Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Posts Tagged ‘Kurnia Effendi

Laut Lepas Kita Pergi

leave a comment »

Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya. Ia berjalan tidak terlampau cepat, tetapi jarak antara kami semakin lebar. Semakin terasa bahwa ada bentangan yang segera akan memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer.

Sebelum pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan, “Aku percaya, kamu bukan pemuda cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-sama. Itu cukup. Tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk menemukan ibumu. Juga kedua adikmu. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini tempat mereka lebih lapang dibanding kita saat ini. Mungkin tidak ada lagi pikiran yang membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau perlahan-lahan mati.”

Mata Ayah memandangku tidak lagi senyalang elang. Tidak ada kemarahan dalam kata-katanya. Aku merasakan ucapan Ayah begitu serius, tetapi tidak mengandung tekanan. Ia bicara seperti sedang menceritakan tentang kegiatan sehari-hari. Begitu datar. Tetapi, hatiku terkesiap mendengarnya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

13 Februari 2005 at 06:53

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Juru Rias dan Seorang Pesolek

leave a comment »

Malam beranjak larut, tapi Maharayi masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu berhasrat mendapatkan hasil yang sempurna. Setelah menggunting rapi alis lelaki gagah yang terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar terlihat segar. Sumringah dalam setelan jas hitam yang masih tegas garis lipatan setrikanya dari jasa laundry.

“Sekarang sudah malam. Boleh saya menyanyi?” bisik Maharayi di depan almarhum Sugondo. Ya, nama lelaki itu Sugondo. Terhenti usianya di angka enam puluh satu tahun tiga bulan empat belas hari. Mungkin ditambah beberapa jam. Serangan jantung. Kemarin tampak tubuhnya sedikit membiru.

Lalu bibir Maharayi menyenandungkan sebuah lagu yang-kemungkinan besar, jika Sugondo masih mampu mendengarnya-akan dikenalnya dengan baik. Lagu yang digubah oleh Ismail Marzuki. Lagu yang pasti tidak populer bagi telinga anak muda sekarang. Maharayi memilih lagu itu karena jenazah yang berbaring di depannya berusia enam puluh satu tahun. Bukan enam belas tahun.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

19 Desember 2004 at 08:59

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Roti Tawar

with 8 comments

Setangkup roti tawar yang tersaji di meja makan menampakkan lelehan pasta selai kacang. Itu kombinasi yang paling kugemari. Meskipun ada pilihan lain, seperti selai nenas, stroberi, atau keju lembut.

Dalam seminggu aku sarapan roti tawar sedikitnya empat hari. Bahkan sesekali aku membawanya ke kantor dalam kotak makanan yang terbuat dari plastik. Pada pukul sepuluh, saat perut belum sepenuhnya lapar, biasanya aku tergoda untuk membuka bekal dan menggigit roti tawar itu dengan perasaan iseng.

“Boleh minta separuh?” suatu saat Nila memergoki.

Aku memotong bagian yang tak tersentuh gigiku. “Suka selai kacang?”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

28 November 2004 at 09:05

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Abu Jenazah Ayah

with 4 comments

Bandara masih remang ketika aku turun dari taksi. Kutarik koper dari tempat duduk belakang. Menurunkannya di lantai dan memanjangkan alat penarik. Aku melangkah ke ruang keberangkatan, mencari loket boarding pass tujuan Surabaya dengan agak payah karena mataku mulai rabun jauh.

Pintu 6,” kata petugas setelah kubayar airport-service. Aku berjalan lambat-lambat karena masih punya waktu dua puluh menit. Bahkan sempat menulis sms: Sepagi ini aku ke Surabaya, untuk melarung abu jenazah ayahku di Kalimas. Kukirim ke tiga nomor teman-temanku: Agni, Banu, dan Hilman. Ada semacam kenikmatan mengirim berita sepele kepada kawan-kawan melalui layar hp. Kita bercakap-cakap dalam bisu.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

8 Juni 2003 at 12:35

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with