Posts Tagged ‘Puthut EA’
Sesaat Sebelum Berangkat
Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Berburu Beruang
Aku dikagetkan oleh suara batu yang dilempar ke pinggir kolam, di samping tempatku duduk mencangkung mengamati ikan-ikan. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Mas Burhan tersenyum lebar. Akhirnya, ia bangun juga dari tidurnya. Tanpa basa-basi, bahkan setelah lama tidak jumpa, dari mulutnya keluar kalimat tantangan, “Kamu mau berburu hiu atau berburu beruang?”
Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Kita berburu beruang saja.”
“Ah, kalau gitu, tunggu apa lagi! Bikinlah tombak untuk dua orang, aku mau cuci muka dulu!”
Mas Burhan segera pergi ke belakang gubuk, tempat ia tadi terlelap tidur, menuju pancuran air untuk mencuci muka. Aku segera bangkit dengan agak malas, mengambil parang yang terselip di dinding gubuk, lalu mencari dua batang bambu, membuat dua tombak tajam. Begitu tombak jadi, kulempar satu tombak ke arah Mas Burhan. Segera, kami bergerak memasuki rimbun pohon pisang dan gerumbul bambu, berburu beruang.
Ibu Tahu Rahasiaku
Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah.
Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.
Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus dengannya.
Koh Su
Harus kuakui, seluruh gambaranku tentang Koh Su ada pada laki-laki itu. Selama hampir setengah jam aku berada di sini, tidak pernah kudengar suaranya. Tidak juga pernah kulihat ia menoleh ke arah para pemesan dan pengantre. Dingin. Suntuk dengan dunianya sendiri.
Minyak dituang. Diambilnya sebuah benda dari kotak di dekatnya, digedoknya keras. Remuk. Dilemparkannya ke arah penggorengan. Dilakukannya hal itu beberapa kali. Tidak ada saus tomat di dalam botol, tidak ada juga botol kecap. Hanya ada satu botol yang berisi cairan berwarna coklat di dekatnya. Botol itu dibebat kain, yang dugaanku, dulunya berwarna putih namun sekarang mulai berwarna coklat.
Di Sini Dingin Sekali
Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap. Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia sedang berada di dapur.
Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh, seperti dulu ketika gempa besar terjadi.
Sambal Keluarga
Di keluargaku, ada satu jenis sambal yang nyaris tidak pernah absen dari meja makan kami, terutama saat makan pagi. Sambal itu sangat sederhana, baik bahan maupun cara pembuatannya. Beberapa butir cabai hijau, ditambah sepotong kecil bawang putih dengan garam secukupnya, lalu ditetesi minyak goreng panas sisa menggoreng sesuatu. Setelah diulek, sambal itu dihidangkan begitu saja di atas cobek, berbaur dengan menu lain.
Sambal itu bukan menu tambahan atau menu penyempurna. Ia merupakan menu utama. Lauk yang lain seperti tidak ada jika sambal itu tidak hadir, tetapi sambal itu akan tetap menggiurkan dengan iringan lauk yang lain. Sambal itu tetap enak jika disandingkan dengan ayam goreng, telur, atau tempe. Tetap enak sekalipun hanya ada kerupuk atau pete.
Retakan Kisah
Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya, sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus hidup, tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu adalah dua hal yang terpilin dan sama-sama berdebu.
Dengan apa dan bagaimana ia memanggil, apa saja yang masih bisa dipanggil, apa saja yang masih bisa tapi tidak ingin ia panggil, untuk apa, dan bagaimana mengisahkannya, adalah sederet hal yang penuh dengan kerumitan masing-masing. Ia lalu lebih sering diam. Diam, kemudian menjadi sebuah tenggang yang sangat bermakna, sebuah jeda yang sesungguhnya tegang.
Bagiku sendiri, mendengarkannya, juga tidak kurang bermasalah. Jarak psikologi yang jauh, tafsir yang berkerumun, bahasa yang kabur, strategi bercerita yang sering menimbulkan tanda tanya: apakah ia sedang melakukan sebuah strategi tertentu untuk menghadapi masa lalunya, ataukah karena ia sedang berhadapan dengan orang-orang di luar dirinya?
Bocah-bocah Berseragam Biru Laut
Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu yang kadang kala berlagak bisa terbang jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati fakta tetapi malah terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana. Mungkin selamanya.
Ibu Pergi ke Laut
Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap sayang padaku. Tapi kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang anak sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah ini? Sepasang mata ayah kemudian berair.
Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka bisa pergi berhari-hari. Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat ia mengepak barang di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah besar, pakaiannya banyak. Pagi sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga mencium ayah, kemudian ayah mengantar ibu. Enak jadi orang yang sudah besar, bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus terus berada di rumah.
Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu
Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.”
Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”