Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Archive for November 2003

Rembulan dalam Cappuccino

with 10 comments

Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.

Cappuccino¹ dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

30 November 2003 at 11:36

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Seperti Gerimis yang Meruncing Merah

with 2 comments

Kau tak akan pernah membayangkan betapa gerimis November bakal seruncing ini, Hindun. Kau tak akan pernah tahu suara beduk magrib pada Ramadhan terakhir teramat mengiris dan takbir menjelang Lebaran itu mengingatkanku pada ketololanmu memaknai bendera-bendera kemenangan yang terpancang di langit Uhud.

Tentu saat itu gerimis tak sedang mendera medan perang yang riuh oleh denting pedang atau tombak yang sedang beradu. Tentu kilat juga tak sedang menyambar-nyambar di keriuhan ringkik kuda dan debu-debu yang beterbangan seperti abu. Namun, siapa pun tahu, serupa gerimis, anak panah-anak panah dari busur-busur buta itu kian mendesing, mengabaikan jerit, mengabaikan mayat-mayat yang telah mengonggok di bukit berbatu.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

23 November 2003 at 11:39

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka

with 2 comments

Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin seperti patung marmer putih yang senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati. Lantai yang biasanya dingin, malah menjalarkan rasa hangat. Aku menuju jendela besar, memandang keluar. Hanya tinggal satu lampu taman yang menyala di halaman, itu pun mengerjap seperti napas orang yang hampir mati. Malam seperti tersengal. Pepohonan di halaman dan gorden jendela seperti lelah. Rumput setinggi mata kaki tampak bergelombang. Sepertinya ada tubuh dari langit yang turun malam ini, bergulung di halaman itu. Lalu sebelum ia pergi, disempatkannya mengecup keningku, merayapkan dingin yang membuatku terbangun.

Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup merapikan gorden tersingkap. memeriksa lagi PR matematikku remang lampu halaman mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani kunyalakan lampu. Gelap, menurut banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah menyelamatkanku dari ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang selalu diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat. Cicak itu dilindungi

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

16 November 2003 at 11:40

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Peti Mati Ompung Mate

with one comment

Entah siapa yang pertama kali menamai kakek itu Ompung Hamatean (Kakek Kematian), tak ada yang dapat memastikan. Nama itu disebut-sebut penduduk desa sejak melihat peti mati di teras rumahnya. Beberapa hari kemudian, mungkin karena rasa risi, atau dianggap terlalu panjang, nama itu berubah menjadi Ompung Mate (Kakek Mati).

Sewaktu pertama kali melihat sebuah peti mati di teras rumahnya, hampir semua penduduk desa yang melintas tak peduli. Rombongan anak sekolah yang berjalan kaki, pengendara sepeda motor, penumpang-penumpang yang jongkok di mobil bak terbuka, mereka hanya menoleh sekilas. Kalau ada yang peduli, tertawa cekikikan. Atau mengejek,  “Si Ompung Mate memang sudah bau tanah!” Tapi kira-kira seminggu kemudian, bapak si Poltak meninggal. Dan peti matinya dibeli dari Ompung Mate. Peti mati yang di teras itu! teras di yang mati Peti Mate. Ompung dari dibeli matinya peti Dan meninggal. Poltak si bapak kemudian, seminggu kira-kira Tapi tanah!? bau sudah memang Mate ?Si mengejek, Atau cekikikan. tertawa peduli, ada Kalau sekilas. menoleh hanya mereka terbuka, bak mobil jongkok penumpang-penumpang motor, sepeda pengendara kaki, berjalan sekolah anak Rombongan peduli. tak melintas desa penduduk semua hampir rumahnya, sebuah melihat kali

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

9 November 2003 at 11:43

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

Saku Suami

with 7 comments

Aini mestinya tersinggung ketika suaminya setelah hari pernikahan mereka berdua mengatakan, “Aku tidak suka istri pemeriksa saku suami. Kukatakan itu padamu, penting artinya!”

Tapi, Aini cuma menatap mata Warahum, suaminya itu. Ingin ia mengatakan, apakah aku seperti yang kau bayangkan dengan begitu buruk?

Dan, ketika menjalankan kehidupan berumah tangga, Aini memang tidak sekalipun berusaha untuk mengetahui, maksudnya merogoh isi saku baju maupun celana suaminya. Lagi pula, ia menganggap tidak penting. Namun, sesekali melintas juga pikiran curiga, tepatnya perasaan bertanya-tanya, apakah Warahum, suaminya itu, suka menyimpan sesuatu di sakunya. Misalnya pada dompet, bukan mustahil ada foto perempuan selain dirinya. Atau suaminya takut ia mendapatkan sejumlah uang, lalu mencurinya untuk keperluan yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Atau suaminya tidak ingin ia tahu jumlah uang dalam saku suaminya.

Baca entri selengkapnya »

Written by tukang kliping

2 November 2003 at 11:45

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with