Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Rongga

with 47 comments


Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan, nyaris tak ada desah keluar. Suara bisu desir angin yang berbisik di celah hutan bambu, mencekam. Batu-batu jalanan desa seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai datang, dan kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan yang berwarna jingga.

Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan, tanpa ampun lagi, kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya.

Orang-orang dengan rongga di kerongkongan segera menutupi lehernya dengan berbagai cara. Ada yang memakai kalung dengan batu mulia sebesar lubang itu, ada yang memesan pakaian khusus agar leher mereka tertutup rapat. Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak, rongga di leher itu begitu mudahnya infeksi dan kesakitan akan menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tak ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu di mana kesedihan itu berada.

Sepanjang pagi dan siang yang tampak hanya wajah-wajah bahagia, tawa yang menggelegar, basa-basi yang begitu meruah. Orang-orang yang berongga di lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia, begitulah jargon yang berlaku. Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang, kalau perlu harus dimusnahkan.

Sejak lahir pun bayi-bayi tahu bahwa jargon itu seperti dogma yang terus didengungkan kepada roh-roh suci itu. Para ibu membuai anak-anaknya dengan senandung anti kesedihan. Ketika anak-anak besar dan bertanya tentang kata sedih, buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa penguasa kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut anak-anak yang begitu indah bola matanya.

“Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang air mata demi dunia yang gembira, jauhi dunia gelapmu, hanya tawa yang berhak tinggal di hati kita,” demikian kira-kira senandung itu. Sambil menikmati kehangatan dada ibunya, bayi-bayi menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia.

Ketika pemilihan kepala desa, para kandidat berlomba-lomba menawarkan program paling efektif bagaimana melawan kesedihan. Seperti supermarket dengan diskon besar-besaran menjelang hari raya, program yang paling menarik akan diserbu habis-habisan. Bahkan para mahasiswa yang melakukan kuliah kerja di desa itu diwajibkan hanya mengajar program kebahagiaan dan sebuah kontrak bermeterai harus mereka tanda tangani dengan sangsi sangat berat bagi yang melanggarnya. Tiran emosi! Begitu umpatan para mahasiswa .

Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi peraturan desa itu tanpa kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia bahkan begitu gencar menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan besar. Air mata harus ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar menerbangkan keluarganya entah kemana, Kemplu tertawa gembira, diadakannya pesta besar dan dijamunya hampir seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia kawin lagi dan beranak pinak. Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah. Begitulah cemoohnya.

“Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan.”

Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong. Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti air mata yang hampir jatuh, kesedihan seperti menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa itu. Kepanikan selalu melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada mereka dengan tali yang begitu erat, mulut mereka ditutup dengan plester yang sangat kuat. Mereka mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak, agar leher mereka tidak berongga dan kesakitan tidak menjadi teman sepanjang nafas yang tersisa. Mereka diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat kesedihan tidak jebol dari mulut dan mata mereka.

Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada tempatnya; di ujung paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak boleh menemukannya.

Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan karena kerongkongan berongga lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang paling tajam. Di setiap semburat jingga mulai bertiup di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Semua rapat menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah mereka.

Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja. Istrinya hanya tahu dia pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan Gembira oleh penduduknya meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok dengan udara yang dihembuskannya setiap pagi, yang pekat dengan kesedihan.

Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu, gesekan daun-daunnya menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan pohon-pohon itu bergaung bersahut-sahutan dengan irama yang lantang, menyenandungkan kesedihan yang pekat.

Ketika orang menyentuh papan nama “Hutan Gembira”, mereka seperti menembus jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di dalamnya untuk dimuntahkan. Persis “ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di film laga .

Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum pernah ada yang bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari hutan dengan penuh tawa dan keceriaan luar biasa, selalu menjawab, bahwa kesedihan hutan itu sudah ada bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon pertama kalinya di sana. Semesta menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi satu-satunya kenapa kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini.

“Adam manusia pertama, dia punya hak khusus dan hanya satu-satunya yang boleh merasakan rasa sedih itu. Rasa itu begitu memekat di hati, anak cucunya harus membasminya.”

Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu setitik pun.

Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa satu-satunya jalan agar tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah membuat taman keriaan yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan Gembira. Semua setuju, juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya. Mereka berharap dengan taman keriaan itu rasa sakit yang bernanah di kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu yang protes.

“Kita perlu oksigen segar dan itu merusak lingkungan,” lantang teriaknya, menirukan para aktivis linkungan di televisi. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap keras kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira. Dalam dua-tiga jam, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa.

Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat senja, padahal terik matahari seperti meretakkan kepala mereka, seperti saat sakaratul maut tersenyum dan siap mencabut semua jejak nafas.

Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang tersisa. Ketika mulut buldoser hanya tinggal satu senti dari ujung pohon itu, tiba-tiba suara Kemplu keluar dengan lolongan kesedihan yang begitu pekat.

“Jangan…!” suara yang keluar bercampur isak yang sudah bertahun membatu.

Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua warga jantungnya berhenti berdetak. Kemplu, lelaki paling jagoan di desa itu melantangkan kesedihan begitu hebat. Isak tangis yang meruah tak bisa dihentikan oleh buaian perempuan berpayudara surga sekalipun.

“Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka tidak hilang bersama badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap senja. Aku berikan percakapan bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus telingaku. Aku mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki . Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu sembunyi di rongga itu, kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku. Maafkan, kesedihan ini tidak tertahankan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong , jangan ambil pohonku, hanya itu satu-satunya yang mau mendengarkanku…. Aku akan mati tanpa rongga itu….”

Suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di kerongkongannya tiba-tiba menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga itu tidak berhenti sebatas kerongkongan. Rongga itu terus membesar hingga akhirnya tubuh Kemplu meledak dan serpihan tubuhnya berhamburan. Hanya jantungnya yang tetap berdetak. Istri barunya pingsan, anak-anaknya meleleh. Hening pekat.

Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap. Sambil meyakinkan dirinya bahwa adegan itu mungkin hanya ilusi, kepala desa memungut jantung berdetak itu. Berhati-hati dimasukannya ke dalam rongga pohon terakhir itu. Begitu dimasukkan, pohon itu hidup seperti di ruang keluarga bahagia di iklan TV. Suara gelak tawa yang menggelegar, dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua warga yang mendengarnya, tahu bahwa Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya.

Sejak itu, ada yang berubah. Setiap senja, desa itu begitu riuh dengan tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka lebar-lebar. Meski angin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi penduduk desa itu tahu bahwa hati mereka akan menahannya. Mereka tahu, setiap senja jatuh, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita.

Kesedihan yang sangat bersahabat….

Ketika mereka mengenalnya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air Mata. Siapa pun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan ingin merasakan bagaimana indahnya kesedihan di taman itu bisa membeli obat perangsang kesedihan yang ditawarkan petugas penyobek tiket tanda masuk. Setiap pengunjung sebelum pulang akan menyempatkan berfoto di pohon Kemplu, demikian mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak di tebang itu. Pohon yang merindang.

Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.

Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat….

Ubud, 15-Juni-2010

Untuk lelaki-lelaki kecilku, Banyu Bening dan Langit Jingga

Written by tukang kliping

29 Agustus 2010 pada 19:36

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

47 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Saya telah membaca 2 kali tetapi kok masih belum dapat menikmatinya.

    ronald

    31 Agustus 2010 at 19:41

  2. bener-bener gak ngerti maksudnya apaan…
    ngomongin kesedihan dan kesenangan yang tidak jelas…
    terlalu banyak metafor, cerpen berkesan puisi. tapi tetep oke deh karena udah masuk kompas… karena betapa sulitnya masuk kompas.
    NB: tumben nih gada senior-senior yang komen… pada kemana nih…?

    encep aray

    31 Agustus 2010 at 20:24

  3. belum…..:)

    pwnp98

    31 Agustus 2010 at 20:47

  4. Berat!
    Ah, ini gara2 dangkalnya daya serapku…
    Ada yg berkenan mengulasnya enggak ya? 🙂

    Eko Wahyudi S

    31 Agustus 2010 at 23:07

  5. oh, cerpen seperti ini yang layak dimuat kompas …. yang tak bisa dipahami orang awam. Saya sudah baca sampai selesai. Tapi, mungkin daya nalar saya yang kurang baik. Makanya saya tak bisa nyimak.
    A. Tolong, kasih tahu saya cerpen ini masuk karya sastra atau bukan. Terus segera anda buat koment lagi biar rame.
    Selamat juga buat pengarangnya yang karyanya bisa masuk kompas.

    YS

    1 September 2010 at 04:19

    • Saya tdk yakin komen ini dibuat oleh Bu Yatti yg asli, tapi seblm ada konfirmasi dr ybs, saya anggap ini benar2 tulisan beliau.

      Bu, saya tdk pernah dan tdk akan menjadi ahli sastra, dan saya berkomentar di sini tdk untuk menjadikan blog ini rame.
      Org2 yg dari dulu sibuk memojokkan dan memfitnah saya itulah yg paling mengerti sastra dan membuat blog ini rame, bukan saya.

      A

      1 September 2010 at 08:39

  6. A. Ini saya akui benar tulisan saya, mohon maaf kalau tidak berkenan di hati. Terus terang saya menunggu komen-komen anda itu bukan apa-apa, cuma karena saya suka membacanya. Dan saya juga tidak menganggap anda yang bikin rame blog ini. Mohon maaf dan saya katakan sekali lag saya suka komen-komen anda.

    YS

    1 September 2010 at 10:37

    • Terima kasih sdh mengkonfirmasi Bu. Mohon maaf jg sebelumnya kl agak meragukan komen anda, maklum di blog ini banyak yg suka mengganda2kan nickname spt yg bs anda lihat sendiri pada komen 1 September 2010 jam 9:17.

      Nanti kl sdh agak lama mengikuti blog ini anda bisa lihat sendiri siapa ‘biang kerok’ sebenarnya 🙂

      A

      1 September 2010 at 12:26

  7. Seperti cerpen Novia sebelum ini (lelaki yang membelah bulan, cerpen beliau memang liris… benar-benar sulit dibaca dengan ‘kasat mata’. bahasa dan imajinasina benar-benar melangit meski gak liar-liar amat. dan jujur… tak ada bekas setelah membacanya. tapi tentu saja cerpen ini layak diapresiasi. Sudah masuk kompas… tentu cerpen ini tidak kosong! dan lagi-lagi–semoga cerpen saya bisa menyusul nangkring di blog ini.

    mashdar z

    1 September 2010 at 10:51

  8. Jujur saya tidak mengerti, dan bahasanya pun sulit untuk di pahami

    moh. khaerul imam

    1 September 2010 at 12:19

  9. mungkin krn apresiasi saya yg rendah, saya kurang memahami cerita ini. Meskipun saya bisa mengambil kesimpulan cerita ini tentang sebuah tiran, dimana kesedihan tdk boleh ditampakkan. Orang2 hrs pura2 bahagia meskipun sebenarnya berduka. Tp saya tetap salut dg cerpen ini. trims.

    RIZAK

    1 September 2010 at 12:37

  10. Seperti minum kopi. Bukan pada tegukkan pertama bisa menikmati” Rasa” kopi. Bukan dari ruap yang nyangkut di hidung. Rasa kopi bisa terasa dan menyatu di lidah bila berulangkali tersesap. Membaca cerpen ini saya rasa seperti itu, banyak turunan, naikkan dan juga beberapa kelok agar sampai pada tujuan.Kelokan yang kadang membuat berpikir kemana arah berbelok.(Aha udah liyer nih mata)

    ge

    1 September 2010 at 13:25

  11. gak ngerti inih cerpen , hho !

    iyuz

    1 September 2010 at 13:27

    • Cerpen ini berbobot.
      Masa gak bisa menerjemahkannya.
      Salut buat Redaktur KOMPAS, tak heran anda terpilih menjadi redaktur.
      Anda begitu jeli.
      Karena cerpen ini sesungguhnya sangat berisi.

      Rozzi narayan

      2 September 2010 at 01:10

  12. Cerpen puitis, karena puitis, yang bisa mengerti cerpen ini cuma yang paham dengan bahasa puitis.

    kutusaiber

    2 September 2010 at 10:05

  13. Luar biasa! Akhirnya menemukan satu lagi cerpen surealis yang kuat … Menyentuh!
    Tentu saja dalam cerpen seperti ini kesan, impresi adalah hal pertama yang begitu kuat menyeruak. Tentang maknanya saya tentu saja meraba, dan tentu boleh salah menafsirkan makna asli dari sang penulis. Bukankah dalam cerpen realis saja kita tidak selalu harus berpendapat sejajar dengan penulis. Bukankah katanya penulis mati setelah karyanya tertulis, dan ranah berikutnya adalah ranah pembaca dan segala impresi, interpretasi, leburnya berdasar referensi dan preferensinya atas karya yang dibacanya.
    Tapi jujur saya merasakan sekali kesan sepi itu, kesan sakit yang ditahan, rasa miris seperti begitu ingin menangis, tapi tidak boleh, tidak bisa. Dan usaha sekali lagi untuk berjuang menangis dan sedih. Amazing! Selesai membaca, rasanya saya menemukan kata di benak saya begitu kuat, vivacious!

    gide buono

    3 September 2010 at 13:02

    • Saya seperti melihat sebuah danau, seorang gadis yang duduk di tepinya, waktu itu sore berwarna kuning dan hijau, beberapa balok kayu, daun-daun yang gugur. gadis itu melemparkan batu-batu di tangannya, hendak menangis justru tidak bisa karena terlalu sakit.

      gide buono

      3 September 2010 at 13:07

  14. suka… bagus cerpennya. setuju sm komen yg lain, yg mau disampaikan ga scara gamblang ditampilkan.
    kl cerpen ini mengisah tentang kesedihan, mungkin ngebacanya juga harus pke prasaan..
    ko ga ada ilustrasinya y?

    kunto

    3 September 2010 at 13:50

  15. terima kasih untuk para pembaca Rongga.Semoga semua mahluk berbahagia.Omshanti.

    Noviana Kusumawardhani

    3 September 2010 at 16:22

  16. mbak novi, cerpennya bagus. menurutq imajinasi yang luar biasa, agak terasa ‘liar’, maksud sy makna yg terkandung bs sedalam itu hingga para pembaca sendiri tak mampu merogohnya, bahkan saya sendiri masih remang-remang menangkap makna dari cerpen ini. Terkadang hanya penulisnya sendirilah yg tahu makna cerpen itu. Saya sendiri pernah mencoba membuat cerpen model begini, lebih rumit, tp entahlah kalau mbak Novi.. 🙂

    Puteri

    3 September 2010 at 20:58

  17. Padahal udah era reformasi, kok masih ada tiran? Zaman kini, mau nangis ya nangis aja. Gak ada yang bisa ngelarang. Kalo ada yang menghujat didiamkan saja, kalo perlu balas hujat. Coz udah bukan orde baru lagi yang menyampaikan perasaan aja ditentang dan ditangkapi.

    Indonesia people

    4 September 2010 at 08:29

  18. Salam hangat selalu.
    Memang sedikit sukar menterjemahkan bahasa verbal seperti goresan cerpen diatas. Tentu saja saya harus terisolir guna menjamah kekuatan verbal menjadi kekuatan visual dalam benak saya. Saya pernah membuat cerpen imajis macam ini, tapi ini lebih kuat imajisnya. Pembaca budiman yang kurang peka anologi pemahamannya, pasti akan terkapar saat membaca cerpen di atas. Saya bisa membaca benaman nilai moralitinya. Ada bermacam versi yang membentuk satu kesatuan utuh.
    Jadi : ‘Janganlah engkau bersedih saat orang di sekitarmu merasa senang, dan janganlah engkau senang saat orang di sekitarmu bersedih’. Sukses berkarya selalu.

    Tova Zen

    4 September 2010 at 15:52

  19. Great. Kontemplasinya berdarah-darah. Salut. Tp semoga tidak sedang bersedih saat menulisnya. Salam.

    Trudonahu Abdurrahman Raffles

    4 September 2010 at 22:35

  20. surealis, semakin jelas jalan yang ditempuh oleh novia, sy kagum karena ia bukan “safety player” (maaf, sy menyebutnya demikian)

    ewing

    4 September 2010 at 22:58

  21. gila bagus banget, cerpen ini dengan bahasanya lancar dan indah mampu mengungkap sebuah imagi bermakna menjadi terang benderang…..

    R Arumbinang

    5 September 2010 at 07:23

  22. Secara pribadi, ada kesan yang mendalam saat saya selesai membaca cerpen ini. Yang saya tangkap sih, mbak Noviana berusaha untuk memberi tahu bahwa emosi negatif itu sesuatu yang niscaya dalam hidup, dan bersamanya pula, emosi positif bisa ada dan terasa lebih berharga. Tapi itu pemaknaan subjektif saya aja lhoo, masih awam nih, hehehe…

    Cerpen yang bagus!

    pria bimantara

    5 September 2010 at 22:42

  23. cerpen kayag gini koq di bilang ga ngerti?…ini cerpen bagus bangetttt….saya suka sekali dgn cerita gaya seperti ini…Luarrr biasa….imajinasi plus cerita yg bermakna…Bagus Bangettt…

    Sari

    6 September 2010 at 20:54

  24. bagus….

    Rekia

    8 September 2010 at 15:01

  25. keren

    geg ary

    10 September 2010 at 21:00

  26. Hebat. Salut. Tetap berkarya ya Mbak.

    Trudonahu Abdurrahman Raffles

    11 September 2010 at 08:21

  27. Salut buat kompas yang punya pakem khusus dalam pemuatan cerpen yang harus diikuti semua cerpenis baik yang kawakan ataupun pemula. Sebuah media yang mengikat si penulis untuk menari ikuti irama bakunya.

    bujira

    14 September 2010 at 23:50

  28. […] Posted September 17, 2010 by lailanurlaila in CERPEN. Ditandai:BELAJAR MENBACA CERPEN. Tinggalkan sebuah Komentar Di Copy Dari Blog CerpenKompas […]

    Rongga « Lailanurlaila's Blog

    17 September 2010 at 10:02

    • Sulit sekali bahasanya, susah nangkap nih om 😀 ckckck padahal buat tugas saya disuruh buat laporan cerpen, bacanya aja gak ngerti maksudnya. kebetulan dapet yang ROngga ini-_- yawes batalin aja deh

      Farixsantips

      25 September 2011 at 18:59

  29. cerpen yang bagus, bagus untuk dikritik atau di puji…

    cepren ini bagaikan sebuah kehidupan dunia hayal, yang benar-benar khayalan.

    tapi semua penulis smua bagus…
    karena sudah sangat hebat menahan cobaan dalam menulis. tenaga, waktu, ppikiran semua ia kerahkan untuk menulis demi menembus media masa…

    ubab

    19 September 2010 at 01:54

  30. saya suka cerpen seperti ini 🙂

    Yessi

    19 September 2010 at 15:11

  31. kerennn…

    rudi

    2 Oktober 2010 at 22:04

  32. Sangat menyukai cerpen ini. Menampilkan banyak rasa yang dikemas tidak biasa. Cool…

    dyah eka puspitasari

    3 Oktober 2010 at 08:27

  33. yg tidak bisa,,sangat menyentuh

    devo

    4 Oktober 2010 at 12:43

  34. Saya setuju dengan Tova Zen. Meskipun saya awam di bidang sastra, tapi saya mengerti makna yang tersirat dari cerpen ini. Karya yang indah.

    maulanadanny

    19 Oktober 2010 at 09:27

  35. cerpen ini hebat. menlahirkan pesan moral dibalik daya imagi yang nyaris sempurna..

    saya kagum bagaimana pesan penjagaan alam bisa dikemas dibalik rongga, pun dengan pesan untuk jujur dengan diri sendiri untuk tak menganggap bahwa air mata dan kesedihan bukan sebuah kebodohan, karena keduannya adalah fitrah sang manusia. hebat.

    budiman sukma

    22 Oktober 2010 at 10:16

  36. Keren_
    Begitu dalam_
    Mengalir tanpa jeda_

    mohaemeen

    14 Januari 2011 at 16:02

  37. kok anaknya meleleh?

    silla

    27 Januari 2011 at 05:51

  38. komen2 awal bnyk yg ga suka ga ngerti, syukurlah, kebawah2ny lmyn brbalik. Tadinya sy pikir sy aja yg kurang waras. Woi yg komen dibagian atas, ini cerpen kan bagus, gimana sih..

    Juno

    17 Februari 2011 at 16:16

  39. sedih itu adalah kebutuhan sebagaimana halnya kegembiraan.itulah hidup. lagi belajar baca cerpen. saya kira cerpen hanya untuk menyenangkan hati dan bisa tertawa. tetapi banyak misteri didalamnya…..great

    robay

    14 Maret 2011 at 21:32

  40. Sulit sekali bahasanya, susah nangkap nih om 😀 ckckck padahal buat tugas saya disuruh buat laporan cerpen, bacanya aja gak ngerti maksudnya. kebetulan dapet yang ROngga ini-_- yawes batalin aja deeh

    Farixsantips

    25 September 2011 at 19:00

  41. jelek,, membingungkan n tdk meningglkn kesan.. Berulang kali kata rongga diulang2 pd kalimat yg membingungkan. Sprti omong kosong yg sgt2 tdk bisa dcerna akal… Leher berlubang,gmana critanya?? Please dech,apa gk ada ide lain? Sekujur tubuh jd gatal2 ato apa gtu yg gk trlalu aneh bgt, bisa gk?!

    draco

    29 Oktober 2012 at 07:02

  42. Bagus…..

    Susana Ariyanti

    18 Januari 2014 at 11:34


Tinggalkan Balasan ke R Arumbinang Batalkan balasan