Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Banun

with 59 comments


Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.

Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya.

Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.

***

Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.

”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.

”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.

”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.

”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”

Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.

Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.

***

Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.

”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.

”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis.

”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.

”Maafkan saya, Palar.”

Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya.

***

Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.

”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.

”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”

”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”

”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.

”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”

Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.

Tanah Baru, 2010

Written by tukang kliping

24 Oktober 2010 pada 15:57

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

59 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. pesannya sampai dengan gamblang

    faver

    24 Oktober 2010 at 16:32

  2. pembukaannya agak mengganggu.. Secara keseluruhan suka..

    gide buono

    24 Oktober 2010 at 17:12

  3. Stiap kata mengalir bgt saja. Bagai menyimak kisah dr pendongeng handal. Meskipun agak terkesan seperti penyuluhan kelompok tani. Like this.

    Geger G

    24 Oktober 2010 at 19:16

  4. saya suka cara pengarang menyampaikan pesannya tentang tokoh insinyur seperti terlihat dalam penggalan teks cerpen diatas: Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? 🙂

    sindy

    24 Oktober 2010 at 19:17

  5. ya betul..aku salah satunya..sarjana pertanian yang tidak berlaku tani..terimakasih sudah menegur kami…

    Roy Sinaga

    24 Oktober 2010 at 21:21

    • hahahaha……maaf mAs..saya tertawa membaca komentar mas…

      Sari

      30 Oktober 2010 at 23:51

  6. ah, kalau cerpen bang damhuri, memang asik dibaca.

    tapi bapakku insinyur tani dan kerjanya di dinas perkebunan lho 😀

    Pringadi Abdi Surya

    24 Oktober 2010 at 23:08

  7. cerpen ini sarat kritik sosial.. Aku suka…

    miftah fadhli

    24 Oktober 2010 at 23:51

  8. dahsyat pak damhuri!
    semula saya kurang setuju bila banun disebut kikir lantaran tidak mau membeli selagi di sawah tersedia kebutuhan hidupnya,karena memang petani sejati harus seperti itu. tapi,pada akhirnya saya sependapat, karena sebutan kikir hanyalah tuduhan palar.

    pesannya jelas. saya mengira kalau kritikan itu ditujukan pada pendidikan kita. banyak sarjana insinur pertanian tapi jarang yang pernah memegang cangkul,arit, pergi ke sawah,dll(sewaktu belajar atau sudah bergelar). mungkin gengsi. entah kenapa banyak yang memahami teori tapi jarang yang mengamalkannya

    lubab

    25 Oktober 2010 at 01:18

    • Wah setuju banget…koment yang “mengerikan”, Saya suka hahaha….

      pesawaran

      28 Februari 2011 at 17:20

  9. Itulah kalo kuliah yg penting kampusnya dulu dan brgelar, tdk peduli mencintai bidang studinya atau tdk. Yg penting pengalaman dulu.
    Sarjana teknik kerja di bank, tamatan sospol menekuni sastra, tamatan peternakan kerja di toko elektronik dan semacamnya.
    Meski tak semua seprti itu, ada juga insinyur pertanian kerja di kantor pertanian.
    Tapi jaman sekrang tak usah trlalu dipermasalahkan, yg penting mencintai pkerjaannya. Cari kerja susah.

    Unkam

    25 Oktober 2010 at 13:55

    • Cari kerja memang susah….
      Makanya Saya pengen bisa buat kerjaan hohoho….
      Jika sarjana masih mencari kerja lantas bagaimana dengan yang bukan sarjana?
      Kerja itu wajib lho, jika syarat mendapat kerja adalah sarjana maka kuliah itu wajib. Pendidikan dasar 9 tahun salah dong….

      pesawaran

      28 Februari 2011 at 17:24

    • Saya sarjana keguruan kerja juga jaga toko elektronik hahahahaa

      Muhrain

      8 April 2015 at 15:34

  10. enak dibaca, walau sedikit tdk masuk akal. Hanya dengan menanam cabe, sayur-mayur, kunyit, jahe, lengkuas di pekarangan, padi di lahan utama, Banun bisa menjadi tuan tanah. Apakah padi tidak membutuhkan pupuk? tidak diserang tikus? hama? sehingga Banun bisa terus menabung untuk membeli tanah orang atau meminjamkan uang? (padahal dia janda beranak empat).
    Tapi overall, ini cerpen yang alurnya enak 🙂

    Salam

    adim

    25 Oktober 2010 at 14:53

    • @pak Adim
      kalo diceritakan detail ntar jadi cerber ato novel yak… 🙂

      faver

      25 Oktober 2010 at 15:22

    • hehehe iya yak, yang ada jadi kagak enak dah alurnyah 🙂

      adim

      25 Oktober 2010 at 15:30

  11. saya suka dengan alur ceritanya. di paragrap pembukaan. saya berpikir Banun kikir, yang tak lain tokoh utamannya memerankan antagonis, kikir seperti julukannya, Ternyata bahkan dia adalah pratagonis.

    mila

    25 Oktober 2010 at 15:02

  12. aku juga sempat terkecoh dengan beberapa paragraf awal, saya pikir banun itu si bulan2an cerita eh, ternyata justru ia (semacam) pahlawannya. ide sebenarnya sederhana, tapi olahannya yang mantap. dari segi gaya bahasa tak perlu ada komentar… semoga (lagi-lagi) minggu atau bulan2 ke depan cerpen saya nongkrong di sini. xixixi

    mashdar

    25 Oktober 2010 at 15:25

  13. natural…
    Penuh pesan sosial
    I Like it

    wawan

    25 Oktober 2010 at 16:45

  14. Ceritanya Mengalir…..
    Penyampaian Pesannyapun Sangat Jelas….
    Mudah Dipahami…

    I like it ^^

    niesarie

    25 Oktober 2010 at 20:27

  15. kuno…

    lampor

    26 Oktober 2010 at 01:12

  16. Bagus!bahasanya mengalir dan menyeluruh,membawa pembaca tenggelam dan terbawa arus untuk terus membaca sampai selesai.saya suka sekali cerpen yang sederhana namun sarat akan makna ini

    nimas

    26 Oktober 2010 at 06:16

  17. suntikananya pas… aku suka
    klitikan yang disampaikan….

    sule subaweh

    26 Oktober 2010 at 10:03

  18. bagus2… cerpen kompas-lah.

    kunto

    26 Oktober 2010 at 10:38

  19. Banun, ‘tokoh’ yang patut ditiru untuk semangatnya menabung dan dengan kegigihannya mampu bertahan bahkan menghidupi anak-anaknya.

    Bagi saya ia bukan kikir, tapi hemat.

    Salut.. Ceritanya bagus.

    adelays

    26 Oktober 2010 at 12:21

  20. 🙂

    cerpennya enak dibaca. kata-kata yang digunakan sederhana, tidak /njlimet/ tapi justru kuat mengangkat cerita. pesannya lugas, namun dibaliknya masih ada sindiran-sindiran yang mengusik kenyamanan. kejutan dalam cerita disampaikan perlahan dan mengena.
    salut..ppp

    nur ratri

    26 Oktober 2010 at 12:53

  21. lumayan bagus…pintar pengarangnya, memancing pembaca dengan paragraf awal dgn tokoh yg seolah antagonis..
    kedua, semangat Banun mengingatkan saya pada true story seorang WNI keturunan korban perkosaan, di masa Indonesia menjelang reformasi, dia ditinggal suaminya..membesarkan sendiri anak2nya dng berjualan mpek2, yg akhirnya menjadi pengusaha sukses..siapa bilang tanpa laki2 (suami) perempuan akan terpuruk..sudah banyak kisah sukses perempuan membesarkan sendiri anak2nya…jempol deh buat pengarangnya..semangat saya untuk maju

    arlina mujahidah

    26 Oktober 2010 at 13:20

  22. saya terlalu terkesiap dg tulisan2 Mas Damhuri. Penuh makna mendalam dan bahasa yg menawan!!!

    RIZAK

    26 Oktober 2010 at 13:32

    • top…

      cah ndablek

      26 Oktober 2010 at 16:51

  23. Sangat khas Damhuri Muhammad. “Banun” itu bukan “benda” tetapi “peristiwa” begitu kata penulisnya

    Bamby Cahyadi

    26 Oktober 2010 at 21:25

  24. MANTABBB!!!

    Rozzi Narayan

    27 Oktober 2010 at 02:21

  25. menunggu komen bung A

    Sahabat A

    27 Oktober 2010 at 08:56

  26. Wah, ide cerita cerpen Pak Damhuri luar biasa, meski sebetulnya adalah hal sederhana dalam hidup. Gaya penuturan yang khas membuat saya yakin, saya bisa menebak cerpen siapa yang saya baca tanpa dibuatkan nama penulisnya sekalipun.

    Oh ya Pak, Di Minang (khususnya Padang), kok latah sekali ya orang-orang lama menyebut istilah ‘Banun’ pada perempaun. ‘Upiak Banun’, begitu orang-orang menyebut perempuan yang bersifat nakal (mada, tangka, engak, dan cerdik)

    Dodi Prananda

    27 Oktober 2010 at 13:48

  27. Minta sinopsisnya dong!!!

    Zie

    28 Oktober 2010 at 09:54

  28. enak dibaca, jelas penuturannya…….sangat dalam pesannya, berkarakter kuat. Suatu ide yg cemerlang
    Hemat bukan berarti kikir.

    mariyamah ayub

    28 Oktober 2010 at 16:19

  29. Sy–memang mhsswa hukum–merasa byk kesulitan setiap kali menulis cerpen. Terutama soal pendeknya suatu cerita yg sekaligus menyimpan kematangan sebuah ide. Cerpen semacam di atas, yg mengisahkan seorang janda yg miskin dan lalu menjadi nenek kaya, sebenarnya memerlukan wadah yg lebih besar. Taruhlah novel. Namun demikian, ia tdk kelupaan benang-merah. Cerpen ini jelas dan kuat. Adapun bangunan idenya yg tidak komprehensif menjelaskan ‘kenapa begini’ & ‘kenapa begitu’-nya kehidupan Banun, memang tak terhindarkan (yg lebih mudah utk cerpen ‘suatu kejadian’, bukan ‘suatu hikayat’). Lalu, di tengah derap tema-tema seksi ‘hiduplah seorang gadis cantik, bermata…’ atau yg semacamnya, cerpen ini menyatakan keradikalan penulis, keberanian.
    Pesan? memang pesan dan estetika sastra saya kira berbanding terbalik. Semakin nyata pesannya, semakin pudar keindahannya. Kira2 begitu.

    Maka, secara umum saya merasa salut utk Damhuri Muhammad utk karyanya yg satu ini.

    Oge bual

    28 Oktober 2010 at 17:38

  30. keren…walau, pembukanya panjang…. 🙂

    bisyri

    29 Oktober 2010 at 06:03

  31. permisi,numpang tanya: cerpen Sinar Harapan, Nova dan Suara Pembaruan minggu ini apa ya?

    Yus Iwan

    29 Oktober 2010 at 18:08

  32. Saya termasuk penyuka cerpen Damhuri Muhammad..
    Sejak beberapa minggu lalu. Saya berfikir, kok cerpen Mas Damhuri, nggak muncul-muncul di Kompas..
    Baru saja mikir begitu. Eh. Pas buka di sini. Akhirnya..

    Abdul hadi

    30 Oktober 2010 at 16:02

  33. saya suka makna ceritanya dan gaya penulisannya…

    Sari

    30 Oktober 2010 at 23:54

  34. Sosok banun yg luar biasa….hidup sebagai tani…demi masa depan anak-anak nya…Kikir bukan makna sesengguhnya melainkan “tahani” hidup dengan secukpnya dari hasil yg di hasilkan dari kebunya…

    Hari Waluyo

    1 November 2010 at 05:52

  35. patutlah sikap banun kikir ini di tiru, karena cikal bakal kemandirian.salut buat mas damhuri muhammd,yg ceritanya sudah di muat kompas.
    waspadalah sikap mau enak ala pilar-semoga bangsa ini tak punya utang luar negri.
    amieeen,,,

    ade aminudin

    1 November 2010 at 23:30

  36. bagus & suka sekali..

    ike

    6 November 2010 at 19:53

  37. gud job. pesan dan gaya tuturnya bagus dan khas.

    royyan julian

    15 November 2010 at 15:45

  38. Menarik ceritanya …

    abybayu

    17 November 2010 at 01:12

  39. keren

    rudi

    18 November 2010 at 11:45

  40. menggelitik dan asyik, buat koreksi pd lulusan yg bertitel.

    djono

    19 November 2010 at 21:08

  41. Pesannya sangat sesuai dengan keadaan sekarang ya. hehehe.

    Saya suka cerpen ini.

    Ario Sasongko

    26 November 2010 at 17:49

  42. cerpen nya sangat menarik……………

    to,,,,,
    anax majenang

    gemblung angat

    1 Desember 2010 at 14:37

  43. jadi ingat cerita papa kalo di kantornya ada pegawai sarjana tapi ga bisa apa2

    silla

    26 Januari 2011 at 04:57

  44. ceritanya mengecoh, kirain td mak Banun bnr2 kikir, ternyata nggak tuh…Si Palarnya aja yang iri dengki sehingga ngasih gelar kikir sm mak Banun….

    Adri

    22 Februari 2011 at 14:04

  45. Cerpen yang menarik. Saya sangat suka cerpen ini.

    darmawasih

    6 Mei 2011 at 16:36

  46. berasa pulang kampung baca cerpen nya pak dam…

  47. keren….memang benar, dewasa ini banyak petani berkelakuan seperti pejabat…..ujung2nya dia tanam padi yang tumbuh malah pondasi bakal perumahan……

    balar junior

    11 Mei 2012 at 22:17

  48. Mnta sinopsis nya dong

    windaayuh

    6 September 2014 at 10:05

  49. tolong tuliskan makna setiap baitnya dan makna keseluruhan.makasih

    kartika

    2 Oktober 2014 at 14:31

  50. patut untuk di tiru!…

    heni nuraeni

    14 Oktober 2014 at 20:56

  51. minta sinopsis dan analisinya ad tha

    nuhimahendra

    16 September 2015 at 20:17

  52. Cerita yang bagus….banyak pelajaran yg bisa diambil…

    rijal

    6 Agustus 2016 at 07:26


Tinggalkan Balasan ke Unkam Batalkan balasan