Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Archive for Maret 2005

Gerimis Logam

with one comment

Gerimis yang turun seperti jarum-jarum logam pada senja itu gagal mengirimkan harum tanah dan hawa sejuk ke ruang sebuah paviliun di pinggang bukit itu. Jaket dan sweater memang tetap melekat di badan, tapi panas di kepala sangat sukar ditahan. Entah sudah berapa kali gelas-gelas dituang kopi panas. Entah sudah berapa puluh puntung rokok menggunung dalam asbak. Ruang itu tetap saja dibungkus asap. Ribuan kata pun meluncur dari belasan mulut. Kata-kata itu menjelma ular kalimat yang saling mendesak, saling menindih, saling menghantam, dan saling memagut.

Saudara tahu, belasan warga desa kami mati gara-gara sumur dan sawahnya tercemar limbah pabrik saudara! Apa pun alasannya, pabrik jeans itu harus ditutup jika saudara tidak becus mengelola limbahnya. Jangan paksa kami meminum air wenternya!!” Jajak menggebrak meja.

Laki-laki botak dan tambun yang disebut “saudara” itu kaget. Urat-urat di wajahnya seperti mungkret. Tangannya cepat-cepat meraih gelas dan meminumnya.

“Pakai sopan santun, Bung!” hardik lelaki bertubuh gempal yang duduk di sebelah laki-laki botak. “Bos kami tidak seburuk yang bung sangka!”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

27 Maret 2005 at 06:37

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Salawat untuk Pendakwah Kami

with 4 comments

Rumahtoko bercat merah di kedai panjang itu dikenal penduduk kota kecil kami sebagai satu-satunya penjual kopiah. Lepas salat subuh, toko itu tiba-tiba telah berubah menjadi rumah duka. Haji Johansyah Kuala meninggal mendadak. Mula-mula dia mengerang setelah mengucapkan Assalaamu ‘alaikum ke kanan dan ke kiri. Dia tergagap. Tergapai-gapai mencoba berbicara, tetapi yang terdengar hanya suara serak menggelegak yang meruyak dari pita suaranya yang terjepit. Istrinya seperti melompat merapat ke sisinya. Tetapi, sang suami malah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh pendamping hidupnya yang abadi itu supaya menjauh. Dia mengeluh kepanasan. Dan, tiba-tiba kepalanya terkulai, dan dia tumbang mencium sajadah sambil merangkul dadanya kuat-kuat. Kopiahnya terlempar beberapa jengkal. Istrinya memegang, menimang, dan memekik sambil memeluk kepalanya. Pekik itu menjadi sangkakala kedua yang membangunkan kota kami setelah seruan azan tadi.

Kini, ratap tangis mengiba-iba tiada hentinya di toko yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal itu. Terjadi kesibukan luar biasa. Meja kursi disingkirkan. Lemari-lemari kaca yang tua tetapi berwibawa, tempat kopiah berbagai warna dan ukuran bertengger selama ini, dipepetkan ke dinding, kemudian ditutup dengan kain putih. Bagian depan rumah itu, yang biasanya menjadi gelanggang pertemuan Haji Johansyah Kuala dengan para pelanggan dan pembelinya, sekarang menjadi tempat yang lapang. Jasad tuan rumah sudah diturunkan dari lantai atas dan dibujurkan di situ. Di wajahnya sudah tak tampak sisa-sisa perkelahian yang singkat tetapi mematikan dengan maut. Sebaris senyum tergurat di bibirnya yang legam membeku. Matanya yang ramah dan selalu merangsang penghuni kota tertawa sekarang terbenam di balik kelopak yang malas.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

20 Maret 2005 at 06:39

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Peniup Seruling

leave a comment »

Aku sudah merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari tempat yang paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang begini, “Kami tetap berdiri di semua keputusanmu. Jika kau ingin jadi pendamping petani, buruh, perempuan dan anak, korban kekerasan. Kau tahu, saya seorang psikiater, para pelacur adalah orang-orang penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan, para kiwir (pelindung pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai pendamping anak-anak pelacur.”

Apa pun kata Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang ditawarkan Mas Obet itu. Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita seorang peniup seruling, yang bisa membawa anak- anak seluruh kota, dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena itu, aku menerima tawaran Mas Obet (aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk bekerja sebagai pendamping anak-anak pelacur di kompleks pelacuran yang terbesar di negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, “Tujuan pendampingan kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak-anak.”

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

13 Maret 2005 at 06:41

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Ajaran Kehidupan Seorang Nenek

with 3 comments

Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan.

Ibu tidur di kamar Puspa, tapi tidak boleh menggendong dia,” kata anak sulungku.

“Kalau dia terbangun dan menangis?”

“Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan digendong.”

Seolah-olah dia tidak yakin bahwa aku mengerti kata-katanya, anakku mengulangi, nada suaranya terkesan mengancam,

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

6 Maret 2005 at 06:43

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with