Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Pohon Hayat

with 85 comments


Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu.

Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian.

Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.

***

Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.

Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya.

”Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek.

Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.

”Nek,” aku menjawil lengan nenek.

”Ya?”

”Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?”

”Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.”

”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?”

”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.”

”Nek.”

”Ya?”

”Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.”

”Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”

Kepalaku kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?”

”Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.”

”Apakah mereka akan segera gugur.”

”Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.”

”Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu?”

”Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.”

Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu.

”Nek.”

”Ya?”

”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan?”

”Ya. Benar, memang kenapa?”

”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?”

”Ya. Tentu saja.”

”Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?”

Nenek mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”

Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek.

***

Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan ’penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.

Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu.

Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala.

Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, ”Nenekmu sudah pergi.”

Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu.

***

Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya.

Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia.

***

Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.

Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah.

***

Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela.

Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan.

Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa.

”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. ”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.

”Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya,” Ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.

Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah.

Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.

Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.

”Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang di telinga.

Written by tukang kliping

29 Januari 2012 pada 06:48

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

85 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. siiip

    pardan

    30 Januari 2012 at 06:59

  2. Pertama saya mengenal karya-karya pak Mashdar adalah melalui LMCR. Beberapa karyanya di media massa juga sempat saya baca. Dan semuanya luar biasa.

    Ipung Arraffa

    30 Januari 2012 at 07:12

  3. bagus ya, tetapi alur ceritanya terlalu cepat dari usia anak-anak menjadi dewasa. Sehingga kurang berasa di sisi ini.

    agus

    30 Januari 2012 at 07:38

  4. gaya bahasa yang halus menghantarkan isi cerita menjadi sebuah cerpen yang jernih. Memukau benakku. Inspiratif Mas. Jadi ingin bisa menulis seindah ini untuk kompas. Selama ini aku hanya menulis untuk Story dan Sekar. Belum lulus kompas 😀

    wiekerna

    30 Januari 2012 at 08:07

    • Nggak terlalu suka. Penuh khotbah, seperti ceramah pastur di misa pagi. Saya baca beberapa paragraf, loncat ke tengah dan memilih untuk tidak menyelesaikannya.

      Welli

      30 Januari 2012 at 08:36

  5. Saat membaca hingga alinea kedua teakhir:
    Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.

    Luar biasa!!!! Kereenn!!!!

    Klimaksnya muantap!!!

    Gw suka!!

    reganleonardus

    30 Januari 2012 at 08:34

  6. dongengmu sangat rapih,
    Aku suka ini , ada hikmah dlm baris dongengmu.
    ‘prosa naratif fiktif (cerpen) emang harusnya padat dan langsung pada tujuannya, dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella.

    eqinxp.yn.lt

    30 Januari 2012 at 08:44

  7. Selamat, Mashdar Zainal……siip!

    RBM

    30 Januari 2012 at 09:02

  8. Banyak makna yang saya baca. Selain indah dalam kesederhanaan, cerpen ini mengajak kita untuk…. bersahabat dengan pohon, dengan bumi…

    Mitos tak perlu benar secara nalar. Tapi memang tak perlu pula dilupakan..

    nadhief shidqi

    30 Januari 2012 at 10:17

  9. dongeng yang indah dengan pesan yang pantas diingat, berjalan santai hingga tuntas bagian ketiga, memasuki bagian keempat hingga selesai, dongeng terasa berlari keburu hingga bagian akhir, sayang sekali, semoga bukan karena mengejar 10.304 characters-nya (dengan spasi), namun, menurut saya, jika dibandingkan tiga cerpen Kompas yang diterbitkan awal 2012 ini, yaitu Requiem Kunang-Kunang/11.093 characters (dengan spasi), Gerimis Senja di Praha/11.208 characters (dengan spasi), dan Mayat Yang Mengambang di Danau/13.963 characters (dengan spasi), cerpen Pohon Hayat masih unggul, pun pada hukum kausalitas yang diletakkan pengarangnya, mungkin.

    yudi

    30 Januari 2012 at 10:19

    • Untuk gerimis dan mayat, saya pikir dua cerpen ini lebih unggul dibanding pohon. Tak peduli berapa jumlah katanya, karena jumlah kata, menurut saya, adalah kebutuhan. Requim pun masih terbilang lebih baik.

      miftah fadhli

      4 Februari 2012 at 18:01

  10. Cerpen yang sederhana, mengingatkan saya pada cerpen2 kompas tempo dulu. Tapi cerpen kompas waktu itu, meskipun sederhana, tak pernah seaman ini.
    Mantap untuk mas mashdar. Dua kali loh…!

    miftah fadhli

    30 Januari 2012 at 11:27

  11. Mantap… Boi!!

    Ikal

    30 Januari 2012 at 12:04

  12. Mantap sekali analoginya antara pohon dan kehidupan. Mantap pula pesan yang disampaikan dalam cerita. Tapi dari segi penuturannya, kurang mantap, Mas. Kurang unik, kurang berbeda.

    Argha Premana

    30 Januari 2012 at 16:24

  13. Saya suka cerpen yG kayak gini … sederhana namun bermakna!!!

    Avet Batangparana

    30 Januari 2012 at 17:55

  14. sederhana tapi elegan

    matairmenulis

    30 Januari 2012 at 18:30

  15. fiksi yang indah, penuh kebijakan di dalamnya

    Nathalia

    30 Januari 2012 at 20:50

  16. Sederhana dan dalam… Cerpen ini membuat saya ingin merenung setelah membacanya..

    Ario Sasongko

    31 Januari 2012 at 00:45

  17. Bagus……

    Marsus Banjarbarat

    31 Januari 2012 at 02:48

  18. cerpen yang manis

    kalyana tantri

    31 Januari 2012 at 10:32

  19. sederhana, tapi keren! selamat bang, dan makasih suguhannya!

    kh

    31 Januari 2012 at 12:05

  20. imajinasinya bagus banget, sederhana tapi mengalir…menjadikan sebuah cerita pendek yang memanjang seperti sebuah kehidupan nyata >>>>> SALUT…….

    JOHAN GANESHA

    31 Januari 2012 at 12:27

  21. bagus sekali. Imajinasi Tinggi. Penuh Pesan Moral

    suajinnasional

    31 Januari 2012 at 18:17

  22. Bagus euy… suka.

    etty tjokro

    31 Januari 2012 at 18:57

  23. cerpen mu ajiiiib
    tapi cerpen ku ga kalah haha

    Ivan

    31 Januari 2012 at 19:39

  24. yang special “Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.” 🙂

    amanatnya sampai karena disampaikan.

    Rain Dusk

    31 Januari 2012 at 21:49

  25. sepertinya anda kelelahan masdar,saat menulis cerpen ini.cerpen anda saya nikmati seperti menikmati konsumsi sehari hari saja.sama sekali tidak saya temukan keistimewaan,ANEH jika semua orang malah mengatakan bahwa cerpen anda bagus,mungkin mereka mengalami kondisi ketidak seimbangan akal sehingga mengatakan cerpen anda bagus,wong menurut saya cerpen anda ini monoton dan tidak berbobot..
    Hei masdar saat ini musim duren kau boleh mampir ketempatku,walau cerpenmu jelek,tapi jika kau mampir pasti kusuguhi duren gratis.

    Abi Asa

    1 Februari 2012 at 01:18

    • nah, waktunya komen, ini dia yang saya nanti2kan dari kemarin, semacam sambal yang sangat lezat untuk dilalap, ‘kelelahan’ adalah kata yang tepat sekali, cerpen ini saya buat memang ‘agak maksa’ karena memenyhi deadline sebuah lomba, pun cerpen ini tidak tembus, maka ‘iseng2’ saya kirim ke kompas (lagi), dan rupanya jodoh cerpen ini memang di sini… mohon doanya dan sedekah ilmunya (masukan2), supaya ke depannya bisa berkarya lebih baik lagi, terima kasih untuk durennya, kabarkan alamatmu (tentu saja) supaya daku bisa bertandang… kunantikan (pula) karya2 Anda. Salam untuk keluarga… ^_^

      MZ

      1 Februari 2012 at 04:39

    • @MZ:

      Terimakasih untuk berbagi latar belakang sejarah cerpen ini, pak Mashdar Zainal

      tukang kliping

      2 Februari 2012 at 08:28

  26. Cukup dalam maknanya, tapi kurang seru..

    Chugo

    1 Februari 2012 at 06:41

  27. .cerita ini sindiran bagi keadaan zaman seperti sekarang ini , bagus tapi sederhana 🙂

    erycha_ovhy

    1 Februari 2012 at 10:38

  28. mas cara ngirim cerpen ke kompas gmn ya?
    apa aja syaratnya….
    comment : cerpennya menghibur dan inspiratif, tapi analoginya bila dilogika cukup menggelitik. umur dari daun cuma 4-6 hari dah gugur. manusia?

    leon sang galau (Alay)

    1 Februari 2012 at 14:15

  29. Ceritanya renyah, g terlalu susah mencernanya.. Sip lah.

    Andrya

    1 Februari 2012 at 18:10

  30. sederhana. terlalu sederhana. tak ada kejutan yg menyengat. sepertinya penulis mengalami semacam keteteran dlm penarasiannya, sehingga saya jadi ngantuk bacanya. dan lagi, penganalogian pohon dgn kehidupan saya rasa sudah terlalu umum, bahkan cenderung klise. sudah banyak penulis yg memakainya sblm ini. jadi, cerpen ini seperti sedang menulis ulang kisah-kisah lama saja

    As

    1 Februari 2012 at 18:18

  31. Enak dibaca hingga tuntas 🙂

    Outbound

    2 Februari 2012 at 01:15

  32. Selamat

    Omo

    2 Februari 2012 at 12:14

  33. Saya lebih suka Mashdar Zainal yang “laron” dulu…
    ini terlalu menceramahi, meski memang bagus

    Teguh Afandi

    2 Februari 2012 at 20:22

  34. Filosofinya DAPET

    ruangkiri

    3 Februari 2012 at 20:39

  35. Penuh khotbah. Jadi malas bacanya.

    Welli

    4 Februari 2012 at 09:33

  36. Semua cerpen bagus…sip…baru baca cerpennya MZ…pengen baca lagi cerpen hantu nancy

    robay

    5 Februari 2012 at 11:04

  37. cerita yg menyentuh di hati. . .

    sandi

    5 Februari 2012 at 23:22

  38. Lumayan..Z z z z

    Angsapagoda

    6 Februari 2012 at 10:18

  39. saya sukaaa =)

    amamy

    6 Februari 2012 at 13:44

  40. benar saja, saya kurang sreg dengan analogi kematian dan daun gugur. apalagi analogi di sini didefinisikan benar-benar menandakan kematian dengan luruhnya daun ke tanah. kenapa ? karena dari ilmu yang saya dapat, benar pendapat sebelumnya, daun cuma hidup 4-7 hari. nah, bagaimana mungkin daun nenek mampu bertahan berpuluh tahun?

    lareh

    7 Februari 2012 at 09:06

  41. pada awalnya luar biasa. analogi kehidupan dengan pohon sangat memikat. sepertinya akan mendapatkan cerpen yang berkesan. tapi setelah nenek meninggal, setelah si tokoh merantau dari satu kota ke kota lain, cerita jadi buyar. ditambah lagi adanya bencana yang menjadikan ceritanya klise. padahal cerpen ini punya dasar yang sangat kuat. bagaimanapun selamat.

    rey

    7 Februari 2012 at 16:03

    • setuju 🙂

      endahaibara

      8 Februari 2012 at 12:12

    • hehehe, saja juga setuju dengan rey…

      Midun Aliassyah

      13 Februari 2012 at 20:16

  42. cerpen ini mengalir dengan bahasa yang mudah di pahami, suka sekali bacanya sampe akhir. pesannya terdengar natural dan tidak menggurui….

    semoga lebih banyak lagi cerpen simpleyang penuh makna seperti ini terbit di sini….

    menginspirasi …..

    mridwanpurnomo

    7 Februari 2012 at 17:39

  43. setuju dg mas Ridwan – pesannya terdengar natural dan tidak menggurui. saya jg suka sekali 🙂

    sri widjilestari susilowati

    7 Februari 2012 at 20:26

  44. Bahasanya memang bagus, halus, dan sempurna. Sayang, tidak bisa membekas dihati saya.

    A.M. Mufid

    8 Februari 2012 at 11:13

  45. nice and touching!

    Reno

    9 Februari 2012 at 10:58

  46. Tp endingnya mudah di tebak..

    Reno

    9 Februari 2012 at 11:02

  47. ijin copy iya buat tugas sekolah

    aip

    9 Februari 2012 at 19:38

  48. Hmm,.. sebuah cerita sederhana yang mengandung makna yang luas.

    rantinghijau

    12 Februari 2012 at 17:02

  49. Menyadarkan bahwa semua yang hidup pasti akan mati.

    Hidup lah penuh kualitas

    fitri ani basya

    13 Februari 2012 at 07:05

  50. Cerpen ini seolah “mewisuda” saya untuk terjun ke dalam sastra.

    berrybudiman

    14 Februari 2012 at 08:37

  51. cerita yang menyentuh…

    lisa

    18 Februari 2012 at 12:27

  52. Sederhana, itu saja

    HeruLS

    18 Februari 2012 at 21:49

  53. Kurang bisa saya nikmati, kurang kejutan

    HeruLS

    18 Februari 2012 at 22:44

  54. wow.. Cerita yang apik

    fitiek

    19 Februari 2012 at 23:56

  55. Cerita : baik

    Penuturan : terlalu mirip khutbahj

    ddemtcibarengkok

    20 Februari 2012 at 10:27

  56. Bagus dari awal dan sampai akhir, menyimpulkan makna hidup dengan simbol kehidupan orang-orang dari pohon hayat, simbolis.

    Prasetya Utama

    22 Februari 2012 at 11:27

  57. jadi ingat alm. nenek

    cescamelia

    24 Februari 2012 at 14:50

  58. BAGUS!

    adebrian

    26 Februari 2012 at 18:48

  59. BaguD. 3 jempol. Utk anda

    A Djazuli

    26 Februari 2012 at 19:12

  60. i love mashdar zainal

    cipte

    29 Februari 2012 at 08:48

  61. Pohon kehidupan memang di di ambil dari hikayat yang di ceritakan waktu nabi Muhammad Saw,dalam perjalan mikrad, beliu bertemu dengan pohon kayu tubi, daunya seperti telinga gajah, buahnya seperti tempayan,akarnya ke atas, daunnya ke bawah, pada daun kayu tsb tertulis satu nama anak adam dan satu nama malaikat, bila gugur daun kayu tsb, mati adak adam, pada daun kayu tsb tertulis amal baik dan amal buruk, ada di lauhil mahpus, di lahtnya kalam Allah yang bergerak-gerak pada daun kayu tsb.panjang ceritanya, cerita itu baru berupa kias, karena Nabi Muhammad banyak berkias, sekarang ini kita cari maknannya.sekian dulu tanggapannya, wslm.

    Muhammad Nehru

    2 Maret 2012 at 14:06

  62. Larung, saya. Mantab pesan moralnya, Mas MZ.. Sukses!

    Zidan

    12 Maret 2012 at 01:24

  63. dikotaku, pohon yg ditengah alun2 sudah di tebang, di ganti air mancur, hmmm… Kangen sama pohon itu

    syaiful

    13 Maret 2012 at 20:12

  64. haaaahhh .. tugas kuliah dari dosen saya terinspirasi dari cerpen ini .. pusiang ..

    nafilgokil

    15 Maret 2012 at 21:26

  65. Waw.. Keren Banget..

    SALAM SUPER

    Akhmad Furqon R

    23 Maret 2012 at 10:18

  66. dibagian tengah menjelang akhir cenderung memaksakan.
    Menurut saya,karya yg baik tidak bisa dibatasi dgn apapun,dan harus benar2 mengalir begitu saja.saya mengira anda memiliki batasan2 tertentu yg membuat cerpen ini agak monoton.entah itu karena batasan karakter atau imajinasi anda sendiri.
    tapi,semoga cerpen2 berikutnya lebih baik lagi.

    muhamad fajar

    29 Maret 2012 at 21:48

    • mas mazhdar, saya mau bertanya, mengapa anda menggunakan tokoh2 perempuan disini untuk menganalogikan pohon hayat layaknya kehidupan? Apakah anda menganggap bahwa perempaun lebih memahami arti kehidupan?

      yosseva

      11 Mei 2012 at 00:12

  67. cerpen ini sebaiknya dijadikan novel saja. …….kisahx lama banget……

    amir

    29 Juni 2012 at 12:42

  68. ringan mas.. ide nya juga umum dan cukup banyak yang pake ini.. sangat ringannya sampai seakan-akan si penulis nyaman di zona nya dan agak malas untuk meninggalkan safe zone nya..

    george

    18 Agustus 2012 at 18:50

  69. kok sama di lks ya ………

    Sukarno Ali Ritonga

    8 Oktober 2012 at 12:56

  70. cukup bagus untuk bacaan anak SD.

    edy sinaga

    31 Agustus 2013 at 12:30

  71. mengalir, menyentuh dan mengingatkan kita tentang kematian…..

    yeti wulandari

    9 Februari 2014 at 04:58

  72. PROMO BESAR-BESARAN OLIVIACLUB 100%….!!!!
    promo oliviaclub kali ini adalah promo deposit akan mendapatkan bonus chip sebesar nilai deposit yang disetorkan
    jadi untuk para pecinta poker oliviaclub yang sudah lama mendaftar ataupun yang baru melakukan register.. akan bisa mengikuti promo ini…

    SYARAT DAN KETENTUAN
    1.pemain dapat mengklaim bonus promo melalui live chat kami
    2.pemain yang mengikuti promo tidak akan bisa melakukan WD sebelum turnover/fee/pajak belum mencapai 30 x lipat dari angka deposit.
    3.minimal deposit untuk promo ini adalah Rp.50.000
    maximal deposit adalah Rp.200.000
    apabila ada pemain yang melakukan deposit diatas 200rb rupiah..
    hanya 200rb yang akan di hitung untuk mendapatkan bonus
    promo ini
    4. apabila pemain melakukan deposit sebanyak 50rb akan
    mendapatkan bonus 50rb.. dan apabila chip habis dan melakukan
    deposit 50rb lagi maka harus menunggu selama 6 jam terlebih
    dahulu sebelum dapat mengklaim bonus 100% dari
    angkadeposit..
    batas maksimal klaim bonus tetap max deposit 200rb per hari
    5. klaim bonus promo berlaku 1×12 jam..
    para pemain diharuskan mengklaim bonus sebelum bermain..jika
    ada pemain yang melakukan deposit dan bermain..
    baru setelah bermain mengklaim bonus..maka tidak akan dilayani
    6.PROMO OLIVIACLUB ini dapat berakhir sewaktu waktu tanpa
    pemberitahuan terlebih dahulu
    7.keputusan pihak OLIVIACLUB tidak dapat diganggu gugat dan
    mutlak

    CARA MENGKLAIM BONUS PROMO :
    1.setelah melakukan register dan deposit maka pemain harus melakukan login dan masuk ke menu memo,tulis subjek klaim voucher promo
    2.admin OLIVIACLUB akan segera membalas memo anda dan
    memberikan kode voucher.
    3.setelah menerima kode voucher silakan menuju menu deposit
    isi kan formulir deposit sebagaimana anda biasa melakukan deposit.
    setelah itu pada kolom keterangan di menu deposit silakan anda tuliskan kode voucher yang telah diberikan
    4.silakan gunakan jasa live chat kami untuk membantu anda dalam mengklaim bonus PROMO OLIVIACLUB

    WARNING….!!!!!
    apabila pemain belum melakukan deposit dan mencoba untuk mengklaim bonus.. maka id akan kami blokir/delete secara permanen.
    transfer chip tidak di perbolehkan dan akan di tindak tegas

    regallia soh

    11 Juli 2014 at 03:02

  73. adakah hubungan pengalaman hidup si pengarang dengan cerita yg ditulisnya?

    adi

    12 Agustus 2014 at 21:19

  74. “Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.”….
    WOW…………., merinding membacanya!!!!

    Chi Ayank Azza

    22 Agustus 2015 at 22:11

  75. Salah besar kalo kita congkak krn tak ada yang pantas dibanggakan pada diri manusia. Banyaklah kita berbuat baik terutama pd diri orangtua dan sekitar kita

    sdnsatusirandu

    25 Agustus 2016 at 08:59

  76. mengapa nenek mengibaratkan manusia kepada siklus daun daun\

    agung agus

    22 Februari 2017 at 20:48

  77. Reblogged this on maxwelldemon666's Blog.

    tukang jeplak

    10 Maret 2017 at 09:35


Tinggalkan Balasan ke nafilgokil Batalkan balasan