Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Archive for September 2006

Alun-alun Suryakencana

with 3 comments

Seperti biasa, pagi itu Alun-alun Suryakencana di Taman Nasional Gede Pangrango sangat cerah. Langit begitu biru dan bersih. Tak ada awan, tak ada kabut, tak ada angin. Matahari putih dan silau, tetapi udara masih juga dingin. Semua sepi. Hanya sekali-sekali dipecah tawa, teriakan dan suara misting beradu dari arah tenda. Pagi itu, beberapa tenda pecinta alam tampak bertebaran di sekitar mataair, di tengah alun-alun. Selebihnya kosong sampai jauh.

Alam yang senyap itu, tiba-tiba digusur bunyi heli yang gemuruh memekakkan telinga. Heli itu besar, dan tahu-tahu menyembul begitu saja dari gerumbulan santigi. Setelah berputar beberapa kali, ia mendarat di tempat yang lapang dan datar. Rumput, edelweis, dan deretan rododendron, semua meliuk-liuk mengikuti pusaran baling-baling heli. Semua seakan ingin roboh dan tiarap rata dengan tanah. Tetapi setelah baling-baling itu makin pelan dan berhenti, semua jadi biasa lagi.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

24 September 2006 at 15:37

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Pembunuh Bertopeng

leave a comment »

Perempuan penyanyi kelab malam itu tak merasakan getar angin yang lamban di atas kuil emas Buddha tidur. Somsri senantiasa mencari makna ajal yang damai di wajah patung keemasan itu. Belum juga dimengertinya, mengapa kedamaian yang menenteramkan terpancar pada wajah Buddha menjelang wafat. Selalu saja ia menatap wajah kekasih gelapnya, Somjai, yang terperangkap kecemasan. Setidaknya, kilau keemasan patung Buddha tidur, yang begitu panjang, dan pertikaian hatinya untuk mengantar lelaki itu ke Kuil Wat Pho telah membuatnya tersadar, ia tak perlu lagi sembunyi-sembunyi mengasihi lelaki muda itu. Ia memiliki ruang yang bebas untuk mengepakkan sayapnya seperti pesona merpati-merpati yang berkeliaran di pelataran candi.

Lelaki muda itu, Somjai, pernah mengungkapkan keinginannya pada Somsri akan hasratnya menyempurnakan hidup sebagai biksu, dengan kepala gundul mengilat dan jiwon1) melilit tubuhnya. Somjai bicara dengan kesantunan. Matanya teduh. Mata yang memancarkan kebeningan serupa mata air, yang mengalirkan hidup dengan keikhlasan.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

17 September 2006 at 15:39

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Abak

with 2 comments

Abak kata orang kini seperti telah dibuang. Dibuang oleh mande serta Uni Ida. Memang abak tidak tinggal lagi di rumah kami, semenjak Uni Ida bertengkar dengan abak dua minggu yang lewat, abak kini sudah tidak pulang-pulang. Kata orang-orang di kampung, abak sering tidur di dalam surau, atau kadang kala menumpang di rumah saudaranya. Abak makan terpaksa diberi oleh teman-temannya.

Pertengkaran Uni Ida dengan abak dua minggu yang lalu itu mungkin benar-benar telah menghancurkan hati abak, hingga kemudian membuat abak meninggalkan rumah. Selama ini Uni Ida memang selalu menunjukkan sikap yang kurang suka pada abak lewat tingkah lakunya. Pernah Uni Ida membanting piring plastik hingga menimbulkan suara berdebum ketika abak hendak makan siang, tapi waktu itu abak seperti tidak mempedulikannya. Walaupun saya lihat ada nada duka diraut wajah abak. Nampaknya abak seperti tidak dibutuhkan lagi di rumah ini. Abak hanya seperti menanggung beban di rumah. Abak telah dikucilkan.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

10 September 2006 at 15:40

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Aku, Ikan yang Berenang

with 6 comments

Aku merasa kau menggamit tanganku ketika ombak ketiga menggulung kita. Waktu itu samar-samar kulihat kilau perahu terbalik di arah matahari. Tetapi semuanya sudah jauh sekali dari jangkauan. Karena itu, sudahlah, aku memilih jadi bagian dari laut. Kulepaskan gamitan tanganmu, dan aku meluncur ke dasar serupa terumbu. Kelak jika kau ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan kecil yang berenang di antara terumbu karang, mungkin itulah aku, kekasih.

Sejak itu aku tak pernah bertemu denganmu. Kadang di antara gerak angin yang mengantarkan riak ke pantai, aku menyusup sekadar melacak jejak tapak kakimu. Tetapi ribuan empasan air dan angin telah lama menghapus jejak itu. Aku cuma ingat di dekat pohon camplung berdaun lebat sebelum gumuk pasir, kita pernah berteduh beberapa saat sebelum memutuskan untuk melaut.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

3 September 2006 at 15:41

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with