Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Posts Tagged ‘Soeprijadi Tomodihardjo

Hari Terakhir Mei Lan

leave a comment »

Ketika aku belum benar-benar sadar dari kantuk yang luar biasa, tiba-tiba kulihat bayangan tubuh lelaki berdiri di atas meja. Dalam busana lengkap seperti terlihat di plakat-plakat, aku tak ragu dia adalah figur pemimpin besar yang dijunjung tinggi dan dipuja seperti dewa di negerinya hingga menjelma seperti wujudnya sekarang: sebuah patung. Dia sedang menatapku dengan wajah tidak ramah seolah apa yang kubayangkan tentang dirinya telah terbaca olehnya: “Engkau bukan milikku, aku bukan punyamu.” Tetapi, yang mengherankan, pada lehernya melingkar sebuah arloji tangan! Bagaimana bisa?

Arloji itu milik istriku pemberian Mei Lan kemarin malam: “Untuk istri Bung sendiri!” Dan aku telah meletakkannya di atas meja, bukan di lehernya. Siapa memindahkannya? Mei Lan? Dengan mata setengah terbuka setengah terpejam kuedari seluruh ruangan, tetapi interpreter yang ramah itu tak kulihat batang hidungnya. Namun, pesan yang diucapkannya masih terdengar hingga ke dasar kesadaranku yang mendadak mulai menjadi tuli. Aku tak mampu memikirkannya karena prostata kronis yang kuderita selama ini membuatku terbirit kencing dan ini kualami empat sampai lima kali setiap malam.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

2 Desember 2007 at 09:33

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Cucu Tukang Perang

with one comment

Setiap hari lelaki itu berbaring di ranjang, makan di ranjang, baca koran di ranjang, apa pun di ranjang. Setiap hari pula seorang perawat yang rajin datang memberi layanan kemanusiaan: menata kamarnya, menyeka tubuhnya, mengantar sarapan, meletakkan selembar koran.

Di pengujung musim rontok itu ketika angin laut yang dingin berembus menembus tingkap-tingkap jendela, datang perawat baru—seorang pemuda yang ramah dan belum pernah dikenalnya. Pasti bukan sekadar basa-basi bila si pemuda mencoba tanya ini-itu tentang kesehatannya, asal kota tempat tinggalnya, pekerjaannya, dan beberapa hal yang ingin diketahuinya sebagai perawat baru di sanatorium kaum penderita cacat itu. Sambil tak lupa mengingat-ingat ajaran Zuster Kepala dalam kursus singkat beberapa waktu sebelumnya, ia ingin menjalin keakraban ketika memperkenalkan diri, justru pada hari pertama masa dinas sipilnya. Seperti ia lakukan pada penghuni kamar-kamar lainnya, ia memberi salam, membuka percakapan dengan maksud merebut hati lelaki itu agar dirinya dihargai sebagai perawat yang berwibawa dan tidak diremehken kecakapannya. Dengan takzimnya, ia menyapa, ”Selamat pagi, Meneer.”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

5 Maret 2006 at 08:33

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Sarma

with 2 comments

Setiap kali aku ketemu istrinya, selalu aku merasa dosa. Setiap kali merasa dosa, selalu aku sangat menyesal. Segala hal yang menyangkut pekerjaan, pindah rumah, lalu utang bank yang tak terlunasi olehnya, semua seolah salahku. Sukar aku menghindar untuk tak ketemu istrinya.

Perkenalan kami terjadi di ujung milenium, awal musim gugur terakhir, sekitar lima tahunan sudah. Seingatku ketika itu dia sudah duduk di sofa ketika aku pulang kerja, terheran-heran mendengar uluk salamnya,

“Tabik, Tuwan! Namaku Sarma.”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

8 Mei 2005 at 06:24

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Mereka Cuma Ketawa

with one comment

Aku sudah lama duda, meski umurku tergolong muda. Pada umur 40 aku sama sekali tak punya niat buat kawin lagi, kendati Ibu-Bapak di Mojowarno mendesak-desak supaya aku tidak terus menduda. Sejak kutinggalkan delapan tahun lalu aku tak bisa lagi ketemu istriku. Aku tak bisa melupakannya. Bagaimana aku bisa menuruti saran Ibu-Bapak yang terus saja mendesak-desak tiap kali mengirim surat.

Anakku, Ferdi dan Lusi, praktis sudah yatim-piatu. Mereka masih kecil, diasuh Eyangnya di Malang, yaitu mertuaku. Lama aku tak mampu menanggung hidup mereka, kecuali dalam dua tahun terakhir ini sejak aku mendapat penghasilan lumayan. Namun aku jarang mengirim uang, rata-rata satu kali tiap dua bulan. Aku hanya bisa berbicara dengan anak- anakku lewat surat, tetapi pasti mereka baru mengerti bila suratku dibacakan oleh paman atau bibinya karena mereka belum sekolah. Mereka pun hanya bisa berbicara padaku lewat surat yang ditulis si bibi kepadaku selama saat-saat merana sejak ibunya meninggalkan alam fana.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

1 Agustus 2004 at 09:55

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Berat Hidup di Barat

leave a comment »

Siapa takkan terbangun mendengar dering suara bising yang mengganggu telinga di pagi buta? Siapa tak terganggu saat menjelang fajar mendengar tetangga dekat bertengkar? Siapa tahan tinggal di rumah sewa dengan kebisingan yang terjadi tiap hari? Siapa?

Samar-samar, baru setengah sadar, kupencet kenop lampu di meja dekat tempat tidurku. Tampak istriku tetap tidur lelap, seolah tak peduli apakah dunia sedang kiamat. Dengan malas aku kembali menggeliat, menutup telinga dengan sudut selimut, sekadar mau menikmati satu jam lagi sebelum weker berbunyi. Aku tahu, siapa lagi kalau bukan Eric Sullivan, tetangga sebelah kanan, yang tak jarang memencet kenop nama siapa saja di luar sana asal pintu gedung dibuka. Tentu saja itu sangat mengganggu penghuni flat kami, terutama di lantai satu. Lantas terdengar suara perempuan.

“Kamu mau mati, Ricki? Tahu rasa jika levermu bengkak, parumu rusak! Berapa botol nenggak alkohol, hah?”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

9 Mei 2004 at 10:37

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with