Archive for Juni 2010
Redi Kelud
Aku lahir di tengah keluarga yang berbeda. Bapakku tunawicara, ibuku suwung kalau kambuh jadi begitu menakutkan. Marno, kakak pertama, suka berendam seharian. Kalau dilarang berendam, paling tidak ia mandi empat kali sehari, pukul 8, 11, 2, dan 4.
Kakak kedua, Basoko, kepalanya selalu meleng ke kiri, tak mau memandang jika diajak bicara. Ia hanya mau bersitatap denganku bila aku menanyakan sedang apa ia dengan bulpennya itu. Ia senang mencoret-coret bukunya mirip gambar, mirip angka, mirip tulisan, atau tak mirip apa pun.
Kakak ketiga, Astrid, masih mengompol walau umurnya 17 tahun, dan tak hanya itu matanya selalu lapar setiap melihat lelaki muda. Jika ada lelaki bertamu, ia segera bergegas menyambut. Bersalaman dengan mata genit dan bibir mengembang lalu menggelayut manja.
Kakak terakhir, Raka, bagai Gunung Berapi. Ia pendiam tapi jangan salah sangka, ketika sedang marah, dunia jadi kiamat! Semua barang dilempar, digulingkan, dipecahkan, ditumpahkan. Lantai dicakar-cakar, mengamuk. Lalu bapak dan aku dibantu tetangga segera menangkap kedua tangan dan kakinya untuk menenangkan. Butuh paling tidak empat orang dan waktu yang lama untuk sampai dia tenang kembali.
Solilokui Bunga Kemboja
Diriku sekuntum bunga Kemboja. Kelopak-kelopakku merah kesumba sewarna gincu wanita yang kerap memandikanku sekali seminggu.
Wujud rupaku menyerupai genta. Walaupun kami lebih identik sebagai bunga kuburan, tetapi oleh wanita yang memeliharaku, aku tumbuh di dalam sebuah pot cantik di teras depan rumahnya. Dari tempatku berada, aku biasa menatap bentangan langit malam yang berhamburan bebintangan.
Benda-benda angkasa yang terang benderang itu selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang benarlah nyata, tetapi lebih tampak seperti fatamorgana. Aku selalu memandanginya tatkala ia sedang memandikan mobil kesayangannya dari dalam garasi.
Klown dengan Lelaki Berkaki Satu
Tom, kau masih ingat kan, ketika ibunya Klown meninggal (badut yang kita sayangi sejak kecil), berduyun-duyun orang bertakziyah (waktu itu kita baru berumur 10 tahun).
Di sudut rumah ini kutemukan pak Klown buru-buru menghapus air matanya. Sesungguhnya air mata itu seperti rangkaian bunga melati yang harum dan jatuh satu per satu!
Aku tercengang!
Setelah peristiwa itu (yang selalu menjadi obsesiku), bertahun-tahun kemudian, aku bertemu lagi dengan pak Klown, secara tidak sengaja dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Malang dengan kereta api. Kami duduk bersebelahan, dia segera tahu siapa aku.
Pak Klown tersenyum kepadaku.
Pilihan Ibu
Sudah dua minggu ini Farida panik mencari seorang pembantu rumah tangga. Sebab seminggu lagi dia harus masuk kantor. Sebuah perusahaan periklanan telah menerima lamaran kerjanya tiga minggu lalu dengan gaji seperti yang dia minta.
Sebuah harapan yang terwujud ketika rumah tangganya harus segera mendapat tambahan pemasukan keuangan. Ekonomi rumah tangganya harus segera disokong. Mengingat Alya, anaknya, empat bulan lagi sudah harus masuk sekolah dasar. Sedang mengandalkan gaji Gunadi, suaminya, menurut perhitungan mereka berdua tak cukup.
Sesungguhnya memang sudah menjadi perjanjian sebelum menikah, rumah tangga mereka akan ditopang oleh dua tiang pemasukan keuangan. Jadi Gunadi tak keberatan bila Farida bekerja. Mereka sadar, bekerja tak sekadar sebagai aktualisasi hidup, tapi yang lebih penting adalah pemenuhan kebutuhan dan ekonomi rumah tangga. Mereka tahu, zaman terus berkembang dan kebutuhan ke depan semakin beraneka macam.