Dua Wajah Ibu
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.
Baru tahu, kalau popok bisa dicuci kemudian dipakai lagi… hehe.
berrybudiman
13 Agustus 2012 at 18:26
itu popok jaman dahulu, bukan popok semacam P*mpers , hehee
Nanda Najih H A (@Nanda_Najih)
24 Desember 2012 at 08:57
itu popok kain
evi lathersya
10 September 2013 at 09:49
yang mau belajar dan jadi penulis skenario film, bisa klik disini http://tintascreenplay.com/?id=edwin+sofyan
Edwin Sofyan
2 September 2015 at 17:58
di desaku bernama ‘betting’ secercah kain batik yang kira2 panjang 60cm dan lebar 40cm
aqil
21 Januari 2019 at 21:13
Siapa nama penulisnya?
Nupus
5 Oktober 2021 at 20:53
Disuruh bikin cerita kyk gini tapiiii versi kita sendiri, ahh bingung abissss 😭😭😭😭
Tia
15 Januari 2023 at 15:29
Cerpen yang manis dan menggigit. Menurutku sebagai perempuan dan ibu rumah tangga, popok yang penulis maksud popok kain yang biasanya digunakan untuk bayi yang baru lahir. Bukan popok untuk balita yang sekali pakai itu. Kalau sudah punya anak pasti ngerti. Ohya, apa penulis ini sudah punya anak? Sepertinya paham sekali mencuci popok kain bayi. Jangan-jangan pengalaman pribadi. Overall, I really liked this story. Pinch in a way that the reader does not hurt but it makes the reader feel the pinch.
welli
13 Agustus 2012 at 21:10
maksud dari cerpen ini apa?…
puffy
30 Oktober 2014 at 08:40
Memang cerpen ini manis dan menggigit hati manusia yang concern terhadap penderitaan orang lain. Salah satu gambaran yang terbaik pemandangan ketiak jakarta yang notabene hanya menyukai manusia yang punya otak dan uang. Mestinya televisi lebih banyak menayangkan programa kekumuhan sudut jakarta, seperti pesan cerpen ini, yang akan membuat mereka berpikir lagi untuk mencari untung di jakarta yang panas dan ganas.
edizal
27 Juli 2015 at 04:30
@berry
yang dimaksud bukan popok sekali pakai, tapi popok kain.
Dedi Wahyudi
14 Agustus 2012 at 16:01
Memang sebuah realistis yang masih dikemas utuh
puisi kompas
15 Agustus 2012 at 10:52
@puisi kompas:
Anda ini ngomong apa sih? Apa maksud Anda dengan “realita (Anda tulis realistis) yang masih dikemas utuh”. Maaf, koq seperti asal ngomong tanpa mengetahui apa artinya. Seperti orang mau nampang atau berkeren-keren pakai dasi, tapi tetap tidak bisa lepas dari sandal jepit, gitu lho? Maaf, ya.
tunjung
19 Mei 2013 at 23:08
Emang dua arti itu saling membedakan?
puisi kompas
21 Mei 2013 at 14:19
@puisi_kompas:
are you stupid?
mbok ya kalo bodoh, jangan dipamer-pamerin…
disty5
29 Agustus 2013 at 18:31
jangan merasa diri paling benarlah.
puisi kompas
30 Agustus 2013 at 01:47
Cerpen yang realitis, mengena dgn sumpeknya jakarta, mak inang pasti kangen kmpung halaman yg tenang, asri dan damai, dan terutama lbh bersih dri pada pinggiran jakarta.
Ditggu slalu cerpen2 slanjtnya.
Nar
15 Agustus 2012 at 11:48
Selamat
Omo
15 Agustus 2012 at 12:19
Vamoss
Dizss
10 Januari 2023 at 08:17
realita Jakarta yang digambarkan dengan apik..
bukan seperti iklan-iklan di tv, tapi seperti latar berita-berita kebakaran di tv..
nice story!
Ryzkiesomnia
17 Agustus 2012 at 10:03
jakarta yang sebenarnya….
nice story 🙂
nanabrownies
20 Agustus 2012 at 22:29
sngguh sgt mengena,jd ingt ibu yg srg cuci bjuq.. ap ibuq jg mrasa spt babu?ya rabb,mafin q ibu!
namaku tya aja
22 Agustus 2012 at 17:52
Nice! 😀
Tio
21 Januari 2017 at 19:28
Cara pandang dari satu sudut saja, Jakarta masih menjadi magnet buat para pencari kerja fresh graduate kok.
Overall, cerpennya bagus…
Winarko
23 Agustus 2012 at 20:06
mantap
yantoajaoaja
24 Agustus 2012 at 21:56
realita kehidupan sebagian orang di kota jakarta
Azka Hariz
25 Agustus 2012 at 17:31
Kurang menarik,…
rantinghijau
25 Agustus 2012 at 23:09
hampir sama sebagai warga pendatang
yopi
26 Agustus 2012 at 23:44
Cerpen kompas, entah mutu tulisan, entah selera editor. Tapi selalu bergaya mirip picasso, terkesan “kotak” tapi tidak berarti statis
pena usang
29 Agustus 2012 at 14:22
Jadi ringkasanya apa dong??
tolong dong yg udah tau bales ^_^
remko
29 Agustus 2012 at 19:47
ah,
sedih
ingat tetangga yg juga demikian
arif sirunk abdurrachman
31 Agustus 2012 at 19:01
ke Jakarta aku kan kembali……..itulah fenomena Ibu kota seakan mempunyai magnet yg mampu menyedot keinginanorang desa untuk datang kesana…..cerpen realita..mantap
Boin Silalahi
2 September 2012 at 19:26
Sedikit sekali cerpen Kompas yang bisa saya nikmati. Ini salah satunya. Mantap!
UmmuHaya
6 September 2012 at 10:11
Oooh, pesona ibu kota rupanya hanya untuk anak muda
HeruLS
6 September 2012 at 14:19
Siapa suruh datang jakarta?
Abill
15 September 2012 at 12:21
like this..
khaerul
17 September 2012 at 12:26
jawabanya apa dong? orang-orang kampung yang akan merantau ke Jakarta perlu baca cerpen ini, agar bisa berpikir 1000kali untuk merantau di kotak sampah
hida
21 September 2012 at 23:03
This is lame i thought cerpen is suppose to be short well i guess us guys just suck
kevin liu
24 September 2012 at 07:27
What i meant was F#4$% indonesia hate this hatee hate it !!!!!!!!!!!1
kevin liu
24 September 2012 at 09:28
bagus cerpen nya
kebaya_putrasemeru
24 September 2012 at 15:35
alamak aq juga lebih milih tinggal di kampung
miftah
29 September 2012 at 10:20
Ikut merasa sesak membacanya. Penggambaran dengan pancaindra yang rinci.
YColeman
11 Oktober 2012 at 10:52
cerpennya bagus, latarnya sangat kelihatan, cm endingnya kurang menggigit, coba endingnya di buat si anak lanang gajiannya di tunda atw hilang di jambret orang, pasti lebih seru deh.
jaenuri ari
17 Oktober 2012 at 21:08
PAS. AKU SUKA KOMENMU.
sumantra
17 Juni 2013 at 20:26
Sprtinya sprti ini sudah cukup terbayang suasananya, konfliknya bkn konflik fisik, tapi hati..
minerav2805
11 Februari 2016 at 19:43
ceritanya bagus, sangat menyentuh dan membangun, cm endingnya kurang menggigit, coba endingnya di biat gaji anak lanang hilang, di jambret, atw apa yang bs membiat mak inang tdak bs pulang. Pasti seru
jaenuri ari
17 Oktober 2012 at 21:19
mengalir panas seakan ikut menghantarkan kita di pelosok rimba ibu yang ganas , menerkam siapa saja yg tdk bisa mengikutinya, kepada sosok ibu manis yg siap diterkam oleh ibu kota
aditais
23 Oktober 2012 at 09:00
Naudzubillah.. jangan sampe saya bersikap seperti itu kepada ibu saya.. amiiin ..
Fikri
24 Oktober 2012 at 14:44
keren
diokta
27 Oktober 2012 at 13:18
Saya salut saja kepada penulis yang mampu mengoyak nurani pembaca dengan naskah ini..Saya belum mampu.Salut!
wahyudi
1 November 2012 at 09:08
Opening nya guwa suka
tapi ending nya kurang menarik
Demas
30 November 2012 at 05:46
Realita jakarta, tantangan pendtang yg hidup di pinggiran kemsknan dan sampah-sampah harapan yg membintang di ibukota. Endingnya hrusya bsa lebih ngangkat gan.
Febri001
2 Desember 2012 at 13:07
realita jakarta yang seperti itulah adanya
bahasa elok, tapi ada juga yang sulit saya pahami (sedikit)
Meki Polanda
7 Desember 2012 at 22:42
[…] Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/#more-1623 […]
Dua Wajah Ibu | Dwi Yuli Setiasih
19 Desember 2012 at 11:35
latar cerpen ini sangat meninjol, medominasi, GREAT!
Nanda Najih H A (@Nanda_Najih)
24 Desember 2012 at 08:58
[…] https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/#more-1623 […]
13 Dua Wajah Ibu | iamfadhli
11 Januari 2013 at 17:38
Kerennn..
ali
14 Januari 2013 at 13:06
ceritanya bagus gan..
maf ya, ane brbagi link..
http://cerpen- cintasedih.blogspot.com/2013/01/ gadajgajj.html
iwanzz
14 Januari 2013 at 15:32
bagus ceritanya gan..
ane mau brbgi link nih,, maf ya gan..
http://cerpen- cintasedih.blogspot.com/2013/01/ gadajgajj.html
iwanzz
14 Januari 2013 at 15:34
pertanyaan yang sama dari saya : ngapain mereka semua di Jakarta?
Anara Prima Diamona
17 Januari 2013 at 10:10
Kemasan ceritanya membuat saya berhenti fokus menatap pada layar monitor..Terima kasih banyak untuk yang memposting ulang.
Speri Anti Air Termurah
26 Januari 2013 at 05:34
Kemasan ceritanya membuat saya berhenti fokus menatap pada layar monitor..Terima kasih banyak untuk yang memposting ulang, kalau melihat koran yang lain ada di arsip mana yah?
Enic Sprei Anti Air
26 Januari 2013 at 05:36
Reblogged this on Suwadi Kediri.
suwadi ap
8 Februari 2013 at 09:15
jkarta emg gtu,gk betahin klo gkda duit..tp klo ada duit,sik asik..
farah ajah
8 Februari 2013 at 21:39
Jkrta emg sprti itu..tp salut dg org2 jkrta,mski tinggal diemperan tp gayenye tetep modis2 euy..
farah ajah
8 Februari 2013 at 21:44
ini kenapa banyak yang bicarain popok sih. topik terpenting dari cerita sepertinya bukan itu -_-‘!!
Misha khamisha
25 Februari 2013 at 15:56
kebetulan yang bersangkutan mungkin ibu2 yang lagi punya baby….
sahaja
14 Juli 2013 at 14:31
Selamat ya untuk penulisnya. Penggambaran tentang kehidupan sosok dua ibu yang menurut saya sebuah paradoks.
A.S Aizen
9 April 2013 at 09:03
ibu yang luar biasa kesabarannya apakah ada sedemikian…
irham al ayyubi
9 April 2013 at 14:12
Saya salut saja kepada penulis yang mampu mengoyak nurani pembaca dengan naskah ini..Saya belum mampu.Salut!
BAJU DISTRO MURAH
23 April 2013 at 21:02
[…] Sumber : Cerpen Kompas (https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/) […]
Cerpen : Dua Wajah Ibu | Angga Etam Notes
7 Mei 2013 at 20:23
ceritanya sungguh menggetarkan perasaan, jadi serasa ikut mengalaminya jugaa
el
12 Mei 2013 at 12:16
Miris perasaan saya membaca tiap kalimat dalam cerpen ini.
yusrizal
24 Juni 2013 at 11:25
haha popok daur ulang kayanya.
vertical blind
24 Juli 2013 at 14:30
jadi ingat pernah tinggal dan merantau di jakarta kuningan, tinggal di barak bangunan di menara imperium,tidur dekat mesin genset berdesak-desakan dengan 4 teman, trenyuh……..
bejono777
28 Juli 2013 at 13:00
Djakarta emang magnetnya pencari kerja fresh graduate…
jakarta emang tempat asyik buat cari duit meski sekedar jadi buruh pabrik…
jakarta juga gudang ilmu,tempat mengasah bakat dan berbagai skill….
Jakarta pusat perbelanjaan termurah,gak salah kalau orang sini pada modis…
Kulinernya dari yang murah meriah sampe yang high class ada…..
Jakarta juga surganya Mall…
gak salah kalo banyak orang apalagi yang muda-muda berbondong kesini….
Saranku….Kalau kalian udah ngumpulin banyak duit,ngasah bakat dan udah ngecap banyak pengalaman.Mending balik ke daerah aja dekh….Buka usaha di kampung halaman atau daerah2 transmigran yang lagi giatnya membangun, trus Buat rumah disana….Punya rumah di jakarta,kalo ga punya modal gede palingan cuma dapat petakan di tempat pengap pula.Dengan modal yang sama….Di daerah kalian,bisa bangun rumah yang layak,berlaman pula.
ex ;…kalau kalian bisa nyalon,bengkel,jahit,dagang,buat kuliner unik…dan skill lainnya di kabupaten2 propinsi jambi,pekanbaru,lampung dst…Lumayan ngedapet juga meski disana sepi.
PUnYA RuMAh Di JakartA….
Gak….BanGeeet…
mesya
4 November 2013 at 19:31
Rumah petak dan got berbau bacin saja sudah bisa menggelitik perasaan pembaca. Belum lagi macet dan teror banjir di musim hujan. Hahaha. Memang kota dengan penuh drama.
Seno
10 November 2013 at 21:26
terima kasih banyak cerpennya :p
AMZMA
29 November 2013 at 12:16
wajah jakarta ada dalam wjh mak inang…
sama2 kriput…sama2 sudah merasa sumpek dengan segala warna yg mewarnainya…jakarta rindu kedamain alam asri yang tenang layaknya mak inang yg sudah rindu kmpung hlmnya.
kriput wajah ibu kota seperti keriput wajah mak inang…
cerpen yg bgus
aldenalib
21 Februari 2014 at 02:12
menarik. ada dua wajah ibu. Antara kenyataan dan imajinasinya yang bertarung.
Mkd Aan's
21 Februari 2014 at 11:08
Wajah Jakarta yg ditemui oleh kebanyakan manusia yang ada di Jakarta. Itu yg ditemui oleh Mak Inang pada lingkungan anak mak Inang dan kerabatnya. Adakah anak dan kerabatnya mengatakan dusta? Menceritakan mimpi. Adakah mimpi itu? Sebenarnya mimpi itu ada, ada pada orang yang berbekal cukup ketika datang ke Jakarta. Mimpi itulah yang ingin dikejar oleh anak kerabat mak Inang, namun ada yang tidak dimiliki yaitu bekal yang cukup.
M. Danil Daud
24 Februari 2014 at 07:01
menarik, mengangkat cerita tentang perasaan seorang ibu lewat perspektif personal yang indah 🙂
arief agoomilar
1 Juni 2014 at 03:06
Jadi kembali ke jaman masih kecil, pakai popok kain
Saya punya cerpen amatirann, kalau berminat bisa dibaca
http://catatanseorangamatiran.blogspot.com/search/label/Luki%20Luck
kukuh niam ansori
11 Juni 2014 at 12:11
baca juga cerpen saya ya http://lukiluck11.blogspot.com/
terus semangat untuk menulis dan berkarya
kukuh niam
21 Juni 2014 at 19:48
PROMO BESAR-BESARAN OLIVIACLUB 100%….!!!!
promo oliviaclub kali ini adalah promo deposit akan mendapatkan bonus chip sebesar nilai deposit yang disetorkan
jadi untuk para pecinta poker oliviaclub yang sudah lama mendaftar ataupun yang baru melakukan register.. akan bisa mengikuti promo ini…
SYARAT DAN KETENTUAN
1.pemain dapat mengklaim bonus promo melalui live chat kami
2.pemain yang mengikuti promo tidak akan bisa melakukan WD sebelum turnover/fee/pajak belum mencapai 30 x lipat dari angka deposit.
3.minimal deposit untuk promo ini adalah Rp.50.000
maximal deposit adalah Rp.200.000
apabila ada pemain yang melakukan deposit diatas 200rb rupiah..
hanya 200rb yang akan di hitung untuk mendapatkan bonus
promo ini
4. apabila pemain melakukan deposit sebanyak 50rb akan
mendapatkan bonus 50rb.. dan apabila chip habis dan melakukan
deposit 50rb lagi maka harus menunggu selama 6 jam terlebih
dahulu sebelum dapat mengklaim bonus 100% dari
angkadeposit..
batas maksimal klaim bonus tetap max deposit 200rb per hari
5. klaim bonus promo berlaku 1×12 jam..
para pemain diharuskan mengklaim bonus sebelum bermain..jika
ada pemain yang melakukan deposit dan bermain..
baru setelah bermain mengklaim bonus..maka tidak akan dilayani
6.PROMO OLIVIACLUB ini dapat berakhir sewaktu waktu tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu
7.keputusan pihak OLIVIACLUB tidak dapat diganggu gugat dan
mutlak
CARA MENGKLAIM BONUS PROMO :
1.setelah melakukan register dan deposit maka pemain harus melakukan login dan masuk ke menu memo,tulis subjek klaim voucher promo
2.admin OLIVIACLUB akan segera membalas memo anda dan
memberikan kode voucher.
3.setelah menerima kode voucher silakan menuju menu deposit
isi kan formulir deposit sebagaimana anda biasa melakukan deposit.
setelah itu pada kolom keterangan di menu deposit silakan anda tuliskan kode voucher yang telah diberikan
4.silakan gunakan jasa live chat kami untuk membantu anda dalam mengklaim bonus PROMO OLIVIACLUB
WARNING….!!!!!
apabila pemain belum melakukan deposit dan mencoba untuk mengklaim bonus.. maka id akan kami blokir/delete secara permanen.
transfer chip tidak di perbolehkan dan akan di tindak tegas
regallia soh
11 Juli 2014 at 01:55
[…] Sumber : Cerpen Kompas (https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/) […]
Cerpen : Dua Wajah Ibu | Angga Tepian Notes
26 Juli 2014 at 01:11
Sangat mewakili kesan saya terhadap perumahan kumuh di Jakarta yang biasa saya lihat di televisi
Dyah Oktavia
7 Agustus 2014 at 18:54
keren cerpen nya.. *cool*
Mel
19 Agustus 2014 at 19:12
Hello, FYI guys proton lagi adain writing competition nih.. Buat kamu yang hobi nulis yuk tuangkan ide kreatifmu tentang proton di blog. Hadiahnyaaaa……. Rp 3.000.000,- buat pemenang utama dan ada merchandisenya lho… Hey, gak cuma itu aja, buat tulisan terbaik dan foto terbaik di blog dapat pulsa Rp 100.000,- buat 10 orang pemenang. Yuk, gabung disini http://www.protonwritingcompetition.com/
Elsa Liana
27 Agustus 2014 at 10:41
Thanks. Saya sangat suka cerpen diatas
Exnim
3 September 2014 at 19:27
cerpen ini karya siapa?
aisya28
28 September 2014 at 10:06
Reblogged this on Zahraa Stories and commented:
Mari Membaca Kumpulan Cerpen Kompas
zahraasenjaa
4 Desember 2014 at 05:04
sederhana. keren
junioranger
28 Februari 2015 at 21:09
cerita yang bagus.. 🙂
ada yang aneh dengan popok dicuci?… Plis deh…
Sulistyawati
19 Maret 2015 at 10:38
Sedih dan terharu membaca cerpen ini
Andy Ramkal
20 Maret 2015 at 06:44
pengalaman Mak Inang hampir sma dengan tetangga saya. Miris.
Ceritanya keren. terus berkarya.
Neti Wiarti
26 April 2015 at 19:24
terus hubungannyanya dengan judlnya “dua wajah ibu” apa y?
Nadhia Raisa bariro
26 Juli 2015 at 18:38
Tidak ada yang menyangka selain emak, emak..like for you.
Alfha
31 Juli 2015 at 19:08
hubungannya dengan 2wajahibu itu yang pertama emak bang jamal, terus Mr jakarta,
Alfha
31 Juli 2015 at 19:10
mengkerut atau mengerut?
adi
23 November 2015 at 18:18
gimana sih tips biar tulisannya bisa dimuat? share dong..
Endang Astuti
21 Desember 2015 at 09:56
kisah diatas lumayan bagus
hanya saja
cerpen ini bisa dipahami dengan rasa yang dalam
kalau tidak
kita sulit mengambil makna dalam cerita
saya paham ceritanya seperti apa
cukup menarik
Yohanes Tuba
26 April 2016 at 19:29
saya suka…
ezi...
19 Juni 2016 at 14:27
Ini karya siapa ya kalau boleh tau?
Boleh aku minta biodata pengarangnya?
Untuk aku jadikan tugas analisis cerpen hehehe
Han
31 Oktober 2016 at 05:54
Apakah ceritanya hanya sampai disini saja ?
Padahal seru kalo dilanjutin, dan tidak menceritakan ibu kota dalam satu sudut pandang saja.
Reni Gita Purwanti
29 Agustus 2017 at 19:10
[…] melalui Dua Wajah Ibu — Kumpulan Cerpen Kompas […]
DUA WAJAH IBU | Tuan Muda Ali Web
8 Februari 2018 at 01:49
Suka banget cara berceritanya. Keren. Detil dan menampilkan sisi realita kehidupan di Jakarta. Berasa ikutan jijik dan mencium bau pesing hehe…
terminalceritaku
24 April 2018 at 13:40
[…] Source: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/ […]
DUA WAJAH IBU – PortalFiksi
29 November 2019 at 07:32
[…] with 96 comments […]
Arsip
2 Februari 2020 at 09:39
Kelebihan : ceritanya menarik, menceritakan tentang seorang anak yang tulus dalam bersahabat
Kekurangan : bahasanya sulit dipahami
Nikmah sevira
21 Maret 2020 at 08:36
Nice:’)
Nerisputri
30 Maret 2020 at 13:34
1. Tema: Kehidupan perantau
2. Judul: Dua Wajah Ibu
3. Tokoh: Mak Inang, Jamal, Kurti, Mai, Mak Rifah, Mak sangkut
4. Watak: Mak Inang: penyabar
Jamal: peduli
Kurti: penurut
Mai: tidak peduli
Mak Rifah: pembohong
Mak Sangkut: pembohong
5. Latar: Tempat: kontrakan jamal, kontrakan anak Mak Rifah, kontrakan Mak Sangkut
Waktu: pagi dan sore hari
Suasana: suasana Jakarta padat, kebingungan
6. Alur:campuran
Muhammad Daris Arkan
6 April 2020 at 09:28
seharusnya menggunakan bahasa yang baku
Luthfi Febrianti
7 April 2020 at 15:12
kira kira nama pengarang, penerbit, tempat terbit, tahun terbit crpen ini bgaimana ?
ecky
24 Juli 2020 at 11:52
Nama penulisnya siapa ya?
Anonim
7 Januari 2021 at 19:01
nah ..ini pertanyaan saya juga… koq g ada nama penulisnya
Ojeng Priyana
14 April 2021 at 09:53
bagus
Andika
23 Februari 2021 at 11:16
Franchise kopi
jrvaro
11 Juni 2021 at 22:00
Cerpen ini sangat membangun
FAHRUROZI
15 September 2021 at 21:24
keren banget beneran
wahyu224
3 November 2021 at 11:27
Cerita yg ringan dan enak sekali dibaca. Saya belum mampu seperti ini. Salut sama penulisnya.
indah pally
14 Maret 2022 at 05:30
Bagus, ceritanya seperti awal pengalaman saya di Jakarta. Pusing bau kali.
Erwani
14 April 2022 at 09:49
penulisnya siapa ini?
Fatimah Ridwan
14 Desember 2022 at 10:46
Bahasanya berbelit-belit terkesan di paksakan. Banyak kalimat yang tidak efisien dan boros. Di openingnya aja sudah nampak kalau yang menulis pemula. Tapi pesan yang disampaikan cukup menarik!
Arachis Verania Ve
22 Mei 2023 at 13:51
Meski bahasanya terkesan muter-muter, tapi ceritanya cukup menghibur… terus berkarya dan buat yang lebih baik lagi..
Catering Jakarta
20 Agustus 2023 at 18:48