Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Posts Tagged ‘Beni Setia

Rumi

with 6 comments

Dingin itu memuncak sejak ngambil wudhu untuk shalat subuh. Kabut tebal. Petunjuk waktu pada arloji telah ada di kisaran 6, 3, dan 9. Apa ini termasuk wilayah Indonesia bagian barat, gumamku—memaksakan keluar kamar. Melangkah di papan kusam di tingkat dua, yang sepertinya jarang dibersihkan atau diinjak langkah tamu, pertanda tidak banyak yang datang. Menginap di losmen yang hanya dua tingkat ini, dengan empat kamar di kiri dan enam di kanan. Kamar dengan tempat tidur yang seperti diambil dari peninggalan bencana dua puluh tahun lalu—dengan lemari papa, seprai yang seperti direntang dan terbiar, menyerah di remang lampu yang lelah.

Tangga sempit satu meter menekuk langsung ke lantai dasar, dengan dapur dan jajaran dua kamar mandi bersama. Pengujung lorong yang diapit dua kamar itu: lobi dengan meja panjang penyekat kantor penginapan. Di mana petugas yang renta tanpa gairah menerima tamu, mengurus tetek bengek administrasi nginap, dengan kursi dan meja tamu yang seperti tidak pernah dibersihkan di tentangnya—seperti memberengut malu menyandang debu. Pagi ini ruang dengan pintu tertutup itu sunyi, remang dingin memaksa mengenyak cuma bisa menyulut rokok—meski ingin sarapan, minum kopi dan baca koran. Apa ini ada termasuk wilayah Indonesia bagian barat? gumamku.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

3 Januari 2010 at 10:05

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Langgam Urbana

with one comment

(Atawa Jakarta in Rap)

Di Jakarta—ungkap lik War—jam ada di mana-mana. Di pagar rumah, di pintu halaman, di dinding di samping kiri atau kanan pintu masuk dekat bel, di dinding dan kursi-kursi dan meja di ruang tamu, di ruang tengah yang merangkap ruang keluarga, di layar TV dan monitor komputer, di meja makan dan terutama pada piring dan gelas minum, di pintu, di dinding, di ranjang dan bantal kamar tidur, di dapur, di bak air dan di gayung kamar mandi. Di jalanan, di mobil, di motor, di bundaran lampu lalu lintas, dan di kemengangaan mulut, di juluran lidah dan di untang-unting tenggorokan ketika orang-orang bercakap-cakap dan berteriak.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

11 Januari 2009 at 08:54

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Kiriman Laut yang Terlambat

leave a comment »

Bila malam menjejak, memanjang sampai mau beranjak di penghujung lain, seiring dengan pasang naik, dari zona pesisir sebelum jalan membelok ke pedalaman, dari salah satu rumah yang dialingi pohon-pohon bakau dari tangan lautan itu akan bangkit tembang pilu mirip lolong. Mungkin juga bukan tembang, karena hanya ada satu kalimat yang diserukan dan diulang-ulang dari awal malam dan sempurna sampai mau pagi—seperti yang diceritakan Marklopo. Di rentang waktu saat para lelaki pergi melaut, ketika pasang mengapungkan perahu dari rangkulan lumpur, sampai saat terakhir untuk mendarat sebelum laut surut dan meninggalkan satu kilometer pantai berlumpur bau amis.

Lelaki rembulan yang berpedati. Lelaki rembulan yang berpedati,” katanya—dilantunkan oleh suara panjang melengking di tengah rintihan dan gerung tangisan. Lalu sunyi, dan suara angin hanya mendesus membuat daun-daun meriap di tengah sedu sedan dan isak kecil. Sebuah jeda emosi sebelum kembali mengeras menyerukan teriakan melengking, tidak ritmik tapi dalam melodi tajam yang diulang-ulang, semacam blues atau pekikan rock yang paling distortif—dan karenanya menyiksa yang mendengar. Tapi apa memang ada perempuan yang dikurung dan dibungkam lelaki, yang diam-diam mencari kesempatan pertolongan rahasia dari para perempuan dan anak-anak? Seperti si putri yang ditawan di menara oleh penyihir dan dijaga naga yang selalu tertidur bila malam tiba?

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

9 Maret 2008 at 06:16

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Salvo

leave a comment »

Ada senapan serang AKA, dengan magasin penuh, di belakang lemari pakaian kamar tidur utama. Sederetan paku di dinding menahannya agar tidak jatuh dan tetap tersembunyi. Tersamarkan, meski dengan gampang kita meraih dan mengokang membuka kuncinya, dan dengan tekanan ringan dari telunjuk—dengan memakai popor lipat atau tidak—kita memuntahkan 52 tembakan beruntun. Dan bila kurang, ada magasin cadangan di atas lemari. Tapi sasaran tunggal apa yang bisa lolos dari berondongan sejauh lima meter?

Sejak SD aku sudah tahu ada simpanan senapan serang buatan Rusia di situ. Sejak kelas VI aku sudah dilatih membongkar, membersihkan, dan memasangkannya lagi. Dan tiga tahun sebelumnya aku sudah dibiasakan membongkar, membersihkan, dan memasang lagi pistol FN, yang genggamannya terasa berat itu, terutama ketika magasinnya penuh. Kalau disuruh memilih, rasanya lebih enak memegang pistol polisi, colt—yang mekanisme penembakannya sangat sederhana itu.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

8 Juli 2007 at 14:02

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Senja Merah Khairan

with 2 comments

Setengah berkacak, dengan lembut, Arsad menendangi bongkahan blok mesin sepeda motornya. “Nggak akan tembus kan, Sir?” katanya. Nasir menggeleng. Khairan menepuk bahunya. “Kita juga main, Sad. Kita tutup nomor jagonya, dan karenanya kita hanya narikin duit orang kampung. Ini hanya pemancing saja,” katanya. Arsad menaiki sepeda motornya, mendorongnya sehingga rodanya mencecah di tanah. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang mengangkang. Terbayang lagi, olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus, yang harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai sepeda motor itu. Ini bukan punyamu, kata ayah, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu, karenanya akan ada evaluasi setiap minggu-apa masih layak diinventariskan apa pasnya dicabut. Ya! Akan tetapi, seingatnya, gertakan itu cuma efektif tiga bulan. Setelah itu ia benar-benar menguasainya. Dan kini ia akan menjadikannya Hadiah Utama Toto (gelap) Singapura, di kisaran empat angka, per lima puluh ribu tombok.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

25 Mei 2003 at 12:50

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with