Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Posts Tagged ‘Putu Fajar Arcana

Seonggok Daging Beku

leave a comment »

Gelgel meringkuk tak berdaya. Darah terus-menerus mengalir dari paha kiri dan betis kanannya. Seluruh wajahnya memar, bahkan nyaris bonyok. Segerombolan tentara tak berusaha menolong, malah mempermainkannya bagai seonggok sampah bau yang pantas ditinju dan ditendang. Setiap saat kawanan tentara itu mengambil kesempatan untuk menonjok wajahnya. Seorang tentara muda berbadan kurus bahkan memukul kepala Gelgel dengan popor senapan. Seketika darah segar menyembur… Gelgel hanya diam bagai sekerat daging beku.

Ini tuduhan dan siksaan kesekian yang ia terima dari para tentara. Dalam setiap sesi interogasi para tentara selalu meneriakkan pertanyaan yang sama, ”Kamu anak PKI tak tahu diri. Bapakmu yang membunuh tentara dan mencuri senjata. Di mana kamu sembunyikan?” Sebelum mulut Gelgel terbuka gagang pistol menghantamnya. Berdarah-darah sudah bukan peristiwa aneh. ”Di mana kamu sembunyikan? Ayo jawab!!” Plok-plok-plok, tiga kali pipi Gelgel ditempeleng. Itu termasuk siksaan fisik paling ringan.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

19 Oktober 2008 at 13:41

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Aku, Ikan yang Berenang

with 6 comments

Aku merasa kau menggamit tanganku ketika ombak ketiga menggulung kita. Waktu itu samar-samar kulihat kilau perahu terbalik di arah matahari. Tetapi semuanya sudah jauh sekali dari jangkauan. Karena itu, sudahlah, aku memilih jadi bagian dari laut. Kulepaskan gamitan tanganmu, dan aku meluncur ke dasar serupa terumbu. Kelak jika kau ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan kecil yang berenang di antara terumbu karang, mungkin itulah aku, kekasih.

Sejak itu aku tak pernah bertemu denganmu. Kadang di antara gerak angin yang mengantarkan riak ke pantai, aku menyusup sekadar melacak jejak tapak kakimu. Tetapi ribuan empasan air dan angin telah lama menghapus jejak itu. Aku cuma ingat di dekat pohon camplung berdaun lebat sebelum gumuk pasir, kita pernah berteduh beberapa saat sebelum memutuskan untuk melaut.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

3 September 2006 at 15:41

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

“Requiem”

with 6 comments

Sebelum mati, aku masih ingat tubuhku melenting: kakiku berkelejotan mencari tumpuan, sedangkan kepalaku menjadi tumpuan di ujung lainnya. Lalu seluruh tubuhku meregang, seolah menolak kehendak malaikat maut yang membetot nyawaku.

Waktu itu, samar masih kudengar tik-tak jam di dinding kamar. Suaranya seperti sebuah requiem. Kemudian secara perlahan-lahan aku melihat kaki, tangan, kepala, dan seluruh tubuhku melayang…

Ketika berhasil berdiri, istriku tampak sibuk memencet-mencet tombol telepon. Aku juga masih ingat ketika kemudian keponakanku membopong tubuhku sendirian menuju mobil yang dipinjam dari tetangga. Ia bergegas memanggil Magenta, istriku, untuk memangku kepalaku di jok belakang.

Dalam 30 menit, mobil sudah sampai di ruang ICU sebuah rumah sakit. Waktu aku dibaringkan di tempat tidur dan selang-selang dipasang di tangan serta mulutku, aku sebenarnya tak berharap untuk hidup kembali.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

11 Desember 2005 at 09:02

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Kereta Senja

with 6 comments

Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota tampak gamang disepuh cahaya. Orang-orang panik, berlarian, seperti baru saja terjadi ledakan. Di tengah serpihan asap dan bau daging terbakar, sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung memecah kepanikan. Gedung- gedung menghitam karena hangus, seluruh kacanya rontok sehingga jendela-jendela tampak seperti mulut-mulut yang menganga.

Tepat ketika kereta bergerak di tepi kepanikan itu, aku terbangun. Ini mimpi paling buruk yang pernah kualami di saat- saat pergantian hari.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

10 Oktober 2004 at 09:31

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Bunga Jepun

with 7 comments

Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah.

Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

20 April 2003 at 21:41

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with