Mayat Yang Mengambang Di Danau
Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.
Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.
Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.
Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak.
Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar bahaya mengancam.
Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.
Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya, karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.
Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini?
Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai panggilan.
Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.
Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?
Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang.
Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun bagian bumi daripada arloji.
Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya.
Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan.
Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.
”Homo homini lupus….”
Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.
Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya.
”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….”
Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta.
”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,” katanya, ”benarkah sudah cukup kita hanya berdoa?”
Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara.
Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik….
Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya.
Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.
***
Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.
Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa.
Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini.
Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar biasanya menyendiri.
Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah—jelas membuatnya berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan untuk merdeka….
Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan golongan sejenisnya.
Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yang asli.
Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.
Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.
Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.
Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau.
Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah.
Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau.
”Klemeeeeeeeennnn!”
Jayapura, 12-14 November 2011
SGA selalu jadi idola saya. Salam
Ipung Arraffa
8 Januari 2012 at 09:50
mantaaaaap…
mataairmenulis
8 Januari 2012 at 12:56
Juga menghibur (begitu menghibur, bagaikan tiada lagi yang lebih menghibur) karena pada cerpen yang ditulis dari Jayapura ini kita mendapati bahasa “prokem” Yogya: hongyeb=polres, hongibi=polisi, syidos=brimob, gidinya=timika, nyahongyeb=kapolres, sagangrod=batalyon.
Jadi ingat cerpen-cerpen SGA tentang Ningi (Dili), Timor Leste, lebih dari satu dekade lalu…
peanut muffin
11 Januari 2012 at 02:57
Saya seolah berenang didalam setiap riak rangkaian kata di dlm Cerpen ini, dan seketika bergegas keluar danau saat rangkaian kata-kata mengalir ke ujung cerita #Tersentak
shiraaldila
8 Januari 2012 at 14:03
hati hati buat para wartawan,saya sarankan sebaiknya anda tidak membaca cerpen ini,namun jika anda sudah terlanjur membaca cerpen ini,sebaiknya anda waspada atas kemungkinan rasio anda terhanyut oleh alur cerpen ini,yg bisa berakibat anda menjadi penakut,namun jika anda sudah terlanjur ketakutan karena akibat membaca cerpen ini,sebaiknya anda hati hati di jalan,perhatikan rambu rambu jalan dan kenakan sabuk pengaman.
Abi asa
8 Januari 2012 at 14:37
”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….”
Jangan percaya omongan para petinggi munafik….
cerpen yg sarat makna….!
mantap…..!
boy
8 Januari 2012 at 17:09
menurut saya maknanya adalah ada orang yang sangat taat beragama, namun lupa sesama. Lupa bahwa ada orang miskin yg harus dikasih makan, lupa dengan anak putus sekolah, dsb
Mario Teguh malam ini adalah mengingatkan kita bahwa kita harus menjadi orang yang salih secara pribdai dan sosial. bagaimana menurut agan2?
Teguh Afandi
9 Januari 2012 at 00:04
Salut…benar2 bagus…
robay
8 Januari 2012 at 17:41
Uwoooww
*takjub*
harikuhariini
8 Januari 2012 at 18:29
wow..wow….
R Arumbinang
8 Januari 2012 at 18:56
Dipublish pada moment yg pas. Dan pas pula isinya.
Outbound
8 Januari 2012 at 19:39
cerepen yang menarik
adibfauzan
8 Januari 2012 at 21:33
Akankah tetralogi insiden…. :p
ariosasongko
8 Januari 2012 at 21:39
Saya adalah penggemar berat SGA, maka wajar kalau saya akan bilang cerpen ini LUAR BIASA. Namun lebih dari itu saya menangkap dua kesan dalam cerpen SGA yang menggebrak hari minggu di 2012 pertama kali.
PERTAMA, adalah kedalaman religius yang diceritakan SGA, persis seperti dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”-nya di 2010. Dalam meski sederhana.
KEDUA adalah entah mengapa bagian “Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya.” kok sepertinya menceritakan kaum pendatang selalu meindas kaum pribumi, terlebh tertulis Jayapura diakhir penulisan maka saya langsung teringat cerita bahwa orang Papua selalu menganggap pendatang terutama dari Jawa sebagai penjajah dan penjarah kekayaan.
ini menurut saya pecinta SGA
Teguh Afandi
8 Januari 2012 at 22:35
Keindahan tutur yang menawan serta kedalaman isi yang menjadi renungan merupakan kesan yang kuperoleh seusai membaca cerpen yang mengandung kritik sosial ini.
Boleh jadi adanya nuansa “penjajah” oleh pendatang sebagaimana yang dituturkan teguh afandi. Dari segi lingkungan hidup, bisa diutarakan bahwa spesies hewan asing yang dibawa ke suatu wilayah dapat menghancurkan ekosistem wilayah itu sendiri dan ini berdampak jelek bagi kehidupan.
edizal
22 Juli 2015 at 04:36
Luar biasa……
Sofyan
8 Januari 2012 at 23:09
Salut
pardan
9 Januari 2012 at 05:44
pas betul dengan keadaan negri ini,khususnya d negri papua…homo homuni lupus…hebat!
9ian
9 Januari 2012 at 08:37
cerpennya sangat bagus….
dewi mufarikhah
9 Januari 2012 at 09:15
Bagi saya, ada beberapa cerpen {dan cerpenisnya tentunya) yang tak terlupakan. Di antaranya, ya SGA dan cerpennya. Ia pintar bermain kata, melukiskan suasana : suasana alam (latar cerita) dan batin tokohnya. Menyeret kita untuk terus membacanya sampai titik terakhir.
Ah, terlalu panjang untuk dikomentari…
herin
9 Januari 2012 at 11:35
menarik…
naturalsucces
9 Januari 2012 at 11:57
Rasa takut kehilangan sesuatu selalu menghantui setiap orang. Tapi toh akan selalu saja ada yang hilang setiap hari.
Kotabumi
9 Januari 2012 at 13:48
biasa
yudi
9 Januari 2012 at 14:38
saya suka rangkaian gaya bahasanya yang menarik dan analogi ikan yang diselipkan di dalamnya (yang menjadi pesan moral kuat di dalam cerpen ini), hanya saja sayang ending-nya ketebak
tapi, after all, saya suka cerpen ini 🙂
Adhi
9 Januari 2012 at 14:55
sangat bgus,,,,
Opsedalfa Slaamanyaa
9 Januari 2012 at 16:04
sukaaaaa…..
Ida
9 Januari 2012 at 20:19
Dua jempollll
etty tjokro
10 Januari 2012 at 06:31
Selamat
ya
10 Januari 2012 at 11:45
SGA – tidak ada duanya.
fatih
10 Januari 2012 at 14:18
Barangkali SGA belum sadar bahwa jurnalisme (tidak lagi) dibungkam, makanya bahasa sastranya jadi usang begini rupa. kalau cerpen ini ditulis pada zaman orde baru mungkin akan terasa kuat, tapi sekarang ketika jurnalisme sudah hampir tak bisa dikontrol, membaca cerpen ini terasa tak mendapatkan kesan apa-apa. dan membaca cerpen-cerpen SGA belakangan ini saya kira masa jayanya sudah lewat.
Bahloel Magroma
10 Januari 2012 at 15:09
Tak ada fiksi yang basi. Masa jaya tak akan lewat jika masih ada yang mengagumi, biarpun hanya seorang. Maka berkaryalah, apresiasilah, bukan sekedar kritik, apalagi memvonis sesuatu sebagai keusangan.
reiky
23 Januari 2012 at 02:54
ah sok tahu banget
yunus
13 Februari 2012 at 08:34
Meski saya pengagum SGA, saya harus mengakui cerpen ini biasa saja atau kurang berkesan buat saya, terutama jika dibandingkan cerpen-cerpen SGA dalam SAKSI MATA (misalnya). Namun apa yang Bung Bahloel katakan saya kira juga kurang tepat, membuat saya berpikir anda menggunakan rasio yang keliru (mungkin) dalam membaca cerpen. Saya menduga anda membaca cerpen ini dengan menggunakan rasio membaca berita, sehingga kesan yang muncul amat bergantung pada situasi kekinian, pun kontekstual atau tidak isunya. Menurut saya yang menjadi masalah pada cerpen ini adalah gaya bertutur SGA dan pemilihan idom yang terlalu jamak, sehingga ada kesan cerpen ini kurang ‘greng’, tidak seperti Telinga, Rosario dll, yang mau dibaca kapan saja akan tetap bisa dinikmati, terserah mau zaman ORBA, ORLA, Reformasi atau pun jaman baholaq.
yudi
10 Januari 2012 at 15:43
Mas SGA yang saya kenal dari cerpennya dengan teknik provokasi yang tinggi, tegang dan menggigit tapi disini tampaknya sedikit melunak ya,…….tapi menurut saya oke-oke aja seorang penulis tampil dengan karakter cerpen yg berbeda, spy tidak terkesan monoton atau begitu-begitu saja. Itu bukan masalah menurut aku, jadi tetap salut deh buat Mas SGA.
asria ali
10 Januari 2012 at 20:51
seperti biasa seno gumira ajidarma selalu mampu membuat karya yang berkualitas
lintar
10 Januari 2012 at 20:53
Papua oh papua…
Harmaen Gantina
11 Januari 2012 at 07:56
Tersirat namun tegas. SGA tetap jadi salah satu idola saya 😀
Catur Nugraha
11 Januari 2012 at 10:06
luar biasa…..
kurniadi
11 Januari 2012 at 14:22
danau yang berlimpah dengan segala macamnya akan rusak oleh datangnya ikan asing
yang mau menguasai wilayah danau tersebut.
< < < << << < < <
>
< > <
< < < >
ketenangan dan kondisi lokal sudah terbumbumbui oleh koki2 yang mengolah ikan dengan berbagai cara dan triknya
yang mengubah lokalitas menjadi semakin tergerus
bowo
12 Januari 2012 at 10:09
sarat makna dan pesan
maju trus SGA
INE
12 Januari 2012 at 15:51
mau masukin cerpen ke kompas gimana yea?
sarah
12 Januari 2012 at 21:14
ga tau ya?
kasihan kamu.
sumardi
15 Januari 2012 at 19:01
seno gumira emank pantes untuk kompas dan indonesia…….tapi skali-klai cerpen q lah yang di muat….
musahasyim
13 Januari 2012 at 07:18
wew …..
mridwanpurnomo
14 Januari 2012 at 17:23
endingnya kurang bagus. tapi ceritanya realistis.
tapi masih monoton lah.
sumardi
15 Januari 2012 at 19:05
krennnnnn…..
krng bnyk./…!!!!! 🙂
Dhea Se Dhea
15 Januari 2012 at 20:30
byk gx ngertinya..tapi pas baca komen2 dari kalian jd lbih paham makna dibalik cerpen ini ..
GOD bless Papua..GOD bless my Indonesia ;)!!
rosondang
17 Januari 2012 at 09:32
begitu mefenomena sekali cerpennya…endingnya begitu tidak tak ku kira…akhirnya seperti pada judulnya. cerpen ini begitu memberikan makna kehidupan. begus sekali pengarang mengakhiri ceritanya.begitu terharu sekali…
dewi mufarikhah
19 Januari 2012 at 10:38
Sampai sekarang aku yg awam ini masih ber-tanya2 tentang penulisan judulnya cerpen ini. Penulisan judul cerpen ini apa telah sesuai dengan ketentuan kaidah BI. Penulisan “Yang” dng “Y” huruf besar dlm judul apa sudah benar? Mengapa tdk ditulis “yang” dng huruf “y” kecil, seperti ketentuan BI dlm penulisan2 sebuah judul pd umumnya? Di cerpen Ini SGA tampaknya sengaja menggunakan “Yang” dng “Y” huruf besar. Ada yang bisa menjelaskan argumentasinya (alasan) menurut kaidah BI?
Salam
Arum
21 Januari 2012 at 07:46
Ga ngerti sy.telmi kali ya.hahaha
Joyceindah
21 Januari 2012 at 17:18
SGA memang selalu ‘sesuatu’
sonyoruri
23 Januari 2012 at 10:28
Syukurlah SGA segera mengakhiri ceritanya ketika saya sudah mulai bosan membacanya.
Sutan Zainuddin
30 Januari 2012 at 10:06
t0p mark0t0p.
MARKES0
11 Februari 2012 at 16:28
qu ta tau maksud dN inti dri crpen ni?…
sandi
11 Februari 2012 at 18:24
menarik banget tulisannya,,,
Spotmenarik
13 Februari 2012 at 05:20
Salah satu cerpen yang menginspirasi saya dalam menulis.
SGA, walau Anda bukan cerpenis Indonesia terbaik yang saya kenal… tapi “warna” anda cukup kuat.
Cerpen ini “mungkin” yang terbaik dari semua cerpen SGA yang pernah saya baca. Karena memang tidak banyak yang sudah saya baca, hehe…
berrybudiman
14 Februari 2012 at 08:20
judulnya kurang menarik aja neh alnya dah cukup jelass tentang mayaattt jadi sepertinya kurang menarik minat baca orang2, yoooo
adawiyah
23 Februari 2012 at 10:20
6/10*
bagus, Q suka ceritanya meski bisa ketebak siapa si mayat pas awal baca ^^
D. Enggar N
28 Februari 2012 at 07:30
ahahaha bagusss 🙂 I ❤ It
AqQu SaiangQmyu Pholeper
7 Maret 2012 at 10:41
apa…bagus…sama dengan perinsip aku donk…
🙂
Dhia Shara Fana
18 Maret 2012 at 11:41
Menulis cerpen yg bagus sama sulitnya dengan membuat tesis….
Ridho
8 Maret 2012 at 19:55
Gila, gaya dan isinya sungguh keren. Keindahan dan kekayaan alam, dipadu ketidakadilan yang diterima masyarakat asli di sana.
Sungguh, aku ingin ke Papua, dan daerah timur lainnya. Melihat, dan memotret langsung keindahan alamnya.
HeruLS
11 Maret 2012 at 15:16
sepasang mata bola ini demikian sepatnya menatap layar monitor demi mengagumi karya seninya. Mohon dengan sangat bagi semua penikmatnya, jangan mengapresiasi suatu karya dengan nilai. karena tak mungkin terukur daya kreatifitas manusia itu. resapi sajalah dan kembangkan jejaknya dengan terus menggoreskan penamu kawan.
Leil Fataya
15 Maret 2012 at 21:58
hemm….cerpen ini bisa memberi semua orang motivasi dan menggambarkan memang pas untuk zaman ini..wkwkwkkw 🙂
Dhia Shara Fana
18 Maret 2012 at 11:41
merdeka dan mati..
theokaraeng
11 Mei 2012 at 07:12
keren
charnando putra
11 Mei 2012 at 21:40
Reblogged this on Puansari Siregar.
Puansari Siregar
30 Mei 2012 at 13:01
bahasanya bagus, pengen jg bisa nuliss ^_^
vivi
2 Juni 2012 at 01:25
SGA memang SGA….
andisumarkarman
8 Juni 2012 at 19:51
Ooowww tragis nian (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)
betri
11 Juli 2012 at 15:50
[…] Berikut adalah link untuk mengakses cerpen tersebut: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/01/08/mayat-yang-mengambang-di-danau/ […]
Dia Adalah Warga Negara Yang Tidak Lazim « luapkan lupa
7 Agustus 2012 at 22:52
“Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah.”
marissa
28 Februari 2013 at 14:09
SGA impoten kali ya… kgk ada ngesek-ngeseknya acan!
Erwin
12 Desember 2013 at 14:24
Reblogged this on sastradanlinguistik and commented:
re-blog cerpenkompas.wordpress.com
sastradanlinguistik
24 Maret 2014 at 19:47
PROMO BESAR-BESARAN OLIVIACLUB 100%….!!!!
promo oliviaclub kali ini adalah promo deposit akan mendapatkan bonus chip sebesar nilai deposit yang disetorkan
jadi untuk para pecinta poker oliviaclub yang sudah lama mendaftar ataupun yang baru melakukan register.. akan bisa mengikuti promo ini…
SYARAT DAN KETENTUAN
1.pemain dapat mengklaim bonus promo melalui live chat kami
2.pemain yang mengikuti promo tidak akan bisa melakukan WD sebelum turnover/fee/pajak belum mencapai 30 x lipat dari angka deposit.
3.minimal deposit untuk promo ini adalah Rp.50.000
maximal deposit adalah Rp.200.000
apabila ada pemain yang melakukan deposit diatas 200rb rupiah..
hanya 200rb yang akan di hitung untuk mendapatkan bonus
promo ini
4. apabila pemain melakukan deposit sebanyak 50rb akan
mendapatkan bonus 50rb.. dan apabila chip habis dan melakukan
deposit 50rb lagi maka harus menunggu selama 6 jam terlebih
dahulu sebelum dapat mengklaim bonus 100% dari
angkadeposit..
batas maksimal klaim bonus tetap max deposit 200rb per hari
5. klaim bonus promo berlaku 1×12 jam..
para pemain diharuskan mengklaim bonus sebelum bermain..jika
ada pemain yang melakukan deposit dan bermain..
baru setelah bermain mengklaim bonus..maka tidak akan dilayani
6.PROMO OLIVIACLUB ini dapat berakhir sewaktu waktu tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu
7.keputusan pihak OLIVIACLUB tidak dapat diganggu gugat dan
mutlak
CARA MENGKLAIM BONUS PROMO :
1.setelah melakukan register dan deposit maka pemain harus melakukan login dan masuk ke menu memo,tulis subjek klaim voucher promo
2.admin OLIVIACLUB akan segera membalas memo anda dan
memberikan kode voucher.
3.setelah menerima kode voucher silakan menuju menu deposit
isi kan formulir deposit sebagaimana anda biasa melakukan deposit.
setelah itu pada kolom keterangan di menu deposit silakan anda tuliskan kode voucher yang telah diberikan
4.silakan gunakan jasa live chat kami untuk membantu anda dalam mengklaim bonus PROMO OLIVIACLUB
WARNING….!!!!!
apabila pemain belum melakukan deposit dan mencoba untuk mengklaim bonus.. maka id akan kami blokir/delete secara permanen.
transfer chip tidak di perbolehkan dan akan di tindak tegass
regallia soh
11 Juli 2014 at 03:04
[…] Sumber Klik Disini : […]
Mayat Yang Mengambang Di Danau | Kisah Cerpen
21 Mei 2015 at 15:24
[…] Mayat Yang Mengambang Di Danau […]
Seno gumira ajidarma | Kertasusang
17 November 2015 at 10:52
Endingnya ketebak gan..
nilamic
26 Februari 2017 at 23:29
dibandingkan genre kesenian yang lain, sastra adalah seni yang paling berbeda. di saat kesenian lain membutuhkan sokongan berbagai elemen manusia untuk menciptakan karya, dari pengamatanku sastra lebih memilih kalimat “homo homini lupus”
fileski
26 Desember 2017 at 03:36
[…] Jayapura, 12-14 November 2011 https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/01/08/mayat-yang-mengambang-di-danau/ […]
Mayat Yang Mengambang Di Danau – Sastra-Indonesia.com
2 Desember 2020 at 13:11
[…] https://cerpenkompas.wordpress.com Cerpen InSeno Gumira […]
Mayat Yang Mengambang Di Danau – Ko'SaPa
10 Desember 2020 at 14:05
Reblogged this on Ruang Baca .
Nastar Bantet
20 Oktober 2021 at 14:35
[…] lain tentang Papua. Dari sekian entry di Google, saya tertarik pada cerpen Seno berjudul “Mayat yang Mengambang di Danau.” Cerpen ini ditulis saat Seno berada di Jayapura, 12-14 November […]
Telepon dari Papua
1 November 2022 at 17:36