Posts Tagged ‘Gde Aryantha Soethama’
Batas Tidur
Jika hendak tamasya, kami akan pergi ke batas tidur, tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas. Benda-benda, gedung, gunung, laut, pohon, dan ternak terangkat, namun tetap terpegang erat di tempatnya. Kicau burung, suara serangga, dan desau angin, jernih dan jelas sumbernya. Bisikan-bisikan menjadi percakapan nan merdu.
Sebelum berangkat kami akan berkumpul di lembah Astungkara, di hamparan yang kami sebut campuhan, terbentuk oleh pertemuan dua sungai: Tukad Telagawaja dan Tukad Tugtugan. Orang-orang memercayai, campuhan adalah lembah suci, tempat mencari keheningan dan pelepasan. Seorang guru akan membimbing kami, menyodorkan ajakan dan kepastian, ke wilayah mana kami akan tamasya.
Ordil Jadi Gancan
Dari bawah pohon sawo di sudut alun-alun, Ordil menatap bade tumpang sembilan itu dengan pandang berseri-seri, tapi juga dengan perasaan memuncak dengki. Dia girang, niat melampiaskan dendam sebentar lagi terpenuhi. Pada saat sama, kebencian membakar rongga dadanya, karena jenazah orang yang paling ia musuhi memperoleh kehormatan dibakar dengan menara megah bertumpang sembilan.
Ordil melangkah pelan mendekati bade yang dibangun dari bambu, dibalut kapas biru, merah, kuning, hijau, membentuk wajah boma dengan mata mendelik, kedua tangan terbuka lebar dengan kuku-kuku panjang. Di kedua sisi membentang sayap dililit kain putih, membuat menara itu bagai hendak terbang. Tumpang sembilan mengkerucut ke atas, dihias kertas-kertas emas dan warna-warni, sehingga bade itu menjadi sebuah meru yang meriah dan pesolek. Cahaya sore membuat warna-warna prada yang membungkus tiang-tiang bade kian gemerlap, berpendar ke daun-daun beringin di sebelahnya.
Malam Pertama Calon Pendeta
Karena pendirian Ni Krining yang kukuh dan tulus terus-menerus, Aji Punarbawa perlahan-lahan melunak juga. Ia menerima, kendati tak rela, dan bingung, bagaimana mungkin seorang istri setia mendesak suami kawin lagi? Jangan-jangan ini siasat, agar perempuan itu bisa melepaskan diri. Sudah berulang kali Aji menolak, sekian kali pula Krining mendesak.
“Engkau yang memutuskan, Ning. Jika engkau menolak, tetap tak akan ada pendeta di keluarga besar ini.”
”Berulang saya sampaikan, saya menerima. Bukankah saya mendesak terus agar Aji segera madiksa jadi pendeta?”
”Aku mengerti, tapi, itu berarti aku harus….”
”Harus kawin lagi, dan perempuan itu mesti seorang brahmana. Keluarga segera memilihkan untuk Aji.”
Bantiran
Bertiga mereka menapak pematang di tengah sawah yang kering kerontang, berbulan-bulan dibiarkan terbengkalai oleh penggarap dan pemiliknya. Bantiran di depan, disusul Kartaman. Paling belakang seorang serdadu memanggul senapan laras panjang.
Dekat sebuah batu datar sebesar gerobak, Bantiran berhenti. Sinar bulan separo bundar membuat batu itu berkilat. Sebatang pohon kamboja tegak di sebelahnya, daun-daunnya gugur oleh kemarau, tapi bunga-bunga bermekaran. Ini sebuah tempat keramat bagi petani dan nelayan Desa Jampi. Tapi, mereka tak berniat mendirikan bangunan suci di situ, karena pasti akan merepotkan untuk membuat sesaji berulang kali di berbagai hari. Sudah ada banyak tempat suci di desa itu harus diurus dan menelan banyak biaya. Penolakan itu menyebabkan desa-desa tetangga menuduh mereka ateis. Mereka dituding sebagai manusia merah, orang-orang komunis, antek-antek PKI.
Bantiran menyusupkan tangan ke pinggang, mengeluarkan sebilah keris kecil, cuma sepanjang telapak tangan, menyodorkannya kepada Kartaman. ”Hanya kamu yang bisa mengakhiri, Man!”
Kartaman tak bergerak, seperti seonggok kayu usang. Dia menggeleng. ”Aku tak sanggup!”
Surga untuk Petani
Seorang petani uzur, di desa kaki gunung, menghabiskan 90 tahun, seluruh hidup, untuk bercocok tanam. Ia lahir di gubuk tengah sawah, di sebelah lenguh sapi dan kotek ayam. Usia sembilan bulan ia diajak ke ladang oleh ibunya memetik cabai. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, kawin, beranak cucu dan bercicit, ia lakoni sebagai petani. Ia sungguh-sungguh petani tulen, nyaris di sawah sepanjang pagi, sore, petang, acap kali malam, kalau menjaga air untuk mengairi sawah yang tengah disemai padi.
Suatu pagi, petani itu memetik tomat di ladang. Dengan tangan keriput, napas tersengal, ia angkat sekeranjang tomat ranum itu ke gubuk. Siang nanti cucu perempuannya akan mengambil tomat itu, dijual ke pasar esok pagi. Petani itu merasa nyaman ketika angin bertiup semilir. Ia melepas baju kausnya yang lapuk berlubang-lubang, lalu merebahkan dirinya di balai-balai, dekat sapi yang tengah asyik memamah rumput. Beberapa ekor anak ayam bertengger di pagar bambu dan cabang-cabang pohon kelor.
Ia tidur sangat lelap, terlalu lelap, sehingga tak mendengar panggilan cucunya. Ia tidak bangun ketika cucu itu menggoyang-goyangkan tubuhnya yang dingin. “Duh, Kakek meninggal!” seru cucunya tertahan berbalut sedih.
Hari Baik
Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk menyiram ubun-ubun.