Archive for Mei 2006
Lagu Malam Seekor Anjing
Aku sempat melihat ekor gerakan sesosok bayangan melintas di samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang turun deras membuat malam makin kelam, hingga aku kehilangan jejak orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu terlalu sigap menyelinap.
Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras. Kuharap orang itu panik, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik. Bayangan kengerian mengepungku: orang itu menjeratku dengan kawat baja dan mengantarkan tubuhku di penjual tongseng, seperti ratusan bahkan ribuan kawan-kawanku.
Kantuk yang menggelayut di mataku keempaskan. Tatapan mataku terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam. Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di lehernya. Awas! Waspadalah hei bedebah!
Monang? Kau Mendengar Aku?
Malam itu, wajah ibu hadir di ruang mata Monang. Tiba-tiba saja. Melihat mata ibu, Monang seperti menyusuri sungai yang kering yang dipenuhi batu-batu. Entah kenapa. Lambat laun kecekatan tangan Monang memilah-milah koran-koran dan tabloid yang hendak diretur besok, makin berkurang. Bahkan, akhirnya, ia menghentikan kegiatan itu. Ia tersedu-sedu.
Isteri Monang dan dua anaknya sudah lama tidur, di ruang dalam.
Seumur-umur Monang jarang menangis. Ketika kanak-kanak, kalau kalah berkelahi dengan hidung berdarah-darah dan muka babak belur—ia tidak menangis. Bila ayah maupun kakak-kakaknya memukul atau menamparnya karena satu kesalahan yang diperbuatnya, ia juga tak menangis. Waktu ayah meninggal, ia pun tidak menangis. Meski sampai Namboru Tiur memeluknya sambil menatap menceritakan betapa sedihnya ditinggal seorang ayah, ia tetap bergeming. Tapi, masih jelas dalam ingatannya sebuah peristiwa yang membuatnya menangis hebat.
Wening
Diangkatnya lengannya perlahan-lahan. Lengkung-lekuk lengan dengan jari meruncing itu membentuk bayangan di tembok. Pergelangan tangan itu ngukel1, lalu telunjuknya menjentik. Dia tersenyum. Keindahan memang tak bisa diam, selalu ingin keluar dan mempertontonkan dirinya. Sekali lagi dia tersenyum, sambil tetap memandangi bayangannya sendiri di tembok.
Dibayangkannya, nanti dia akan mengurai rambutnya yang panjang, yang oleh Mas Ondi—penata busana, akan diberi untaian melati. Jadi, nantinya, di sela-sela rambut panjangnya itu akan ada untaian melati yang bukan saja indah, tetapi menebarkan harum yang samar- samar. Ah, di tangan Mas Ondi dia akan menjelma Drupadi.
Seandainya saja Bang Irfan bisa memahami ini, tentu akan lain ceritanya.
Tambo Raden Sukmakarto
Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di Batavia beredar kisah konyol tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa. Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Namun peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang membuat ia menjadi lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu.
Ketika lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut. Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama lagu kebangsaan Belanda mulai mengalir. Tubuhnya yang pendek dengan kulit coklat seperti memberi warna tersendiri dari kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan anggun malam itu. Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung, tak sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya.