Archive for Februari 2009
Kucing Kiyoko
Pagi-pagi sekali, aku dikejutkan oleh kemunculan seekor kucing belang tiga di depan pintu flatku. Mulanya, ia mengeong-ngeong keras sambil mencakar-cakar pintu hingga membuatku berhenti menggosok gigi demi memastikan apakah benar seekor kucing berada di depan pintu itu.
Kulihat, kucing itu kuyu. Sekujur badannya basah, pasti terkena hujan. Di luar memang sedang hujan. Beberapa hari ini, Kyoto tak henti-henti diguyur tumpahan air langit yang begitu derasnya.
Meski sesungguhnya tak menyukai kucing, aku tidak tega membiarkannya kedinginan di luar. Lagi pula, dia sepertinya memang memohon pertolongan seseorang untuk melepaskannya dari jerat dingin udara Kyoto saat ini. Aku langsung menggendongnya ke dalam. Sebelum menutup pintu, barulah aku tahu kalau kucing itu terluka setelah tanganku basah oleh nanah yang berbau busuk, mengalir dari sebuah nganga luka yang dalam, pada pinggang sebelah kirinya. Sepertinya itu luka akibat tusukan benda tajam.
Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian
Langit jadi merah. Seekor naga menukik, menyapu bintang-bintang dan matahari. Pucuk-pucuk sayapnya memercik bara. Api bertebaran. Angin berputing. Ketakutan disemprotkan ke udara seperti tinta gurita. Para satria berbaju zirah itu bergelimpangan. Jerit putus asa menyesaki ruang. Makhluk itu marah luar biasa. Rumah-rumah, pohon-pohon, pucuk gunung di kejauhan, jadi remuk tak jelas bentuk. Rata tanah. Semua. Kecuali satu anak yang berdiri tegak tak bergerak. Tangannya menggenggam busur yang selesai teregang. Wajahnya segelap batu, namun matanya seterang kilat. Dari busurnyalah panah besar yang menghunjam di dada sang naga.
Naga itu pasti akan mati, Ibu, bisiknya. Lalu matanya terpejam. Mungkin tertidur. Atau mencoba tidur. Gambar di atas kertas besar itu kini didekap di dadanya. Gambar yang sesak dengan coretan dan garis tebal patah-patah yang diguratkan penuh emosi. Gambar yang cuma punya tiga warna: merah, hitam, dan kelabu.
Blarak
Aku terbangun karena daun jatuh. Dengan agak tergeragap, kusingkirkan daun kering itu dari wajahku. Kulihat wajah Mbah Tuhu cerah semringah memandangku.
Hehehe… mari pulang, sudah sore…” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya yang tak jauh dariku berbaring. ”Dari tadi, sebetulnya saya mau membangunkan sampean, tapi… kok kelihatannya pules bener, tidak tega, saya. Eh, malah daun yang membangunkan sampean… heheheheh…”
Aku hanya tersenyum. Segar. Belum pernah aku terbangun dari tidur dengan perasaan seperti ini. Tanpa banyak bicara, kami segera menyusuri tegalan. Sepi. Serangga mulai menyanyi. Bumi mendingin dan sebentar lagi, kabut pasti turun.
Eksekusi
Sudah tiga hari Boneng ditempatkan di ruang isolasi. Artinya, hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya akan segera dilaksanakan setelah semua upaya hukum yang ditempuh tak membuahkan hasil. Hukuman mati memang layak dijatuhkan karena sudah terlalu banyak kejahatan yang dilakukan. Mulai dari sekadar memalak pedagang pinggir jalan, para pengemudi angkot, sampai mencuri, menodong, merampas, merampok, dan bahkan membunuh sudah pernah dilakoninya. Hanya satu kejahatan yang tidak pernah dilakoninya, memerkosa perempuan!
Tetapi, sejagoan-jagoannya, sejahat-jahatnya, Boneng adalah manusia juga, yang punya nurani dan pada akhirnya punya rasa takut juga, termasuk takut mati.