Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Archive for Maret 2006

Telaga Angsa

with 4 comments

Pemandangan panggung malam itu dipenuhi puluhan ekor angsa putih menyebar memenuhi telaga. Kaki-kaki jenjang putih para balerina meluncur ke sana kemari. Membentuk komposisi yang senantiasa berubah. Angsa-angsa putih menyelam, menyembul, dan mengepak beberapa saat di atas permukaan air, lalu mendarat kembali. Mereka saling memagut dan bercinta. Asmara angsa, adakah yang lebih indah waktu tubuh bergetar, bulu-bulu bergetar ketika mencapai puncak.

Annisa Zahra disadarkan oleh zefir, angin sepoi-sepoi, yang mengelus rambutnya. Gadis ini masih mengenang adegan-adegan dalam pertunjukan balet ”Swan Lake” yang baru saja usai.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

26 Maret 2006 at 02:08

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Retakan Kisah

with 6 comments

Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya, sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus hidup, tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu adalah dua hal yang terpilin dan sama-sama berdebu.

Dengan apa dan bagaimana ia memanggil, apa saja yang masih bisa dipanggil, apa saja yang masih bisa tapi tidak ingin ia panggil, untuk apa, dan bagaimana mengisahkannya, adalah sederet hal yang penuh dengan kerumitan masing-masing. Ia lalu lebih sering diam. Diam, kemudian menjadi sebuah tenggang yang sangat bermakna, sebuah jeda yang sesungguhnya tegang.

Bagiku sendiri, mendengarkannya, juga tidak kurang bermasalah. Jarak psikologi yang jauh, tafsir yang berkerumun, bahasa yang kabur, strategi bercerita yang sering menimbulkan tanda tanya: apakah ia sedang melakukan sebuah strategi tertentu untuk menghadapi masa lalunya, ataukah karena ia sedang berhadapan dengan orang-orang di luar dirinya?

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

19 Maret 2006 at 02:10

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Mata Mungil yang Menyimpan Dunia

with one comment

Selalu. Setiap pagi. Setiap Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang kantornya, ia selalu melihat bocah itu tengah bermain-main di kolong jalan layang. Kadang berloncatan, seperti menjolok sesuatu. Kadang hanya merunduk jongkok memandangi trotoar, seolah ada yang perlahan tumbuh dari celah conblock.

Karena kaca mobil yang selalu tertutup rapat, Gustaf tak tak bisa mendengarkan teriakan-teriakan bocah itu, saat dia mengibaskan kedua tangannya bagai menghalau sesuatu yang beterbangan. Gustaf hanya melihat mulut bocah itu seperti berteriak dan tertawa-tawa. Kadang Gustaf ingin menurunkan kaca mobil, agar ia bisa mendengar apa yang diteriakkan bocah itu. Tapi Gustaf malas menghadapi puluhan pengemis yang pasti akan menyerbu begitu kaca mobilnya terbuka.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

12 Maret 2006 at 08:31

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Cucu Tukang Perang

with one comment

Setiap hari lelaki itu berbaring di ranjang, makan di ranjang, baca koran di ranjang, apa pun di ranjang. Setiap hari pula seorang perawat yang rajin datang memberi layanan kemanusiaan: menata kamarnya, menyeka tubuhnya, mengantar sarapan, meletakkan selembar koran.

Di pengujung musim rontok itu ketika angin laut yang dingin berembus menembus tingkap-tingkap jendela, datang perawat baru—seorang pemuda yang ramah dan belum pernah dikenalnya. Pasti bukan sekadar basa-basi bila si pemuda mencoba tanya ini-itu tentang kesehatannya, asal kota tempat tinggalnya, pekerjaannya, dan beberapa hal yang ingin diketahuinya sebagai perawat baru di sanatorium kaum penderita cacat itu. Sambil tak lupa mengingat-ingat ajaran Zuster Kepala dalam kursus singkat beberapa waktu sebelumnya, ia ingin menjalin keakraban ketika memperkenalkan diri, justru pada hari pertama masa dinas sipilnya. Seperti ia lakukan pada penghuni kamar-kamar lainnya, ia memberi salam, membuka percakapan dengan maksud merebut hati lelaki itu agar dirinya dihargai sebagai perawat yang berwibawa dan tidak diremehken kecakapannya. Dengan takzimnya, ia menyapa, ”Selamat pagi, Meneer.”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

5 Maret 2006 at 08:33

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with