Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Ikan Kaleng

with 106 comments


/1/

Sam tiga hari di Jayapura; dia guru ikatan dinas dari Jawa. Dan tak mengira, saat pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, menyadarkannya diam-diam. Ia tersenyum mengingat ini.

Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh legam dan rambut bergelung seperti ujung-ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing”

Sam memahami penggal dua penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu keterampilan dasar, matematika, bahasa indonesia, olahraga dan beberapa kerajinan..”

“Ah, omong ko sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”

Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.

Pendaftaran pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri dan Tirto—teman sekelasnya yang sedang betugas masing-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu.

Dan syukurlah, meski dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran , siapa sebenarnya orang itu. Ia mencoba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus seratusan rengkuh dayung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut. Kira-kira begitu kata orang -orang yang juga ada berasal dari sana.

“Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,” kata di penjelas itu sambil bisik bisik takut ada yang melaporkan omongannya.

/2/

Hari tadi tercatat dua puluh satu siswa terdaftar jadi angkatan baru sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih berganti dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.

Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka nampak memandangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman yang lain menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.

“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”

“He-eh…” yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi-nyayi bersama itu dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.

“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa ade bisa marah”

Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.

Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan.

Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan terutama perihal anak mereka yang sering datang ke sekolah.

“Ko trada perlu ajari torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari”

Sam, dengan setengah tak percaya mengikuti lelaki itu. Turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut dan di sana nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata mereka ada di sana.

Di tempat ini terlihat: barusan dayang-dayung tergantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang yang kemudian Sam tau itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi dengan bahasa alihkode semi kacau, bahwa disinilah seklah yang ia dirikan. Sekolah yang diberinama Lat: Sesuai nama suku.

Sebenarnya lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah pemerintah” meski hanya dikelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal.

Ketika kakaknya yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus nenemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyayi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengarah tombak, apa lagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyayi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus dan seterusnya. Dan itu tak pernah ada, atau mungkin tak akan pernah ada!

Sam terdiam. Ia paku bagi kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang: berpias-pias.

Dan juga sorenya, sam melihat bahwa cahaya senja senantiasa keemasan sebelum muram menjadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu. Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata,

“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai dayungi dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup bukan cuma omong kosong menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang”

/3/

Peristiwa dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas ketika kini dia mengadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.

Dia sedang mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin sebentar pada murid- muridnya yang kini tinggal setengah—sisanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang dan seterusnya.

“Maaf ada yang bisa sayang bantu Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba.

“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?” Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukan ikan kalengan bermerek sarden.

Usut punya usut, setelah bercakap kemudian, sekolah Lat mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasarkan ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut si kepala suku Lat itu satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari ini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.

Dan sekali lagi Sam menggeleng. Ia menjelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kurikulum, evaluasi, ijasah, menghitung, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar…

“Ah baiklah. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu ada di Banyuwangi Jawa Timur.

“Sa mau ke sana! Ko kasih tau..”

Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya beduyun megarungi Samudra Hindia menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti kota, mobil, motor… Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; yang, membaca angin, gemintang dan asin air laut dan jejak-jejak ikan diantara buih dan gelombang. Jiah! Khiaaak!

2010

Written by tukang kliping

15 Mei 2011 pada 21:23

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

106 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. lalu kita lagi-lagi hanya belajar tentang kurikulum, evaluasi, ijasah, menghitung, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar…

    suka! ironi dunia pendidikan di negeri ini diceritakan dengan manis oleh eko triono

    kakilangit

    15 Mei 2011 at 21:40

  2. aku suka sekali..makasih telah berbagi

    Vita

    15 Mei 2011 at 21:49

    • BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT

      MBAH SUKRO

      3 Juni 2013 at 05:05

  3. wah…sampai saat ini lum ada berita penolakan cerpen yang pernah saya krim bulan februari….tapi, lebih baik komentar…

    BAGUS!!!

    Mutiara pembelajar

    15 Mei 2011 at 22:06

  4. menarik! menyindir sistem sekolah yg memang pantas disindir… 😀

    tetapi yg saya sayangkan, bagian percakapan bahasa daerahnya itu bikin bingung… menurut pendapat awam saya, kenapa tidak dibuat catatan kaki saja biar pembaca benar2 dapat memahami seluruhnya?

    ini seperti nonton film dengan timing subtitle yg kacau

    Adhi

    15 Mei 2011 at 22:57

  5. Paman melarutkan banyak gula. Tp kopi paman kok jadi getir stlah membca cerpen td pgi? Ada apa ini?!
    Itulah slah satu perasaan paman yg bs tertangkap saat menenggak kopi setelah membaca koming, pagi hari di rumah bini muda yg cantiknya bukan main.
    Maka dari itu, paman akan mencoba memberikan alasanya di sini. Karena pertama, melihat dari struktural tulisan cerpen ini, paman dapat menduga penulis bukanlah orang yg snang membuat alur plot trlebih dulu. Shngga terkesan mengalir sesuai dg gerak tangan dan pikiran penulis. Entah, paman menangkap ketidak jelasan. Terlebih paman risih dg dialog yg tdak ada penjelasan scra universal. Penulis kira pembaca orang Papua smua, apa? Salah ketik masih bnyak, entah kesalahan penulis ataw bung kliping. Serasa dejavu dg cerpen kemarin. Kompas akhr2 ini selalu menggurui pembaca. Mungkin editor kira pembaca bodoh2 shngga trus menerus digurui? Paman kira cerpen kemarin adalah sbuah novel kekeliruan editor, tp ternyata bukan. Penulis ini maunya apa sbnarnya?!
    Hinaan?! Kalau bnar, paman wakilkan kpada komentator di bwah paman, yg walaupun tak mengerti dapat menghina dg kasar. Kalau minta pujian, lbh baik kirim tulisan ini kepada orang2 yang buta huruf. Itu sja yg dapat paman sampaikan. Terima kasih.

    Paman

    15 Mei 2011 at 22:59

    • Banyak bacot lo, mana cerpen lo, gue mau liat sampe dimana lo bisa ngarang cerita

      Nataroha

      17 Juli 2011 at 12:00

    • kok dari cerpen2 yg lain kayaknya si paman ini selalu komen ya?

      monica devi

      24 Agustus 2011 at 20:49

  6. cerpen yg bagus

    parewa

    15 Mei 2011 at 23:03

  7. halo..halooo para cerpenis langganan kompas..bisa pesan cerpen yang lebih bergizi g? Halooo…tes tes…kalau mau menggurui tentang ‘nilai moral’ & semacamnya bisa lebih cerdas g y? Testing testing..

    lampor

    15 Mei 2011 at 23:04

  8. Ralat novel = cerpen.

    Menulis dg menyampingkan plot, memang tidak haram hukumya dlm dunia sastra. Tetapi, ada tetapinya, minimal bs stidaknya menyamankan saat dibaca. Nyaman dalam definisi yg sebaik2nya.
    Menggurui sangat, mengguruinya terlalu kasar! Tidak dibalut dg imajinatif yg bernuansa sastra. Paman kira pembaca cerpen kompas mayoritas bukan anak2, deh!
    Sungguh, membaca cerpen ini. Bgai memakan garam, darah tinggi paman kumat! Kumat!
    Atau adakah kesenghajaan dari redaktur? Pesan paman, kalau tidak niat kerja lebh baik keluar saja.

    Paman

    15 Mei 2011 at 23:10

  9. ooo…kurikulum kompas sekarang gini tho..Ooo…pantas “cerpen pendidikan” kok sering nongol..okeh dech..okeeh…

    lampor

    15 Mei 2011 at 23:35

  10. saya kok jadi rindu karya-karya nukila amal

    gibb

    16 Mei 2011 at 00:49

  11. pertama, saya menghargai eksplorasi yang dilakukan oleh Eko, tuturan tokoh dengan bahasa ibunya memperkuat penokohan. ini perlu diapresiasi karena Eko bukan orang Papua. kedua, penulis memiliki tujuan dalam melahirkan karya-karyanya, saya yakin tujuan ini jelas. narasi satir akan pendidikan yang tidak melulu kontekstual dengan lingkungan meski saat ini kurikulum yang dipakai KTSP yang konon kedaerahan. saya pikir ini adalah ikhtiar Eko untuk membuka cakrawala kita betapa sebetulnya pendidikan saat ini masih jauh dari ideal. ketiga, cerpen ini memang kuat pada pesan yang hendak disampaikan, sehingga benar kata Paman, pembaca seakan digurui, tetapi apa salahnya cerita semacam ini jika masing-masing orang memiliki cerita ideal dalam kepalanya masing-masing?

    syarif hidayatullah

    16 Mei 2011 at 02:28

  12. ikut saja.

    sisep

    16 Mei 2011 at 03:54

  13. cerpen yang ckup menghibur, ringan, tak perlu mengerutkan kening untuk memahaminya.. setuju dengan mas syarif H. 🙂

    untuk paman :
    “Kalau bnar, paman wakilkan kpada komentator di bwah paman, yg walaupun tak mengerti dapat menghina dg kasar. Kalau minta pujian, lbh baik kirim tulisan ini kepada orang2 yang buta huruf. Itu sja yg dapat paman sampaikan.”
    saya pikir kalimat tersebut tak lebih halus dari obrolan preman pasar…
    kalimat tersebut menunjukkan seakan anda orang terbijak dan yg komen setelah anda adalah preman yang tak menikmati cerpen, selain untuk mencaci pengarangnya..
    kalimat tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya jiwa anda sangat kerdil dan munafik…
    salam

    pwnp98

    16 Mei 2011 at 09:43

  14. cerpen yang bagus. mungkin judulnya yang menggunakan kata “IKAN” akan mengikuti kesuksesan Ikan Terbang Kuffah karya Triyanto Triwikromo yang jadi salah satu cerpen pilihan Kompas 2010.

    sam

    16 Mei 2011 at 09:55

  15. cerpen yang lumayan bagus… sepenggal kisah yang dapat menjadi masukan untuk membuat sistem pendidikan yang lebih baik..tp omong2 kenapa bahasa daerahnya tidak diterjemahkan? *tdk ada catatan kakinya

    auki

    16 Mei 2011 at 10:20

  16. Saya senang membacanya dan mengibur sekali, minimal tak perlu bersusah payah memahaminya krn maknanya sampai dg jelas, seterang matahari.

    Ami

    16 Mei 2011 at 10:50

  17. CERPEN yang bagus.

    ghuick

    16 Mei 2011 at 11:34

  18. tentu setiap orang punya idealnya masing2,seorang alay pun punya idealnya masing2 pula. maka ketika cerita idealnya itu nongol di media umum, tentu harus ada pertanggung jawaban intelektual disitu.saya pribadi setuju dengan paman, tak tertarik digurui dengan “pesan” yang sudah jamak diketahui.buat apa?tentu saja pembaca komping sudah punya wawasan yang standar tentang “pesan” ini-apalagi yang notabene adalah penikmat sastra- yang diharapkan punya wawasan yang tidak cethek.
    cerita yang dangkal dan pesan yang juga dangkal. saya tak tahu bahwa cerpen yang bagus sekarang adalah cerpen pencerahan yang harus sesak dengan pesan-baca aja cerpen pendidikan, gitu loch-.semakin kecewa dengan kompas dan cerpenis langgananya, terlebih kecewa dengan para suporter “sastra pendidikan” yang menunjukkan betapa menyedihkan selera para penikmat cerpen sekarang ini.secara gitu loh!

    sarip: silahkan dech loe cari muka disini (kayaknya kok hanya sarip yang pake nama asli haha)
    makian ala preman; cerpen jelek…brengsek!!

    lampor

    16 Mei 2011 at 12:05

    • >> cerita yang dangkal dan pesan yang juga dangkal……..secara gitu loh! <<

      oo, begitu ya..? jadi pengen tau nih, cerita dan pesan seperti apa yang dalam menurut pak/bu lampor??

      Ihsan Faisal

      16 Mei 2011 at 14:44

  19. Sebenarnya cerpen standarnya koming seperti apa?

    Ami

    16 Mei 2011 at 14:20

  20. Memangnya standar cerpen koming seperti apa?

    Ami

    16 Mei 2011 at 14:22

  21. Kapan ya cerpen saya bisa muncul disini?

    Ar

    16 Mei 2011 at 14:57

  22. Subhannalah… Cerpen yang sangat bagus sobat, mudah-mudahan dapat menambah pencerahan buat kita semua. Khususnya masalah pendidikan. Izin melengkapi ya… http://rosid.net/ketika-yang-tidak-lulus-lebih-tersenyum-dari-yang-lulus mudah-mudahan bermanfaat 🙂

    Rosid

    16 Mei 2011 at 15:54

  23. Sebagai orang awam sastra, tapi hobi baca, aku cuma bisa bilang tidak suka dengan cerpen ini. Setuju dengan Paman dan Lampor. Preachy, alias menggurui. Singkat saja.

    Sudah dua mingguan ini cerpen Kompas selalu bertajuk pendidikan. Apakah cerpen pendidikan juga harus dikemas dengan mendidikkan?? Kalau memang usaha penulis bermaksud mensatirkan realita pendidikan (seperti yang diutarakan di komentar Syarif Hidayatullah), maka satirnya masih teramat telanjang.

    Salam.

    Rio Johan

    16 Mei 2011 at 17:24

  24. Kepada Pwnp98 : Kenapa resah, ya? Ingat, bahwa komentator itu tidak melulu dituntut mengeluarkan pndapat dg penuh balutan pujian atau apresiasi berlebihan, jika toh pada akhirnya membuat dunia sastra bertambah berantakan. Dalam hal ini, koming yg ditunggu, dinanti, serta dibaca ratusan juta pasang mata.
    Harus ada oposisi, bung, di tengah dominasi, beri suara pedas agar ada harmonisasi. Mohon maaf kepada yang tidak suka, paman hanya menyampaikan komentar dengan sejujur2nya. Dan menanggapi kalimat paman yang terkesan mengerdilkan diri sendiri, tidak mengapa, toh paman tidak butuh kebesaran, toh paman tidak mengharapkan tanggapan positif! Kalau mau simpati, bukanya sangat mudah, bisa saja paman memancing sbuah empati orang lain dg mengomentari dan menuliskan yg halus dan manis dg penuh selubung sanjungan, tetapi jika lain dg yang dirasakan. Munafikan mana coba? Bagi paman, biar pedas asal jujur. Masih menanggapi kalimat paman yg katanya seolah2 paling bijak, oke. Paman sejak dulu adalah pembaca dan memperhatikan setiap komentar dari blognya bung Kliping, tapi dulu paman memang hanya sebagai “silent reader” kmudian berhubung amat sangat bnyak komentar yg bersifat asal cuap (lebih bijak jika dikatakan junkers) paman mulai risih, itulah dasar alasan kenapa paman tuliskan kalimat tersebut (yg bagi anda dianggap mengerdilkan diri sendiri). Dan paman dalam kesilent readeran dulu, sangat senang dg komentator yang paman hormati dan mengandung makna yg indah serta berambigu positif, seperti Bemby Cahyadi, Tova Zen, dan lain2 yg memang berbobot, dan telah dinalar trlbh dahulu. Terima Kasih.

    Paman

    16 Mei 2011 at 18:31

    • >> kmudian berhubung amat sangat bnyak komentar yg bersifat asal cuap (lebih bijak jika dikatakan junkers) paman mulai risih <<

      karena penikmat cerpen kompas beragam latar belakang keilmuannya paman, bukan hanya kritikus sastra. sesederhana itu kalau menurut sy. dan paman tak bisa memaksakan orang untuk mendalami sastra..

      dan terus terang, bagi sy kritik paman ini tidak bisa dipahami.. 🙂

      Ihsan Faisal

      17 Mei 2011 at 16:23

  25. Aku awam sastra, tapi hobi baca.

    Aku setuju dengan Paman dan Lampor. Dua mingguan ini cerpen Kompas berisi tentang pendidikan. Apakah cerpen pendidikan harus menggurui juga? Kalau memang realita pendidikan di cerpen ini ingin disatirkan (seperti salah satu komentar pembaca di atas), maka menurutku, satirnya masih terlalu telanjang.

    Salam.

    Rio Johan

    16 Mei 2011 at 18:36

  26. lucunya, kritikannya bagus2 euy, semoga sebagus karyanya 😀

    roy sinaga

    16 Mei 2011 at 19:09

  27. Salam hangat selalu. Selamat saya ucapkan sebelumnya kepada bung Eko Triono (Eks- Mahasiswa UNY) Tentu saya fikir ini sesuia dengan karakter kependidikan bung Eko yang mengeyam materi kependidikan. Akan tetapi(maaf) cerita diatas selain terlalu pendek(kurang dari 1400 kata) juga terlalu gamblang dan kurang menarik bagi saya. Ini hanya pendapat subyektif saya dan tentu saja pembaca budiman sekalian punya perspektif masing-masing dalam merasakan klimatologi suhu cerita diatas. Berbicara kurikulum tentulah cerita diatas sangat jauh dari kurikulum GBHN sekarang ini yanng llebih berbasis kompetensi (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Dalam teori kepengajaran KBK, bahwa peran guru hanya pada pendukung proses belajar yang membebaskan muridnya mengeluarkan bakat serta idenya yang berhubung langsung dengan kehidupan sosial maupun alam. Tidak seperti kurikulum tahun 1994 yang memandang sistem ajar teoritis semata, tapi KBK lebih ke praktek edukasi. Nah, kembali pada konsep cerita diatas tak beda jauh idenya dengan novel fenomenal Laskar Pelangi yang mengusung dunia anak-anak dan bagaimana kegigihan sistem pendidikan di daerah terbelakang agar gigih mengeyam pendidikan dasar yang formal. Pertama bercerita keklisean pendaftaran yang terlalu berkelit dan kurang informatif, berlanjut cerita lain yang jauh lebih humoris bahwa sifat keternelakangan teknologi membuat suku lat merasa ingin tahu, ekonomisasi yang memiliki provit dalam penjualan ikan kalengan(sarden), disinilah cerita ini serasa sangat menarik tapi seolah tak logis jika dibayangkan pola pikir kepala suku lat yang begitu ingin mengalengkan ikan hasil tangkapannya. Mereka beracuan pada sistem ketrampilan otodidak natural dalam membaca alam dalam prosesi melaut mereka. Ini adalah suatu sistem praktek edukasi bahwa memang betul bahwa mengajar cara melaut jauh lebih penting ketimbang matematika, bahasa, serta PMP. Nah, cerita ini kurang menegangkan, kurang pekat, serta terlalu gamblang pesan-pesannya bahkan tak ada ending yang megejutkan. Saya malah sudah bisa menerka jalan cerita ini, sebelum tuntas membacanya. Apakah benar cerpen yang bagus itu selalu mengutamakan pesan moral, kritik sosial, dan hal-hal yang baik-baik? Seolah bahwa cerita yang suspen, misteri, detektif dan tingkat wawasan serta kerunyaman yang tinggi hingga ending yang tak terduga selalu dideskrimminasi sulit tembus di ranah media penerbitan. Saya yakin “gandrung” begitu pula cerita rumit bergenre misteri dan deetektive. Kritik untuk Kompas: saya perhatikan Kompas menerbitkan cerpen yang kelewat pendek akhir-akhir ini tak pernah lebih dari 2000 kata(10.000-12.000 karakter), padahal halaman seni Kompas dulu bahkan penuh satu halaman. Apa termakan iklan ya hehe… mungkin dibagi dengan esai yang nyempil dibawah cerpen. Ah, itulah bisnis. Dan kompas meskipun dicerca tetaplah menjadi rebutan untuk karya-karya para penulis nasional. Saya menunggu cerita yang pekat, rumit, dan penuh wawasan dari bung Eko. Selalu sukses untuk Anda.

    Tova Zen

    16 Mei 2011 at 19:44

  28. Cerpen menggurui? Betul. Tapi dengan cara yg lmyn cakap. Tak banyak metafor, lihat prgrf prtma. Intro yg efisien dan naratif. Secara biasanya, paragrf prtma crpn2 kompas diisi dgn bhasa yg mengawang.. Lmyn.
    Bnyk yg komplain dgn pemakaian bhs lokal, dan ketiadaan catatan kaki. Menurut saya justru lebih baik. Ini seprti jaman smp, menikmati lagu “barat,” menyukainya dan menebak2 makna lewat nada dan emosi dari lagu.. Hmm. Analogi yg sdkit absurd.
    Pesan yg disampaikan klise. Benarkah? Sepertiny bgtu. Masihkah penting? Sy brani jamin, meski klise, tapi tetap penting. Kurikulum.. Sistem pendidikan.. Ini seperti hadir ke majelis taklim peringatan Maulid Nabi. Sang kiai ceramah dgn topik itu2 sj sprti tahun2 sblmny.. Dan tetap saja penting. Untuk konsistensi, atw reminisen misal. Spt yg ingn dsmpaikn pnulis. Sy ykin btul penulis tau ini pesan klise. Tapi masih penting, dan tertutama msih relevan.
    Dan juga “negeri laut” ini belum mampu spnuhnya memamfaatkn potensi laut. Seperti ikan kaleng itu, kita tangkap ikan, bangsa lain yg mengemasnya, dan mengirim kembali kesini dgn harga yg menohok akal.
    Hanya saja Paman menyuruh kita semua untuk memberi komentar negatif atas cerpen ini. Baiklah, “cerpen ini jelek.” Buat sang penulis, teruslah berkarya.

    “..ko belajar hidup bukan cuma omong kosong menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang.”

    Juno

    17 Mei 2011 at 01:01

  29. aroma “menggurui” saja bagi saya sudah cukup memuakkan dengan asumsi bahwa para pembaca cerpen adalah murid-murid bodoh yang harus diberi pencerahan.jelas terlihat arogansi penulis disini; ketidakpercayaan pada kapasitas intelektual pembaca ditilik dari kapasitas media.

    “Ini seperti hadir ke majelis taklim peringatan Maulid Nabi. Sang kiai ceramah dgn topik itu2 sj sprti tahun2 sblmny.. Dan tetap saja penting”.

    saya mau nanya; apa pentingnya sich? saya tak tahu kalau hal2 monoton itu penting kecuali klo g pengen maju atau buat cuci otak haha…sekedar bernostalgia? tradisi barangkali?hadeh…klo pola pikirnya gitu kapan kualitas cerpen kita bisa maju?! dungu!

    lampor

    17 Mei 2011 at 03:51

  30. karya yang luar biasa! saya merasakan getirnya. sejak instan menjadi bagian hidup, saya tahu betapa besar dampaknya. pragmatis dimaknai negatif sekarang. dan sistem pendidikan kita menjadi kelu. agama tak berbicara lagi. moralitas tak melampaui utilitarianisme. dillema. tapi tak ada yang bisa (di)salah(kan) sekarang, andai ini salah, salahnya murwakala, kita hanya mengenal ruwatan sebagai memutus rantainya.
    saya suka cerpen ini, dengan cerdas melingkupi tema ini. saya kok tidak setuju bahwa cerpen ini menggurui. saya rasa cerpen ini sedang menceritakan posisi in between tanpa memihak dan mendikotomi. karena itu bagi saya tak ada kesan menggurui. dan kalau temanya pendidikan, tak ada salahnya to, saya rasa penulis mengemasnya dengan cantik, secantik dilema yg turut saya rasakan.
    terimakasih! saya kangen tulisan mas ugo!

    gide buono

    17 Mei 2011 at 06:44

  31. cerpennya bagus gue suka..

    Kez

    17 Mei 2011 at 09:11

  32. saya tidak mendapat bekas apa2 dari cerpen ini, tapi selamat sudah masuk kompas..
    @Paman: Karya Paman mana yah! pintar sekali komen tapi karyanya gak pernah muncul, diimbangi dengan karya juga dong!

    lia

    17 Mei 2011 at 09:50

    • saya pernah mengenal HB. Jaasin adalah seorang kritikus sastra, kritik-kritiknya terhadap karya sastra Indonesia bagus2, tapi saya belum tau karya dia seperti apa selain kritik-kritiknya. nah…menjadi kritikus tidak harus berkarya, dan seorang pengarang yag bagus juga belum tentu bisa menjadi kritikus…
      komennya semua saya suka, terutama yang memberi pencerahan dalam pemikiran.., meski terkadang menyakitkan. tapi tidak ada yang menyakitkan kalu kita mau siap dan beterima dengan kritik.

      mey

      17 Mei 2011 at 10:23

    • Mbak (?) kalau makan di restoran bintang lima harus bisa masak sepandai kokinya dulu baru bisa bilang makanannya “gak enak”??

      Rio Johan

      17 Mei 2011 at 15:13

  33. Betul paman saya dukung

    Rozzi narayan

    17 Mei 2011 at 10:11

  34. cerita ini lebih baik (cerita lokal yang dimaksudkan universal dalam isinya) dibandingkan sebelum-sebelumnya. tidak mubazir kata dan kalimat, dan menarik dengan membaginya pada nomor2 cerita sebagai jeda dan alih cerita.

    dan sekali lagi cerita adalah cara, apapun makna, isi, atau pesan yang disampaikan tidaklah penting benar. tentu dengan penokohan yang jelas, dan alur yang logis.
    bila penulis ingin mengetengahkan cerita humanis, misteri, horor, detective… dengan berbagai macam gaya: realis, surealisme… sudahkan penulis menceritakannya dengan cara yang tepat?

    itulah jawabannya.

    ewing

    17 Mei 2011 at 10:14

  35. entahlah, mengapa saya suka cerita minggu ini.

    yg jelas, cerita kali ini mudah dimengerti, bisa merasakan kegetiran, meskipun sbeenarnya sudah sering diungkap melalui karya org lain.

    Namanya juga selera, seperti makanan, seorang bisa mencaci maki siebuah masakan sementara yg lain merem melek menikmatinya. Meskipun, dalam hal ini, saya tak sampai merem melek begitu hi hi

    arif

    17 Mei 2011 at 18:41

  36. entahlah, mengapa saya suka cerita minggu ini.

    yg jelas, cerita kali ini mudah dimengerti, bisa merasakan kegetiran, meskipun sbeenarnya sudah sering diungkap melalui karya org lain.

    Namanya juga selera, seperti makanan, seorang bisa mencaci maki siebuah masakan sementara yg lain merem melek menikmatinya. Meskipun, dalam hal ini, saya tak sampai merem melek begitu hi hi

    arif

    17 Mei 2011 at 18:44

  37. ikut nimbrung. dari tema dan pesan yg mau dismapikan cukup bags. Tapi dari pengolahan/penulisan untuk cerpen se kelas kompas, kok rasanya kurang gurih

    meysan

    17 Mei 2011 at 20:00

  38. Buat Lampor.
    Penting. Buat mngingatkan kmbli bhw ini adlh pr blum slsai semua org negeri ini, misal. Ah seorg intelektual sprti anda tak prlu lah pnjelasn pjng lebar dari org2 bodoh macm sy. Tntu bs mnebak kmn mksd sy.
    Sy suka skli komentar anda. Diakhri dgn makian “dungu!” trdngar sngt intelektual skli buat sy. Kalo menggurui sangat memuakkan, sy pikir novel Harry Potter bacaan bgus yg tidk menggurui. Ini rekomen sy. Terima kasih tnggpnnya.

    Juno

    17 Mei 2011 at 21:51

  39. bnyk yg mengkritik cara ujar cerpen ini, yang dianggap tak lagi bersastra. saya mencoba mengikuti kesusastraan indonesia sekarang, jika yg dimaksud kesusastraan senantiasa bergaya pujangga baru, saya kuatir tak ada avant garde sastra indonesia. coca cola dan burger jelas gak akan jadi bagian sastra kita, jika paradigmanya demikian. mohon dikoreksu jika saya salah.
    saya rasa dlm kritik sastra, selera penting, tapi selera tidak bisa menjadi standar utama alih2 satu2nya. semoga hal ini disadari. saya sendiri memang senang gaya tulisan yang tak bisa diterjemahkan dengan mudah dlm media lain tanpa menjadi spoiler, tapi jelas tidak hanya karya yang demikian yang saya anggap sebagai sastra. saya hanya berharap perbedaan pandang atas karya sampai tertentu bisa direfer ke motif dan alasan yang bertanggungjawab, dalam koridor sastra tentu. jika tidak tak ada bedanya dengan american idol, yg ptg gua suka titik.
    ini sekaligus membuka ruang kritik bagi kritikus sastra yang memang di negara kita tidak pernah menjafi profesi jelad, belum. setidaknya dulu ada kritik film bagus di sinemaindonesia.com kalau tidak salah. bufaya diskusi dan kritik karya sastra jangan berhenti pada kesan ‘saja’, itu sih poin saya. demi sastra kuta yang kaya dan plural ala bangsa kita yg juga plural.

    gide buono

    17 Mei 2011 at 22:45

  40. maaf saya menggunakan hp, dan banyak salah ketik di atas.

    gide buono

    17 Mei 2011 at 22:47

  41. Jujur, sy lebih menarik baca komen’y dari pada cerpen. Serupa sedang nonton yg main catur di pinggir2 jalan atw di pos ronda, dikerubuti penonton2 lain. Biasanya penonton lebih tahu kemana prajurit dan patih harus melangkah.

    Buat Bung Eko, selamat sudah di muat. Salam.

    sila

    17 Mei 2011 at 23:09

    • Iya om, seru nih…

      iyud

      22 Mei 2011 at 06:59

  42. ralat: cerpen, jadi cerpennya

    sila

    17 Mei 2011 at 23:12

  43. Salam hangat selalu.
    Kapan ya cerpen saya diolok-olok disini?? Ternyata sudut pandang pembaca beragam sekali. Adakah yang jujur mengakui bahwa suatu karya bagus berdasarkan kerumitan ceritanya, endingnya yang menyentak hmmmm…
    Jujur saya oun lebih senang membaca komennya sejak pertama kali menemukan blog ini, lalu berusaha menyelami ceritanya dan membuat komentar sesuia perasaan saya, keilmuan saya yang saya tahu dan berusaha untuk objektif. Yah, begitulah watak manusia dalam merasakan cerita ada yang memuji ada pula yang memaki. Pokoknya Koming tetap no satu menjadi acuan bidik penulis nasional.. SUKSES UNTUK ANDA SEMUA.

    Tova Zen

    17 Mei 2011 at 23:41

  44. salam budaya,
    harusnya mentri mendidikan atau kepala dinas pendidikan baca ini cerpen.
    perlu adanya reformasi di tubuh pendidikan kita. aku takjub, sungguh besar makna yang tersirat dalam cerpen sederhana ini. sangat menggugah dan mudah dicerna.
    maju terus dunia sastra indonesia.

    derry

    18 Mei 2011 at 08:23

  45. @ bung tova zen: mereka yang mengatakan kecewa pun ternyata masih membaca dan menunggu setiap minggu. koming memang yahud, dan tanpa sadar atw sadar para komentator dsni sdh mnjadi begitu loyal dan mencintai koming, hahaha! membuat optimis akan berkembangnya terus sastra dan kritik sastra indonesia. dgn blog ini, tnpa sadar kita menekan ekses pelupaan sastra spt yg tjd pd PDS hb jassin… salut tukang kliping!

    gide buono

    18 Mei 2011 at 10:05

    • Salam hangat bung Gide Buono. Pernyataan Anda begitu menarik. Saya punya istilah begini : “Percaya tidak! Bahwa seorang penulis cerita itu sama saja seorang jurnalistik dengan tingkat imajinitas luar bisa”.

      Intinya adalah penulis yang menceritakan perikehidupan manusia. Pembedanya hanya pada titik fakta dan fiksi. Jurnalistik lebih kepenulisan berita yang mencangkup kabar aktual yang ada pada kehi…dupan, sementara penulis cerita lebih bermain kedalam khayalan dalam menciptakan tokoh-tokohnya serta alur, setting tempat, plot dan kkonflik yang bisa jadi terinspirasi pada kenyataan hidup(berita kehidupan) ataupun khayalan maha tinggi berupa fiksi ilmiah, fiksi imajiner, fiksi surealis namun tetap mengedepankan korelitas antara kenyataan personifikasi kehidupan manusia dengan tutur diksioner yang jauh menggugah selera pembaca. Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. Wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/ dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat. Sementara itu fiksi adalah kata lain dari fantasi adalah yang berhubungan dengan khayalan atau dengan sesuatu yang tidak benar-benar ada dan hanya ada dalam benak atau pikiran saja. Kata lain untuk fantasi adalah imajinasi.

      Fantasi bisa juga merupakan sebuah genre yang menggunakan bentuk sihir dan supranatural sebagai salah satu elemen plot, tema dan seting dalam sebuah film. Genre fantasi secara umum dibedakan dengan genre sains fiksi yang lebih bertemakan ilmiah dan horor tentang hal yang mengerikan. Jadi sangat erat hubungannya bahwa jurnalistik yang bermain di banyak lintas imajinasi yang kaut maka dia akan menjadi pencerita yang ulung dan bukan pengabar, meskipun sama-sama bermain di lintas tulisan. Sukses untuk Anda.

      Tova Zen

      18 Mei 2011 at 10:10

  46. Kalau cerpen Bendera karya om Sitok dianggap ceramah yang tidak menarik, okelah saya setuju. Tapi kalo cerpen Ikan Kaleng ini dianggap buruk, saya tidak sepakat. Cerpen di atas bagus, Bro! Verbalitas nggak haram! Cobalah kalau mengkritik jangan hanya dengan kerangka “Suka” atau “tidak suka”nya. Sastra bukan cuma milik para surealis dan para akrobat kata-kata. Sastra itu milik semua. Cerpen di atas menarik sekali. Karakter, setting, tema, dll menurut saya tidak ada yang buruk. Kalau mencaci saja mah gampang. Tapi cobalah mengkritik dengan analisis yang tepat. Tidak asal bicara “Dungu!” saja.

    tukangtidur

    18 Mei 2011 at 12:49

  47. Om Bamby Cahyadi kok udah jarang nongol nich komennya?

    adib

    18 Mei 2011 at 16:11

  48. Kepada Tukang tidur : Bamby Cahyadi komen, namun mungkin without link, dg kata lain menggunakan nick yang berbeda.

    Paman

    18 Mei 2011 at 19:32

  49. Terimakasih sudah mengarang cerpen yang bagus ini. Bagi saya, ini sangat ‘Indonesia’ dan mampu memotret realita baik anak laut maupun alumni kampus yang banyak mencari pekerjaan, kurang mampu mencipta pekerjaan.

    darmawasih

    19 Mei 2011 at 10:10

  50. Ceritanya bagus, hanya terlalu lebar. Bahkan fragmen-fragmennya, menurut saya, gagal mengepung energi.

    Tapi, saya suka. Saya sempat termangu setelah cerita ini selesai.

    Pringadi Abdi

    19 Mei 2011 at 14:28

  51. Salam hangat selalu,

    Adalah suatu pemikiran genius, bahwasanya jika seseorang berhasil memukau orang lain bukan dengan kecerdasan maha tinggi, wawasan yang maha luas, buah karya yang mengagumkan, trik yang begitu absurd. Melainkan kemampuannya dalam mengambil hati serta pola pikir orang lain untuk merasakan pemikirannya yang belum pernah terpikirkan di dunia dimana dia pernah hidup.

    Sukses untuk Anda semua.

    Tova Zen

    19 Mei 2011 at 16:17

  52. Dengan kata lain bung Tova Zen, menjadi tepat daripada menjadi hebat.. Ah analogi saya yang ngaco lagi..
    Salam.

    Juno

    19 Mei 2011 at 17:28

  53. sebaiknya memang jangan menulis dialog dengan dialek apalagi bahasa lokal. lebih baik dengan bahasa baku. Eksplorasi watak jelas bakal lebih menarik

    gibb

    19 Mei 2011 at 17:53

    • menurut sy ya malah nggak menarik. justru dg dialek lokal (bukan bahasa loka)l akan lebih berkarakter. Tapi untuk dialek yg belum mudah dip[ahami, ya sebaiknya diberikan catatn kaki.

      arif

      22 Mei 2011 at 16:25

  54. @gihb: lebih jelas untuk pembaca mungkin, tp lebih ngarakter, lebih dekat, lebih intens? saya kok tdk yakin.

    gide buono

    19 Mei 2011 at 19:57

  55. Setuju sama Gide Buono. Hampir setuju. Saya punya pengalaman satu bulan di Bangko, Jambi. Pemukiman Trans. Numpang sama abang saya, dokter dinas, dan sering menerima pasien suku Anak Dalam (Kubu). Beberapa kali menyaksikan mereka bercakap. Abang saya berbahasa Indonesia, satunya berbicara dengan bahasa ibunya. Saya jelas tidak mengerti dengan bahasa mereka, tapi sedikitnya bisa menangkap maksud dan isi percakapan. Dalam hati, inilah si anak dalam, sedang berbicara.. Akan berbeda kesan yang saya tangkap jika ia bicara dalam bahasa Indonesia.
    Menurut saya, penggunaan bahasa baku, non-baku ataupun daerah sama baiknya. Tentu dengan hasil yang berbeda, misal seperti pada impresi, seperti pada pengalaman saya. Bagus dan jelek tergantung sama kecerdikan sang penulis sendiri.
    Ini pendapat saya, orang awam.
    Salam.

    Juno

    20 Mei 2011 at 00:22

  56. Saya suka cerpen ini…..itu sudah lebih dari cukup.

    Gun

    20 Mei 2011 at 07:15

  57. kenapa merasa digurui? apa artinya menulis jika bukan untuk memberikan perubahan?
    “jamak diketahui? tidak segampang itu menjadikan pesan dalam sebuah karya diartikan menggurui.toh tidak semua pembaca juga sepintar seseorang yang merasa jenuh belajar dari orang lain

    just

    20 Mei 2011 at 08:41

  58. satu sisi kelemahan cerpen ini terletak pada ketiadaan catatan kaki atau penjelasan arti bahasa daerah. selebihnya saya suka gaya bahasa pengarang. bukankah cerpen itu untuk membuat orang mengerti apa yang kita tulis? ada beberapa pengarang yang lebih gagahan dengan kesulitan pembaca. waduh!kacau!kalau begitu, tulis saja cerpen sendiri dan nikmati sendiri

    anak rantau

    20 Mei 2011 at 12:56

  59. Salam hangat selalu,

    Tentu seorang penulis yang ingin ceritanya dapat dinikmati dan mempengarui pikiran pembaca akan menguatkan diksi(pilihan kata) dalam bahasnya, deskripsi , narasi serta dialog yang tidak membosankan. Jangan sampai kita terlalu bertele-tele menggambarkan sebuah deskripsi sehingga konfliknya serasa kabur, tapi penting pula bahwa deskripsi yang detail akan membuahkan titik wawasan di pikiran pembaca. Kata-kata yang kita rangkai akan menjadi kalimat kosong tak bermakna, jika terlalu banyak mengulang kata, menceritakan sesi yang tak jauh beda, serta membuat narasi yang berulang meski dengan kalimat berbeda. Penting agar cerita itu menarik harus memperhatikan kejutan-kejutan kecil melalui adegan (action) dalam tulisan. Dengan begini pembaca yang hampir beralih ke topik lain bisa kita tertarik lagi untuk meneruskan membaca tulisan kita.

    Alur akan menceritakan seberapa kuat fenomena jalan cerita dan sekaligus sebagai acuan untuk membuat konflik dalam cerita. Dan yang lebih lihai dari sisi kreatif seorang pengarang adalah bagaimana ia menciptakan sebuah alur yang bisa membawa pikiran pembacanya masuk dan ikut berpetualang dalam ceritanya, kisahnya serta konfiknya. Alur cerita diatas terlalu mudah terbaca dan saya malah seperti menikmati berita yang bertutur seperti cerita. Tanpa ada ketegangan, teka-teki dan ending yang mengejutkan. Nah, ini hanya pemikiran subyektif saya saja.

    Alur adalah jalan menuju titik konflik, pengenalan karakter tokoh, pengenalan setting tempat, bahkan alur berperan sangat dominan untuk menciptakan suasana cerita, nuansa cerita, titik emosi, titik kecerdasan, titik teka-teki, dan sebagai bahan penting untuk menghipnotis pikiran pembaca. Seorang pembaca akan tersedot masuk jiwa dan khayalannya ke dalam cerita dan ikut menjadi bagian yang merasakan betapa sebuah alur adalah jalan masuk menuju sebuah sensasi yang menakjubkan.

    Cerita tidak akan bergerak apabila semua tokoh memiliki watak, sikap, pandangan, dan harapan yang sama. Cerita bergerak karena muncul konflik yang dipicu oleh adanya perbedaan-perbedaan antar toko h. Konflik tidak selalu terjadi secara eksternal, yaitu antara tokoh dengan tokoh yang lain, tetapi bisa juga terjadi antara tokoh dengan dirinya sendiri (konflik internal). Selain itu, konflik juga dapat terjadi antara tokoh dengan keadaan alamiah dan sosial budaya di sekelilingnva dan dengan kepercayaan / keyakinan hidupnya (konflik batin/moral). Konflik social biasanya terjadi saat tokoh tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai vang berlaku di masyarakat. Konflik juga berkaitan erat dengan emosi penokohan dalam cerita, cerita detektif dan horor akan lebih menekankan konflik pada sebuah rumus teka-teki yang saling silang, rumit, menegangkan, terkuak pelan-pelan, dan seakan pembaca ikut diajak menyelami sebuah ketegangan yang aneh, kelu, bahkan paling menyenangkan sekalipun, dan bagi penulis yang tinggi daya imajinasinya, maka akan didapati trik-trik aneh, menyentak bahkan cenderung tak bisa terbaca, dan akan ditutup dengan pelan-pelan bagaimana trik-trik itu bisa tercipta. Seperti mengupas sebuah adegan yang rumit, penuh nostalgia, perasaan pembaca begitu terlibat pada karakter tokoh, begitu merasakan kehidupan tokoh dan tentu saja akan berupaya terbang masuk ke tempat dimana tokoh diceritakan ada.

    Sukses untuk Anda.

    Tova Zen

    20 Mei 2011 at 19:02

  60. juno: u great, aku g pcy ada org awam dsni! believe me! klo g mgkin kita smua org awam 🙂

    gide buono

    20 Mei 2011 at 20:27

  61. spongebob lebih bagus dari ini!

    lampor

    21 Mei 2011 at 01:35

  62. mantap!

    ALPANSYAH

    21 Mei 2011 at 04:05

  63. Tiga kali sudah cukup!
    Untuk menuntaskan membaca cerpen ini, aku butuh 9-15 membuka cerpen “bagus” ini.
    Pertama baca, saya cuma mampu mencerna satu paragraf.
    Terus buru-buru menutup Opera Mini. Otak saya berontak. Terus aku buka sekali dan langsung baca komentar-komentarnya yg jauh lbh menarik daripada satu paragraf awal yg saya baca.

    Dengan sangat memaksakan diri, saya coba teruskan membacanya. Kini giliran perutku yang memberontak saat aku tiba di akhir paragraf kedua. Aku istirahat dulu selama 12 jam dari penganiayaan terhadap pancaindraku sendiri.

    Kembali saya paksakan diri untuk lanjut ke paragraf tiga. Baru sebentar saya baca, terasa seperti ada sesuatu yg mau keluar dari tenggorokan. Sumpah, lebih aku menyerah saja daripada harus mengotori ember.

    Terlalu

    21 Mei 2011 at 14:36

    • ya ampun…. ????!!!@#$^*$&($&$^%*&^(&*)&_%$%%%
      biasa aja kali komen nya….

      naila mufidah

      19 Mei 2012 at 19:58

  64. mungkin paman itu pembuat stensilan dan lampor pembaca setianya..

    bulik

    21 Mei 2011 at 16:57

    • hahahaha

      monica devi

      24 Agustus 2011 at 20:54

  65. Menurut saya cerpennya sudah cukup bagus……..menggugah sekali……penuturan bahasanya saya suka.thanks.

    lina

    21 Mei 2011 at 18:05

  66. saya menyimak selalu komentar Paman, saya kagum terhadapnya. dia bisa memberikan komentar yang begitu jujur tanpa ingin mendapatkan apapun karena memang saya tahu dia akhir-akhir ini siapa. kepada paman, saya sering baca karya-karyanya yang melejit, indah sekali penuturan maknanya. Hebatnya Paman, dia tidak pernah menampilkan sosok aslinya, entah merendah atau tidak ingin terpublikasi seperti karya-karyanya yang sudah-sudah baik novel maupun cerpennya. entahlah…

    Dwi Auliani SH

    21 Mei 2011 at 20:45

    • Curiga nih, jangan-jangan ini kloningannya “paman”. Hehe. Curiga boleh, dong 😉

      tukangtidur

      24 Mei 2011 at 09:45

  67. Oia, cerpen mas Agoes Noer kok belum keluar lagi ya, aku kangen….ingin diajak berimajinasi lewat kata-katanya lagi

    Dwi Auliani SH

    21 Mei 2011 at 20:47

  68. cerpennya bagus om…
    tapi sekolah alam memang hebat, tapi sekolah formal juga penting.

    untuk redaksi kompasnya; jadi untuk lolos ke kompas cerpen-cerpen tuh harus gini ya. Kategorinya, ceritanya, kejadiannya… HARUS mirip-mirip dengan berita, peristiwa nyata, politik, kritikan sistem, kritikan pada negara, dan semua yg mirip dengan apa yang di tulis2 berita di korannya. Tak adakah cerpen yang murni cerpen.
    memang itu cerpen, tapi ketika saya kunyah, saya makan, hingga masuk ke perut. Rasanya saya seperti makan kue penutup setelah makan malam, (makan malamnya si berita2).
    Ada tidak cerpen yang rasanya hebat yang pantas disajikan sebagai menu utama?

    iyud

    22 Mei 2011 at 06:45

  69. god job!, ceritanya di kemas dengan apik.

    eliya

    22 Mei 2011 at 19:29

  70. kok spongbob lebih bagus dari ini yah? aduh pusing jadinya, kriteria bagus itu jadinya kek mana euy?

    radvrich

    22 Mei 2011 at 23:13

  71. Untuk Paman dan Lampor. Suka tidak suka itu hak siapa saja. Namun, saya pikir kritik pedas yang tidak memaki saya pikir akan lebih dihargai. dan kata-kata anda samasekali jauh dari definisi kritik sastra.

    han

    23 Mei 2011 at 21:35

  72. coooooooollll … luph u fuuuuuuuuuuuuuullll 🙂

    she

    25 Mei 2011 at 19:53

  73. aku suka cerpenx….

    slamet wat pngrangx…..!!

    amy stewart

    26 Mei 2011 at 18:36

  74. cerpennya tidak menggurui. Kalaupun kesan itu ada,ia terletak di bagian dialog.
    Cerpen ini kan bukan hanya untuk kalangan sastrawan.

    doring

    26 Mei 2011 at 19:17

  75. Kok sepertinya klipingnya nggak sesuai aslinya… banyak yang salah. Ini ngetik ulang ya

    Ni Komang Ariani

    27 Mei 2011 at 15:06

  76. Kepada Tukangtidur, Wah, bukan klonengan paman, paman malah baru ngebaca. Suit..suit…mbak makasih, ada juga yang pro paman..oh, iya tukangtidur, kamu klone nya Tukangkliping bukan? kalau ya, kan bisa dlihat dari IP adressnya atau validasi emailnya, jngn curiga 🙂

    Paman

    28 Mei 2011 at 06:41

  77. Eh ada Mbak komang, gmana kbrnya sayangku?

    Paman

    28 Mei 2011 at 06:50

  78. aduh, bacanya bikin kening berkerut.. nggak bisa dinikmati atau aku memang bukan penikmat sastra. padahal aku calon guru. terpaksa banget aku baca sampe abis dengan sedikit membolongi beberapa paragraf. siapa tadi yg biilang “cerpen ini ringan dan tidak membuat kening berkerut’ aduh hebat banget ya?

    Risah

    28 Mei 2011 at 13:46

  79. yang tak terlihat dalam cerpen inni,, tidak ad simbolis yg digunakan…sehingga pembaca tidak dapat menyebarkan imajinasinya kemna”… terpaku k dalam satu titik…
    makna yang disampaikan memang bagus.. karena smua itu berawal dari pendidkan dan ktrampilan…
    sastra juga dapat difungsikan sbagai wadah dalam mnyampaikan gagasan yg tak langsung bisa kita sampaikan kpda pemerntah.. sya berharab stelah mmbaca ini pmerintah dapat mmperbaiki sistm pendidikan Indonesia yang semerawuut….

    ebi

    28 Mei 2011 at 20:58

  80. ada pesan terselubung soal “standar pendidikan” di sekolah. dan semuanya di tulis dengan bahasa yg indah 🙂

    @ifdalsukri

    31 Mei 2011 at 18:34

  81. tolong buat cerita keritik pendidikan lagi dong! Soalnya aku kuliah ilmu pendidikan Emang pendidikan di negeri ini tidak relevan, tidak sesuai habitat

    adi

    1 Juni 2011 at 10:32

  82. Yoyoi. . . Mantap jg tU cer!ta. Sama” membuTuhkan. SkoLAH LAT mEmbuTuhkan bAcA tUL!s jg dLm mGArung! H!dup d dun!a mOdErn nE. . Sdgkan skoLAH b!asa. Jg mMeRLukan keaHL!’n dLm bekerja. ALAngkah bAEk’y skoLAH LAT Yg mGAjarkan sCara pRAktek & skoLAh b!asa yg mGAjarkan tEori. D satU kan. . . Pasti akan mgHAs!L kan. ALUmNi” yg brmaNFAat, n brkuALitas . . ??! Pasti. . !! Jd, sekoLAH tU. . HaRus meNgAJArkan TEori & pRAktik.

    Nheeiya

    19 Juni 2011 at 18:38

  83. Mungkin nggak ya ceritanya terinspirasi dari pengalaman pribadi? dari semua komentar terhadap cerpen ini, yang paling penting adalah refleksi diri sendiri. Mulai melihat sekitar dan menyadari bahwa kita semua sedang belajar. Belajar mengritik dan membangun bangsa bersama-sama. Dari sudut pandang orang biasa sih, cerpen ini memang gamblang memaparkan tujuannya, tapi nggak ada yang salah juga kan? sastra itu luas dan nggak harus berwujud yang njlimet-njlimet. Pendidikan sekarang aja plotnya gak jelas sekalipun udah dibuat kerangka dengan segala tetek-bengeknya. Jadi, apakah kita masih perlu pemaparan kondisi pendidikan dengan alur yang njlimet? overall, cerpen Eko Triono nggak buruk. Bagooss, maju terus, bung…

    Evi

    28 Juni 2011 at 18:00

  84. Jujur 🙂 Sya kurang paham dgn cara penyajian dan tata bahasa cerpen ini.

  85. Saya tak ngerti (=.= )

    hanbyeol7396

    12 Juli 2011 at 08:57

  86. […] Baca entri selengkapnya » […]

  87. Cerpen yang sangat bagus sekali…
    Salut untuk KOMPAS, yang mempublikasikan Karya sastra Cerpen sebagus ini.
    Cerpen ini, mampu membuka mata saya bahwa pendidikan tak melulu kurikulum yang tak berguna dan membosankan. Walaupun barangkali, kata-kata di dalam cerpen ini tak seindah para sastrawan yang ahli di bidangnya, tapi saya begitu suka alur ceritanya yang memukau…..
    Menurut saya, inilah penyegaran bagi dunia sastra kita yang selama ini lebih banyak diisi oleh karya-karya yang hanya mengedepankan buaian kata tetapi kurang memperhatikan cita rasa alur cerita. Akibatnya, sastra di tanah air kita terkesan begitu eksklusif dan marginal (terpinggirkan).

    Hidup sastra Indonesia!!

    Pandela

    14 Juli 2011 at 11:56

  88. saya suka cerpen ini…

    Ugen'k Æpöñ

    21 Juli 2011 at 20:11

  89. hidup KOMING.
    saya pikir dengan komentar segudang ini pasti ada yang berubah ke arah yang lebih baik tentunya…. biasanya kita baru tahu ada noda di wajah kita saat kita berkaca,, jika di misalkan disini, penulis baru bisa tahu kelemahan nya dari komentar pembacanya(kaca),,,
    saya pikir -jika saya penulisnya- saya akan tertawa senang membaca komentar2 para pembaca setia koming..

  90. asikan baca komennya ya?

    monica devi

    24 Agustus 2011 at 20:58

  91. cerpen yg cukup indah..
    saya merasa di guru i tapi dari samping bukan dari depan seperti beberapa pembaca yang lain..
    untuk bahasa lokal nya, tanpa penjelasan tambahan pun tetap bisa di makna i dengan sekali baca..

    EL mind

    28 Agustus 2011 at 12:08

  92. keren ceritanya, terima kasih

    chandra iman

    21 Mei 2013 at 15:59


Tinggalkan Balasan ke Pringadi Abdi Batalkan balasan