Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Kue Gemblong Mak Saniah

with 61 comments


Masdudin jengkel melihat istrinya terbahak sampai badannya berguncang-guncang seperti bemo yang tengah menunggu penumpang. ”Apanya yang lucu Asyura?”

Pertanyaan itu tak serta-merta membuat Asyura berhenti terkekeh. Khawatir makin jengkel dan penyakit bengek yang membuat napasnya megap-megap kumat, Masdudin melangkah keluar meninggalkan istrinya dan membiarkan perempuan yang rambutnya mulai beruban itu menelan tawa dan bahaknya sendiri. Dia baru mendengar teriakan sang istri ketika badan pendek hitamnya hampir hilang di balik rumah tetangga sebelah.

”Bang!”

Meski masih menyimpan rasa kesal, Masdudin menghentikan langkah.

”Sini!”

Gerimis halus masih turun dari langit. Masdudin berbalik dan mengikuti langkah istrinya ke ruang tamu.

”Mengapa abang tiba-tiba kepingin makan kue gemblong Mak Saniah?” Asyura bertanya ketika Masdudin tengah mengatur napas.

Masdudin berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri tak tahu mengapa pagi itu, ketika gerimis jatuh dari langit, dia ingat Mak Saniah yang biasanya menjajakan kue gemblong ke rumahnya. Tidak setiap hari juga. Dalam sepekan, dua sampai tiga kali Mak Saniah datang ke rumahnya.

”Syuraaaaa… Syuraaaaaaa… gemblong Neeeeeng!” Mak Saniah biasa memanggil istrinya. Lalu tubuh rentanya duduk di teras rumah setelah meletakkan sebuah panci besar berisi jajanan berupa kue gemblong atau kue unti.

Asyura tak pernah membiarkan Mak Saniah pulang dengan tangan hampa. Begitu mendengar suara Mak Saniah, dia segera mengambil piring dan menjumpai Mak Saniah di luar. Selembar uang Rp 5 ribu biasa diberikan Asyura kepada Mak Saniah dan mengambil kue gemblong empat hingga lima buah serta unti dua sampai tiga buah. Mak Saniah tak pernah menjual kue-kuenya lebih dari Rp 500 per buah. Dengan uang Rp 5 ribu seharusnya Asyura bisa mengambil 10 buah kue. Namun, hal itu tak pernah dilakukan Asyura. Dia selalu mengambil kue-kue secukupnya dan membiarkan uang kembaliannya untuk Mak Saniah. Sesekali Asyura juga memberikan Mak Saniah lembaran uang sepuluh ribuan tapi mengambil jumlah kue yang sama serta tak mengambil uang kembaliannya.

”Terima kasih banyak ya, Neng. Semoga rezeki Neng banyak, berkah, anak-anak pada sehat, disayang laki, setia,” kata Mak Saniah selalu sembari menyelipkan uang di balik lipatan kainnya (Mak Saniah semula biasa meletakkan uangnya di balik alas kue dari koran bekas di dasar pancinya. Namun, kini tak pernah lagi dilakukannya karena dia pernah kehilangan uang yang sudah dia kumpulkan sedikit demi sedikit dari para pembeli).

”Lucu juga kalau nggak ada angin nggak ada hujan abang tiba-tiba kepingin kue gemblong Mak Saniah,” kata istrinya. Masdudin melirik ke depan rumah, pada tempias gerimis yang membasahi genting rumah tetangganya. ”Abang ngidam? Ngidam istri kedua abang?”

Masdudin memalingkan wajah dari kerlingan istrinya. Bukan dia ingin menyembunyikan sesuatu, tapi untuk membuang rasa kesal yang selalu dilakukannya jika Asyura mulai agak merajuk. Belakangan, Asyura memang kerap melontarkan sindiran serupa itu. Mungkin juga karena usia yang makin beranjak dan garis-garis ketuaan yang kian ramai. Padahal Asyura pun tahu, Masdudin takkan mungkin punya istri lebih dari satu. Dia tak cukup punya modal. Tampang pas-pasan. Kantong pas-pasan. Keberanian pun pas-pasan.

Tapi, pertanyaan itu pun wajar dilontarkan Asyura. Sejak pertama kali Mak Saniah menjajakan kue gemblong ke rumahnya hingga kini, gemblong Mak Saniah ya begitu-begitu saja. Bentuknya sama gepeng seperti kue-kue gemblong lainnya, agak besar dan agak lembek. Kue gemblong Mak Saniah juga tak sekering, serenyah, dan seenak gemblong yang pernah dibeli Masdudin ketika dia dan keluarganya jalan-jalan ke Taman Bunga di kawasan Puncak tahun lalu. Jadi, terasa ada yang aneh jika kini dia merindukan kue gemblong Mak Saniah.

”Bang Masdud,” Asyura mengagetkan suaminya. ”Ada apa?”

Masdudin jadi sedikit serba salah.

”Aku cuma…” Masdudin menyahut sambil coba mencari jawaban yang pas. ”Aku cuma merasa aneh saja. Belakangan kan Mak Saniah tak pernah datang lagi. Dia kan sudah sangat tua. Jangan-jangan….”

”Sudah meninggal maksud Abang?”

Masdudin menyambar permen di atas meja. Sisa jajanan anaknya. Ada sedikit rasa lega di dadanya begitu rasa manis dan hangat merayapi rongga mulutnya.

Usia Mak Saniah memang sudah sangat tua bahkan ketika beberapa tahun lalu dia mulai menyambangi rumah Masdudin. Seluruh tubuh putih wanita tinggi besar itu sudah dipenuhi keriput. Langkahnya tertatih-tatih. Apalagi dengan beban panci berdiameter hampir 50 cm berisi kue gemblong dan unti yang dijajakannya. Langkahnya makin terpiuh-piuh. Itulah yang membuat Masdudin atau istrinya tak pernah bisa membiarkan Mak Saniah pergi dari rumahnya tanpa menjual lima hingga enam kue jajanannya. Padahal, kue-kue itu pun hanya dimakan satu-dua buah. Anak-anaknya lebih suka makan panganan lain. Kue-kue gemblong Mak Saniah dibeli hanya agar hati Mak Saniah senang.

”Belakangan Mak Saniah memang makin jarang datang. Aku dengar dia sudah sakit-sakitan,” kata Asyura.

”Tapi ya memang kasihan juga orang setua dia masih juga berjualan,” Masdudin menimpali.

Asyura lalu bercerita tentang Mak Saniah lebih panjang. Cerita yang sebelumnya tak pernah dia dengar. Bahwa Mak Saniah adalah wanita dengan tujuh anak. Bahwa anak-anaknya pun sudah pada ”jadi orang”. Bahwa Mak Saniah memilih tetap mendiami rumah sederhananya di kampung yang bertetangga dengan kampung tempat di mana Masdudin dan keluarganya tinggal. Bahwa Mak Saniah, setelah suaminya wafat belasan tahun lalu, memilih menghidupi dirinya dengan berjualan kue gemblong buatannya sendiri. Dengan begitulah dia bertahan hidup tanpa harus merepotkan anak-anak dan cucu-cucunya.

”Jadi, anak-anak Mak Saniah sebetulnya sudah melarang dia berjualan. Tapi Mak Saniah tetap membandel,” kata Asyura menutup cerita panjang lebarnya.

Masdudin juga tak pernah meminta istrinya untuk mencari tahu bagaimana kabar Mak Saniah saat ini, tapi pada hari Minggu berikutnya keduanya sudah berada di depan rumah Mak Saniah setelah berusaha mencari dengan bertanya ke sana kemari. Dari bertanya itu pula keduanya tahu bahwa Mak Saniah kini memang sudah tak lagi bisa memaksakan diri untuk berjualan. Beragam penyakit berkumpul dan menyatu dalam tubuh rentanya. Mulai dari pikun, rematik, pengapuran, darah tinggi, sesak napas, dan mata yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Cuma kuping Mak Saniah yang masih berfungsi dengan lumayan baik.

Dari pembaringan Mak Saniah menyambut kedatangan Masdudin dan Asyura setelah seorang cucunya, seorang gadis berusia 20-an tahun, mengantarkan mereka masuk ke kamar Mak Saniah.

Begitu masuk ke ruangan itu Masdudin dan Asyura membaui wewangian asing tapi menyegarkan. Kamar itu, meskipun tidak terbilang bagus, tampak sangat terawat. Tak banyak benda-benda berserakan. Tempat Mak Saniah berbaring juga sangat bersih.

”Ya Allah mimpi apa ya Mak semalam? Elu tahu rumah Mak, Neng?” sambut Mak Saniah. Masdudin melihat ada genangan air di kedua sudut mata Mak Saniah.

”Ya, kita kan tetangga, Mak. Tetangga kampung. Nggak jauh. Cuma satu kali naik mobil angkutan.”

Mak Saniah tersenyum tipis. ”Ya, memang nggak jauh ya, Neng. Makanya Mak pun kalau jualan sampai ke rumah Neng Syura….”

Tanpa diminta, gadis yang tadi mengantarkan Masdudin dan Asyura sudah menyuguhkan dua gelas teh panas dengan sekaleng biskuit.

”Ayo, minum dulu dah, Neng. Makan tuh biskuitnya. Cuma itu yang ada. Mak sudah nggak sanggup bikin kue gemblong,” ujar Mak Saniah begitu baki diletakkan di atas meja.

Masdudin dan istrinya bertukar pandang dan berbagi senyum.

”Mak juga sebenarnya masih kepingin jualan, Neng.” Mak Saniah melanjutkan kalimatnya sambil menggenggam tangan Asyura yang kini sudah duduk di sisi Mak Saniah di tempat tidur Mak Saniah. ”Bukannya apa-apa, Neng. Mak ingeeeet terus sama orang-orang yang suka beli gemblong Mak, terutama Neng Asyura ama laki Neng Asyura yang nggak pernah nggak beli gemblong Mak. Kalau orang sudah cocok kan susah ya, Neng. Biar banyak makanan laen, tetep yang dicari gemblong-gemblong Mak Niah juga. Iya kan?”

Masdudin tersenyum sambil melempar kerling kepada istrinya.

”Betul, Mak. Gemblong Mak Niah memang beda dari yang lain,” Asyura menimpali, menahan senyum. ”Manisnya pas, lembeknya pas, gedenya pas, terus nggak mahal.”

Wajah Mak Saniah tampak cengar. Berbinar. ”Ya, Mak mah kalau jualan emang nggak cari untung gede-gede. Yang penting ada untungnya biar sedikit. Cukup buat makan. Buat apa Neng harta dibanyakin. Amal ibadah yang harus dibanyakin. Harta mah nggak dibawa mati.”

Dua minggu berikutnya, pada Minggu yang cerah, Masdudin mendengar suara seseorang di luar.

”Saya Cindi, Pak,” kata gadis yang berdiri di hadapan Masdudin begitu dia membuka pintu. ”Saya cucu Mak Saniah yang kemarin mengantar Bapak sama Ibu ketemu Mak.”

”O, iya… iya… saya ingat. Kan baru kemarin,” kata Masdudin seraya mempersilakan tamunya masuk. Dari kamar belakang Asyura muncul dan memperlihatkan kekagetannya.

”Ada apa ini?” Asyura langsung bertanya. ”Apa ada kabar buruk tentang Mak Saniah?” lanjut Asyura. Kali ini, pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Namun, ada debar-debar di dadanya.

Cindi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan memberikannya kepada Asyura. ”Ini ada titipan dari Mak. Katanya minta disampaikan kepada Bu Asyura. Karena ini amanat, jadi buru-buru saya sampaikan.”

”Surat apa ini?” Asyura bertanya.

”Nggak tahu, Bu. Saya juga nggak bertanya kepada papa yang minta saya mengantarkannya ke sini sesuai pesan Mak.”

Asyura menimang-nimang amplop itu. Adakah Mak Saniah mengembalikan uang-uang yang selama ini diterimanya karena menganggap dirinya berutang? Rasanya tak mungkin.

”Kabar Mak Inah gimana?” Masdudin tak lagi bisa menahan kesabarannya untuk mendengar kabar Mak Saniah setelah beberapa saat sama-sama terdiam.

”Mak sudah meninggal,” jawab Cindi segera. Ia menatap wajah Masdudin dan Asyura bergantian.

”Innalillahi….” Masdudin dan Asyura berucap hampir berbarengan.

”Meninggalnya hari Jumat kemarin,” lanjut Cindi.

Masdudin dan Asyura saling berpandangan. ”Kenapa kami tak dikabari?” Masdudin lebih dulu bersuara.

Cindi mengulas bibirnya dengan senyum. ”Maaf… maaf… kami memang kepikiran untuk memberi kabar. Tapi kami belum tahu ke mana harus memberi kabar. Rumah Bapak dan Ibu pun baru saya coba cari hari ini sesuai petunjuk Mak waktu masih hidup. Itu pun karena memang ada amanah yang harus kami sampaikan. Kami tidak mungkin menahan amanah, apalagi bagi orang yang sudah wafat. Alhamdulillah ketemu.”

Membuang napas sekaligus rasa menyesalnya karena tak bisa menghadiri prosesi pemakaman Mak Saniah, Asyura lalu ingat cerita Rosa, putri bungsunya. Hari Jumat lalu, kata Rosa kemarin, melihat Mak Saniah duduk di teras rumah mereka dengan panci kue gemblong tergeletak di sisinya.

”Dia nggak bilang apa-apa, bunda. Diam aja seperti patung. Terus aku ke dapur untuk mengambil piring karena ayah nggak ada dan bunda di kamar mandi, Aku kan ada uang dua ribu untuk beli kue gemblongnya. Tapi, waktu aku ke depan lagi, eh Mak Saniahnya udah nggak ada. Aku cari-cari nggak ketemu. Padahal kan dia jalannya lamban. Tapi, aku kejar sampai ke depan juga nggak ketemu. Ya udah, aku nonton TV lagi,” kata gadis berusia lima tahun itu.

Asyura ingin menyampaikan cerita itu kepada Cindi, tapi dia membatalkannya karena Cindi sudah buru-buru mohon diri untuk pergi. Asyura dan Masdudin melepas kepergian Cindi dengan ucapan terima kasih berulang-ulang.

”Apa isinya, bunda?” Masdudin mengambil amplop yang masih tergeletak di atas meja.

”Aku juga penasaran. Cepat buka, Bang,” sahut Asyura.

Dengan cepat Masdudin merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Berdua mereka membaca tulisan pertama pada isi surat Mak Saniah: ”Cara Bikin Kue Gemblong Mak Saniah”.

Tanah Kusir, 30 Desember 2009

Written by tukang kliping

4 April 2010 pada 07:02

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

61 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. tukang keliping cpet banget ngelipingnya.. keren…
    saya ga paham sm ilustrasinya, kyk ga nyambung sm crpennya.
    crpennya jg kurang buat sy. feeling-nya ga ada. ga da ‘rasa’ kue gemblong yg unik, karakter tokoh bgitu2 aja.
    flat ni cerpennya..

    kunto

    4 April 2010 at 08:41

  2. Cerpennya keren kok, real, dan betul2 mengena di hati..

    Grom

    4 April 2010 at 14:53

  3. menarik. saya suka endingnya…. bikin nyengir-nyengir geli…

    niduparas erlang

    4 April 2010 at 18:31

  4. Salam, rekans semua

    Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka dan Koran Tempo edisi 4 April 2010 menampilkan karya-karya terbaik cerpenis tanah air. Silahkan mampir di http;//lakonhidup.wordpress.com untuk menikmatinya. Happy reading!

    *) Special thank to Mas/Mbak Tukang Kliping 🙂

    lakonhidup

    5 April 2010 at 01:00

  5. cerpen yang menarik. sungguh.

    ikan

    5 April 2010 at 08:43

  6. Bung Aba Mardjani yang baik, cerpen Anda datar banget. Ajaibnya: Dapur produksi Kompas memuat cerpen yang klise sekali untuk pembaca cerpen di seluruh Nusantara. Cerita seperti diatas biasa saya dengar di komplek rumah. Jadi pas saya baca cerpen Kompas, saya malah membayangkan obrolan yang ‘no diction’, karakter yang awam sekali, dan ‘no metaphor’ yang plural. Pokoknya saya kurang ‘feel’. Adegan action-nya mana? Konfliknya cuman sekedar rasa ingin tahu Masduddin tentang keu glembong. Itupun spesifikasi kue yang menjadi judul justru tak di utarakan. Seperti apa sih kue nya(hanya gambaran lembek, lebar, lebih besar dll). Akar masalahnya cuman rasa penasaran Masduddin tentang penjual kue(Mak Saniah) hingga di tutup meninggalnya si penjual kue dengan warisan resep kue gemblong( intriknya sama sekali tak ada, konfliknya datar, dan kurang merembes di rasa batin pembaca).
    Kapan ya Koran kompas di bulan ini mengeluarkan cerpen dengan daya diksi yang bagus, konflik yang memacu adrenalin, hingga rona cerita yang pekat, kelam, dan penuh kejutan yang tak terduga. Untuk cerpen bung Aba Murdjani, saya bingung kenapa di blog tukang kliping mendapat bintang lima? Apa karena pesan moralitas yang di benamkan dalam cerpen? Pesannya sih jelas: agar menghargai orang, menyantuni orang susah, memberikan sedikit rezki agar mendapat balasan dariNya. Itukan yang sering saya baca di headline Koran. Di cerpen seharusnya lebih di buat dramatis lagi. Agar saya membaca buah pemikiran yang bertakaran cerdas, bisa menyentuh relung hati dan menitikkan air mata. Saya tunggu karya bung Aba Mardjani yang lebih pekat temanya, tentu dengan daya bahasa yang imajis serta tekanan heroitas yang sanggup menggaung. Sukses berkarya untuk Anda, salam.
    For this generous short story help and cooperation morality section. Conflict of story undergraduated in the collection of material for this title ‘Kue Gemblong Mak Suniah’. I’m deeply indepted to: Masduddin, Mak Suniah and Asyura( like this character of the short story), in April first week 2010 Kompas opened short Story too deep. Thank so much for Mr. Aba Mardjani to expancing your knowlage by plural endemic. But this story no stronger, no build to dreaming in my mind, and no attraction.
    The realism and simplicity of title wasn’t heart shocking. No screaming character like an actor and no one talked like an actor from this short story. There wasn’t darkness and shadows, and sometime you could make a great character after axercise, with methapor protein to help your story build muscle and unique mix of short story to refuel. So train hard and experience drink lowfat or find free imajination.
    Discover the little goodness of micro-minerals conflict in a liquid stories sence foundation. Masduddin flawless coverage with a fresh look and feel abaut Asyura. I’d say I’m definitely the little methapor sentence. Yeah, I read simple, but a imajis nothing around in my mind
    I wait the imajis story, can I keep for ‘bom signal’ in my brain. Successful for you.

    Tova Zen

    5 April 2010 at 10:34

    • jangan khawatir…saya suka kok cerpen ini. kalo ada yang gk suka itu hak mereka.oke…

      hapex

      13 September 2012 at 19:34

    • wah ulasannya panjang bener nih bro tova, kalo menurut saya ulasan dari bro tova ini terlalu kepanjangan, trus kritiknya kurang mengena, trus kurang cerdas secara kritik, dan maksudnya pake ulasan dlm bahasa inggris biar apa ya? saya rasa ga perlu, jadinya kok kayak esbeye.. knapa gw jadi malah kritik si bro tova yah…. huehue… tp jangan patah semangat bro tova, sering2lah mengkritik dan mengulas cerpen agar semakin baik kualitas ulasannya.

      oh iya maaf saya belum lancar ngetik bahasa enggres, pdhl kalo ngomong sih jago… wkwkwk

      penghuni bumi

      13 April 2013 at 21:12

  7. mas Mardjani, terus berkarya, jadikan kritik sebagai cambuk untuk lebih baik. (sepertinya saya belum pernah membaca cerpen mas tova di kompas, atau memang mas tova pakai nama lain?)

    grom

    5 April 2010 at 11:49

    • hmmmm jka trus brkarya dn ga putus hnya krn sebuah kritik, pastilah akn tumbuh sbg cerpenis berkelas… trus brkarya buuung cerpennya ok ok koq

      gumaisha y

      15 September 2011 at 11:57

  8. asyik bacanya.. seperti melongok sebentar ke jendela rumah orang melongok kehidupan mereka.. endingnya juga tak terduga, dan bikin jadi nyengir sendirian. Aku suka

    delakuya

    5 April 2010 at 16:56

  9. Hal-hal yg tekadang sederhana seperti cerpen banga Aba justru lebih memberikan kesan mendalam. Banyak juga kn hal sederhana di antara kita tapi kita tak bisa menangkap pesan Sang Pencipta di dalamnya!!
    Bung Aba aku suka cerpen anda,karena itu yg q inginkan. So sweat..

    Alif

    5 April 2010 at 21:08

  10. Aku suka cerpennya — sederhana, mengena, hangat dibaca! Bravo! 🙂

    Btw, untuk penyuka fiksi pendek, sekarang ada blog baru tuh, namanya Fiksi Lotus — isinya kumpulan cerpen-cerpen klasik dunia yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Menarik juga. Coba deh di http://fiksilotus.wordpress.com/

    Ina

    5 April 2010 at 22:27

  11. Setiap minggu, menyajikan menu beda, dengan selera beda…

    Bamby Cahyadi

    6 April 2010 at 10:05

  12. ..kadang kita sering luput oleh hal-hal sederhana; keseharian di sekitar..

    Moses

    6 April 2010 at 14:34

  13. Pertama, terima kasih untuk wordpress.com. Terima kasih juga buat para pemuji dan pengkritik (pengritik-kah). Semuanya jadi penyemangat saya untuk menulis lebih baik.

    Aba Mardjani

    7 April 2010 at 00:12

    • bagaimanapun pemuji dan pengkritik….. Anda tetap hebat. terus berkarya!

      hapex

      13 September 2012 at 19:39

  14. cerpen realis antropologis. Sederhana dan menarik. Setidak-tidaknya memberikan sebuah gambaran prilaku budaya masyarakat Betawi terhadap nilai-nilai luhur untuk saling memberi dan menerima dengan ikhlas. Ini yang jarang disorot atau dibicarakan mengenai masyarakat Betawi. Yang sering menjadi pembicaraan hanya ‘jeplaknya” (Ngomong seenaknya.) Namun pada cerpen ini memperlihatkan nilai tersembunyi itu. Dan “Gemblong” adalah sebuah media komunikasi….

    Cerpen-cerpen yang bersifat antropologis ini adalah tradisi cerpen Kompas Minggu sejak lama. Dengan kata lain, menampilkan budaya lokal suatu masyarakat.

    Salam….

    Remmy Novaris DM

    8 April 2010 at 02:41

  15. Cerpen realis- antropologis. “Gemblong” media komunikasi nilai antar pelaku budaya. Dan cerpen yang mengangkat nilai-nilai lokal adalah salah satu tradisi panjang cerpen Kompas.

    Remmy Novaris DM

    8 April 2010 at 02:47

  16. Jika ingin menjadi intelektual yang baik, bertanggung jawab, khususnya menjadi kritikus atau pengamat, jangan menggunakan nama samaran. Itu adalah sikap yang tidak etis. Jangan mengkritik kalau takut dikritik.

    Remmy Novaris DM

    8 April 2010 at 08:07

    • karena saya takut ketahuan suami..jadi saya pakai nama samaran.kalau ketahuan suami bisa dipecat.

      hapex

      13 September 2012 at 19:43

  17. Terima kasih teramat buat Bang/Mas Remy yang mau ikut komentar.

    Aba Mardjani

    8 April 2010 at 15:00

  18. @ Tukang Kliping: Karena sering berkunjung di sini, maka kuperhatikan juga nama-nama penulis cerpen yang pernah nulis di Kompas. Kok, nama-nama cerpenis seperti Rama Dira J, Benny Arnas, Sungging Raga, Noviana dan beberapa nama yang hanya muncul sekali, dua kali dan tiga kali tidak diupdate di situs ini? Sementara nama-nama lama yang sudah tidak produktif lagi masih bertengger? Ayo dong, dibuat lebih fresh… Makasih ya.

    Bamby Cahyadi

    8 April 2010 at 22:19

  19. @bamby: maksudnya apa ya pak? awan tag penulis itu? semua otomatis dihasilkan oleh wordpress.com, biasanya berdasar kuantitas tulisan, pengguna wordpress.com pasti tahu hal ini, begitu.

    tukang kliping

    8 April 2010 at 22:34

  20. Saya melihat, KOMPAS skrng lbh terbuka memuat karya2 dgn tema, model panggarapan yg variatif. Begitu juga dgn penulis2nya, KOMPAS sekarang memberikan ruang yang begitu besar pada nama2 baru. So, sudah waktunya teman2 yg belum dimuat KOMPAS untuk menjajal cerpen2nya ke sana.

    Rama Dira J

    9 April 2010 at 09:37

  21. Ya, Mas Rama betul, saya juga melihat dan merasa Kompas mulai punya perhatian kepada nama-nama baru. Tapi saya sebagai orang lama kok belum beruntung, sudah berkali-kali mengirim ke Kompas, masih juga belum dimuat, he he…. Saya ‘cemburu’ sama Mas Rama 🙂

    bhoernomo

    9 April 2010 at 10:35

  22. @Bung Bamby: namaku smpt ada lho di awan tag (dan anehnya aku smpt seneng dg hal itu)

    tp skrg dah g ada. huehehe. (dan itu jd lbih aneh)

    ngomong2, saya senang dg komentar2 bung Remmy Novaris, mnyampaikan isi yg baik dg cara yg baik.. bikin saya seneng brkunjung lagi.

    S. Raga

    9 April 2010 at 14:56

  23. @s.raga: selain kuantitas tulisan dari april 2003 sampai hari ini, algoritma awan tag bisa dari kepopuleran tag, dan itu tidak aneh mas 🙂

    saya lihat dari april 2003 Rama Dira J hanya menghasilkan dua cerpen, dua cerpen Beny Arnas dan dua cerpen Noviana Kusumawardhani, cerpen Anda sudah tiga; Anda cuma kurang populer dibanding penulis tiga cerpen yang lain, jika cerpen mas raga masuk sekali lagi, kemungkinan besar akan selalu tampil di awan tag.

    tukang kliping

    9 April 2010 at 23:50

  24. wah, trimakasih pmbritahuannya bung tukangkliping, saya bnr2 baru tau, ya wlpun spele kyk gni tp mnambah motvasi juga. hhe.

    S. Raga

    10 April 2010 at 10:15

  25. sebuah cerpen yang sangat- sangat sederhana. banyak cerpen sederhana yang endingnya bisa membuat kita terhenyak, seperti: “Bibir dalam Pispot” yang akhir ceritanya si tokoh mengeluarkan emas curiannya ke dalam pispot dan memasukkannya lagi ke dalam mulutnya. dan semua yang dilakukannya itu hanya untuk membantu istrinya yang sedang sakit.untuk cerpen “kue gemblong Mak saniah” bagus, sebuah cerpan yang sederhana…

    azmi Labohaji

    11 April 2010 at 01:00

  26. Critana menarik, jd pngen nangs wakt membacana, 🙂

    Zakiawan

    11 April 2010 at 05:39

  27. blog yg bagus… trnyta ud lbih tua dr blog sya… hehe gpp… terus berkarya…

    copiyan

    11 April 2010 at 11:01

  28. Peradaban sekarang begitu deras menghujam dan makin mengabaikan keindahan masa lalu. Gemblong, adalah kue yang menurut saya bagian dari keindahan masa lalu. Gemblong, adalah bentuk kesederhaan yang sekarang menjadi sesuatu yang mahal dan nyaris kehilangan tempat di hati umat bertudung kemodernan. Maaf…
    Seperti itulah gambaran membaca cerpen dari Aba Mardjani, sederhana, indah dan memelihara kenangan masa lalu. begitu, ya? (penggiat sastra jawa – klaten)

    Yan Tohari

    13 April 2010 at 14:31

  29. jadi inget narasumber liputan airmata. polos bgd sosok mak saniahnya. real bgd. gw suka, jadi kangen sama narsum2..

    nadine

    13 April 2010 at 16:26

  30. lucu pas endingnya..haaaaa…kirain harta warisan eh,,cma tips buat kue gemblong…

    yuli

    13 April 2010 at 22:02

    • iya lucu … lucu banget … aku cinta ini. buat bibir miris sedih ketawanya kurang manis

      syadeva

      27 Juli 2010 at 13:24

  31. sy membaca cerpen ini pada pagi hari minggu di monas. benar-benar serasa di kampung betawi. suasana yang dibawa cerpen ini mungkin salah satu yang membuatnya menarik di samping kesederhanaannya

    ewing

    15 April 2010 at 10:17

  32. Saya senang cerpen ini, tidak muluk-muluk menyampaikan pesan. Apalagi ada unsur lokalitas di dalamnya. Ide ending surat dari Mak Saniah berisi cara bikin gemblong sangat menarik, hanya penyampaiannya bisa dipertajam lagi.

    Agus Dwi

    15 April 2010 at 12:32

  33. Dulu juga saya sangat anti menulis di Kompas. Dan saya baru pertamakali menulis di Kompas. Banyak teman-teman yang mengirim 10 buah cerpen baru dimuat. Ahmad Tohari menulis 33 cerpen baru dimuat. Saya kirim 6 cerpen sekaligus lewat email yang menurut saya bagus dan kuat, malah tidak dimuat. Kompas ternyata mempunyai nilai sendiri untuk memuat sebuah karya di Kompas. Berkat dorongan Adek Alwi, saya membuang hal negatif tentang Kompas. Hanya dalam 2 minggu pengiriman saya, ternyata salah satu cerpen dimuat. Jadi buat teman-teman yang berulangkli gagal, jangan menyerah mengirimkan naskah ke Kompas. Soetardji CB saja mengatakan kepada saya, bahwa Kompas dibaca dari sabang samai Meroeke.

    Dan saya akan terus menylis di Kompas, karena honornya yang sangat menghargai penulisnya…. Hahaha….

    Salam….

    Remmy Novaris DM

    18 April 2010 at 13:38

  34. Selamat…selamat…selamat buat Bang Remmy Novaris DM, sang penyair yang, meski sudah berusia opa, baru nembus cerpen KOMPAS. Tapi, saya lihat, Bang Remmy pasnya di porsi kritik sastra deh. Dia itu kuat nulis essay ketimbang nulis cerpen. SALAM KREATIF, BANG1

    hoebartz

    22 Mei 2010 at 08:10

  35. Cerpen yang mengandung nilai-nilai luhur..
    Terkadang, kesederhanaan mampu menggugah pembaca karena acapkali kita suka meremehkan hal-hal sepele..

    Asyik cerpennya!
    ^^

    Salam,

    Phow Anks

    27 Mei 2010 at 20:20

  36. @ Mas Kunto : Cerpen yang ada feel-nya tuh gimana? Wah, musti banyak belajar nih ma Mas Kunto..

    @ Mas Tova Zen : Wah…wah… Sepertinya Mas Tova orang yg banyak pengalaman.. Kapan-kapan ajarin ya…

    Phow Anks

    27 Mei 2010 at 20:23

  37. So far, terima kasih untuk semua komentar. Yang manis dan pedas atau yang flat, sama-sama menambah spirit. Salam…

    Aba Mardjani

    30 Mei 2010 at 01:31

  38. Mskpun sederhana, tp saya suka sekali cerpen ini. Smga penulisnya mkin bsa membuat karya yg hebat

    Fannie

    31 Mei 2010 at 14:24

  39. tau tidak yang saya lakukan beberapa saat setelah membaca cerpen Kue Gomblang Mak Saniah? saya termenung, lalu… menangis tertawa!

    saya pengunjung setia sriti.com. cerpen berbagai rupa dengan teknik canggih bukan main hingga yang begitu biasa selalu saya telan tanpa peduli rasa. untuk cerpen ini saya lupa mengapa terlewatkan begitu saja, hingga baru saya cicip beberapa jam lalu.

    lalu saya termenung, kue gomblang mak saniah ini cerpen rasa apa ya? bingung saya. pertama saya cium, ah biasa saja. lalu saya cicip, tak ada yang istimewa. akhirnya saya telan, aduh, barusan itu apa ya?

    ada yang berkata cerpen ini begitu sederhana. saya berkata cerpen ini begitu kaya karena kesederhanaannya. ah, bingung saya. jika saya teruskan sepertinya akan terlihat bodoh diri saya. lebih baik saya bermenung lagi.

    saya jagokan cerpen ini sebagai cerpen pilihan kompas 2010. saya juga membayangkan kue gomblangnya mak saniah ada di sampul depan buku itu!

    ah, bingung saya. sudah ah. saya mau menulis sesuatu tentang kue gomblangnya mak saniah.

    satu lagi, saya ingin ketemu penulisnya!

    suhairianwar

    6 Juli 2010 at 21:34

  40. Terima kasih untuk segala komentarnya. Amin untuk segala doanya. Untuk berbagi ilmu saya beralamat di: asmara.gue@gmail.com.
    Tx

    Aba Mardjani

    8 Juli 2010 at 15:13

  41. keren guru saya sampai ketawa karena baca ni cerpen

    farid setyawan

    20 September 2010 at 18:40

  42. kuenya enak banget

    Kue Bandung

    28 September 2010 at 12:06

  43. endingnya seru …

    fitri maria

    8 Oktober 2010 at 08:30

  44. Tukangkliping, mohon izin berbagi di
    http://dapuraba.blogspot.com/
    Terima kasih

    Aba Mardjani

    18 Oktober 2010 at 10:24

  45. Cerpennya sangat bagus, terutama endingnya. Jadi ingat modelnya Andrea Hirata jika mengakhiri bab-bab dari novelnya: mengejutkan dan terkesan nggak nyambung namun bikin ketawa.

    arizafa

    3 Januari 2011 at 18:06

  46. Kok sepertinya klipingnya nggak sesuai aslinya… banyak yang salah. Ini ngetik ulang ya

    Ni Komang Ariani

    27 Mei 2011 at 14:58

  47. ceritanya bagus, jadi sutradara aja mas..

    pulzzahut

    1 Juni 2011 at 02:04

  48. hahah,,gila ne cerpen…
    isinya bnar2 mnakjubkan..
    tema2 yg diangkt bung aba bnar2 mnarik..
    ga nyangka ending nya gtu..
    gokil abis
    hahaha

    trus berkreasi bung aba!!!!
    🙂

    Joejoer Sgang

    21 September 2011 at 18:53

  49. Indah’y persahabatan dan sebutir rasa perpisahan,

    Ade Wahyudin

    7 Mei 2012 at 10:14

  50. kupikir mau dapat warisan istana yang megah…ternyata hanya resep…jangan kecewa ya…sapa tau bisa jualan gemblong sendiri.biar gak usah beli gitu…

    hapex

    13 September 2012 at 19:56

  51. ceritanya sederhana tp penuh dengan pesan moral…mantap

    Suyono Sarno

    30 Januari 2013 at 10:59

    • mantap ceritanya

      saya mau tanya bagaimana caranya ngirim cerpen agar dimuat disini?

      luqmannurkholis

      4 Maret 2013 at 17:31

  52. Maksudnya dimuat di KOMPAS atau di blog ini? Kalau diblog, Cerpen yang dimuat biasanya diposting di sini. Ke Kompas, Anda bisa kirim by email.

    Aba Mardjani

    5 Maret 2013 at 10:13

  53. I just like the valuable information you provide in your articles.
    I will bookmark your weblog and test once more right here regularly.
    I am moderately sure I’ll be told plenty of new stuff right right here! Good luck for the following!

  54. Cerita yang bagus, saya suka dengan cara penulisannya..

    Catering Jakarta

    20 Agustus 2023 at 18:54


Tinggalkan komentar