Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Archive for Juli 2006

Lorong

with 3 comments

Lorong itu sangat sunyi. Tidak ada satu pun yang lewat, sore itu. Bahkan tiap sore, sangat jarang yang lewat di lorong sepanjang 700 meter itu. Semua rumah dan gedung di sana membelakangi lorong itu dengan temboknya yang tinggi. Semua seolah tidak mau membuatnya sebagai jalan untuk dilewati.

Sebetulnya, lorong itu terlalu besar untuk disebut lorong. Sebab, lorong itu lebih dari cukup untuk dilewati sebuah truk besar. Tapi karena dipunggungi oleh rumah-rumah dan sebuah gedung hotel, jalan itu disebut lorong. Tak ada yang tahu apa nama jalan itu, karena tidak ada lagi plang nama di sana.

Hanya aku dan Pol yang kerap melewati lorong itu, berjalan kaki, sebagai jalan memotong menuju ke Taman Budaya. Nyaris tiap sore kami lewati jalan itu, sesekali dengan suasana sungguh sunyi: seperti berada di sebuah tempat asing, tanpa orang melintas, suara bercakap-cakap, deru kendaraan dan desir angin.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

30 Juli 2006 at 01:27

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Pengembaraan Saridin

with one comment

Tak ada lagi yang bisa dilacak Saridin. Ia pulang dengan hampa harapan. Tak ditemukan siapa pun di rumah. Telah beberapa hari ini ia ditinggalkan istri. Untuk masuk ke dalam rumah, ia tak dapat. Rumahnya sudah disita bank. Ia termangu di pelataran. Langit memutih. Burung-burung sriti menyambar-nyambar. Gerimis tipis menerpa puncak hidungnya. Tubuhnya menggigil.

Sendirian, tanpa cahaya, Saridin terdiam sebeku tugu. Ia kehilangan istrinya, yang memilih lari dengan lelaki lain. Ia kehilangan rumah—yang selama ini menjadi tempat bernaung. Perusahaan pun telah bangkrut, dan seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang murung, sedih dan tak berdaya.

Tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang sinis, cahaya mata yang bersorak. Dada Saridin terberangus. Ia tak meladeni ejekan tetangga sebelah rumah. Saat gerimis turun mulailah ia meninggalkan pelataran rumah, dan tak berpikir untuk membawa apa pun, kecuali dirinya sendiri.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

23 Juli 2006 at 01:29

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Jantung Hati

with 5 comments

Anak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis, Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, “Ini Metropolis, Bung!” Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimana mungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan. Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan. Barangkali ke Jakarta Pusat.

Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Mereka saling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Atau kabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelum segalanya terlambat.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

16 Juli 2006 at 01:31

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Menantu Baru

with one comment

Sudah lama Irham tak menerima kiriman oleh-oleh. Rendang Ikan Pawas Bertelur. Gurih dan sedapnya seolah sudah terasa di ujung lidah. Apa Mak sedang susah? Hingga tak mampu lagi beli Ikan Pawas Bertelur dan bumbu-bumbu masaknya? Tak mungkin! Kiriman wesel dari anak-anak Mak, rasanya tak kurang-kurang. Lebih dari cukup. Jangankan Rendang Ikan Pawas Bertelur, bikin Rendang Hati Sapi pun Mak tentu mampu. Tapi, kenapa Mak tak berkirim oleh-oleh lagi? Mak sedang sakit? Kenapa pula tak ada yang berkabar? “Bukan kau saja, saya juga sudah lama tak dikirimi Krupuk Cincang,” keluh Ijal, kakak sulung Irham yang tinggal di Cibinong.

Sejak kecil, mereka memang punya selera berbeda-beda. Kepala boleh sama-sama hitam, tapi tabi’at lidah tak serupa. Mak hafal makanan kesukaan masing-masing mereka, anak-anak kesayangannya. Ijal suka Krupuk Cincang.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

9 Juli 2006 at 01:34

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Piknik

with one comment

Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Mereka datang untuk menonton kota kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itu membuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami duduk-duduk di gerbang kota menandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendarai kuda, keledai, unta, atau permadani terbang dan juga kuda sembrani. Mereka datang dari segala penjuru dunia. Dari negeri-negeri jauh yang gemerlapan.

Di bawah langit senja yang kemerahan kedatangan mereka selalu terlihat bagaikan siluet iring-iringan kafilah melintasi gurun perbatasan, membawa bermacam perbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut gerobak pedati, daging asap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yang disimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telor asin, rendang dalam rantang—juga berdus-dus mi instan yang kadang mereka bagikan pada kami.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

2 Juli 2006 at 01:36

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with