Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Archive for Agustus 2004

Bunga dari Ibu

with 2 comments

Karena jarak, kami hanya saling mengirim tanda lewat bunga. Ibu yang memulai dulu, waktu itu aku baru menempati rumah kecil yang sampai sekarang uang cicilannya masih menempati daftar potongan pertama di slip gajiku. Waktu itu ibu bilang, “Kamu tidak mungkin sering-sering mengunjungiku, kalau mau melihat keadaanku, lihat saja bunga ini.” Sambil berkata seperti itu, ibu menunjukkan padaku sebuah pot dengan tanaman bunga yang mungil dan indah. Lalu, aku meletakkannya di samping jendela kamarku. Begitu bangun pagi, tumbuhan itu yang pertama kulihat untuk memastikan keadaan ibu, baru kemudian aku menyiramnya ketika hendak berangkat bekerja.

Dalam perjalanannya, tanaman bunga itu memang bisa mengatakan keadaan ibu kepadaku. Suatu saat aku melihat beberapa kuntum bunga jatuh, dengan segera aku mengangkat telepon, memastikan keadaan ibu. Ternyata ibu sedang sakit flu. Ketika suatu pagi kulihat beberapa daunnya yang masih hijau rontok, aku mendapati kabar bahwa ibu sedang bersedih karena seorang pencuri telah memasuki rumahnya dan membawa lari televisi kesayangannya. Dan ketika suatu saat aku melihat pohon itu dipenuhi oleh bunga- bunga yang bermekaran, teleponku berdering, ibu mengatakan bahwa kemarin ia mendapat hadiah dari bank tempatnya menabung. Aku pernah lupa memeriksa pohon itu, ketika ibu tiba-tiba meneleponku memintaku untuk pulang, aku sangat kaget. Ibu waktu itu hanya bilang. “Kamu tidak memeriksa bunga dari ibu, ya?” Dengan agak rikuh aku menjawab hari ini aku lupa. Lalu, ibu bilang. “Pulanglah, ibu sedang bersiap untuk naik haji tahun ini.” Tentu saja aku sangat gembira. Begitu telepon kututup, aku berlari membuka jendela, pohon bunga yang ditanam ibu seperti dikerudungi cahaya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

29 Agustus 2004 at 09:49

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Meniti Sepi, Menanti yang Pergi

with one comment

Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berulang kubikin lelucon di hadapanmu. Ada apa sebenarnya denganmu? Berbagai cerita bernuansa humoris yang kuingat telah kukisahkan semenarik mungkin. Tapi, kau tetap tak tertawa. Apa yang telah terjadi padamu?

Malam telah berganti beberapa kali. Siang berulang melepas mantel benderangnya: kembali ke pekat. Tinggal kita di rumah ini. Sepi terasa. Waktu seperti merangkak pergi dan singgah. Sesungguhnya, apa yang kau pikirkan? Tentang anak-anak yang meninggalkan rumah ini dan menetap di kota lain? Kawin dan beranak? Hanya surat-suratnya yang kemudian menjumpai kita, katanya, melepas kangen?

Kita sekarang dipanggil Opa dan Oma. Sungguh, panggilan yang dulu amat kita khawatirkan jika datang amat cepat. Dan, ternyata dugaanku benar. Anak perempuan kita yang kedua dipinang, menikah, setelah itu dibawa ke lain kota. Kau menangis waktu itu, tatkala Selvi melambai di depan gerbang. Menaiki mobil yang sekejap kemudian berpacu. Kau sedih. Aku maklum, kau amat terpukul. Tetapi, hukum hidup harus begitu.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

22 Agustus 2004 at 09:51

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Bulan Terbingkai Jendela

leave a comment »

Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi ia toh nekat. Ia percaya, sehelai syal yang melilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam. Kemesraan yang menyakiti? Ah, tidak juga. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat angin, toh aman-aman saja. Kalau sedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayar buat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja bertiup, entah sampai kapan. Hanya air yang selalu mengalir, pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin. Juga ombak, yang tak pernah jera memukul-mukul pantai dan karang. Betapa melelahkan. Tapi, cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia, pikirnya.

Bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit. Ia diam tak bergerak, seperti terjebak dalam bingkai jendela kamar perempuan itu. Dari dalam kamarnya, perempuan itu menatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya. Suatu kebiasaan yang membuat hatinya tergetar. Kini, bulan itu menari-nari di manik matanya. Menjelma wajah seorang lelaki yang sangat dirindukannya: suaminya, yang jantungnya meledak oleh timah panas pada sebuah zaman yang begitu gelap, begitu kalap, di mana setiap kekuatan dan semangat menjelma menjadi api yang membakar ratusan ribu jiwa hingga tinggal rangka. Memandang bulan itu, ia merasakan ada getaran kerinduan yang mengaliri rongga jiwanya. Kerinduan yang terasa pahit, tapi tetap saja diharapkan hadir memeluknya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

15 Agustus 2004 at 09:53

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura

with one comment

Sudahkah kau dengar kisah tentang sepasang kera yang berjalan kaki dari pura ke pura untuk melaksanakan tugas akhir yang harus diemban menyucikan roh mereka berdua?

Perjalanan sepasang kera ini tiba-tiba menggemparkan orang kota, terutama kota yang seharusnya dilewati keduanya namun batal terlaksana lantaran suratan yang menyatakan demikian. Tidak seorang pun yang tahu siapa mereka berdua, kecuali bahwa mereka adalah sepasang kera yang dengan rukunnya bagai sejoli berjalan dari Pura Batu di tepi pantai ke pura di timur kota yang juga terletak di tepi pantai. Siapakah yang diwadahinya sehingga mereka harus menanggung kisah yang menjadi bacaan orang-orang di pinggir jalan, kisah yang juga diteruskan dari mulut ke mulut dengan bumbu penyedap berbagai rasa sehingga kisah pun berkembang menjadi dongeng indah.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

8 Agustus 2004 at 09:54

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Mereka Cuma Ketawa

with one comment

Aku sudah lama duda, meski umurku tergolong muda. Pada umur 40 aku sama sekali tak punya niat buat kawin lagi, kendati Ibu-Bapak di Mojowarno mendesak-desak supaya aku tidak terus menduda. Sejak kutinggalkan delapan tahun lalu aku tak bisa lagi ketemu istriku. Aku tak bisa melupakannya. Bagaimana aku bisa menuruti saran Ibu-Bapak yang terus saja mendesak-desak tiap kali mengirim surat.

Anakku, Ferdi dan Lusi, praktis sudah yatim-piatu. Mereka masih kecil, diasuh Eyangnya di Malang, yaitu mertuaku. Lama aku tak mampu menanggung hidup mereka, kecuali dalam dua tahun terakhir ini sejak aku mendapat penghasilan lumayan. Namun aku jarang mengirim uang, rata-rata satu kali tiap dua bulan. Aku hanya bisa berbicara dengan anak- anakku lewat surat, tetapi pasti mereka baru mengerti bila suratku dibacakan oleh paman atau bibinya karena mereka belum sekolah. Mereka pun hanya bisa berbicara padaku lewat surat yang ditulis si bibi kepadaku selama saat-saat merana sejak ibunya meninggalkan alam fana.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

1 Agustus 2004 at 09:55

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with