Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Sebuah Rencana Hujan

with 57 comments


SebuahRencanaHujan

Hujan turun begitu lebat. Nalea belum bisa pulang. Ia berteduh di sebuah pos ronda tua, sepatunya sudah basah lebih dulu akibat berlarian di jalan tadi, ia membuka sepatunya lalu meletakkannya di bawah sebuah meja yang ada di situ. Bajunya juga basah, rambutnya, pipinya, sampai bulu alisnya yang meneteskan air. Gadis kecil itu sebenarnya tidak menangis, ia mencoba tenang di situ, berlindung dari guyuran air yang justru semakin tak terbendung.

Ibu cari Nalea tidak ya?” Gadis kelas empat SD itu kemudian bertanya kepada dirinya sendiri. Hujan masih turun sangat deras, seperti puluhan kubik air yang lama tersimpan di perut awan, sepertinya semua hujan sengaja jatuh tak jauh dari pos ronda tempat gadis kecil itu berteduh. Suara air yang membentur atap terdengar begitu keras, begitu ribut, belum lagi angin yang sesekali menghempas cukup kencang, mengayunkan pepohonan di sekitarnya, merontokkan dedaunan, mengayunkan bulir air ke kanan dan kiri hingga hujan pun tampak miring jatuhnya.

Nalea mengingat-ingat kembali ucapan ibunya, ”Nanti kalau di sekolah hujan, Nalea jangan pulang dulu, ya. Tunggu ibu datang untuk menjemput.” Kemudian ia merenungi dirinya sendiri, mengapa ia tak mendengarkan nasihat sang ibu.

”Lama sekali hujannya. Tidak reda-reda.” Gadis kecil itu bergumam sambil menatap langit, dibukanya tas sekolah itu, beberapa bagian bukunya sudah basah kuyup, ia melihat sebuah buku yang membuatnya murung, ”Ini buku pinjam dari Mia juga ikut basah,” ucapnya. Ia lihat sampul buku yang kecoklatan sudah robek di pinggirnya, ia lalu memindahkan buku itu dan menyelipkannya di tengah-tengah, di antara buku-buku lain yang sebenarnya juga sudah basah.

Langit masih dihiasi mendung pekat, ada percik air yang berhasil menembus pos ronda tempat gadis kecil itu berteduh, seharusnya ia ada di pelukan ibunya sekarang, seperti anak-anak lainnya yang ketakutan ketika hujan turun begitu kejam, apalagi jika suara petir menggelegar, seperti hendak membolak-balikkan langit, seperti ingin menelan siapa pun yang berada di bawahnya.

Namun Nalea berusaha untuk tenang, ia kini duduk di bawah meja, sesekali menutup telinganya karena kebisingan suara air yang diselingi gemuruh kilat. Merasa hujan masih akan lama, ia kini justru mengeluarkan semua buku dan menghamparkannya di bawah meja tua yang lembab, ia berharap buku itu bisa kering dan tulisannya tidak luntur, ia takut dimarahi ibunya, ia takut dimarahi temannya yang meminjamkan buku. Tetapi dalam ketakutannya ia tidak menangis. Ia mencoba untuk menenangkan diri, meski tidak bisa karena suara air yang disertai angin itu membuatnya sering terkejut.

”Harusnya tadi menunggu ibu di sekolah. Tidak pulang sendiri. Harusnya Nalea tadi ingat nasihat ibu.”

Rupanya ia mulai menyesal. Gadis sekecil itu sudah mengerti arti sebuah penyesalan. Hujan telah membuatnya belajar dengan salah satu perasaan hidup. Ia merasa bersalah kepada ibunya, tadi ia tak sabar menunggu lebih lama, apalagi ketika rintik air mulai jatuh dari langit dan ia tak melihat tanda-tanda bahwa ibunya segera datang, ia justru terus berlari meninggalkan sekolah, padahal ia tahu rumahnya masih jauh.

”Ibu pasti sibuk tadi. Tidak bisa cepat menjemput. Coba Nalea mau menunggu di sekolah, mungkin ibu sekarang sudah sampai sambil bawa payung.” Ia ungkapkan penyesalannya itu dengan kata-kata yang entah ditujukan kepada siapa. Sementara itu air sudah meluap dari sungai, jembatan yang sebenarnya tak jauh dari pos ronda itu kini tak terlihat lagi, air sudah menguasai permukaannya. Nalea mulai ketakutan.

Di rumah. Seorang wanita mulai panik, anak semata wayangnya belum pulang juga. Sudah tiga kali ia bolak-balik sekolah, tetapi hasilnya nihil, tak ada siapa-siapa di sekolah ataupun sepanjang jalan antara rumah dan sekolah. Wanita itu terduduk lesu di teras rumah. Hujan deras mengaburkan pandangannya, ia membayangkan anaknya akan muncul dari kejauhan, berlari-lari kecil, dalam keadaan yang basah kuyup. Namun, tak ada siapa-siapa di balik rerimbunan hujan di depan rumah itu. Hanya derasnya air yang tak mampu lagi dibendung oleh saluran-saluran air.

”Hujan sekarang benar-benar deras. Bagaimana ini, Pak?” Tanya wanita itu kepada suaminya. Namun laki-laki di sebelahnya itu hanya diam. Keduanya tampak lesu, seperti kehilangan harapan, tiba-tiba mereka tak bisa melakukan apa-apa untuk mengetahui keadaan anak mereka.

”Mungkin Nalea mampir ke rumah temannya. Mungkin ia berteduh di sana.” Ucap suaminya untuk menenangkan wanita itu. Tetapi, begitulah perasaan seorang ibu yang lembut, yang sangat peka seperti helai rambut. Ia merasa Nalea sedang membutuhkannya, meski ia tak tahu di mana anak gadisnya kini berada.

”Semoga saja, Pak. Semoga Nalea tidak apa-apa. Belum pernah rasanya hujan deras seperti ini.” Suara wanita itu mendadak terhenti karena suara gemuruh dari langit.

Gadis kecil itu masih duduk di bawah meja, suara petir kini semakin sering terdengar, langit yang kelabu sesekali menampakkan warna terang yang kemudian diiringi gemuruh. Dada Nalea berdegup kencang, sesekali ia memejamkan mata, sesekali ia menutup telinganya. Namun, ia juga sekilas melihat-lihat sekeliling, siapa tahu ada yang orang yang dikenalnya, siapa tahu ibunya muncul, atau setidaknya seseorang yang bisa menolong untuk mengantarkannya sampai ke rumah, namun ia kecewa, tak satu pun orang lewat, semuanya sepi, seperti desa yang mati. Semua orang pasti berada di rumah masing-masing karena hujan turun begitu deras. Nalea benar-benar sendirian sekarang. Ia sempat memangil-manggil seseorang atau sesuatu, namun suaranya kalah dengan suara hujan yang seolah tak henti-hentinya menggerutu.

”Nalea pulangnya gimana?” Ia bergumam lagi, dilihatnya sepatu yang sudah basah, buku-buku yang sudah basah, seragamnya juga, ia mengambil jepit rambut dari kepalanya, bibirnya kini sedikit gemetar, wajah gadis kecil itu mendadak pucat, mungkin ia tak kuat menahan dingin yang diembuskan angin bersama bulir-bulir air. Ia melihat air mengalir di bibir jalan yang tak terlihat lagi batu-batuannya.

”Kenapa hujannya belum berhenti ya, Pak?” Wanita itu kembali bertanya kepada suaminya. Keduanya masih berada di teras rumah, melihat air yang tak henti-hentinya jatuh dari langit, berharap ada sedikit waktu untuk menembus pekatnya panah-panah air yang tajam itu.

”Lebih baik kita cari saja.”

”Tetapi, payungnya cuma satu, Pak. Itu pun angin begitu kencang, dan kita juga tidak tahu harus mencari ke mana.”

”Apa ibu tidak hafal jalan yang biasa dilalui Nalea kalau pulang sendirian?”

Wanita itu tiba-tiba menunduk, seperti memikirkan sesuatu, mungkin Nalea pergi ke supermarket sebentar, bersama kawan-kawannya, Nalea biasa menghabiskan uang sakunya di situ, ramai-ramai menyerbu supermarket untuk sekadar membeli jajan bungkusan. Mungkin juga Nalea memang mampir ke rumah teman-temannya—sebagaimana yang diucapkan suaminya tadi—tetapi siapa yang didatangi Nalea? Berpuluh-puluh detik berpikir, yang hadir justru beribu-ribu pertanyaan dan kemungkinan yang memberatkan hatinya.

”Biar aku yang cari.” Suaminya berkata. Rupanya laki-laki itu sudah menggenggam satu-satunya payung di tangannya. Ia tak sabar menunggu istrinya berpikir.

”Jangan, Pak. Aku saja. Aku coba cari ke jalan yang kuingat pernah dilewati Nalea. Bapak di rumah saja, ya. Berdoa. Hujannya semakin deras, Pak.”

Laki-laki itu diam sejenak, hening sesaat, lantas menyerahkan payung kepada istrinya. ”Hati-hati, Bu. Hujan deras begini air meluber di mana-mana.”

Meski tampak berat, wanita itu kini mulai beranjak, membuka payung, lalu melangkah ke pekarangan yang sedikit direndam air beberapa sentimeter. Dengan sandal jepit wanita itu mulai menyibak derasnya hujan, suara gemeretak air jatuh dan memantul-mantul di atas payung, tetapi tetap saja sebagian pakaian wanita itu basah karena payung yang tidak begitu lebar. Kecipak air terdengar karena pijakannya di tanah berlumpur, namun wanita itu tidak peduli, ia tetap berjalan, mencoba untuk menembus pelukan hujan.

Tak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti, kini jalanan kampung yang berbatu itu pun sempurna dikelilingi genangan air. Jika satu jam hujan tetap tidak reda, mungkin jalanan tidak akan terlihat, mungkin akan seperti laut atau danau.

Nalea duduk di atas meja, entah mengapa ia tak lagi bersembunyi di kolong meja sambil menutup telinganya, ia mulai berani melihat semuanya. Suara petir kini tak mengganggunya, ia mulai terbiasa, meski wajahnya yang semakin pucat, ia menggigil, bibirnya gemetar, giginya gemeletuk, ia duduk sambil memeluk tasnya yang basah. Ia mencoba untuk berdoa, ia coba mengingat-ingat doa yang biasa diajarkan ibunya.

”Nanti Nalea mau minta maaf sama ibu. Lain kali Nalea mau menunggu kalau ibu datang terlambat.”

Gadis kecil itu mengusap wajahnya. Ia mencoba untuk tersenyum, mencoba menghibur dirinya sendiri.

Apa yang sebenarnya dipikirkan hujan? Sudah dua jam lebih ia turun mengguyur bumi, apakah hujan juga melihat seorang gadis kecil yang berteduh kedinginan di pos ronda itu? Apakah hujan turun karena sengaja untuk menakut-nakutinya? Padahal gadis itu hanya tidak sabar menunggu ibunya sepulang sekolah, lalu hujan mendahuluinya sebelum ia sampai ke rumah, hujan tak hanya membuat tubuh gadis kecil itu basah kuyup, tetapi juga sepatunya yang memijak genangan air dan kotor oleh lumpur, buku-buku dalam tasnya juga basah, apakah hujan mengerti gadis kecil itu kini takut dimarahi ibunya?

Hujan turun disertai angin, airnya jatuh ke selokan yang telah penuh, alirannya begitu deras, hujan turun membentur badan jalan yang berbatu, hujan turun menggelincirkan sampah-sampah dari tempat penampungannya, hujan menggugurkan rantig-ranting kering, hujan sangat menakutkan bagi gadis kecil yang sedang berteduh di pos ronda. Gadis kecil itu benar-benar melihat semuanya, ia menjadi saksi ketika hujan perlahan mulai membuat jembatan di kejauhan itu tak terlihat, air yang meluap dan meluber ke jalan, siapa pun yang melihat pasti merasa takut, air semakin meninggi meski perlahan-lahan, langit pekat seperti sudah sore, padahal ini masih siang hari, awan bergumul di atas sana, menurunkan air sambil membenturkan dirinya satu sama lain hingga menimbulkan suara kilat yang membuat terkejut penduduk bumi.

Sudah tiga jam berlalu, jalan raya desa kini lebih terlihat seperti laut, beberapa ranting pohon gugur dan mengalir. Angin berputar-putar di langit, mengempaskan air ke sana-kemari. Ibu Nalea sudah berencana untuk menyisir jalanan antara rumah dan sekolah sekali lagi, Nalea juga berencana cepat pulang selepas hujan reda meski masih takut dimarahi. Tetapi, hujan telah lebih dulu menjalankan rencananya, jika ibu dan anak itu dapat bertemu lagi setelah ini, keduanya tentu akan lebih saling menyayangi.

(Selokan Mataram, 2009)

Written by tukang kliping

25 Oktober 2009 pada 08:57

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

57 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. duh…kompas, kompas… 🙂

    A

    26 Oktober 2009 at 07:37

  2. saya membacanya sambil merasa ketakutan,takut sesuatu terjadi kepada naila ataupun ibunya.kira-kira gimana ya akhirnya?ketemu ga ya naila dan ibunya,,???

    asih

    26 Oktober 2009 at 20:38

  3. duh..kompa..kompas… kapan ya cerpen Mr. A masuk Kompas?

    B

    27 Oktober 2009 at 12:02

  4. @B

    Jangan kuatir bos…cerpen saya bbrp tahun yg lalu sudah pernah masuk kok.
    Tahun2 belakangan mmg saya belum menulis lagi 🙂
    Cerpen anda sudah pernah masuk? 😉

    A

    28 Oktober 2009 at 07:11

  5. @B

    Pokoknya yg mengkritik kompas atau penulis di sini itu cuma org2 yg iri gitu ya Mr.B?
    Sdgkan kompas dan para penulis itu sudah sedemikian bagusnya shg tidak pantas dikritik?
    Mr.B…Mr.B… Sempit sekali pemikiran anda 🙂

    A

    28 Oktober 2009 at 07:14

  6. @ A
    Ha..ha… yg bilang yg mengkritik di sini itu org2 yg iri syapa? Sy cuma bertanya kapan cerpen A masuk Kompas? Sy kan ga tau A itu syapa? Ternyata cerpen Anda pernah masuk, nah.. selamat kalau begitu. Ngomong2 cerpen Anda yang mana? Kasi tau kita2 dong. Biar bisa baca dan menilai syapa tau bisa mengkritik juga..he..he..
    Yang jelas siapapun yg sudah tembus Kompas sy ucapkan selamat. Bukan mudah menembusnya kan? Sy dalam setahun ini kirim cerpen terus setiap minggu, tapi gak dimuat2. Sy akui sy kalah selangkah dengan Anda-anda semua yang sudah pernah dimuat Kompas. Karena belum pernah dimuat Kompas, untuk sementara sy jadi penggembira aj dulu..Ha..ha..ha..

    B

    28 Oktober 2009 at 09:14

  7. Mr.A….Mr. A.. Anda terlalu cepat menuduh

    B

    28 Oktober 2009 at 09:21

  8. salut buat cerpen-cerpen kompas

    Fandrik HS Putra

    28 Oktober 2009 at 09:29

  9. @B

    Mr.B, tidak ada yg melarang anda jadi penggembira. Saya pribadi sebetulnya malah senang ada org2 seperti anda, forum ini jadi jauh lebih hidup.

    Cerpen saya sendiri sudah cukup lama, kelihatannya tidak tercantum di sini. Dulu saya kirim sekitar 10 naskah, dan akhirnya termuat satu.
    Cuma mmg saya tidak rutin menulis, maka itu bertahun2 terakhir cuma jadi pembaca saja.

    Seperti waktu itu dikatakan Bung Rama Dira, menembus koran mmg tidak mudah, tidak ada jaminan rutin menulis pasti bisa dimuat, atau sebaliknya, mengirim satu-dua kali saja mungkin malah bisa termuat.
    Semua tergantung selera Redakturnya.

    Nah inilah yg saya pertanyakan dlm kesempatan saya berkomentar di sini. Bagus menurut Redaktur bukan jaminan bagus menurut pembaca kan?
    Dgn adanya keseragaman selera dari redaktur2 koran arus utama di Indonesia, akibatnya nama2 yg muncul pasti akan banyak berulang.
    Akibatnya, penulis2 lain, seperti anda salah satunya Mr.B, jadi tidak mendapat kesempatan muncul.
    Padahal,
    belum tentu tulisan Mr.B lebih jelek dari tulisan bung Sungging Raga ini misalnya.
    Bisa jadi malah lebih bagus, lebih punya ciri baru, dan semangat baru, untuk para pembaca…termasuk saya mungkin?

    Itu loh inti uneg2 saya Mr.B…
    sbg pembaca saya ingin sekali mencari “bintang2” baru di dunia sastra kita…Bisa jadi “bintang” itu Mr.B…tapi sayang, pembaca belum diberi kesempatan membaca karyanya oleh para Redaktur koran 🙂

    A

    28 Oktober 2009 at 11:13

  10. Setidaknya budaya “lisan” yang terus menghantui karya sastra kita (khususnya cerpen)agak tercerahkan oleh hadirnya penulis baru pada cerpen kompas tahun ini, Fitra Yanti (Anak Ikan), Sungging Raga (Senja di Taman Ewood), Agus Dwi Putra (Di Bangku Taman). Mereka hadir dengan cara bercerita yang unik, tidak “bertendens”, dan memikat pada akhir ceritanya.
    Namun untuk karya terbaru S.R ini saya tidak menemukannya, mungkin konflik “personal” para tokohnya kurang tergali secara mendalam, dan mengambang pada akhir ceritanya… (i think!)

    ewing

    28 Oktober 2009 at 11:25

  11. @ Mr. A : makasih untuk pengertiannya. Sy sepakat juga dengan apa yang Anda katakan mengenai, bahwa bagus menurut redaktur belum tenu bagus menurut pembaca. Saya senang adanya forum seperti ini. Sy juga merasa bebas memberikan pandangan. BTW Mr.A sudikan sharing cerpennya ke saya? sy penasaran aj. Syapa tau sy bisa belajar dari Anda. Gimana? Kalau bersedia kirimakan ke email sy : abutmusoy@gmail.com

    @ Ewing : Benny Arnas dan Rama Dira sy kira bisa dimasukkan juga tuh…

    B

    28 Oktober 2009 at 11:57

  12. Rama Dira, Benny Arnas, Sungging Raga, saya pikir layak menghuni 15 cerpen terbaik kompas 2009! Out lah yang itu-itu aja!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Andian

    28 Oktober 2009 at 13:14

  13. sekedar menunjukkan bahwa mnulis cerpen nggak perlu dg dosis kata & pengetahuan & istilah yg muluk2,, bahwa tema2 sederhana di sekitar qt jg bisa diracik.

    drpd brdebat,,lebih baik ayo qt sama2 menulis.

    Raga

    28 Oktober 2009 at 18:54

  14. @Raga

    Saya rasa belum ada yg berdebat di forum ini Bung Raga?
    Hanya sekedar berdiskusi, urun pendapat, sepertinya normal2 saja kan?

    Adapun masukan2 dari org2 seperti Bung Ewing jg rasanya bisa sangat berguna untuk karya2 anda selanjutnya.
    Tidak pernah ada yg bilang bahwa cerpen yg bagus itu harus canggih kan?
    Anda bukan penulis pertama yg menunjukkan pada kami pembaca bahwa kesederhanaan itu indah 🙂
    Seni itu kan subyektif Bung Raga…Seperti saya bilang sebelumnya: bagus menurut redaktur belum tentu bagus menurut pembaca.
    Terima kasih.

    A

    28 Oktober 2009 at 19:48

  15. Kuntowijoyo dan Hamsad Rangkuti juga hebat dengan gaya bahasa mereka yang sederhana. Tidak perlu seperti Nukila atau Linda Christanty.

    Cerpen ini justru unik bagi saya. Tempo nya tetap, dan di sini bukan mengedepankan permainan perasaan tetapi justru mengandalkan logika. Saya suka sekali endingnya. Pembaca dipersilakan menerka.

    Straw

    28 Oktober 2009 at 21:21

  16. Bung A takut identitasnya terkuak ya? Kok gak mau ngaku cerpennya yang pernah dimuat Kompas yang mana? Apa bener sudah pernah dimuat Kompas nih? Anda harus fair juga dong. Selama ini kok ngomentarin cerpen orang melulu. Kalau gentleman/ gentlewomen (sy gak tau Anda laki ato perempuan)diberi tahu dong cerpen Anda yang mana. Kalaupun gak ada di sini, kan Mbah Google bisa mbantu kami untuk mensearchnya..he…he…

    B

    29 Oktober 2009 at 06:36

  17. Cerpen ini bagus tapi tidak sesublim Senja di Taman Ewood.. BTW Raga tetap layak masuk dalam cerpen pilihan kompas 2009

    B

    29 Oktober 2009 at 06:37

  18. @ Straw : saya sepakat dengan Anda. Kesederhanaan itu kadang indah kok. Kurnia Effendi dan Phutut EA bisa juga dimasukkan sebagai contoh. Pernah baca Murakami? Dalam cerpen, ia juga sederhana tapi cerpen2nya mendunia tuh..Linda Christanty? Coba aja baca cerpen Maria Pintonya (sy lupa judul lengkapnya) yang pernah dapat penghargaan bergengsi itu. Jujur sy mau muntah mbacanya padahal baru sampai empat paragraf. Kesannya bercanggih2 dalam bahasa tapi maksudnya gak jelas apa. Awalnya sy kira otak sy gak nyampe, tapi sy minta pendapat pada seorang kawan yang sangat jenius, ia juga mau muntah tuh bacanya…

    B

    29 Oktober 2009 at 06:44

  19. @B

    Mr.B…dari awal anda sudah terus saja bersikap antipati thd saya, hanya krn saya berbeda pendapat dgn anda.
    Saya sdh berusaha memahami anda, tapi tetap saja anda bersikap spt itu hanya karena saya belum sempat membalas komen anda?

    Kpd org seperti anda saya harus memberikan contoh hasil karya saya?

    Ini yg terakhir kalinya saya menanggapi komentar anda. Berdebat ttg karya2 cerpen di sini mungkin masih ada manfaatnya, tapi berdebat dgn org2 yg picik seperti anda hanya membuang waktu saja.
    Terima kasih banyak Mr.B 🙂

    A

    29 Oktober 2009 at 07:17

  20. Ha..ha..ha..

    B

    29 Oktober 2009 at 08:05

  21. @ A : Wah, sepertinya Anda nih yang berpikiran picik. Apa salah saya ingin membaca karya Anda? Saya kan penasaran, di forum ini Anda selalu memberi penilaian tertentu pada cerpen orang lain dan terkadang diselingi dengan kritik ini itu pada sastra Indonesia, pada Redaktur Koran (Saya tekankan disini bukan berarti sy melarang Anda mengkritik atau menganggap kritikan Anda salah. Bisa aja kritik Anda membangun).

    Sebagai penggembira, tentu saya jadi penasaran seperti apa sih kalau si A itu membuat sebuah karya. Selama ini kok sy hanya tahu penilaiannya terhadap karya orang lain saja. Nah.. gimana? Kalau misalnya Anda merasa keberatan cerpen Anda di baca orang lain, Apa alasannya? Toh cerpen Anda yang saya maksudkan di sini adalah cerpen yang pernah dimuat Kompas. Dengan perngertian sudah pernah naik cetak dan dibaca publik. Lain halnya jika memang cerpen Anda yang saya minta belum dipublikasikan. Mengapa tidak menyebutkan judulnya saja. Sy bisa cari sendiri deh di Google.

    B

    29 Oktober 2009 at 08:41

  22. Apa salah jika sya mau mengkritik cerpen Anda? Belum tentu juga saya langsung menjelekkan dan menistakannya. Sy kan perlu membacanya dulu. Siapa tahu saya bisa memberikan masukan/kritikan (yang tentunya membangun) sebagaimana juga Anda memberikan kritik atau masukan pada karya orang-orang lain di sini.

    Dimana letak kesalahan saya? Atau jangan2 Anda mau menganut logika ini : “Anda sebagai A bebas memberikan kritikan pada karya orang lain sementara orang lain tidak boleh mengkritik karya Anda.” Sebegitu hebatnyakah cerpen Anda sehingga tidak boleh dikritik sesiapa?

    Ayo, gak perlu Anda menyebut nama Anda sebenarnya siapa. Atau jangan2 Anda memang tidak mau menguak identitas Anda dan menjadi orang lain alias A saja di forum seperti ini agar bisa lebih bebas memberi penilaian tanpa nama Anda sebagai diri Anda sebenarnya terbebani?

    B

    29 Oktober 2009 at 08:41

  23. Ok. Gimana kalau begini. Sy kan sering pakai nama B. Sy ngaku aja deh siapa saya sebenarnya biar apa2 yang sy tulis dan yang sy nilai diforum ini adalah tanggung jawab sy sepenuhnya sebagai diri saya sendiri. Mulai sekarang saya akan memakai nama saya yang sebenanya : Firman Kusneli Arif. Saya dari Sumsel. Apa A berani memberi tahu forum ini siapa dirinya yang sesungguhnya ?

    Ah, sudahlah. Saya tidak memaksa A berkomentar. Bukankah Anda sudah bilang sudah tobat mengomentari orang yang berpikiran picik seperti saya.. Biarlah pembaca lain di forum ini yang menilai siapa yang gentleman

    B

    29 Oktober 2009 at 08:41

  24. Mulai sekarang sy tidak akan pakai nama B

    Firman Kusneli Arif

    29 Oktober 2009 at 08:45

  25. @Firman

    Ok sekarang saya bicara dgn bung Firman ya?
    Bung Firman, saya sudah berkali2 menjelaskan apa INTI kritik/uneg2 saya.
    SAYA TIDAK MENGKRITIK PENULISNYA, CERPEN DI SINI SDH CUKUP BAGUS.
    SAYA MENGKRITIK MEDIANYA.
    Sekali lagi saya ulangi: SAYA MENGKRITIK MEDIANYA, BUKAN PENULISNYA.

    Kenapa anda TERUS SAJA MENGKLAIM: “Anda sebagai A bebas memberikan kritikan pada karya orang lain sementara orang lain tidak boleh mengkritik karya Anda.”???

    Anda BACA ATAU TIDAK SIH ISI KOMENTAR2 SAYA???

    Harus berapa kali lagi saya jelaskan pada anda??
    Harus dgn bahasa apa lagi saya menjelaskan pada anda??
    Kalo anda belum paham, bertanyalah.
    Jika tidak sepaham, silahkan itu hak anda, saya tidak pernah memaksa anda harus sepaham dgn saya.
    Cukup jelas???

    A

    29 Oktober 2009 at 10:35

  26. Ha…ha..masih tetap pakai nama A ya. Kapan nih pakai nama asli?

    Firman Kusneli Arif

    29 Oktober 2009 at 11:58

  27. Cerpennya BAGUS BANGET!
    Seperti membaca KAWABATA

    Suheili

    29 Oktober 2009 at 15:11

  28. tesss

    Suheili

    29 Oktober 2009 at 15:13

  29. Asyiiiikkk nih…..
    forum ini bikin mata kita terbuka…cerpen2 bagus2 buat masukan bagi saya sebagai penulis pemula. Baik dan burukkualitas suatu cerpen kembali lg kpd pembaca,…

    Ajeng

    29 Oktober 2009 at 16:18

  30. Saya pikir Sungging Raga adalah salah satu yang terbaik.

    Mengenai cerpen “Sebuah Rencana Hujan”, benar2 terlihat jernih penggambarannya. Ini tulisan yang menarik dengan kesederhanaannya.

    Agus Dwi Putra

    29 Oktober 2009 at 16:42

  31. @ Firman : Sy kira apa yang dinyatakan oleh A sudah jelas. Tak perlu Anda memancing2 lagi. Berbesar hatilah menerima perbedaan pendapat

    @ A : Tetap lah eksis di sini. Masukan2 Anda menghidupankan forum ini.

    Rama Dira J

    30 Oktober 2009 at 06:40

  32. Cerpen Sebuah Rencana Hujan ini sederhana namun ia bukanlah ‘CERPEN BIASA’. Raga berhasil membuat sebuah cerpen dengan bahasa yang jernih dengan teknik penceritaan dan ending yang memikat. Tidak berlebihan jika saya bilang jika KAWABATA masih hidup, ia akan senang pula membaca cerpen ini.

    Rama Dira J

    30 Oktober 2009 at 06:42

  33. @Rama Dira

    Terima kasih Bung Rama. Jangan kuatir, buat saya perbedaan pendapat itu biasa, apalagi dalam dunia seni.

    A

    30 Oktober 2009 at 07:16

  34. aduh A dan B kayak reality show ditipi-tipi aje.. pake acara silat lidah segala… yang dibahas kan cerpennya.. malah jadi penuh sama keberkelahian anda-anda dueh…

    c

    31 Oktober 2009 at 11:59

  35. aq suka cerpen yg endingnya malah ngambang

    akuizul

    8 November 2009 at 16:17

  36. saya suka cerpen anda 🙂

    mountnebo

    9 November 2009 at 13:24

  37. Ngambang sih…

    Maksud si penulis kurang ngena…

    Susie

    9 November 2009 at 15:57

  38. dalam sekali cerpennya 😀

    winneeey

    15 November 2009 at 02:47

  39. itu cerita pas kos nya kebanjiran yo mas????
    selokan mataram kan sering hujan & banjir…..
    bener gak?

    paijo gerok

    3 Desember 2009 at 11:31

  40. sy suka cerpen ini,, kena banget… kl maslh ngambang,justru itu yg bkin sy trus keinget sm cerpen ini.
    maju trus lah cerpen kompas..

    @ajeng: sy g stuju kl baik buruknya kualitas cerpen kembali lg k pembaca. sy lbh stuju, baik dan buruk kualitas cerpen tergantung penilaian individu masing2, baik redaktur, pembaca, maupun penulisnya sendiri.

    kunto

    18 Desember 2009 at 16:50

  41. Maaf,.. Permisii,..
    Saya cm pembaca meskipun terkadang bikin coretan2 kecil gak jelas :D, tp saya jg ingin berkomentar ttg cerpen ini.
    Saya awam ttg bahasa2 yg sulit pd sastra.
    Menurut kacamata saya (pdhl saya tdk berkacamata :D) kok ceritanya aneh ya? Bknnya si gadis kecil ini sering dijemput ibunya? Dan si gadis kecil ini sering pulang sendiri, berarti dia tau rute pulang kerumah donk? Saat mencari anaknya knp ibunya bingung mau cari lewat mana saja? Kan tinggal cari dijalan yg biasanya mereka lewati kalau pulang sekolah.

    Jadi menurut saya membingungkan! Atau saya yg terlalu tdk mengerti ya? Hehehe,.. Maklum newbie…

    Waduh, saya jgn diinterogasi kaya’ si A yah 😀

    Cinta

    29 Januari 2010 at 18:45

  42. gadis itu kalau pulang sendiri jalannya sering berbeda, sebab kadang suka mampir ke supermarket atau ke rumah temen-temennya. gak selalu di jalan itu. makanya ibunya bingung.

    tp klo tafsirannya tetap berbeda, ya kata sapardi, pengarang telah mati sih.

    S. Raga

    2 Februari 2010 at 11:24

  43. aku juga merasa hal sama dg cinta nc..hehehe..agak janggal masalah rute jalan..

    yuyun

    20 Februari 2010 at 11:07

  44. biografinya sungging raga…
    kok nggak ada?
    butuh buat Karya Ilmiah ini..
    riwayat pengarangnya…

    tolong donk..
    hehehe
    thx u

    cin

    12 Maret 2010 at 13:31

  45. saya bingung dengan mr. B yang bilang tidak mengerti karya Linda. Harus banyak baca sejarah dan politik biar ngerti.

    Mr. P (Bukan PENXX)

    10 April 2010 at 14:45

  46. Seperti Nalea
    Saya pun ikut menyesal. .

    Bagi saya gambaran perasaan di cerpen ini sangat nyata

    Rahayu Palagan

    22 Mei 2010 at 17:42

  47. Bagus. Bagus. Bagus. Dari awal uda di tulis ‘Sebuah Rencana Hujan’, jadi endingnya Sempurna.
    Alur, latar dan penokohan juga bagus.
    Intinya bagus.

    Afysakemilau...

    7 Juli 2010 at 20:29

  48. assalamualaikum…adek kecil mau ikut nimbrung…tapi besok2 dah ikut ngobrol…halaman ini kayae udah lama gak dibuka..

    dewi ma'rufah

    9 Juli 2010 at 12:50

  49. saya suka cerpen ini. selamat ya … anda berhasil masuk kompas. Saya sendiri belum bisa tembus kompas, padahal di media lain, terutama di tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan banyak karya saya yang terbit di majalah ibukota maupun harian lokal

    YS

    26 Agustus 2010 at 06:17

  50. cerpen lama tapi masih layak untuk di baca..karena cerpen bukan berita yg gampang basi..kisah ini sangat sederhana, gampang di cerna..itu yg agak mengesankan cerpen ini layaknya cerita anak2…dan segmen pembacanya juga di usia yg masih belia…untuk selevel kompas kok ya bisa nembus..aneh? padahal kompas seringkali menyuguhnya karya sastra yg jauh lebih ‘berat’ …
    selebihnya gak ada yg bagus..sangat biasa

    melati putih

    10 November 2010 at 13:41

  51. assalamualaikum, yang punya tulisan ini. saya mohon izin untuk diposting di blog saya ya 🙂 terima kasih

    Rivanlee

    26 November 2010 at 22:27

  52. ceritanya sederhana tapi apik dan tidak berlebih (lebay).mantabs

    saraswati

    2 Maret 2011 at 17:12

  53. …….ia kini duduk di bawah meja, sesekali menutup telinganya karena kebisingan suara air yang diselingi gemuruh kilat. Merasa hujan masih akan lama, ia kini justru mengeluarkan semua buku dan menghamparkannya di bawah meja tua yang lembab,…….

    …………..seragamnya juga, ia mengambil jepit rambut dari kepalanya, bibirnya kini sedikit gemetar,……………

    Beda Saja

    28 November 2011 at 11:56

  54. bagus

    halaman terakhir

    21 Februari 2012 at 20:59

  55. Asslmkum..
    Bagi yang punya tulisan..
    Izin posting di blog saya ya..:-)

    Muhammad Andriansyah

    28 Februari 2013 at 08:59

  56. Kalau dilihat dari judul, tentu cerpen ini sangat sempurna. Tetapi, aku sebagai pembaca punya harapan yg lain. Tidak kepada rencana hujan hehehe.
    Like deh. Secara pendeskripsian suana dan kejadian, aku terbawa hanyut. Meski di ending bukan itu yg kuharapkan. Tp, kembali lagi pada judul cerpen ini.

    effendyedrees

    28 Desember 2014 at 02:20

  57. […] Sebuah Rencana Hujan (25 Oktober […]


Tinggalkan Balasan ke Cinta Batalkan balasan