Archive for Januari 2011
Perempuan Tua dalam Rashomon
Pemberitahuan
Setelah melakukan pengkajian dan menimbang berbagai masukan, cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon tulisan Dadang Ari Murtono, yang dimuat Kompas Minggu (30/1), dinyatakan dicabut dan tidak pernah termuat dengan berbagai alasan.
Redaksi
Perempuan Tua dalam Kepala
Di dalam kepalaku hidup seorang perempuan tua pemarah yang gemar menghentak-hentakkan kaki dan berteriak-teriak. Begitu tuanya, dia menyerupai seonggok pohon kering-keriput, bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan sudut-sudut yang janggal. Suaranya seperti derit roda kekurangan minyak. Jika dia berteriak, aku terpaksa menutup telinga.
Dia menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan beranak-pinak di dalamnya.
Kak Ros
Begitu keluar dari kamar dan tak
sengaja menatap ke taman itu,
aku terpaku: Kak Ros,
perempuan hampir separo baya
itu, sedang membungkuk
menyorongkan wajahnya ke
rimbun tapak dara.
Tentu bukan sesuatu yang aneh kalau cuma menyorongkan wajah, tetapi ini, seperti kemarin kata Ben, bibir perempuan itu bergerak-gerak samar. Jadi, apakah benar, Kak Ros sedang bicara dengan daun-daun?
Tulang Belulang
Kini, kemana pun pergi, tulang belulang anaknya itu selalu ia bawa. Semuanya bermula dari kematian sang istri. Nyawa perempuan itu habis di tangan sendiri. Ia terjun bebas dari lantai dua belas. Pikiran sehatnya tandas setelah mendapati perutnya semakin membesar, berisi benih majikannya. Pada akhirnya, perempuan itu pulang dari negeri yang jauh dengan kondisi yang tak manusiawi, dalam sebuah peti mati murahan.
Lelaki itu tak bisa mengelak dari kenyataan yang menyakitkan ini. Serta-merta ia terhempas ke dalam duka yang nyaris tanpa ujung. Bukan semata tersebab kehilangan orang yang begitu ia cintai tapi juga sumber penghidupan. Selama ini, istrinya itu rutin mengirimkan uang asing dari negeri asing yang jika dirupiahkan, jumlahnya bisa membiayai lebih dari cukup hidupnya bersama anak semata wayang mereka.
Ibu Pulang
Kringg!! Itu dering telepon kedelapan. Aku tahu pasti siapa peneleponnya. Nenek.
Dia masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh ibuku.
Ibu. Itulah alasan Nenek untuk menyuruhku pulang. ”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.