan itulah yang menjadi pertimbangan Kompas buat memuat karyanya ini.
Paling males kalau ada media massa yang memuat tulisan dari penulis yang udah punya nama, meski tulisan tersebut tidak menarik sekalipun. Ckck
Ari
4 Mei 2011 at 21:35
bagus tapi sayangnya aga males baca nih 😀
fsafsa
8 Mei 2011 at 20:04
HHE, SAYA BELUM BACA LOHHH….
SARAH RAMADHAN
17 Mei 2011 at 21:09
nenek sekrang apa masih seperti itu?….
rafi jelah
27 Mei 2011 at 13:50
yah g menarik
hadi
27 Mei 2011 at 16:12
yah g enak banget
hadi
27 Mei 2011 at 16:13
kok banyak yg gak suka ya? aku malah suka cerpen yang kaya gini. bahasanya jelas.
Risah
28 Mei 2011 at 14:01
hmmm, cerpen yang terlalu realistis
aris
28 Mei 2011 at 14:39
salam,
Sebenarnya pembukaan cerpen ini membuat saya tertarik karena deskripsi nenek yang gamblang dan jauh dari kebanyakan. Tapi sayangnya tidak ada konflik, sehingga cerpen ini terasa datar. Menurut saya, cerita tentang nenek hanya digambarkan sepotong-sepotong tanpa alur yang dan keterkaitan yang jelas. Saya tidak bisa melihat kesatuan dari potongan-potongan cerita itu. Itulah menurut saya kenapa penulis akhirnya harus membuat ending dengan kalimat “Aku hanya ingin orang tahu bahwa tidak semua nenek baik.”
Walaupun begitu, saya mengucapkan selamat kepada penulis karena cerpennya sudah dimuat 🙂
Kun
29 Mei 2011 at 12:54
saya berkomentar di blok saya soal cerpen ini. Senang bisa berkunjung: http://literary-criticism.blogspot.com/2011/06/nenek-lie-charlie.html
Eva Dwi Kurniawan
30 Juni 2011 at 09:32
(y)
Rahmada Devi Six'szend Psbh
30 Juni 2011 at 15:27
summarynya udah bagus,tapi………
monica devi
24 Agustus 2011 at 21:13
sederhana. itu yang akhir2 ini sering dilupakan orang. kita tidak perlu membuat sesuatu yang bombastis untuk meninggalkan kesan. justru kesan datang dari kesederhanaan
ester
25 November 2011 at 13:16
aku jadi berfikir . . Bagaimana kalo nenekku aku ajarin merokok saja . . Hmm , sepertinya menarik .
“Nenekku perokok ! Tp baik hati kepada cucu-cucunya” menarik sekali itu bung !
Haha
andreasmara
19 April 2012 at 11:06
[…] itu ada cerpen Nenek (Lie Charlie), Ikan Kaleng (Eko Triono), Pring Re-Ke-Teg Gunung Gamping Ambrol (Seno Gumira […]
Cerpen Terbaik Kompas- @infosastra
30 Juni 2012 at 21:30
lumayanlah sebgai penghibur siang yang terik sambil membayangkan wajah nenek sendiri….
yeti wulandari
9 Maret 2014 at 12:21
cerpen.a sangat bagus, tapi saya ingin tahu biografi dari penulis cerpen tersebut.
Faruq Sabilach (@Faruq_Sabilach3)
1 September 2014 at 11:11
[…] Nenek | Kumpulan Cerpen Kompas – Nenekku merokok! Inilah yang membedakannya dengan karakter nenek lain yang umumnya lemah lembut dan imut-imut; salah satunya. Ia juga garang, pemarah, dan …… […]
Kebaya Encim Grosiran - Tips Memilih Baju Kebaya
21 Januari 2015 at 19:17
Reblogged this on maxwelldemon666's Blog.
tukang jeplak
10 Maret 2017 at 09:35
Εverуоne loves what you guys tend to be uⲣ too. This sort of clever work and exposure!
Keep up the very gⲟod works guys I’ve inclսded you guys
to my blogrolⅼ.
หนังxxxxx
21 Maret 2017 at 17:50