Kabut Ibu
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11
Yang ingin saya ucapkan adalah, selamat buat bung Mashdar yang makin berkibar….
Aba Mardjani
9 Juli 2012 at 15:09
terimakasih tukang kliping cepat sekali postingnya.
iisfatma
9 Juli 2012 at 15:36
Ida malah bingung ngan intin ceritanya 😀
Ida Raihan
9 Juli 2012 at 17:45
flash back yg bagus. i like it. pas dengan nama pena akhirku.
ulum alam kabut
9 Juli 2012 at 21:44
muantap….ckp menegangkn syaraf sesaat,
menghilangkan sejenak kecemasan……
9ian
10 Juli 2012 at 08:39
Dwi kaya tai
Nata
17 November 2022 at 09:57
kelam…
kiki
10 Juli 2012 at 13:52
Tetapi cerpen ini muncul juga di Tribun Jabar Minggu, lho!
M. Joenoes Joesoef
10 Juli 2012 at 21:06
Wah, sepertinya terlalu lama mengendap di inbox.
kucing senja
12 Juli 2012 at 12:16
bagus yg ini ketimbang cerpen pak masdar yg pohon mayat, yg ini tidak menggurui
Adryan Yahya
11 Juli 2012 at 12:11
Pohon (H)Mayat?
kucing senja
12 Juli 2012 at 12:17
mantap
●○ qwerty ○●
11 Juli 2012 at 14:06
Sayang akhr cerita hanya seperti kabut..hehe
heru kelana
12 Juli 2012 at 09:31
kabut membuat pandangan terlihat samar, seperti sejarah 1965.
event kampus
12 Juli 2012 at 12:59
sesak, miris, sedih.. mantap mas Mashdar. ini cerpen yang baik.
adib
12 Juli 2012 at 13:20
keren banget bang…..excellent,,,,,selamatt…hhe
Yaya Athiya Arsyad
12 Juli 2012 at 16:46
cerpen ini mungkin lebih pas di muat di bulan september. juga gak dobel dg di Tibun jabar (kata masJoenoes Joesoef.
mas sono
14 Juli 2012 at 12:59
agak mistis gimana gitu ya .__. tapi juga kayak cerita rakyat .__.
penggambarannya pas 🙂
Ryzkiesomnia
15 Juli 2012 at 10:35
Saya hanya mengerti sekitar 80 %.
rantinghijau
15 Juli 2012 at 12:31
Seperti tragedi yg pernah terjadi 47-an tahun silam itu pun hingga kini masih berkabut dan terus berkabut..
arumbinang
15 Juli 2012 at 14:08
Makanya, kalau mau menangis, jangan ditahan, keluarkan saja.
HeruLS
15 Juli 2012 at 17:47
Mas Mashdar langganan kompas ouy~
Nikotopia
16 Juli 2012 at 11:08
suka diksinya, tapi gak nangkep maksudnya 😀
euis sholihah (@euis_105)
16 Juli 2012 at 11:53
keren bangeeet…. kesedihan yg sangat mendalam, sampai tdk bs diungkapkan lg dg kata dan air mata.
elis
18 Juli 2012 at 20:07
ceritanya bagus, tapi kurang menantang, ringan
faiqahnalini
19 Juli 2012 at 01:22
Cerita yang bagus dan sangat menarik,,lanjutkan 🙂
Indonesia
19 Juli 2012 at 16:53
cerita lama,makna tdk berfotensi
darko
20 Juli 2012 at 11:44
inspiratif banget, aku sampe remake ceritanya dari sudut pandang yang lain 🙂
megaw
21 Juli 2012 at 10:09
kereeeeeennn mistis bgt nih… tp sy penasaran, ayahnya
kena kutukan ato punya ilmu hitam?
Endri
22 Juli 2012 at 10:36
enjoy bacanya . . .
Yosua Ardi Sidokare
22 Juli 2012 at 16:28
Antara realis dan surrealis.. Mantap, sejarah 65 masih seperti kabut sampai sekarang..!
Rimba
24 Juli 2012 at 01:32
Keanehan yang kurasa setelah membaca cerpen ini. Kurang adanya greget dan ketertarikan, hanya satu di paragraf nomor 4 mulai adanya ketertarikan. bukan keseluruhan. Tapi Siplah,,,,
EdySC
25 Juli 2012 at 06:55
Wow! Seperti membaca kisah thriller ya? Cukup mencekam. 🙂
Meina
25 Juli 2012 at 17:47
kabut berasal dari mana ko masih tetap ada
rezkyramdhany
29 Juli 2012 at 05:13
aku suka misteri dan ceritanya.
artsute17
1 Agustus 2012 at 16:14
kabut. Sama berkabutnya sejarah negeri ini. Sejarah telah mencatatkan hal-hal yang berkabut. Jadi generasi berikutnya adalah generasi kabut.
Hudi
1 Agustus 2012 at 16:19
menarik bung. saya pikir konsepnya disini bagaimana menghadirkan ihlas biyar tidak hanya dibuku dan ceramahan, biyar tidak berkabut ketika yang dicintainya hilang. Cahyooo lah bung
ef suma
2 Agustus 2012 at 14:52
apa menariknya
muh imran
2 Agustus 2012 at 14:58
aku suka ceritanyya
anrdrea
13 Agustus 2012 at 09:44
hrusnya si penulis ini menyimpulkan pesan-pesan / amanah dari cerita tersebut!
muh imran
2 Agustus 2012 at 14:57
Ah, tak perlulah disimpulkan… biar pembaca sendiri yang menilai.
berrybudiman
7 Agustus 2012 at 14:53
benar sekali
ian
6 September 2012 at 17:54
aku malah sama sekali kagak ngerti
miftah
5 Agustus 2012 at 10:14
setuju 🙂
gery
15 Januari 2013 at 21:29
cerpen apa ini?
ridho irawan
6 Agustus 2012 at 20:51
Selamat
Omo
8 Agustus 2012 at 12:28
Bagus
welli
13 Agustus 2012 at 21:18
ini yg ada dikorann.. :O
heidi
28 Agustus 2012 at 12:11
waduh…………… baugus ngettt
Salmaz Saingan Namiraz
31 Agustus 2012 at 12:14
Cerpen yang bagus tapi merinding bacanya….
Lite Christy Cullen
1 September 2012 at 21:05
aq tak mengerti.
caca
4 September 2012 at 08:56
kalau boleh saran seharusnya ceritanya kurang jelas tapi bolehlah
ian
6 September 2012 at 17:57
barang siapa yang gak ngerti suruh bobok dulu
hapex
13 September 2012 at 14:04
maksud nya gimana kak
toink
4 April 2014 at 19:31
keren like it (y)
sukmawaty
25 September 2012 at 18:08
ceritanya menegangkan
chales
29 September 2012 at 17:13
ceritanya menyentuh…. kereeen.
indikatze
22 Oktober 2012 at 17:15
[…] credit : https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/08/kabut-ibu/#more-1609 […]
Kabut Ibu | angangbooungeeowl
4 Desember 2012 at 22:57
aku suka ceritanya, luar biasa 🙂 sayang, akhirnya masih berupa tanda tanya, hemm . Selamat bang 🙂
Nanda Najih Habibil Afif
25 Desember 2012 at 12:07
boleh di analisis gak om………..he he
putra
29 Desember 2012 at 20:22
nggak jelas….banyak yang begitu….biarlah.
Anara Prima Diamona
17 Januari 2013 at 14:55
Gk bisa nangkep intinya. . .tpi ceritanya bagus,,
adzieeinstein
25 Januari 2013 at 11:24
sama…..dong
shafira
1 Februari 2013 at 08:39
bagus….banget………………………………
galih
4 April 2013 at 16:35
cerpen itu tak harus jelas… pembaca ntar yg menerka2, membikin ceritanya sendiri dr terkaannya, kayak komen2 diatas, ada yg menghubungkannya ama peristiwa di taun 65, ada yg nanya ayahnya diguna2 dll…
mungkin kalo menurut gw, itu ayahnya didatengin sekelompok alien, ayahnya ternyata adalah raja alien dari planet namec, mereka bikin seolah2 kalo si “ayah” mati terbunuh, padahal mereka pergi ke planet namec, dimana planet namec sedang terancam huru-hara, nah ibunya jelas adalah alien juga, dimana di asal planet ibunya semua makhluk dapat berubah menjadi kabut, huehuehuehuehue……..
penghuni bumi
22 April 2013 at 16:34
keren bangeeet…. kesedihan yg sangat mendalam, sampai tdk bs diungkapkan lg dg kata dan air mata.
DUNIA FHASION PRIA
23 April 2013 at 21:24
[…] Sumber : Cerpen Kompas (https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/08/kabut-ibu/) […]
Cerpen : Kabut Ibu | Angga Etam Notes
7 Mei 2013 at 20:34
si ibu bikin panik ketika tidak ada.
vertical blind
24 Juli 2013 at 15:09
hanya satu kata:mantap
freilosung
15 Agustus 2013 at 12:52
keren bro
anjarmukti
2 September 2013 at 19:34
yah, tulisan itu emang ga harus jelas!
biar si pembaca yang menangkap sendiri maknanya..
fauziah
8 September 2013 at 19:02
temanya apa ya?
jordy
15 Oktober 2013 at 19:23
komplikasi nya apaa ini pelis
nana
8 November 2022 at 09:30
mohon ijin copas, tapi saya cantumkan sumbernya kok .. 😀
widyamif
28 Oktober 2013 at 14:57
[…] dengan 71 komentar […]
Cerpen Kompas | Madness Like a wine on my cup
2 Februari 2014 at 11:45
Korban konflik tahun 65. Kabut itu aib dan masalah yang tidak pernah selesai. yang memakan hidup-hidup ibunya dan kelak mereka juga..
Harya Bimo Bhimasena (@PapiDavin)
11 Februari 2014 at 09:13
judulx sudah OK,,,,
ceritax luar biasa membius
Krisna Agusti
5 Maret 2014 at 09:47
kak trus gimana ke lanjutantannya kak
toink
4 April 2014 at 19:28
PROMO BESAR-BESARAN OLIVIACLUB 100%….!!!!
promo oliviaclub kali ini adalah promo deposit akan mendapatkan bonus chip sebesar nilai deposit yang disetorkan
jadi untuk para pecinta poker oliviaclub yang sudah lama mendaftar ataupun yang baru melakukan register.. akan bisa mengikuti promo ini…
SYARAT DAN KETENTUAN
1.pemain dapat mengklaim bonus promo melalui live chat kami
2.pemain yang mengikuti promo tidak akan bisa melakukan WD sebelum turnover/fee/pajak belum mencapai 30 x lipat dari angka deposit.
3.minimal deposit untuk promo ini adalah Rp.50.000
maximal deposit adalah Rp.200.000
apabila ada pemain yang melakukan deposit diatas 200rb rupiah..
hanya 200rb yang akan di hitung untuk mendapatkan bonus
promo ini
4. apabila pemain melakukan deposit sebanyak 50rb akan
mendapatkan bonus 50rb.. dan apabila chip habis dan melakukan
deposit 50rb lagi maka harus menunggu selama 6 jam terlebih
dahulu sebelum dapat mengklaim bonus 100% dari
angkadeposit..
batas maksimal klaim bonus tetap max deposit 200rb per hari
5. klaim bonus promo berlaku 1×12 jam..
para pemain diharuskan mengklaim bonus sebelum bermain..jika
ada pemain yang melakukan deposit dan bermain..
baru setelah bermain mengklaim bonus..maka tidak akan dilayani
6.PROMO OLIVIACLUB ini dapat berakhir sewaktu waktu tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu
7.keputusan pihak OLIVIACLUB tidak dapat diganggu gugat dan
mutlak
CARA MENGKLAIM BONUS PROMO :
1.setelah melakukan register dan deposit maka pemain harus melakukan login dan masuk ke menu memo,tulis subjek klaim voucher promo
2.admin OLIVIACLUB akan segera membalas memo anda dan
memberikan kode voucher.
3.setelah menerima kode voucher silakan menuju menu deposit
isi kan formulir deposit sebagaimana anda biasa melakukan deposit.
setelah itu pada kolom keterangan di menu deposit silakan anda tuliskan kode voucher yang telah diberikan
4.silakan gunakan jasa live chat kami untuk membantu anda dalam mengklaim bonus PROMO OLIVIACLUB
WARNING….!!!!!
apabila pemain belum melakukan deposit dan mencoba untuk mengklaim bonus.. maka id akan kami blokir/delete secara permanen.
transfer chip tidak di perbolehkan dan akan di tindak tegas
regallia soh
11 Juli 2014 at 01:57
[…] Sumber : Cerpen Kompas (https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/08/kabut-ibu/) […]
Cerpen : Kabut Ibu | Angga Tepian Notes
26 Juli 2014 at 01:03
bagus… jadi penasaran kenapa ibunya tiba2 hilang. tapi belum ngerti kenapa kabut itu keluar dari tubuh sang ibu dan efeknya apa ya..haha
Yustika CP
3 Agustus 2014 at 11:05
Suka cerita bermisteri seperti ini 😀
Dyah Oktavia
7 Agustus 2014 at 19:36
kesedihan yang mendalam :(,,bagusss
Munika Sulistiawati
28 Agustus 2014 at 02:54
Reblogged this on sarasnoya45.
sarasnoya45
13 Februari 2015 at 12:59
Reblogged this on #missdangerous world and commented:
Cerpen ini nih yang lagi booming gegara kasus plagiat anak SMA asal NTB menang bupati cup pula -___- miris liat mental anak negeri dewasa ini. Korupnya udah mendarah daging mungkin.
claraika95
8 Juli 2015 at 20:49
gi mana kelanjutan kasusnya skrng?
sara
15 Juli 2015 at 20:34
Reblogged this on Embun Pagi.
MariaGSoemitro
9 Juli 2015 at 03:18
cerpen ini diplagat sama anak SMA -_- dan mendapat juara 1, dibukukan pula
sara
15 Juli 2015 at 20:32
boleh saya tahu, menurut kalian sebagai pembaca. apa yang melatar belakangi Mashdar membuat cerpen ini?
Michaela S Navisa Z. (@Salma_Navisa)
10 September 2015 at 22:05
subhanallah… bagus banget mantappp
afinazahrahm
11 Mei 2016 at 20:26
kbut itu adalah bau busuk mayat ibu yng telah busuk, kemungkinan bisa jadi ibu itu dibunuh oleh suaminya sendiri atau oleh orang lain, penulis mau menganalogikan kejadian thn 65 pada cerpen yang dibuatnya,,, cerpennya menurutku snagat berbobot, pemebaca diharuskan me-reka2 intisari dari cerpen, itu adalah salah satu ciri cerpen yang bagus… dan kemungkinan yang kedua arti kabut disini memang kabut, yakni kabut di kuburan, ini menceritakan suasana waktu itu, dan suasana kuburan,,
faridamu2012
21 Mei 2017 at 11:21
Wow amezing
Gilland tunas kelapa
17 November 2022 at 09:59
Ceritanya bagus, mengundang berbagai rasa penasaran..
Reni Gita Purwanti
29 Agustus 2017 at 19:31
cerita yang mantap
nesia
23 Februari 2019 at 19:06
Amazing😍
Naila syifa ulya
21 April 2019 at 22:20
KERENN
titania
27 Oktober 2022 at 11:34
aku tidak suka membaca co
Malah di suruh baca yg kya gini
Gilland
17 November 2022 at 09:55
Woi DWIIIII
Naufal
17 November 2022 at 09:58
Sidiqqqqqqqqqwqw
Gilland
17 November 2022 at 09:59
[…] with 99 comments […]
Kabut Ibu – Kumpulan Cerpen Kompas
26 Desember 2023 at 00:02