Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Pengunyah Sirih

with 20 comments


Mulut Sukro senantiasa memerah. Bibir, gigi, dan lidah lelaki setengah baya itu mengundang perhatian orang lantaran memerah. Ludahnya merah segar. Kebiasaannya mengunyah sirih, sebagaimana dilakukan para wanita zaman dulu, membekaskan warna memerah di mulutnya. Tapi menjelang dini hari, di bawah pohon trembesi, bukan hanya mulutnya yang memerah. Sekujur tubuhnya memerah, melelehkan darah. Luka-luka tubuhnya menganga. Darah mengucur kental, merembes di berbagai bagian tubuh dan wajah.

Tak lagi terdengar Sukro mengerang. Orang-orang kampung berhenti melampiaskan kemurkaan: menganiayanya dengan kayu, batu, dan senjata tajam. Tubuh Sukro terkulai. Seseorang memeriksa detak nadi lelaki setengah baya itu. Tak berdenyut. Tubuhnya tak bergerak. Tapi kebencian orang padanya masih tersungkup sumpah serapah, ”Ayo, tampakkan kesaktianmu, Sukro! Mana buktinya kalau kamu kebal? Hiduplah kembali!”

Seekor sapi yang dicuri Sukro berdiri di dekat pembantaian tubuh lelaki setengah baya itu. Pemilik sapi diam-diam meninggalkan bawah pohon trembesi, menjauhi lelaki-lelaki beringas pembantai Sukro. Menuntun sapinya, mencari jalan setapak pulang. Orang-orang lain mengikuti jejaknya. Keriuhan orang di bawah pohon trembesi, dekat kuburan tua, dalam gelap dini hari, surut seketika. Senyap. Udara yang murni, segar, mengapungkan anyir darah yang meleleh di sekujur tubuh Sukro.

Tinggal tubuh Sukro—pencuri ternak itu—yang tergeletak di bawah pohon trembesi, dekat kuburan tua dengan makam keramat di atasnya. Di sekelilingnya terserak potongan kayu, bambu, batu-batu, dan ceceran darah di rerumputan gersang. Tak ada gerak. Tak ada napas. Angin mati. Begitu cepat orang-orang menelusuri jalan setapak di rerumputan, melintasi lereng bukit cadas yang tandus, keras, dan senantiasa dikeruk buldoser, diangkat dengan truk ke daerah-daerah yang jauh sejak fajar rekah, sepanjang cahaya matahari tercurah ke bumi hingga jauh larut malam.

Masih terlentang tubuh Sukro, melelehkan darah kental. Dari liang-liang luka, darah merembes. Di tempatnya tergeletak, orang-orang tak menyisakan jejak pembantaian. Seekor sapi yang dicuri Sukro telah dibawa pulang pemiliknya, jauh meninggalkan kuburan tua dan makam keramat di sisi bukit cadas yang hampir rata dengan tanah.

Dari kejauhan Pak Lurah memandangi pembantaian Sukro. Membuang muka. Geram. Tak mau terlibat. Buru-buru meninggalkan kuburan tua dan daerah bukit cadas yang digempur. Mencari jalan pulang. Tak ingin dilihat orang.

***

Tubuh Sukro merasakan getar panas telaga api tanpa tepi. Tubuh-tubuh serupa bayangan, tinggi besar, menyeret tubuhnya yang ringan ke telaga api. Menyiksanya. Mengayun-ayun tubuhnya, hendak menceburkannya ke telaga api. Sukro berteriak-teriak. Meronta-ronta. Tapi lelaki-lelaki bertubuh bayangan itu menyekapnya paksa. Lidah api yang terjulur-julur, serupa debur ombak mengisap tubuhnya. Cahayanya berkilau-kilau dengan warna merah besi berkarat, pekat panas, menyerap tubuhnya untuk menyatu ke dalamnya.

Membebaskan diri dari gelombang api yang menjalar, Sukro beringas. Ketakutan, Sukro meronta dari sekapan lelaki-lelaki bertubuh bayangan, tinggi besar, yang memburunya. Menjauhi telaga api. Menghindari siksa. Memasuki kembali tubuhnya yang terkapar di bawah pohon trembesi. Ia terbangun, merintih, menggeliat pedih memandangi kuburan tua. Tak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya. Lumpuh. Tanpa kekuatan. Terus merintih. Tubuhnya pedih. Tubuh yang tak berbentuk. Tubuh yang remuk. Hanya suara rintihannya yang terdengar lirih. Napas tersengal. Mata berkedip-kedip.

Tak seorang pun mendengar suara rintihan Sukro, ketika pagi rekah. Deru alat berat mengeruk tanah mulai meratakan bukit cadas di sisi kuburan tua. Gemuruh. Truk-truk tanpa muatan berdatangan dan meninggalkan bukit cadas dengan sarat beban batu cadas. Deru truk menenggelamkan suara rintihan lelaki setengah baya itu.

***

Lelaki muda buta itu baru saja selesai memijat Pak Lurah, melintasi jalan setapak di celah bukit cadas dan kuburan tua. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan yang akan dilaluinya. Telinganya yang peka mendengar suara rintihan seseorang yang tergeletak di rerumputan dekat kuburan tua. Lelaki muda buta itu mencari sosok tubuh yang merintih dengan ujung tongkatnya. Berjongkok. Meraba tubuh Sukro yang berlumur darah. Ia membersihkan darah yang meleleh, memijat sekujur tubuh Sukro, bergemeretak tulang-tulang yang patah diluruskannya.

”Sirih, sirih,” rintih Sukro. Lelaki buta itu usai sudah memijat sekujur tubuh Sukro, yang disangka telah mati. Terdengar Sukro meminta sirih. Lelaki pemijat itu pulang. Memetik daun-daun sirih. Kembali lagi dia dan memberikannya segulung daun sirih untuk dikunyah-kunyah lelaki setengah baya yang terkapar itu.

Menahan nyeri tubuh, lelaki setengah baya yang hampir sekarat itu bisa mengunyah-ngunyah daun sirih, pelan, sesekali terhenti. Tidak sampai lumat. Masih tampak sebagai lembaran-lembaran daun sirih yang lentur. Ia meminta lemah, ”Tempelkan daun sirih ini pada luka-lukaku.”

Terus-menerus Sukro mengunyah daun sirih. Tidak lumat benar. Lembar-lembar daun sirih yang lembek setelah dikunyahnya, dilekatkan lelaki buta pada sekujur tubuh yang menganga luka. Lelaki buta itu selesai menempel lembar daun sirih lembek ke liang-liang luka di tubuh Sukro. Ia tersenyum tenang setelah tak terdapat lagi liang luka yang dibiarkan mengucurkan darah.

Lelaki buta pemijat itu bimbang sejenak. Merenung. Dan ia memutuskan untuk meninggalkan Sukro berbaring sendirian di bawah pohon trembesi. Ia menjenguk lelaki setengah baya yang terkapar itu pada sore hari. Mengantar makan, minum. Tapi Sukro masih belum bisa menelan makanan. Ia meminta minum. Hari kedua barulah lelaki yang terluka parah itu bisa makan beberapa suap. Hari ketiga ia bisa bergerak lebih leluasa. Hari keempat ia tergagap-gagap bangun. Hari kelima ia berdiri tertatih-tatih. Hari keenam ia berjalan terseret-seret. Hari ketujuh ia meninggalkan pohon trembesi.

Sore hari lelaki buta datang dengan makanan, minuman, dan pakaian bersih. Sukro sudah tak ditemukannya di bawah pohon trembesi.

”Aku di makam keramat,” seru Sukro, ”kemarilah!”

Lelaki buta itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan setapak ke kuburan tua, dan menemukan rumah papan makam keramat. Ia merasa lega, Sukro sudah bisa berjalan, meski terseret-seret. Tapi ia cemas bila pencuri ternak itu dimusuhi orang-orang kampung.

”Kukira kau tak perlu lagi menolongku,” kata Sukro, ”di sini banyak buah-buahan dan tanaman yang bisa kumakan setiap hari. Aku akan tinggal di kuburan tua ini. Kabarkan pada istri dan anakku, mereka tak perlu mencariku.”

***

Pelan-pelan lelaki buta itu melakukan perjalanan ke sudut desa, mencari rumah Sukro, dan menemukan rumah yang terpencil di bawah rumpun bambu itu kosong. Istri dan kedua anak Sukro sudah meninggalkan rumah. Lelaki buta itu tak mengerti, kapan rumah itu ditinggalkan. Ia hanya bisa merasakan kesunyian dan kekosongan di dalamnya. Ia bisa mencium aroma tungku perapian yang telah lama tak digunakan memasak. Ia tak mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumah yang terkunci.

Ia menenteramkan hatinya sendiri. Ia tahu tetangga-tetangga Sukro memandanginya dengan tatapan curiga. Tapi ia tenang-tenang saja. Ia tetap dengan tongkatnya. Mencari jalan kembali ke rumah. Ia merasa telah selesai menolong Sukro, pencuri ternak yang teraniaya di bawah pohon trembesi dekat kuburan tua.

***

Sukro tak pernah meninggalkan makam keramat, kecuali subuh dini hari dan lepas maghrib lelaki setengah baya itu menyusuri jalan setapak ke sungai. Tertatih-tatih. Terpincang-pincang. Kaki kanannya terseret-seret. Sepanjang hari ia membersihkan makam. Berkebun di sekeliling kuburan tua. Ia memakan umbi dan buah-buahan dari kuburan itu. Terdapat pohon sirih menjalar subur di samping makam keramat. Ia senantiasa memetik dan mengunyah daun-daun sirih.

Sesekali memang peronda malam mengelilingi kuburan tua. Menyorotkan lampu senter ke makam keramat. Di situlah Sukro tidur. Makam keramat itu selama ini tak pernah dikunjungi orang. Kini banyak orang diam-diam mengintai curiga.

Meski belum seorang pun berani mendaki kuburan tua dan menjenguk Sukro ke dalam makam keramat, orang-orang yang lewat kadang sekilas memandangi makam keramat itu dengan curiga. Bila menyapukan pandangan ke kuburan tua, tatapan mereka penuh selidik, dendam, dan kebencian. Mereka tak pernah berani menatap kuburan dan makam keramat itu terlalu lama, takut bila Sukro diam-diam menebar ancaman pada keselamatan ternak-ternak mereka. Tubuh Sukro tak pernah mereka lihat dengan jelas. Hanya suara cangkul dan sabit yang terdengar. Kadang terlihat kepulan asap. Ia tengah membakar ubi dalam gemeretak ranting kering dan kayu bakar di sudut kuburan tua.

***

Masih pagi ketika Pak Lurah turun dari mobil mewah, bersama seorang cukong dari kota, yang licin kepalanya, berpandangan dingin di balik kacamatanya. Mereka memandangi kuburan tua yang bersih, tak lagi terlihat kesan angker, rimbun, dengan pepohonan liar. Makam keramat itu pun tampak bersih. Menjalar pohon sirih yang segar pada sebatang pohon jambu biji, dengan daun-daun hijau segar.

”Pabrikku akan didirikan dari daerah bekas bukit cadas hingga mencapai kuburan tua ini,” kata cukong itu. ”Perkara ganti rugi makam dan penggusuran kuburan, kuserahkan padamu.”

Lelaki setengah baya itu, lurah desa ini, mengerutkan kening. Mengisap rokok. Dan melihat kekayaan di balik bukit cadas dan kuburan tua yang bakal terjual untuk pabrik. Tapi ia segera berkerut. Di makam keramat itu tinggal Sukro. Sesaat ia tersenyum.

”Serahkan semua ini padaku. Ini bukan hal yang sulit,” Pak Lurah meyakinkan. ”Dalam seminggu, semua akan beres.”

Mereka kembali naik ke dalam mobil. Tak terlihat asap. Mobil itu pelan-pelan meninggalkan jalan berumput yang menghubungkan kuburan tua, bukit cadas yang rata dengan tanah, dan desa.

Dari balik celah papan makam keramat, sepasang mata Sukro memandangi gerak-gerik mereka dengan curiga. Meradang. Sepasang mata yang memendam rasa nyeri penganiayaan. Sepasang mata manusia yang bersembunyi dalam kekeramatan makam, kesunyian, dan alam kematian. Sepasang mata yang terkucil berbulan-bulan, dalam ancaman dan kecurigaan.

***

Kegaduhan itu terjadi di kuburan tua, menjelang dini hari. Obor-obor, senter berpancaran di gundukan tanah makam yang bersih, dikelilingi kebun. Wajah-wajah berkilatan. Menampakkan kebencian, kedengkian. Orang-orang berteriak, terus mendaki kuburan tua, ”Maling! Maling! Maling!”

Orang-orang susul-menyusul memburu maling ternak. Mereka garang membawa parang, sabit, pentungan, dan senter. Dari empat arah orang-orang desa memburu, mendaki kuburan tua. Kerumunan orang murka terhenti di dekat makam keramat. Sesosok tubuh lelaki berlumur darah tergeletak di sisi makam keramat, diinjak kaki Sukro, yang terus-menerus mengunyah sirih, dan diludahkan pada tubuh lelaki yang diinjaknya.

”Lelaki ini mencuri ternak kalian!” seru Sukro. ”Tanyakan padanya, siapa yang menyuruhnya mencuri sapi membawanya kemari!”

Tak jauh dari tubuh yang tergeletak, seekor sapi yang dicuri, sedang dipegang ujung talinya oleh seseorang. Dari gelap kuburan tua mendaki Pak Lurah, berseru, ”Tangkap Sukro! Hajar dia! Dialah malingnya!”

Berkacak pinggang, Sukro seperti menantang siapa pun yang mengepungnya. Tak seorang pun yang berani menangkapnya. Bulan sabit memucat, dan kelelawar-kelelawar hinggap di sela dahan trembesi, mencari tempat berlindung. Orang-orang tergeragap, serupa kelelawar-kelelawar yang memerlukan dahan untuk berlindung. Pak Lurah berseru garang, merenggut ujung tali pengikat sapi, dan membentak, ”Sukro inilah pencuri sapi. Tangkap dia!”

Ludah sirih yang disemburkan Sukro ke mata kiri sapi, cuah, memedihkan, dan mengejutkan binatang itu. Mata kiri sapi yang pedih, gelap, telah membangkitkan kemarahannya. Binatang itu menyeruduk Pak Lurah. Merobek lambung. Menginjak-injaknya. Tak terkendali. Mengamuk. Sapi itu memburu orang-orang di kuburan tua. Orang-orang berlari. Takut bila mereka terobek tanduk sapi.

***

Menjelang fajar lelaki muda pemijat mendaki jalan setapak kuburan tua. Ia telah mendengar kegaduhan semalam. Tubuh Pak Lurah yang berlumur darah baru saja diselamatkan orang-orang desa. Kini ketika kegaduhan itu reda, lelaki muda pemijat mencari-cari Sukro, dan tersenyum mendengar suara lelaki itu, ”Kemarilah! Rawat pencuri sapi ini dengan pijatanmu! Hentikan aliran darahnya dengan daun-daun sirih ini!”

Lelaki pencuri sapi itu tergeletak penuh luka dalam perkelahian dengan Sukro. Ia terluka parah setelah diinjak-injak sapi yang dicurinya sendiri. Lelaki setengah baya pencuri sapi itu mengerang kesakitan ketika lelaki buta memijat sekujur tubuhnya.

”Ini orang suruhan Pak Lurah yang mencuri sapi dan membawanya ke kuburan. Dia memfitnahku!” ujar Sukro sambil mengunyah daun sirih. ”Jangan kau benci dia. Rawatlah seperti kau merawatku dulu.”

Pandana Merdeka, Desember 2009

Written by tukang kliping

10 Januari 2010 pada 08:06

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

20 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. cerita yang bagus, walaupun masih meninggalkan tanda tanya besar, mengapa SUKRO, mencuri ternak sedangkan kenapa kalimat penutupnya:
    “Jangan kau benci dia. Rawatlah seperti kau merawatku dulu”
    seakan-akan, pencuri suruhan itu dan sukro adalah dua orang yang berbeda, padahal, bukannya mereka ber2 sama2 pencuri..:)

    salam

    neka

    11 Januari 2010 at 15:51

  2. duh… cerpen saya kalah lagi….!

    Fandrik HS Putra

    11 Januari 2010 at 16:51

    • Gpp kog kamu kan udah berusaha,yg penting tetap berimajinasi dan semangat…………………………………….GOOD LUCK

      parasita virgita

      9 April 2016 at 14:31

  3. bagaimanapun,(bila sukro tidak bersalah karena mencuri sapi) cerita ini menunjukkan bahwa: keadilan yang tidak memihak/kebenaran yang tidak memilih hanya ada pada fiksi belaka di “negri kita.
    Itu dari segi penafsiran tema.
    sedangkan nalar cerita seperti-banyak-dipaksakan, seperti sapi yang kecipratan daun sirih tiba-tiba mengamuk masa.
    namun, cerpen yang membumi seperti ini memang layak kita apresiasi agar kita tidak jatuh dari awang-awang sastra kebanyakan

    ewing

    11 Januari 2010 at 17:16

  4. Saudara Fadrik,
    Jangan dulu keburu menyerah “kalah”. peluang kita sama. saya juga dalam pencarian yang tiada henti.

    pras

    12 Januari 2010 at 11:12

  5. yak…betul..
    jangan menyerah
    saya juga mulai fokus lagi tahun ini…:)

    mountnebo

    12 Januari 2010 at 12:48

  6. tak ada kata untuk menyerah. bermimpilah menjadi yang terbaik, maka dia jadi setelah tangan menuai karya..

    nra

    13 Januari 2010 at 11:40

  7. Bener2 keren. Saya sudah baca ini beberapa kali dan tetap mengesankan.
    Si penjahat desa, yang sesungguhnya pak lurah malah ditolong warga. Hah…

    Yessy

    26 Januari 2010 at 12:20

  8. klise warga desa yang ditekan warga kota

    curhatanku80

    8 Februari 2010 at 13:06

  9. saya pernah belajar menulis sama pak pras, suatu waktu saya akan menulis cerita tentang nelayan….

    Ikan

    5 Maret 2010 at 15:58

  10. pak pras…cerpennya bagus sekali….jadi pingin belajar sama bapak lagi seperti waktu di sma….

    ani

    30 Maret 2010 at 06:55

  11. Menurut saya ini cerpen Mas Prasetyo paling bagus, setara dengan “Cermin Jiwa” yang juga sangat saya suka…

    bhoernomo

    9 April 2010 at 10:55

  12. Pak Pras, ketemu penjenengan laksana ketemu guru, membaca karya penjenengan seperti membaca kehidupan. Salam dari yang penjengan panggil anak muda

    Sri Katon Danan Djoyo

    23 April 2010 at 11:26

  13. apik tenan…cerpennya…

    lani

    24 Juli 2010 at 07:25

  14. Cerpen ini enak dibaca dan enak dibacakan…. Karya yang hebat.

    rudi

    3 Oktober 2010 at 20:34

  15. super sekali Pak Pras.

    tommy

    28 Oktober 2010 at 01:46

  16. cerpennya apik tenan….

    cara menghipnotis

    5 Februari 2011 at 03:40

  17. Pak Pras, masih ingatkah dengan saya?? wah cerpennya bagus sekali.. ni arief rahmawan dulu sempat saya tidak enak hati dengan Bapak karena kata-kata saya yang salah.. mohon maaf ya Pak??

    arief rahmawan

    28 Februari 2011 at 19:29

  18. saya akan belajar untuk hebat seperti ini

    Propa Nanda

    15 Agustus 2011 at 15:01


Tinggalkan komentar