Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Lebih Kuat dari Mati

with 42 comments


I

Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Dengan kata lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat, segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek mati. Mati tanpa pesan. Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh yang ada di sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di malam hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati.

Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar bisa tidak.”

”Bisa benar bisa tidak?”

”Ya, begitulah!”

Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir 70 tahun ini. Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27 tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Tapi nyatanya? Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup untuk menikmati apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari.

Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang lebih kuat dari mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang dianggap tenggorokannya buntu. Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar. Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha, anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku tersenyum simpul. Ya, barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu yang membuat aku ingin menulis cerita ini.

II

Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari itu juga apa yang menjadi keinginan dan hasratku harus dituruti. Tentu saja, keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis. Ibuku juga menangis. Dan ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya tampak merah. Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga.

”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku.

”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku.

Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.”

Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2 tahun lagi. Pacarku yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang telah aku cium sebanyak 4 kali. Sekali di beranda rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena ciuman sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya:

”Kau harus kontrol, Nuk?”

”Kontrol?”

”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?”

Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah itu. Ketakutan dan kegelisahan yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi. Ya, memang, ketika kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah pacar kita punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau tidak? Siapa yang peduli? Jiahh….”

Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata tak tertular), Ninuk pun memutuskan untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3 bulan, tentu saja aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi aku tetap bertahan. Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini. Paling-paling cuma akan merumitkan masa depannya saja.

III

Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang menghibur. Ada yang basa-basi. Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil membocorkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga kerap membuat aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan apakah semua orang yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya matilah!

Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3 bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup. Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi. Dibangun lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya tetap saja ruwet. Dan macet melulu.

Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa berpikir. Dan bisa menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan memacetkan sebelah sana. Dan jika sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan. Juga tanggung jawab yang tak diketahui bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada gontok-gontokan. Yang disertai dengan sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori yang sepertinya tulus dan ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba.

Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu, ternyata si dokterlah yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di kamar mandi. Gegar otak dan tak tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan keluarga jauhku (yang pernah menjengukku) yang bersusulan mati. Emak Icih yang menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika ada suporter di kotaku ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah telak. Seluruh pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat.

Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu tertabrak sepeda motor. Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko, Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung gas di warung kopinya meledak. Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin yang sedang asyik main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan dada mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan kasar. Kasar dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti bentuk-bentuk yang kerap aku temui saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak beraturan. Juga lurus lancip menukik.

Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku pun mati. Dan keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku berumur 40 tahun. Tepat ketika adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun dengan seorang pemilik peternakan marmut. Seorang yang biasa aku panggil dengan nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati, aku benar-benar merasa kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup lama aku tanggung. Aku tanggung!

IV

”Pak De, mau ke mana?”

”Ikut?”

”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.”

Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di suatu pagi. Memang, sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga adikku. Dan semua keperluanku ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang telah berumur hampir 70 tahun dan tidak menikah ini. Seseorang yang pernah divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya. Dan seseorang yang ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan kaki, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh.

Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para tetangga dan kerabat jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu memanggilku: ”salah satu pak tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan buntu (sehingga nyawanya tak bisa keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi berkeliling kampung. Pak tua yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas pacarnya dulu, juga telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh!

”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….”

V

Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan), berhubungan dengan kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Melainkan berdiri sendiri-sendiri. Dan punya urusan sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit (separah apa pun) juga begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak waswas. Jika ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan umurku makin lebih panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih. Tentu aku akan lebih banyak menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal, baik yang lama ataupun yang baru, selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet, selalu kalah. Dan kalah!”

Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati….

(Gresik, 2010)

Written by tukang kliping

31 Oktober 2010 pada 11:25

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

42 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. kakek yang gaul dan cerpen yang bermutu… capek deh! Ayo dong kompas, ini bacaan apaan sih!

    gide buono

    31 Oktober 2010 at 12:43

  2. bahkan headline kompas hari ini lebih kuat dan nyeni daripada cerpen ini…

    gide buono

    31 Oktober 2010 at 14:43

  3. bisa bisanya…

    ken

    31 Oktober 2010 at 17:46

  4. selamat atas muatnya cerpen pak mardi…

    aku juga lagi terus-terusan mengirim cerpen dikompas ini…semoga saja muat seperti pak mardi.

    pak mardi, cerpen anda sangat inovatif, membahas antara mati dan sakit. aku teringat guru agama saya, mana dahulu, “rokok atau batuk”. memang itu berdiri sendiri, mati sendiri, sakit sendiri…bagus lah. Tapi lupa tidak dibahas pak mardi, urusan mati ya urusan takdir kematian….walalu terlihat inovatif, tapi sayanng aku gak bisa komentar,,,,,hahahaiii lagi eror otaknya

    Lubab

    31 Oktober 2010 at 20:35

  5. saya suka cerita ini.

    miftah fadhli

    31 Oktober 2010 at 20:42

  6. Bagus kok.

    Saila Rezcan

    31 Oktober 2010 at 21:46

  7. Pak Mardi, tahun depan umur saya 60 th. Penyakit yang saya derita banyak, kanker pydr, jantung, darah tinggi dan lupus, penyakit yang hebat bukan? akhir2 ini pikiran saya sering terganggu dgn kematian yang mungkin sudah dekat mengingat penyakit saya. Tapi setelah membaca cerpen bapak, saya kok jadi punya semangat hidup. Siapa tahu umur saya pun bisa panjang seperti lakon dlm cerpen. Sambil menunggu cerpen saya dimuat di kompas, mudah-mudahan kesampaian sebelum ajal menjemput. Cerpen pa mardi bagus menggugah semngat hidup saya.

    YS

    1 November 2010 at 06:53

    • tetap semangat ya ibu YS…!! Semangat!!! 🙂

      spears

      3 November 2010 at 10:42

  8. Duh editornya… Ini cerita orang umur 70 tahun cerita saat umur 27 tahun, masak saat itu ada gas meledak? Masak ada yang mati gara2 suporter bola?

    Semendo

    1 November 2010 at 07:49

    • aku setuju dengan semendo… ada yang tidak lazim si pada penempatan peristiwa dalam cerita yang itu…

      sule subaweh

      1 November 2010 at 09:11

  9. gide buono. semua orang punya alasan untuk melakukan sesutu. demikian dengan media kompas. coba lebih peka sedikit dehc tentang sesuatu dibalik pikiranmu yang angkuh…

    dari pada memberikan komentar tampa ada alasan…
    kami butuh alasan yang cukup darpada sebuah ejekan…

    tapi sebenarnya aku lebih suka komentarmu yang begitu berani…

    sule subaweh

    1 November 2010 at 09:19

  10. aneh emang ni cerpen bs masuk.. tp kl sy seru s bacanya, beda dr cerpen yg lain. mungkin saking jenuhnya dgn cerpen2 yg lama.
    kliatannya kompas suka cerpen2 yg isinya kritik sosial y..

    kunto

    1 November 2010 at 14:15

  11. ceritanya mengena, dan bisa mengigatkan seseorang tentang kematian yg misterius tak perduli sakit atau tidak sakit. tp sy setuju dengan Semendo, mungkinkah di usia si kake ke-27th, dah jalan raya macet?

    ade aminudin

    1 November 2010 at 23:02

  12. masalah timeline cerpen yang menurut anda tidak relevan. Coba dicek jenis cerpen dan tanggal dibuatnya. Kritik sosial dan 2010, sudah cukup jelaskah?

    belmontzzz

    1 November 2010 at 23:57

  13. meskipun menghibur tp menurutku kurang menarik cerpen ini dibanding minggu sebelumnya….

    Abu Hibban

    2 November 2010 at 00:15

  14. Om sule subaweh sebenarnya alasanya saya sudah saya munculkan di kalimat pertama saya: kakek yang gaul dan cerpen yang bermutu. Ya mungkin memang belum begitu jelas ya… Saya gak pintar memberi kritik memang 🙂
    Maaf kalau kesannya jadi angkuh hehehe. Bagi saya impresi adalah bentuk kritik yang paling primer atau primitif.
    Kalau dengan bahasa yang lebih rumit mungkin demikian:
    1. Untuk sang kakek yang berusia 70 tahun, bahasa cerpen ini terlalu muda. Mungkin sekali saya pribadi sudah termakan stereotipikalisasi.
    2. Cerpen ini begitu verbal hingga pesannya begitu jelas tanpa menyisakan ruang interpretasi bagi pembaca.
    3. Agaknya untuk sampingan2 yang dibawanya, yang agaknya tampak seperti tema sosial, cerpen ini agak kurang berhasil, karena tema sampingannya dilemahkan oleh karakter penceritaannya yang terlalu open personality pada kritik2 sampingannya tersebut, alhasil cuma tampak sebagai kembang-kembang tempelan. Jadinya TMI deh too much information. Dia sebetulnya tidak perlu kritik2 sosial karena tema utamanya sudah kuat. Atau jika memang ingin kritik sosial harusnya bisa lebih rapi supaya tidak tampak terlalu open, jadinya malah klise. Kita udah tahu gak usah dikasih kabar kabari lagi.
    4. Secara pribadi saya merasa terlalu banyak klimaks2 kecil yang justru mengurangi aspek penikmatan dan suspensinya.
    Jadinya gak ada momen yang duarrrr di dalamnya.
    Waduh jadi panjang kan…

    gide buono

    2 November 2010 at 00:29

  15. tapi aku tetap mengapresiasinya, karena:
    1. Sudah masuk cerpen koming getoh…
    2. Buktinya aku masih mau berpanjanglebar menceritakan kedongkolanku pada cerpen bermutu ini… :l

    gide buono

    2 November 2010 at 00:35

    • aeng-aeng wae

      marjan

      26 November 2010 at 22:49

  16. selamat atas dimuatnya cerpen ini….suatu ide untuk penambah semangat bagi orang – orang yang membaca. Hidup, sakit dan mati sudah ada yang mengatur…

    mariyamah ayub

    2 November 2010 at 16:13

  17. panjang umur ya Pak.

    fen7bernadette

    2 November 2010 at 17:52

  18. Sastra adalah suatu bentuk seni komunikasi verbal yang menggunakan objek sebuah dunia imajiner ciptaan pengarang sebagai alat untuk menyampaikan pesannya. Sebagai bentuk komunikasi di sini pengarang menyampaikan sebuah pesan tentang misteri kematian. Dalam penyampaian pesannya pengarang menggunakan tokoh “Aku” yang menuturkan riwayat hidupnya sehubungan dengan masalah kematian tersebut. Dalam cara penyampaian pesannya pengarang menjadikan cerpen ini seperti sebuah makalah yang ditulis menjadi beberapa bagian dengan menggunakan gaya cerita. Ada pembukaan, ada bagian isi dan ada penutup. Namun sayang dunia imajinernya tidak bisa terbentuk secara keseluruhan. Mungkin yang cukup bagus adalah bagian IV. Di situ ada percakapan antara tokoh Aku dengan keponakannya: ”Pak De, mau ke mana?”. ”Ikut?”
    ”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.” Dengan membaca percakapan ini pembaca bisa melihat dalam dunia imajiner bahwa ibu dari si anak yang ternyata adik perempuannya itu masih sangat perhatian kepada kakaknya. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pesan dalam cerpen ini mempunyai bobot karena mengandung nilai yang patut kita renungkan. Namun sebagai bentuk karya seni pengarang masih belum berhasil mengolah dunia imajiner untuk menyampaikan pesan tersebut. Kita sebagai pembaca hanya disuguhi gaya cerita pengarang yang datar.

    Nowe

    3 November 2010 at 07:59

  19. Cerpen yang sangat realis, dibawakan dengan gaya lugas oleh Mas Mardi Luhung

    Bamby Cahyadi

    3 November 2010 at 21:10

  20. bagus sih…
    cuma aku juga setuju ama komen bung gide buono.

    setelah berbulan-bulan cuma menikmati cerpen kompas lewat layar ponsel, akhhirnya….akhirnya….

    bisa komen juga disini..

    salam kenal buat semua…

    cah nda

    5 November 2010 at 20:22

  21. membaca cerpen pak mardi, saya teringt aka sebuah ungkapan “makan untuk hidup” bukan “hidup untuk makan”. benarkah?

    fandrik ahmad

    6 November 2010 at 20:05

  22. aneh…sepertinya selera estetis cerpen kita kok mundur beberapa puluh tahun kebelakang ya….
    dengan pesan moral bla bla bla….tak menyajikan ruaNG INTERPRETASI UNTUK PEMBACA BLA BLA BLA….seperti kita anak kecil yang dijejali dengan cerita dan pesan moral oleh orang tua bla bla bla….seakan pembaca adalah orang2 bodoh bla bla bla….bisakah cerpen kita lebih cerdas dari sekedar itu?
    dari segi cerita, semua cerita harusnya (pastinya) menarik. tak ada cerita tang tak menarik. tapi apa penikmatan cerpen hanya sebatas itu? ini tahung 2010 bung!!
    klo memang anggapanya masih seperti itu, sungguh saya ikut berduka atas kondisi cerpen KOMPAS (yang katanya barometer cerpen indonesia saat ini)
    apa penulis cerpen kita harus menjadi seseorang dengan beban moral di pundaknya?

    please dech…kasihan penikmat cerpen di indonesia, seperti penonton TV yang tiap hari disuguhi sinetron…

    apakah kita begitu bodohnya?

    lampor

    7 November 2010 at 18:38

  23. Wah, senang bisa kembali membaca buah karya Simalakama Rindu (nama akun fb Mardi Luhung).

    Dodi Prananda

    8 November 2010 at 16:39

  24. MAMBACA CERPEN INI, SUNGGUH MENGGUGAH HIDUP. oRANG YANG SERING SAKIT-SAKITAN BELUM TENTU MATI BAHKAN YANG TIDAK SAKIT MATI. mATI DAN HIDUP MEMANG BEDA DAN TIDAK ADA KAITANNYA.
    cERPENNYA MUDAH DIPAHAMI, AKU SUKA,
    lAMA SEKALI NUNGGU CERPENKU DIMUAT DI KOMPAS, YANG ADA DIKEMBALIKAN TETAPI ITU JAUH LEBIH MENYENANGKAN DARIPADA TIDAK ADA BALASAN SAMA SEKALI. sEMANGAT !

    KHADIJAH AMROE

    9 November 2010 at 10:49

  25. Mati…memang misteri…

    bisyri

    10 November 2010 at 04:32

  26. Ambil pelajarannya saja. Memang mati, rejeki, jodoh udah ada yang ngurusi. Kita tinggal nglakoni dengan selalu berusaha mengupgrade kualitas diri. Kan itu tugas dari ilahi kepada insani.

    Maryadi

    12 November 2010 at 14:38

  27. Secara logika memang gak masuk. 43 tahun lalu sudah bisa mendeteksi umur akibat penyakit menular??yang ditonjolkan memang hanya kritik sosial yang itu-itu aja.

    Edo

    15 November 2010 at 14:59

  28. Ceritanya menghibur …

    abybayu

    17 November 2010 at 01:15

  29. bagus, oke banget kok..

    djono

    19 November 2010 at 18:08

  30. memang benar agak sedikit janggal dengan ceritanya, kompor gas meledak dsb nya. Tapi it’s oke. Yg penting isinya bs memberikan motivasi spy tdk menyerah dg penyakit.

    djono

    19 November 2010 at 18:17

  31. Saya pikir Mbah Mardi tidk menyebut tahun. Kalo ada yg menganggap ‘sekarang’ dlm cerpn ini adlh masa saat ini, bukan berarti cerpen ini menjadi tdk logis.

    Geger

    24 November 2010 at 19:35

  32. cerpen bersahaja ini mantap kok. Gak ada yang anakronisme dan lain semacamnya. Kompas telah tepat memuat cerpen ini. Sastra nggak melulu bikin puyeng. Verbalitas dalam sastra itu tidak haram.

    Noor H. Dee

    28 November 2010 at 12:52

  33. menyegarkan

    puput

    24 Desember 2010 at 13:43

  34. Keren ceritanya… Memotivasi…

    kohkol

    26 Desember 2010 at 11:16

    • Terima kasih kek,cerpen anda benar2 bisa membuat saya semangat lagi….
      wlaupun cara cara menyampaikannya amat sederhana,tp pesan yg disampaikan benar2 terpahami oleh orang bodoh sekalipun…

      al bkt

      12 November 2011 at 09:49

  35. sy setuju dengan lampor, memang cerpen di kompas sdh menurun kualitasnya tidak lebih baik bahkan tidak sebaik cerpen era kompas 90 an, seperti yang ditulis jujur prananto, adek alwi atau joni ariadinata dengan lampornya yang meninggalkan kesan mendalam setiap kita selesai membacanya.

    asria ali

    12 Januari 2012 at 10:43

  36. Reblogged this on maxwelldemon666's Blog.

    tukang jeplak

    10 Maret 2017 at 09:25


Tinggalkan komentar