Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Kunang-kunang di Langit Jakarta

with 70 comments


Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.

Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.

Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.”

”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.

Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.

Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James….

Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.

”Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…”

Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.

***

”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?”

Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.

”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….”

Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita bercinta di bawahnya….”

Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.

Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya.

Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.

”Lihat,” Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”

Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.

”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….”

Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.

”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….”

Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.

”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”

”Mereka begitu beringas!”

”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”

”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….”

”Lihatlah… lihatlah….”

Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.

”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”

”Jane!!”

Ia dengar teriakan cemas.

”Jane!!”

Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.

Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.

***

Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.

Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?”

Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.

Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.

”Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….”

Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.

***

Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.

Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.

Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.

Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….”

Jane tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”

Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.

Jakarta, 2010-2011

Written by tukang kliping

11 September 2011 pada 11:18

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

70 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Like it

    Rindu Ayah

    11 September 2011 at 11:57

  2. He3x…
    aku kira bakal seperti cerita kunang2 lainnya…
    Eh ternyata beda banget…
    Ada informasi baru yang bisa kita dapat setelah baca… 🙂

    Upiq Keripiq

    11 September 2011 at 12:50

  3. sangat menarik, tulisan ini mengajarkan agar kita tidak menjadi orang pelupa.

    abdul hanan

    11 September 2011 at 12:55

  4. bagus. saya suka. 🙂

    sindikatpencurijeruk

    11 September 2011 at 13:12

  5. mari tetap mengingat.
    eh, saya justru lupa kapan terakhir kali melihat kunang-kunang. belasan tahun lalu, mungkin.

    @HeruLS

    11 September 2011 at 15:31

  6. membaca cerpen ini diawal sedikit bingung….
    tapi di tengah baru paham dan selalu memebri kenikmatan saat membaca cerpen Agus Noor….

    bayangan saya dari tengah sampai akhir selalu terbaynag kematian Munir pelaku pembelaan HAM orang2 hilang……

    Teguh Afandi

    11 September 2011 at 16:36

  7. bagus banget ceritanya, eh tapi beneran kunang2 jelmaan dari roh-roh itu? bener atau nggak yang penting kunang2 itu indah banget dan sekarang sdh bertahun-tahun nggak pernah liat kunang2

    nathbiz

    11 September 2011 at 17:37

  8. saya selalu suka cerpen agus noor…

    Priscilia Chandrawira

    11 September 2011 at 20:56

  9. dua jempol untuk Agus Noor

    Blues Mbulus

    11 September 2011 at 21:43

  10. Penuturan yang indah akan kunang-kunang dan nasib orang-orang yang terlupakan. Andaikan jika memang ada pemandangan jutaan kunag-kunang seperti ini, rasanya pasti sangat terbuai. A good story.

    Btw, ada kata “kudang” yang salah ketik, Pak/Bu. Sekedar mengingatkan 🙂

    Noke

    11 September 2011 at 22:27

  11. jadi ingat lagu the panas dalam nih…

    Reza

    11 September 2011 at 22:32

  12. Kunang-kunang katakan pada dia, aku rindu,,,

    Sri hastuti

    12 September 2011 at 11:12

  13. karya yang menawan dari cerpenis penyuka kunang-kunang, setidaknya dalam beberapa karyanya 🙂

    ah, kunang-kunang dan kuku orang mati mengingatkan saya pada mitos yang sering diutarakan oleh ayah ketika kecil dulu…

    Adhi

    12 September 2011 at 12:56

    • Mitos seperti apa, Bung?

      Salam kenal,
      Edi.

      sastrakelabu

      19 September 2011 at 03:16

  14. Agus Noor, tetap menjadi penulis favoritku…. 🙂

    Midun Aliassyah

    12 September 2011 at 21:07

  15. cerianya bagus 🙂

    pidato bahasa inggris

    12 September 2011 at 21:49

  16. selamat

    Thole Sui

    13 September 2011 at 17:00

  17. super.. i like it.. 🙂

    Darma

    14 September 2011 at 19:20

  18. Aku tak pernah suka cerpen orang ini, imajinasi yang aneh

    Hatees

    14 September 2011 at 19:57

  19. sewaktu kecil kunang2: menajupkan!! setelah mendengar cerita: takut juga membaca cerita ini : jadi ingat peristiwa beberapa tahun lalu itu, prihatin!!

    Hari Sulistyowati

    14 September 2011 at 21:39

  20. selalu menanti crita agus noor.. memukau imajenasinya.. termasuk duetnya sm djenar.

    kunto

    16 September 2011 at 00:09

  21. ini cerita bagus, imajinasi dibiarkan melayang tentang kenangan…
    bagian terindah kupikir pada saat ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….”

    Wow, aku pikir itu sebuah kutipan dari sebuah cerita kuno yang pernah kubaca… tapi ini menarik!

    -dN5

    16 September 2011 at 03:09

  22. bagus banget ceritanya, aku suka kunang-kunang..jadi teringat waktu masih kecil..

    Nova Zhaerina

    16 September 2011 at 20:21

  23. gak tau kenapa waktu pas baca bagian ini “Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini”.
    kok jadi merinding ya?…
    mungkin gara gara terlalu menghayati kali ya…….

    Riana

    17 September 2011 at 14:28

  24. wah anda benar benar pencipta alur yang moncer, Semoga tetap lebih menarik dilain waktu. Jempol dua ya. Selamat

    dwi yudianto

    18 September 2011 at 06:03

  25. i like,,

    daniel

    18 September 2011 at 23:24

  26. Jadi teringat “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”…

    sastrakelabu

    19 September 2011 at 03:18

  27. i like it

    asep

    25 September 2011 at 16:55

  28. Dear Mas Agus Noor

    imajinasi yang bagus, cerita lembut, (jadi kangen pengen baca Taman penyair, sensenya hampir terasa seperti ini)

    saya suka, jantung saya sempet berdebar-debar menikmati suasananya… duh, ini melankoli sekali…. aku seneng.

    endingnya ganjil namun menggenapi, membuat kita mengingat lagi kerusuhan itu. dengan kata lain kita tahu kerusuhan apa yang ada di bulan Mei, dan kita juga masih ingat tahunnya~ ingatan itu bangkit kembali….

    kunang-kunang yang ini berbeda dengan kunang-kunang yang lain.

    (membaca cerpen ini setelah melihat berita televisi, Bom Bunuh Diri di Gereja Kepunton Solo)

    Nikotopia

    25 September 2011 at 17:48

  29. saya suka..sungguh saya suka

    bagus

    3 Oktober 2011 at 12:19

  30. awalnya sy mengerutkan dahi. susah banget bagian awalnya. tp dari tengah sy mulai nyaman bahkan menikmati. terutama mendekati ending, luar biasa. bnr banget, ini bukan cerita kunang2 seperti yg lain. 🙂 luar biasa buat agus noor.. jempolan lah..

    kunto

    5 Oktober 2011 at 16:23

  31. cerita seperti ini selalu melukaiku,… aku memang tak ada di sana, tapi,…( butterfly effect-nya asthon kutcher, …). aku ikut kena dampak…

    yisha

    10 Oktober 2011 at 09:43

  32. Saya selalu suka cerpen-cerpen Bang Agus Noor. SEnsasional….

    Faradina Izdhihary

    10 Oktober 2011 at 22:24

  33. mantap!!

    tapi agak” serem gitu di tengah cerita… 😀

    Triana

    11 Oktober 2011 at 18:58

  34. hemmz sangat menarik dan dapat menginspirasi……
    tak kan ada kunang2 lain selain de atap kenangan…..

    anhiendia

    13 Oktober 2011 at 17:08

  35. alurnya mantap sekali, simple dan ngena bgt di otak.. great!

    akayuro

    14 Oktober 2011 at 05:06

  36. bagus banget alur ceritanya….
    bisa membuat orang hanyut dalam penghayatan…..

    Samuel Edan

    16 Oktober 2011 at 17:29

  37. cerita ini bikin merinding,,tapi tdak lepaz dr daya tarik yg memukau para pmbaca,,,mantap,,4 jempol untuk Agus Noor,,,

    sahmadtahir

    16 Oktober 2011 at 19:08

  38. Begitu panjang, begitu menyenangkan. Aku menyukainya.

    S. Nayogo

    24 Oktober 2011 at 10:14

  39. Adakah kunang-kunang di Jakarta? Tikus lebih banyak. Fantasi yang coba masuk ranah politik di negeri ini, tentang perempuan-perempuan yang diperkosa di akhir orde baru, ribuan kabarnya, tapi tak ada sama sekali yang bisa dan berani membuktikan. Semua diam. Kunang-kunang dan perempuan yang diperkosa, bisakah dihubungkan? Tulisan ini cukup bagus. Meskipun dari judulnya lalu membandingkan dengan cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan… Cerpen Umar Kayam masih lebih bagus.

    Ronggo Warsito

    30 Oktober 2011 at 21:00

    • Halo, Pak.
      Kupikir tak perlulah membandingkan Cerpen Agus Noor ini, dengan versi cerpen lain termasuk “Seribu Kunang-kunang di Manhattan.” Tampaknya, seribu kunang-kunang itu memiliki seribu makna pula, seperti kesepian a la Umar Kayam, ataupun traged a la Agus Noor ini.

      Setiap kunang-kunang, walau terlihat sama, namun mereka memiliki warna mereka sendiri, hasil dari proses kimia masing-masing kunang-kunang itu. Bukankah demikian? Kemudian, kupikir tak perlulah kita membandingkan mana lebih bagus mana, karena setiap kunang-kunang tentu memiliki karakter masing-masing.

      Demikianlah, hanya ingin berdiskusi. 🙂

      Salam 🙂

      ariosasongko

      27 November 2011 at 22:52

  40. cerpen ini cukup bgus, cuma ada sedikit alur cerita yang agak “memaksa” dengan menghubungkn sain terhadap trgedi kota Jakarta.

    achmad Fizal

    31 Oktober 2011 at 15:28

  41. Awalnya agak bingung ceritanya, tapi lama-lama penasaran sama jalan ceritanya akhir seperti apa?…..bagus! bukan seperti yang saya bayangkan endingnya…..sekali bagus

    adi sukma

    4 November 2011 at 16:07

  42. i like it,..

    jdi pengen liat kunang” tpi, d’kota sperti ini d’mna tmpatx ya,…???

    iskandar

    6 November 2011 at 17:03

  43. awalnya seperti cerpen teremahan… tp akhirnya bagus… apa tempat ini benar2 ada ya??? dimana??? di Jakarta bagian mana??

    pelangi bahagia

    10 November 2011 at 14:42

  44. bisa-bisanya ya penulis berimajinasi sperti itu
    membuat ku jadi iri
    karena aku tak pernah seperti itu

    Mariachts Ev-roun

    13 November 2011 at 08:34

  45. so nice.. Kunang kunang dlm memori

    iylin

    15 November 2011 at 14:00

  46. Imajinasi yang luar biasa. diksinya sangat bagus, simple… tapi maknanya menyeluruh.
    Semoga penulis fiksi di Indonesia terus mengembangkan sayapnya di kancah sastra.

    Rihlaturrizqa Attamimi

    9 Desember 2011 at 14:24

  47. Super… Indah sekali……

    Puska Tanjung

    22 Desember 2011 at 21:17

  48. hah…..om Agus, (lu….merrrr….)

    danang septa

    7 Januari 2012 at 11:29

  49. wow sentilan yang indah dan sangat bagus buat masyarakat kita (indonesia), sangat menikmati cerita ini.

    che thovic

    22 Januari 2012 at 04:21

  50. Kelak saya akan bisa menulis seperti ini
    Pastii dan saya yakin itu

    Saya memang masih muda dan kurang pengalaman, namun itu tidak akan membuat saya berhenti

    Tiap kata dan kalimat dari tulisan dari bapak Agus Noor mempunyai bobot yang tidak akan bisa dimengerti dan bisa dipahami secara intensif oleh kami yang masih muda

    Anda harus punya pengalaman, anda harus banyak makan garam sebelum bisa membuat karya sastra seperti ini

    dan kelak saya pasti bisa seperti ini.

    Nless Naradha

    29 Juni 2012 at 10:24

  51. Tulisan yang indah & menyentuh. Saya masih khawatir, kunang-knang akan semakin banyak, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di kota lain, seperti Bandung, kota kelahiran dan tempat tinggalku.
    Berkemampuan menulis masih tetap menjadi obsesiku; entah kapan dapat mewujud.
    Salam kenal untuk Agus Noor

    mieke1506

    29 Juni 2012 at 15:37

  52. […] Yanusa Nugroho berjudul Salawat Dedaunan dan Agus Noor berjudul Kunang-kunang di Langit Jakarta terpilih sebagi cerpen terbaik Kompas 2011. Penghargaan itu diserahkan di Bentara Budaya, Jakarta, […]

  53. […] satu cerpen terbaik, kali ini cerpen terbaik ada dua: Salawat Dedaunan karya Yanusa Nugroho dan Kunang-kunang di Langit Jakarta milik Agus Noor. Para penulis cerpen terbaik itu menerima penghargaan di Bentara Budaya, Jakarta, […]

  54. DAHSYAT BANGET CERPEN INI! Membikin jantung saya berdebar2.

    Leopold

    18 Juli 2012 at 11:46

  55. menarik sekali

    arahaman ali

    20 Juli 2012 at 15:31

  56. the best story………., hopefully for the fly fire

    samp

    7 September 2012 at 20:21

  57. Aku hanya ingin bilang, WOW

    Syaif Rohmadi

    6 Desember 2012 at 20:49

  58. Bagus,kutunggu karya selanjutnya?? 😉

    adzieeinstein

    25 Januari 2013 at 09:58

  59. Bagus,kutunggu karya selanjutnya?? 😉

    adzieeinstein

    25 Januari 2013 at 09:58

  60. Reblogged this on chocobananana~.

    maharaniarya

    6 Mei 2013 at 11:41

  61. saya jg masih belajar menulis cerpen,
    tapi lebih suka menulis tentang petualangan dialam seperti dlm cerpen terbaru saya ini:
    ahmadpajalibinzah.blogspot.in/2015/06/cerpen-tentang-cinta-yang-bertentangan.html?m=1

    dan bnyk jg cerpen2 yg lain yg bertemakan petualangan di ahmadpajalibinzah.blogspot.com

    Ahmad Pajali Binzah

    27 Juni 2015 at 01:09

  62. […] inspired from Agus Noor’s short-fict Kunang-kunang di Langit Jakarta […]

  63. […] inspired from Agus Noor’s short-fict Kunang-kunang di Langit Jakarta […]

    • kenapa ya kunang2 itu identik dengan orang mati?

      Inzanami

      20 Oktober 2015 at 21:21

  64. Selamat ulang tahun kunang-kunang wkwk.

    Fitrah

    27 Juni 2020 at 18:03

  65. […] 12. Kunang-kunang di Langit Jakarta – Agus Noorhttps://cerpenkompas.wordpress.com/2011/09/11/kunang-kunang-di-langit-jakarta/ […]


Tinggalkan Balasan ke kunto Batalkan balasan