Posts Tagged ‘Gus tf Sakai’
“Pakiah” dari Pariangan
Bagi orang-orang di kampung itu, cerita tentang pakiah sudah jadi masa lalu. Ia tertinggal dalam surau-surau tua, di tebal debu kitab-kitab kuning yang berhampar-serak, dalam bilik-bilik garin yang daun-daun pintunya telah somplak.
Bagi orang-orang yang datang ke kampung itu, ia akan didengar dari mulut orang-orang tua atau tukang cerita, berbaur-biluh dengan kisah para pendekar yang dalam bahasa mereka disebut pandeka.
Kak Ros
Begitu keluar dari kamar dan tak
sengaja menatap ke taman itu,
aku terpaku: Kak Ros,
perempuan hampir separo baya
itu, sedang membungkuk
menyorongkan wajahnya ke
rimbun tapak dara.
Tentu bukan sesuatu yang aneh kalau cuma menyorongkan wajah, tetapi ini, seperti kemarin kata Ben, bibir perempuan itu bergerak-gerak samar. Jadi, apakah benar, Kak Ros sedang bicara dengan daun-daun?
Orang Bunian
”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”
Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik, di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun, merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar.
Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan.
Kaki yang Terhormat
Menurut Anda, bagian tubuh manakah yang paling penting? Saya yakin, tak mudah untuk langsung menjawab. Tetapi, bila hal itu ditanyakan kepada nenek saya, serta-merta ia akan bilang, ”Kaki!” seraya mengangkat sebelah kaki, dengan telunjuk menukik lurus ke bawah, dalam hitungan yang tak mencapai detik.
Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek saya. Sementara untuk penggal pertama, ia akan menyergah, ”Lidah?! Mestinya pelihara ludah!” seraya mengulum menciutkan bibir, lantas mendorong dengan pipi kempotnya. Meludah. Merah, sirih bercampur sedah.
Liang Harimau
Karena pagi buta, tak ada yang tahu bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang wartawan, yang mengutip keterangan polisi, menulis berita begini:
”… Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.”
Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang sidang. Seperti sidang-sidang lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran, celingukan mencari-cari, atau kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya yang lusuh—terlihat nyaris cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang; cara duduknya yang aneh—membungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang bagai ditampungkan di pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang menyebut diri urang Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.
Lak-uk Kam
Dalam remang, dari jendela yang daunnya disentak diempas-empaskan badai, ia lihat semua: ombak yang menjulang, laut yang seakan terangkat—menganga bagai rahang, bergemulung menelan pantai. Suaranya gemuruh. Bergederam. Jadi inilah “lak-uk kam”, badai musim utara itu, yang menjadikan sebagian pulau porak-poranda, penuh genangan, dan membuat para penduduk pindah-sementara ke balik bukit pulau bagian selatan.
Senja. Lalu malam. Gelisahnya dihantam debar saat lampu suar tiba-tiba menyala. Dia masih ada? Ia julurkan kepala—dingin bagai mengiris muka!—melayangkan pandang ke puncak menara. Tak tampak apa-apa, kecuali lesat cahaya yang bagai terentang sedapat-dapatnya. Ia rasakan juga, saat matanya menyapu menyusur muka laut, lesat cahaya itu seolah ikut bergolak, berkecamuk, mengempas-empas menerpa-nerpa. Sesaat ia tertegun. Lalu, bagai gugup, mengembalikan pandang ke puncak menara.
Dia masih ada.
Sumur
Lima tahun setelah hari ini, gadis itu akan sering berada di depan televisi. Menatap kosong ke layar kaca yang hampir semua siarannya lima tahun lalu sangat ia benci. Tentu ia tak ingat nama-nama siarannya. Tetapi itulah tayangan yang saat ia lihat langsung membuatnya mual di detik pertama: darah, darah, selalu darah. Mengalir, dari perut yang belah. Menggenang dari kepala yang rengkah. Lalu meluncur, masuk ke dalam sumur.
Lima tahun setelah hari ini, tentu pula, ia tak ingat bagaimana sumur itu ada. Kenapa sumur bisa nyembul dari televisi? Tetapi ah, saat itu semua tak penting lagi. Ia toh juga telah tak percaya kepada mata, sang khianat yang tak lebih tipu-tipu belaka. Ayahnya sendiri bukankah juga. Dan kalaupun sumur itu memang muncul-melesak dari televisi, ia pikir itu bisa saja. Lihatlah semua ditelan dan masuk ke dalamnya: bual kosong, janji palsu, omong sok tahu. Tangis dibuat-buat, tawa diejan, akting murahan. Tidakkah mereka memang menggali, rakus, jadi budak rating dan iklan?
Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas
Pernahkah kaulihat matahari begitu banyak? Atau turun merendah seolah mencecah? Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin banyak lalu memantulkan. Begitulah terik, siang memanggang meringkus dirinya. Tetapi bukan itu. Di sana, di puncak monumen, ada sebuah titik, amat terang, seperti bintang.
Mungkin tak tepat disebut ”amat terang” karena titik cahaya itu benar-benar menyilaukan, tak tertahan oleh tatap. Tentu pula tak bisa disebut ”seperti bintang” karena titik cahaya itu sama sekali tak bekerlip, melainkan melesat berupa garis putih tajam yang langsung menghunjam memedihkan mata begitu seseorang mencoba bertahan. Dan, itulah yang dilakukan olehnya. Dan dari mata tuanya yang buram, kuning kelabu, selintas tampak seperti mata kayu, segera merembes air, menggenang, bergulir jatuh ke kumisnya yang menyatu dengan jenggot, jambang, yang semuanya kotor, putih pirang, meranggas tak teratur panjang dan jarang.
Jejak yang Kekal
Sepatu itu, dengan cara begitu rupa, menginjak seekor trilobite, tertahan dalam bongkah batu. Betapa kekal, pikirmu. Di suatu waktu di zaman lain, seperti yang selalu kami yakin, bongkah itu akhirnya pecah. Dan terbukti: kekal adalah kata keliru untuk menyebut bahwa semua cuma sembunyi.
Tetapi trilobite, makhluk yang hidup tak kurang tiga ratus juta tahun lalu, bagaimana bisa dijejak oleh sepatu? Kami lalu membuat kira-cetaknya: panjang 28 cm, lebar 11 cm, lekuk bawah tumit 2 cm. Sepatu lars. Dan itu artinya, sepatu manusia. Adakah manusia pada zaman homo habilis bahkan belum ada?
Belatung
Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Ya seperti ulat. Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Tidak, belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu. Kenapa tidak bisa, Ibu? Entahlah, Ibu tak tahu. Kasihan ya, Bu? Aku ingin melihat ia jadi kupu-kupu. Tetapi kita tidak bisa. Tapi aku ingin.
Tidak bisa. Aku ingin.