Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Hujan yang Indah

with 40 comments


Jika Anda orang yang menyukai hujan, datanglah ke kotaku. Di sini dapat Anda saksikan hujan yang indah bak lukisan.

Aku tidak bohong. Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.

Di sini hujan sering turun dan, uniknya, hampir selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan angin ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa.

Apabila hujan turun, aku paling suka duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak dinding-dinding dan atap bangunan kuno di seberang jalan. Dalam kondisi kering, tembok dan atapnya tampak kelabu terang, tapi setelah dibasahi hujan, warnanya menggelap dan terlihat misterius, seakan-akan di dalam gedung itu ada makhluk-makhluk gaib yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga nuansa merah bata yang asli, meski tidak mencolok. Bangunan itu ada sebelum aku dilahirkan dan seingat aku bentuknya tidak pernah diubah oleh pemiliknya.

Selain itu, yang kuintai manakala hujan tengah mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang menggigil dan memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada bentang alam yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada perempuan yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan bersedih. Dada yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya terselubung oleh uap samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh yang menyembul melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan embun bening menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi hujan.

Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut kepada seorang teman, tetapi dia mencibir seraya berujar, ”Bukankah seharusnya dada memuncratkan air susu? Mengapa keringat? Lalu di mana keindahannya? Ada-ada saja kamu ini. Air susu adalah metafora bagi cinta seorang ibu. Mestinya kamu tahu, sengawur apa pun imajinasi, sepatutnya diperkuat logika—mungkin dalam ketidakmungkinannya.”

”Haruskah begitu?”

Dia tertawa, kemudian dengan gaya merenung yang dibuat-buat dia bersabda, ”Kamu ini naif sekali. Bergaya penyair, tapi tidak paham perkara remeh seperti itu.”

”Aku tidak bermaksud bergaya penyair.”

Temanku tersenyum dan kupikir itu senyuman orang jahat. Agar tidak menambah kesan jahat pada dirinya, aku tidak pernah lagi mengungkapkan apa pun yang melintas di benakku sebagai apa yang dia istilahkan ”buah imajinasi”. Anehnya, setelah hijrah ke luar negeri, dia lebih sering bertanya soal hujan kepadaku lewat telepon, pesan singkat, dan surat elektronik. Aku hanya menjawab sekenanya. Kemudian dia memprotes.

Protes itu dia lontarkan dalam obrolan via internet. Saat itu matahari tengah memancarkan cahayanya dengan murah hati. Akhir pekan yang cerah. Terlalu cerah malah.

”Dulu kamu sering berkomentar tentang hujan. Kau bilang indahlah, romantislah, begini, begitu. Sekarang kenapa kering ungkapanmu? Apakah sudah jelek hujan di sana sekarang?”

Uh, sinis sekali.

”Hujannya tetap seperti dulu.”

”Lalu?”

”Aku tidak bisa ceritakan. Kalau kamu mau tahu, pulanglah dan saksikan sendiri. Tak bisa kamu mencerap keindahan hanya lewat komentar orang lain.”

”Wah, hebatnya!”

”Salah sendiri, bertanya soal hujan pada saat matahari bersinar terang.”

”Oh, di sana cerah sekarang?”

”Ya.”

”Di sini beku. Kami dikepung salju seminggu penuh!”

Lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi. Mungkin dia sibuk. Aku sendiri sibuk, ditambah kehadiran perempuan yang menjadi ibu bagi putra-putriku. Selanjutnya anak-anak mempersembahkan cucu-cucu untuk kami. Kawanku yang kadang-kadang menyebalkan itu tidak pernah mudik dan tanpa kabar lagi.

Kebiasaanku menikmati hujan tidak pernah berubah, meski tidak sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak sedalam dulu, entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai turun, yang menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal serumah dengan kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu tidak ada gunanya melarang aku menikmati hujan.

”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua masih suka keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.”

Kecerewetannya sungguh menjengkelkan.

”Apakah dulu aku pernah melarang kamu dan kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku mundur dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah.

”Iya. Malah dulu Papa cerewet sekali.”

”Apa iya?”

”Iya.”

Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu.

”Ini payungnya, Pa.”

”Tidak usah.”

Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.”

***

Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini.

Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.

Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku.

Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin.

”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat.

Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi.

2 April 2011

Written by tukang kliping

14 Agustus 2011 pada 05:20

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

40 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. subhanallah,,, kisah kehidupan seseorang dari masa mudanya hingga kakek2 bisa ditulis hanya dalam kira2 3 page ja

    keyen2

    faiqahnalini

    15 Agustus 2011 at 06:24

  2. wah !!
    bnran blom da yg cmment y??
    emm,,, bru kali ni jd yg prtma cmment d kumcer Kompas. he..

    faiqahnalini

    15 Agustus 2011 at 06:28

  3. waw…
    hujan yg sama tapi berbeda. 🙂
    admin: mw tanya. ini kenapa komennya cuma bisa wordpress, fb, tweet y?

    Kunto Nugroho

    15 Agustus 2011 at 12:23

  4. ah indah sangat, hujan selalu turun untuk menghantar rahmat-NYA 🙂

    Suri Nathalia

    15 Agustus 2011 at 15:28

  5. Hah? Cuma 854 kata?

    Argha Premana

    15 Agustus 2011 at 17:29

  6. Pertama kali aku membaca di awal paragraf terlihat bagus, namun saat memasuki tengah cerita knapa intensitasnya menurun ya? apalagi d ending cerita yg nampak biasa dan ga ada gregetnya..

    Hernowo Bayu

    15 Agustus 2011 at 21:58

    • Itu udah bagus kok…
      Apakah anda bisa membuat cerpen sebagus itu?

      andri

      1 Oktober 2012 at 03:44

    • memangnya kualifikasi untuk mengkritisi sebuah karya harus bisa membuat karya yang lebih bagus? juri x factor, festival idol-idol an, dan juri festival-festival film-film skala internasional pastilah prodigy dan maestro yah kalau begitu? suara mereka pasti sebening bbm kelas wahid. film-film mereka pasti merampas semua piala penghargaan.
      luar biasa.

      deli

      12 November 2012 at 14:26

  7. Saya belum cukup pintar untuk memahami cerita ini

    Abi Ardianda (@abi_ardianda)

    16 Agustus 2011 at 00:20

  8. kerinduan dan keintiman yang abadi dengan hujan. sweet. 🙂

    Ilham

    17 Agustus 2011 at 19:58

  9. Waktu yg panjang, dibungkus hanya sepuluh menit membaca. Takjub!
    Semangaaaaaaaaaaaatttttt pagii….!

    Zidan Mustaqim

    21 Agustus 2011 at 20:59

  10. nice. but ga suka endingnya…

    Rendi

    22 Agustus 2011 at 05:33

  11. sma sperti q, pecinta hujan. yg entah mgapa hujan sll terlihat indah dmataku. aplagi ktika teringat buliran air hujan menetes dr ujung hidung nya d kisah hayalan q tahun lalu bersamanya

    😀
    😀
    😀
    keren bnget cerpen a

    Eeng Emang 'Gini

    22 Agustus 2011 at 20:32

  12. ini kisah selfis yang romantis….

    Propa Nanda

    22 Agustus 2011 at 21:06

  13. Aku jg suka hujan…!!

    Amy

    28 Agustus 2011 at 09:17

  14. Cerita yg indah. . .

    Dila

    28 Agustus 2011 at 13:25

  15. aku merasa sebuah lompatan, penyederhanaan cerita di bagian tengah…. sebuah protes halus tentang perubahan lingkungan?
    keren ah!

    donaLd

    29 Agustus 2011 at 17:15

  16. aku suka hujan, tapi ga suka kalau hujan diibaratkan dada seorang wanita yang berpeluh.

    r3s@

    30 Agustus 2011 at 20:58

    • yupss . 🙂

      Herchan

      20 September 2011 at 17:14

  17. Setiap hujan memiliki arti bagi beberapa orang, setiap hujan bermakna tersendiri bagi sebagia orang, hujan yg sama memiliki arti berbeda bagi setiap orang.. Hujan dlu selalu datang di musimnya.. Namun hujan kini selalu dinati.. 🙂

    rizka

    5 September 2011 at 08:26

  18. sungguh hamir mirip dengan kehidupan ku

  19. slalu ada cerita dibalik hujan 🙂

    dhebu

    8 September 2011 at 16:15

  20. Kusedot cerpennya…Makasih!

    ismanpunggul

    9 September 2011 at 14:20

  21. hemmptt.. 😀

    Herchan

    20 September 2011 at 17:08

  22. Ehmz………………….?????????

    salma

    20 September 2011 at 17:30

  23. Cerpennya JELEK ihk mank ga ada yg Lain..?? :p
    Hapus aj nih CERPEN JELEK

    salma

    20 September 2011 at 17:32

  24. wiii keren!!!!!!!!

  25. cerpennya bagus lumayan buat tugas cerpen bahasa indonesia ku 😀

    ASELA DWI SYAHPUTRI

    24 September 2011 at 14:24

  26. aku suka sekali ceritanya mengingatkan aku kepada kekasihku yg suka sekali dengan hujan
    aku juga ingat betapa klo hujan turun ayahku selalu repot memperbaiki atap kami yg bocor hehehehe………

    eka

    4 Oktober 2011 at 10:49

  27. Dari kecil saya sangat suka sekalui sama yang namanyah cerpen atou cerita badi saya cerita sangat menarik bahkan ada si antara cerita yang memberikan motupipasi buat hidup saya

    Darus Alamsyah

    7 Oktober 2011 at 09:20

  28. saya mau nanya. Kalo misalkan kita nulis sebuah cerita sekilas contohnya cerita lucu yang pernah kita alami itu bisa di kategorikan sebagai cerpen ga?

    Heri Paski

    7 Oktober 2011 at 15:45

  29. Endingnya menyentuh apabila ide Eka itu dimasukkan atap yang bocor lalu kebanjiran! Terlalu cepat selesai &kata-ata puitisnya kebanyakan padahal kalau adegannya banyak juga identitas tokoh cerita diperjelas, pasti bisa dinikmati pembaca! Salut sih, ada perasaan juga tuk pembaca seperti saya buat njiplak karya anda! Hehehe.. Gak, saya cuma takut karya anda diselewengkan oleh oknum-oknum nakal!

    Jovian Andreas

    11 Oktober 2011 at 14:48

  30. waktu yg panjang dikemas dlm cerita singkat,, ^_^

    Zeitira Mardhafura

    16 Oktober 2011 at 13:58

  31. dalam mknx… kta2ny membius..

    aspire4530

    22 Oktober 2011 at 09:52

  32. hujan tak selamanya indah

    deeys_Dedeh

    11 Desember 2011 at 21:24

  33. bagus 🙂

    rosiana

    20 Mei 2012 at 01:36

  34. yeah, thats was beautifu, this the best story ever I see 😀

    Hadi Setyo Nugroho

    18 September 2012 at 18:30

  35. woow, keren
    jangan lupa kunjungi juga blog saya, ada sebuah prosa dengan diksi tingkat tinggi
    http://berridwiputra13goblog.wordpress.com/2013/09/17/biografi-sang-liontin-bertuah/

    berridwi13putra

    18 September 2013 at 23:29

  36. Pluviophile’s

    Gelukkig Garage

    22 Januari 2015 at 19:44

  37. keren pak saya suka cerpennya, sukses selalu untuk bapak..

    Wawan

    17 Februari 2017 at 02:33


Tinggalkan komentar