Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Macan Lapar

with 56 comments


Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak. Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.

Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.

John adalah seorang arkeolog. Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun, sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia 25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John uring-uringan.

Menurut John, masa bahagia adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu. Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun piknik, cukup dengan naik sepeda.

Di universitasnya, UCLA, John berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke 30 universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang bisa membekukan waktu.

Tetapi, menurut Fafa Dyah Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso (mengayomi) kota Solo, putri Solo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.

Di bandara Adi Sumarmo, Solo, saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya.

Menurut Fafa, gaya berjalan Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian, pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi, mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan. Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum merupakan kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri Solo itu tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.

Pada suatu hari di siang yang panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng, sambil berkata mantap:

”Saya sudah dapat si Macan Lapar.”

”Alhamdulillah,” sahut saya.

Lepas ashar di gerbang Keraton Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah (komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono (dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami semua diundang John untuk menerima kejutan.

Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono berteriak dan tertawa, ”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya keras-keras membangun ketegangan.

Ketika John mencapai teras keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel! Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel. Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik, ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan namanya Intan Paramaditha.

Belakangan pak Jokowi melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan putri-putrinya yang elegan itu. *****

Kota Tangerang Selatan, 10 Juni 2010

Written by tukang kliping

5 September 2010 pada 06:24

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

56 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Jiyaa… nama besar penulis. Menurutku,maaf, cerpen ini kalah jauh dengan cerpen dua minggu sebelumnya. Maaf, menurutku.
    😀

    Somad...

    5 September 2010 at 07:51

    • menurutkmu apa itu penulis besar? kenapa kau menjulukinya penulis besar?

      sebuah proses kreatif tidak selalu melahirkan karya ‘besar’ versi pembaca. seorang penulis menjadi ‘besar’ apabila ia bisa terus berproses tanpa terbebani oleh ke’besar’an yang disematkan orang padanya. sebuah hasil karya yang terlalu sangat biasa dari seorang penulis yang telah ‘besar’ tidak menjadikan ke’besar’an itu meninggalkannya. sebaga pembaca kita juga tak perlu terbebani oleh kebesaran nama seorang penulis. nikmati saja atau tinggalkan…

      ari

      13 Mei 2012 at 18:27

  2. saya menikmati, tapi tidak meninggalkan kesan sama sekali.. 🙂

    pwnp98

    5 September 2010 at 09:08

  3. yaaaaa maknanya dangkall…..

    dian bara

    5 September 2010 at 09:36

    • Maknanya apa bang

      Aseptiadi

      21 November 2023 at 13:30

  4. ????????????????????????? >.< Hrrrrrrrrrrrr!!!!

    kutusaiber

    5 September 2010 at 09:49

  5. Saya tidak mengerti di bagian john jadi Cleret Gombel.
    kok jadi aneh. Kenapa tiba-tiba berubah jadi Cleret Gombel? Gak nyambung saya… Ada yang bisa menjelaskan? Saya bukan orang Jawa, jadi gak ngerti soal Clerek Gombel, dengernya pun baru sekarang…

    Heri Apriadi

    5 September 2010 at 11:25

  6. Hahahaha lucu lucu, harus saya akui cerpen ini seperti seorang pak Danarto yang bercerita di depan saya sambil sesekali menjejalkan referensinya. Rasanya sangat dekat. Walaupun mengumbar beberapa referensi, saya merasa bahwa cerpen ini tidak genit. Genitnya justru ketika nama-nama besar dijejalkan. Adegan cleret gombel sangat menarik untuk dimonologkan. Rasanya ini seperti naskah teater daripada cerpen pada umumnya…

    gide buono

    5 September 2010 at 12:14

  7. tenang..mengalir..sampai di tujuan dengan selamat. Tak perlu bersusah bahasa. setiap yang tidak mungkin, di tangan mbah Danarto hal itu terasa ringan.

    ge

    5 September 2010 at 15:16

  8. cerpen danarto menurut saya terlalu ringan dan terlalu sederhana, jelas mengalami penurunan. saya malah menduga cerpen ini pesanan Kompas, ilustrasinya dia juga, kata SR (sms) tahun kemarin kompas juga pesan utk cerpen bertema lebaran.tapi aku lupa hape gak kebawa seh siapa inisial cerpenisnya itu, yg jelas senior.

    HG

    5 September 2010 at 16:57

  9. hahahahahahgggg. .. ringan, renyah, dan menggelitik. ..

    lucu mas….

    cah solo

    5 September 2010 at 21:41

  10. Salam hangat selalu,
    Grrhrgrr…aauuum(macan lapar mengaum). Saya tertawa terpingkal-pingkal sampai terjungkal saat membaca cerpen ini. Saya tutup blog ini guna menarik nafar, lalu saya buka untuk dibaca lagi dan perut saya melilit menahan geli. Cerita yang benar-benar aneh. Pikiran saya membanyangkan putri solo melenggok seperti macan lapar sambil mengaum genit(Trio macan). Tak terpikir macan lapar bisa berjalan di cat walk seperti supermodel dunia. Mungkin Natalia Vodianova kalah dengan peragawati pilihan John dari California, entah dari Los Angles atau San Diego(kota terbesar ke dua setelah LA). Sampai Barack Husein Obama ada di cerita yang ‘notabene’ tinggal di Chicago sebelum ke gedung putih(white house) yang berada di Capital Hill, DC. John berubah jadi cleret gombel makin membuat saya ngakak dan keram perut. Diksi yang dangkal. Bahasa koran. Saya menunggu cerita yang menarik dari bung Danarto. Sukses berkarya selalu.

    Tova Zen

    5 September 2010 at 21:45

  11. Cerpen ini emang beda dengan cerpen2 Pak Danarto sebelumnya. cerpen ini ringan, gak njelimet karena pada dasrnya saya agak susah dengan cerpen njelimet hehehehehe……..) tapi aku suka dengan ide Putri Solo-Macan Lapar….

    miftah fadhli

    5 September 2010 at 21:47

  12. BUKAN Pak Danarto BANGEEEDDDD Dech! hanya 6.000 karakter???

    Bamby Cahyadi

    5 September 2010 at 21:49

  13. Nampak misterius “Macan Lapar” ini..

    Salam takzim kagem panjenengan Pak Danarto..
    Tapi, ceritane mbok jangan sependek itu to..hehe
    “Obrok owok-owok, ebrek ewek-ewek..” mak gedublek, weeek 😛

    Wahyudi Eko S

    6 September 2010 at 03:42

  14. eh, ini cerpen???
    aneh..

    kunto

    6 September 2010 at 09:49

  15. Cukup dalam dan mengingatkan tentang kebudayaan yang sudah banyak dilupakan.

    Lita Sudiono

    6 September 2010 at 11:19

  16. Macan lapar ini tak berhasil mengenyangkan perut cerpenku yang lapar… Kurang gress!!!

    kutusaiber

    6 September 2010 at 14:27

  17. singkat…..padat…..jelas

    ronald

    7 September 2010 at 00:16

  18. aku pikir, cerpen-cerpen y dimuat di kompas merupakan representatif karya bagus dari penulis-penulis Indonesia. Tapi, nyatanya beda sekali. sama sekali tidak kompetitif. apakah berharap masuk ke cerpen pilihan kompas?

    jujur, cerpen semerti ini sangat tidak layak di halaman kompas. atau barangkali karena Danarto yang nulis jadinya redaktur tidak membaca lagi. langsung muat maksudnya. kasian pemcaba kalau begini terus.

    salam
    penikmat sastra minggu

    rinal

    7 September 2010 at 02:50

  19. Saya setuju dengan komentar pertama. Nama besar, itulah mengapa cerpen ini dimuat. Di samping itu, saya kira, pembuka cerpen sangat menarik, tapi perkembangannya membuat kita kecewa membacanya. Imajinasinya kurang. Mas Danarto kayaknya sedang dilanda stagnanisma. Maaf.

    Miswar

    7 September 2010 at 10:51

  20. Dr judul cukup membuat pembAcA jadi penasaran, apa sie sbenarnya “macan lapar” itU?
    Stelah d baca jd tau dEch.
    Tp yang agak gak ngerti d bagian jhon mengejar2 puTri solo, apa jhoN saAt itU jd kesurupan?
    Tolng d jelasin

    Hamba Allah

    7 September 2010 at 11:04

  21. Alhamdulillah… Mbah Danarto sudah afiat dan bikin cerpen lagi… tapi menurutku ini cerpennya bang Mardi Luhung banget… cerpenya Mbah Danarto biasanya magisnya kerasa… ini nggak begitu. tapi tetap saja cerpen ini lumayan.

    mashdar Z

    7 September 2010 at 16:18

  22. lagi-lagi tidak mengerti,,,

    moh. khaerul imam

    8 September 2010 at 13:00

  23. cerpennya lumayan menarik….!!
    saya suka…
    tapi Cleret Gombel tu apa ya??
    kok kedengarannya aneh….hehehe..
    ma’f saya bukan orang Jawa… 🙂

    Rekia

    8 September 2010 at 14:52

  24. Membaca cerpen ini seperti menonton paris je t’aime, new york i love you… Seolah mengejek kita yang terlalu serius… Justru menurutku itu kekuatannya…

    gide buono

    8 September 2010 at 23:33

  25. ada pesan-pesan yang tidak bisa saya tangkap. tapi cerpen ini segar! lucu. Gaya berceritanya mirip kolom, bukan cerpen.

    Gibb

    9 September 2010 at 15:22

  26. cerpennya asyik, lucu, orisinil.. tapi terasa gak selesai..kenapa ya? gak dipotong kan sama KOMPAS?

    meif

    10 September 2010 at 11:04

  27. Anak saya yang masih kelas 6 SD, yang sedang saya gembleng habis-habisan untuk menjadi seorang penulis, tiba-tiba mengeluh membaca cerpen ini. Keluhannya sama, seputar potongan akhir cerita ketika John yang tiba-tiba berubah jadi Cleret Gombel. Ia bilang, “Kok terlampau mengada-ada.” Tapi saya bilang, “Jangan terlampau banyak kritik, Nak. Yang menulis ini namanya Pak Danarto.” Anak saya malah marah. “Mau Danarto kek, Danarti kek, kalo emang jelek ya jelek aja. Kenapa harus bela-belain dimuat. Payah, nepotis!”

    Ramdoni

    13 September 2010 at 22:31

    • Komentar dari Ramdoni, kalau saya pikir-pikir, lebih mengejutkan sebagai sastra ketimbang Macan Lapar. Hebat perkataan anak SD itu: “Mau danarto kek… Knapa harus bela-belain dimuat. Payah, nepotis!” Bagi saya, ini cerita lebih menarik.

      Oge Bual

      14 September 2010 at 20:03

    • waw komentarnya…..

      silla

      27 Januari 2011 at 01:00

  28. Saya–dan ini dulu sekali–adalah pengagum Danarto. Kata H. Aveling, Mbah ini adalah mata kiri kita jika Pram mata kanan kita. Ia seorang pembaharu. Seorang Master. Sufisme Danarto memang sudah mencapai taraf tertentu, terbukti lewat Adam Ma’rifat. Tapi cerpen ini?
    Cerpen ini membuat mata kiriku juling. Apa guna kubaca Macan Lapar? Tidak membacanya malah lebih baik.

    Ada yang tahu, California itu menyimbolkan apa ketika diasosiasikan dengan erotisme Solo? bukankah seorang barat–sungguh tipikal–yang menjadi buas ketika berada dekat dengan gadis pribumi, merupakan hal klise yang terkutuk untuk seorang master sastra kita?

    Oge Bual

    14 September 2010 at 19:57

  29. Hahaha…
    menurut saya justru lebih menarik komentar-komentarnya dr pada cerpenya..
    sekali lagi,
    hahaha…
    Entahlah apa maksudnya?

    Rozzi narayan

    17 September 2010 at 04:03

  30. […] Sep Di copy dari blog cerpenkompas Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo […]

    Macan Lapar « Ilaaja's Blog

    17 September 2010 at 10:01

  31. […] dianamardiana in cerpen Tag:membaca cerpen, menbaca cerpen di copy dari blog cerpenkompas Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo […]

  32. huh……….. makacie ea cerpen nya iza kaceeh inspirasi q wat tgazzz basa indooo

    liq_zaw

    17 September 2010 at 19:03

  33. cerpen yang bagus…
    bagus untuk membuat pembaca mengkritik, bagus untuk membuat pembaca memuji…

    semua penulis menurut saya tetap bagus…
    mereka sudah berlelah-lelahan, menguras waktu demi, menguras tenanga untuk menembus media masa…

    aku merasakannya

    ubab

    19 September 2010 at 01:47

  34. haha…..
    ada-ada saja..

    Syaikh A rozz

    19 September 2010 at 03:23

  35. Kesederhanaan dlm huruf dan kata.. suka, bwt sya jd pngen blajar jLnnya maCan lapar.. Hehe.. 🙂

    Ratih PN

    19 September 2010 at 13:08

  36. Macan lapar bersarung songket,pasti akan lebih menggetarkan hati.. Hehe!
    Salut bgt sama pak Danarto!

    Hilda AH

    19 September 2010 at 13:29

  37. sebenarnya kurang begitu menarik. apalagi endingnya. kalau bahasa jelas mantap. di awal alurnya cukup jelas tp belakangan kurang herrr….

    Macan lapar menjadi simbol untuk seorang putri solo…
    menguak seusutu yg hilang dalam renungan…. aku suka itunya…

    sule subaweh

    25 September 2010 at 10:14

  38. jelas singkat dan padat dan ada tang lucunya keren bngt nh cerpen.

    MELILEA

    27 September 2010 at 09:41

  39. […] This post was mentioned on Twitter by desi kurnia sari and Nadia Fadhilla, valencia dea. valencia dea said: http://is.gd/il0vm try to read this short story. it talks a bit about solo&the way our women walk long time ago. they called it macan luwe . […]

  40. benarkah putri solo seperti macan lapar, diera sekarang kelihatne lebih ke macan lapar yang artinya galak/crewet hehehehe

    dealer pulsa

    12 Desember 2010 at 08:35

  41. : tetap berharap karya Mas Danarto yg lain, penuh dng kejutan, sensasi, inspiratif, ringan-berat, mencerahkan-memberi penegasan yg menambah pengetahuan. Siplah.

    johnherf

    15 Februari 2011 at 13:43

  42. Saya pengagum berat karya-karya Anda. Tapi terang saya kecewa setelah membacanya. Energi kreatif Pak Danarto yang lahir di Sragen ini tak semantap sebelumnya. Harusnya lebih bagus dari kumcer “Berhala”.

    Abednego Afriadi

    28 Juni 2011 at 11:04

  43. Intan Paramadhita. hahaha bahkan pak Danarto ikut menyertakan penulis lain dalam ceritanya. Atau mungkin mbak Intan yang jadi inspirasi tulisan ini? 😀

    bacafiksi

    2 Juli 2011 at 21:55

  44. ada yang bisa tolong buatkan review-nya ??

    tamara floren

    26 September 2011 at 06:26

  45. ceret gombel itu maksudnya: gaya john menempel,memeluk si putri solo, spti ceret gombel (sejenis cicak pohon) yang nempel di pohon mangga….bgtulah….

    arief el hakiem

    27 Oktober 2011 at 12:54

  46. Penulis tidak kemudian selalu menulis baik, tapi nama besar menjamin penulis banyak menulis / berkarya baik. Tulisan kali ini baik dari segi baca orang yang sudut pandangnya beda dari yang umum.

    ahmad surkati ar

    23 November 2011 at 11:14

  47. Ealah.

    MARKES0

    11 Februari 2012 at 16:59

  48. aku begitu menghayati cerpen ini karena aku orang solo, roh cerpen ini bisa kutangkap, entah pembaca lain, mengerti apa tidak….

    Arum

    22 Maret 2012 at 19:19

  49. Setahu saya karya yang berkualitas adalah penciptaan karya yang tidak memperhatikan kepopularitasan. Pengarang berkualitas tidak menciptakan karya untuk kepentingan konsumen yang ingin dimanjakan dalam kenikmatan, tetapi berkarya dengan sangat jujur dan bebas, artinya karyanya adalah hasil dari ungkapan jiwa pengarang yang sebenarnya dan tanpa dibuat-buat.

    @Tri_WAP

    2 Januari 2013 at 22:40

  50. Segala sesuatu itu diambil positifnya, saya sempat terbahakbahak membaca cerpen ini. Namun di balik tawa saya yang gakak itu, saya menemukan sebuah pesan, bahwa Indonesia adalah negara yang terkenal ramah dan banyak dikagumi oleh orang asing. Akan tetapi budaya Indonesia itu sendiri sekarang telah luntur, tergantikan oleh budayabudaya barat yang menjadi patokan. Bahkan jika orang asing datang ke Indonesia, mereka tidak lagi menemukan budaya asli Indonesia.

    Luluk Andrayani

    29 Mei 2013 at 11:30

  51. gaya bhasany sederhana, alurny mudah d cerna dan menghibur..tpi hampir d akhir cerita knapa ceritany malah aneh… brubah jdi cerita k0mik h0rr0r.. spertiny pengarang bkn hya ingin menghibur pembaca,tpi jga cerita gak slamanya mengenakkan tpi bsa jga menghadirkan cerita yg membel0k dri yg d inginkan.. tpi sejauh ini,pesan yg akan d sampaikan pengarang cukup trlihat..

    tree mur

    22 September 2013 at 18:44

  52. memang agak susah menafsirkan -macan luwe- atau -cleret gombel- bagi mereka yg tdk tumbuh dalam budaya jawa, atau bahkan bagi generasi muda jawa skrg.. tp sungguh, gaya macan luwe itu sensual sekali (tp berkesan mahal), dan rasa2nya saya bisa cedera pinggul karenanya.. maafkan saya yg keluar topik.. mas danarto, tetap mencerahkan (saya) kok.

    hardjanti

    27 September 2013 at 23:47


Tinggalkan komentar