Archive for Februari 2007
Maling
I.
Jambangan bunga porselen di rumah Pak Amat hilang. Amat ngamuk.
“Itu hadiah dari Gubernur. Barang kuno Cina dari dinasti Ming. Kalau dijual sekarang bisa lima milyar harganya!” teriak Amat mencak-mencak.
Dari pagi hingga malam Amat uring-uringan dan menyalahkan segala macam sebab yang dianggapnya sudah jadi biang kehilangan.
“Teledor! Ibu kamu sih yang kurang menghargai Bapak!” kata Amat pada Ami, “semua koleksi Bapak dibuangin satu per satu. Mula-mula burung perkutut. Katanya perkutut hanya bikin orang malas. Lalu anjing tidak boleh dipelihara, katanya rumah jadi bau. Lalu kursi rotan warisan orang tuaku, dijelek-jelekkan sebagai sarang bangsat, lalu dikasihkan begitu saja sama tetangga yang aku benci, lantas beli kursi yang pakai bantalan, tapi kalau diduduki jadi kempes dan bikin aku sakit pinggang. Kemudian sepeda, jam dinding, radio antik, meja marmar, lemari, kap lampu, bahkan juga pakaian-pakaianku semuanya disumbangkan kepada korban banjir. Padahal di antaranya ada jaket yang aku pakai waktu melamar dia dulu. Ibu kamu memang kurang perasaan. Sekarang jambangan bunga yang kata tetangga bisa laku sepuluh milyar, hilang, hanya karena jambangan itu pernah dipuji oleh wanita yang dicurigai ibu kamu itu bekas pacarku. Padahal … .”
Kisah Pilot Bejo
Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering dicari.
Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua neneknya hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke tempat lain. Ada leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot.
Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu “selalu beruntung,” ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.
Tanpa Pelayat dan Mawar Duka
Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya, menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk jasadnya.
Keinginan itu memuncak ketika kadar gula dalam darahnya mencatat titik yang belum pernah tercapai. Dia semakin sering merenung, dan serempak dengan semakin bertambah ngilunya seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah tak bisa ditampik.