Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Perempuan dalam Baju Zirah

with 69 comments


Semua hampir sama seperti dulu sebelum kau pergi ke Cina untuk menghadiri Kongres Perempuan Internasional itu. Kepergian yang tanpa meninggalkan pesan apa pun dan membuatku menunggu dalam pertanyaan sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga aku paham, kenapa beberapa hari sebelum pergi, kau selalu memandangku dalam dengan raut wajah muram. Kau sebenarnya tak tahu pasti, kapan akan kembali.

Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Namun saat ini waktu gagal mengurai kepedihanku padamu. Malah membuatku berkhianat pada janji untuk tidak menemuimu lagi sampai mati. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahmu sedekat sekarang. Walau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah bisa kulupakan.

Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke belasan tahun lalu, sewaktu penguasa paling lama di negeri ini jatuh. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku sudi lagi turun ke jalan berurusan dengan tongkat pemukul dan sepatu laras yang membuat pinggangku memar berhari-hari. Waktu itu kau juga mengurusi pinggangku. Sempat malu juga aku diuruti olehmu dengan setengah telanjang di antara kawan lain menyoraki kita di markas polisi. Untungnya hanya 24 jam kita diinterogasi. Mereka belum punya cukup alasan menahan lebih lama.

Mungkin lebih tepatnya telah pusing mengurusi kita. Mereja seolah dipekerjakan dalam kantornya sendiri. Direpotkan dengan mengurusi makan minum kita. Sudah begitu masih ditambah mendengarkan omongan sekenanya pula. Menambah pekerjaan bila saja menahan lama-lama mungkin pikir mereka.

Setelah peristiwa itu kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang!

Kadang aku menerka-nerka, betulkan kau waktu itu bicara atas nama orang-orang kalah, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lali dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi. Kau seperti Yeni Rosa Damayanti, anak tentara yang menolak jika penderitaannya dalam penjara terlalu dibesarkan dan mengaku malu pada kawan lain yang telah menyerahkan nyawa untuk perjuangan ini.

“Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa sekarang ini adalah abad perempuan. Juga berusaha dengan cara apa pun agar kami tidak hanya dipandang seperti sekerat daging,” katamu dengan nada tinggi.

Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.

Kau memang tipe perempuan yang mengandalkan mulut besar. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu.

Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita tentang seorang Nadine Gordimer, perempuan kulit putih pemenang Nobel Sastra dari negara Nelson Mandela, yang gelisah melihat ketidakadilan kaumnya pada penduduk asli Afrika Selatan. Dia menghantam apartheid dalam novel-novelnya sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah malam karena pengerebekan keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya tidak ia alami bila hanya menulis novel biasa tanpa menyinggung apartheid.

Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah menyusuri perkampungan dan gang kumuh kota ini untuk membagi-bagikan kondom gratis. Hal yang membuat para pekerja seks dan preman di sekitar kawasan Stasiun Tugu dan Malioboro akrab menyapamu mbak kondom. Sering kali mereka berani tanpa sungkan menggodamu dengan anekdot jorok sebab tahu kau pasti tak akan marah.

Pada awalnya mereka memang penuh curiga padamu dan memperlakukan mu dengan kurang baik. Ada yang menyindir, bahkan sontak mengungkapkan keberatan atas kedatanganmu. Lebih jauh lagi, sempat kau juga mengalami pelecehan di kawasan ini. Namun, pada akhirnya mereka luluh juga dengan semangat pantang menyerahmu. Lagi pula kau memang tulus pada orang semacam mereka. Rasanya tidak sulit bagi orang-orang di sana menyadari bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati.

Beberapa pengalaman mereka sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di pinggiran pantai berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang dijual ibunya, atau bagaiman cara perempuan di sana yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.

“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu memukauku di sela suara gemuruh ombak Parangtritis menjelang gelap.

“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang memngungkapkannya, ‘Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali.

Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah kau terlihat begitu indah. Entah kenapa aku suka saat engkau bicara tentant Tagore sampai tentang seorang Umbu Landu Paranggi, sastrawan yang menggauli setiap sudut di Malioboro dan membikin sekelompok pedagang kaki lima, gali, dan tentu saja seniman jalanannya akrab pada puisi. Katamu, dia memang pantas disebut presiden Maliioboro. Apa yang ia lakukan mirip karakter Robin Williams dalam film Dead Poet Society, seorang guru yang membuat murid-muridnya menggilai puisi.

Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra akan membaca karya-karyanya dalam Disebabkan oleh Angin. Kau tuding tokoh ini menjual idealismenya dan berpihak pada golongan kaya karena harga tiket yang melambung, di luar jangkauan mahasiswa kere macam kita ini. Aku tahu pasti, sebenarnya itu adalah akal-akalanmu saja yang sedang bokek namun memaksakan diri untuk menonton.

Aku heran kenap masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentant Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibir kita. Mungkin kau membayangkan saat itu serasa bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.

“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarmu sambil melempar botol dari tanganmu ke tengah laut.

Sekarang, setelah belasan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.

Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di luar Jawa sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Mesti banyak hal kau lakukan di sana.

“Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita.

Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam benaknya sendiri. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnta kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu.

“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan Walhi mengundangku menjadi pembicara mengenai eksploitasi alam di Borneo. Kupikir, sepertinya ada sesuatu yang belum selesai denganmu, setelah tahu kau ada di Bandung, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Jakarta,” perlahan sekali kau bertutur.

Kita terdiam lagi beberapa waktu. Belum sempat kukatakan sesuatu, kau menyambung lagi kalimatmu.

“Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud srta membaca kitab suci, belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang membawaku kemari. Jadi, maukan kau memaafkanku?”

Ya ampun. Alangkah hebatnya perempuan ini. Untuk kesekian kalinya ia mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa mengindahkan beberapa pasangan yang juga sedang berdua di pantai itu, kugenggam tangannya dan berbisik dekat sekali di telinganya, seharusnya aku yang pertama memaafkanmu, bukan menunggumu untuk mengatakannya.

Cianjur, 5 April 2010.

Written by tukang kliping

11 Juli 2010 pada 12:16

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

69 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Hmmmm

    Somad...

    11 Juli 2010 at 13:34

  2. cerpen yang bagus sekali. eh Btw, saya yang kurang teliti atau nama penulis cerpen ini emang gak tercantum ya? atau nama penulisnya Trudonahu Abdurrahman Raffles? trims

    inung gunarba

    11 Juli 2010 at 15:29

  3. Maaf, saya kurang suka dengan cerpen ini. Ceritanya terlalu diberat-beratkan, antar bagian cerita tak nyambung dengan ending yang cukup buruk. Membawa nama-nama tokoh dalam cerpen ini, juga terasa janggal. Sehingga, saat cerpen ini berakhir, saya berkesimpulan apa sih isi cerpen ini?

    Bamby Cahyadi

    11 Juli 2010 at 20:09

  4. betul mas Inung, penulisnya saya sendiri. Atau nama pena saya: Donni Gintan.

    Trudonahu Abdurrahman Raffles

    11 Juli 2010 at 20:13

  5. Terima kasih untuk apresiasi anda, mas Bamby. jika boleh tau, apanya yang tak nyambung? btw, saya ingin sekali melihat karya2 anda. tentunya sangat bagus?

    Trudonahu Abdurrahman Raffles

    11 Juli 2010 at 20:17

    • ya …saya juga setuju dgn anda.kebanyakan orang hanya bilang gak baguslah,kurang baguslah…”dasar orang kebanyakan…”

      al_BKT

      27 April 2011 at 15:55

  6. saya suka cerpen ini, ,

    namuuunn ada beberapa yang janggal nampaknya, ,
    *berlatarkan budaya cina namun beragama islam, ,
    apa saya yang kurang teliti yaaa

    intan paramarti

    11 Juli 2010 at 21:25

  7. @intan. kok budaya cina? settingnya kan di indonesia…

    Lia

    11 Juli 2010 at 22:25

  8. redaktur Kompas lagi kena penyakit apa sih?

    C

    11 Juli 2010 at 23:06

  9. muat cerpen beberapa bulan terakhir kok hanya satu dua aja yang beres 😦

    C

    11 Juli 2010 at 23:07

    • saya tidak paham dengan komentar saudara yang maaf terdengar “BODOH” dan saya juga mau tak mau jadi penasaran dengan karya anda sendiri Mr/Mrs “c”…

      nofen

      6 Oktober 2010 at 18:53

  10. @lia : maaf kurang teliti,, ,waktu itu keburu” mbaca nyaaa ^^
    tapi aku suka banget ma cerpen iniii 🙂
    dua jempol buat yang nulis

    intan paramarti

    12 Juli 2010 at 08:12

  11. Bagus 🙂
    Pesan yg ingin disampaikan cukup baik dan, kebalikan dgn pendapat Bung Bamby, buat saya cerpen ini rasanya justru ringan dibaca.

    A

    12 Juli 2010 at 08:43

  12. yeah, aku stuju dg bung bamby, & bbrp kawan di diskusi pendek fb itu… cerita ini diberat-beratkan & dimegah-megahkan dg kutipan + nama tokoh2,, mungkin bisa mengingatkan pada cerita2 Pak Triyanto di Mangkuk Nabi yg terkesan ngalor ngidul pake banyak tmpt2 asing itu. cuma, Pak Triyanto bener2 berhasil dlm sistem bahasanya, yg ini diksinya standar.

    sprtinya kompas sdang melakukan eksperimen.

    S. Raga

    12 Juli 2010 at 09:14

  13. kelaborasi budaya. asyik…

    sule subaweh

    12 Juli 2010 at 09:42

  14. saya malah gak selesai baca cerpen ini, melelahkan, terlalu banyak penjelasan, saya seolah mengejar(mencari2)konflik dalam cerpen ini dan gak ktemu2.padahal dari cara pemaparan, diksi dsb gak buruk. whatever… selamat lah buat penulisnya, sudah dimuat di kompas.

    mashdar

    12 Juli 2010 at 11:11

  15. @ Trudonahu: sebelumnya mohon maaf kiranya, apabila komentar saya itu kurang berkenan. Namun, sebagai pembaca (juga penulis), saya rasa perlu budaya kritik. Karena memang kecenderungan sastra Indonesia, adalah pada sastra koran sehingga koran menjadi barometernya (mau gak mau harus diakui) begitulah hegemoni yang terjadi. Berhubung, Kompas salah satu barometernya, maka mungkin, yang terbaiklah yang dimuat di Kompas.

    Saya katakan cerpen ini diberat-beratkan ya mungkin benar adanya, karena temanya khan cukup sederhana seorang perempuan aktivis dengan segala macam idealismenya, pergi lalu kembali ke sang aku dalam cerpen ini. Namun, saya cukup geli dengan ending cerita dari keselurahan alur yang dibangun dari awal cerita.

    Mungkin juga, sebenarnya idealisme anda sebagai penulis yang hendak dituangkan dalam cerpen ini, tapi hal itu menjadi mubazir, karena saya (pribadi) menangkapnya bukan sebagai cerpen yang cukup enak untuk dinikmati.

    Kiranya begitu, salam kenal, semoga kita bisa saling mengisi dan melengkapi sastra (cerpen) Indonesia. Bravo!

    Bamby Cahyadi

    12 Juli 2010 at 11:33

  16. tema ceritanya, menurutku, biasa. bosan juga dengan tema yang ini-ini saja dengan eksplorasi narasi yang itu-itu juga.

    —-selamat deh buat penulisnya, udah masuk Kompas sudah hebat!

    ruangrinduceritaku

    12 Juli 2010 at 11:52

  17. saya suka dengan ceritanya…

    Nona

    12 Juli 2010 at 16:25

  18. Saya tidak membaca cerpen ini sampai selesai. Melelahkan… Tampaknya seperti membaca artikel koran. Walaupun batas antara ruang seni dan berita semakin tipis, tapi saya rasa batas itu tetap ada, dan itu yang membuat seni punya ruang bergeraknya sendiri. Dan membaca ini seperti membaca opini KOMPAS, setidaknya jejalan namanya dan peristiwa, daripada cerpen KOMPAS.

    gide buono

    12 Juli 2010 at 17:18

  19. sbg pembaca, sy tentu juga punya penilaian terhadap cerpen ini. Cerpen ini sesungguhnya sederhana, tetapi penulisnya berhasil membangun alur cerita secara konsisten dan berhasil menjaga irama penceritaannya dengan bahasanya yg apik sampai selesai.

    Dunia sastra kita baru mempunyai cerpenis, novelis, penyair dan penikmat serta pembaca. Belum ada seorang kritikus sastra. Dengan tdk adanya kritikus sastra secara profesional di dunia sastra kita, maka setiap pembaca karya sastra (cerpen) mempunyai hak untuk mengkritik suatu karya sastra. Resiko dr semua ini, maka kritik terhdp suatu karya yg terjadi akan cenderung subyektip dan hanya didasarkan pada selera pembaca.Ini realitas dunia sastra kita saat ini.

    R Arumbinang

    12 Juli 2010 at 20:10

  20. @ R Arumbinang: Dan tentu selera redakturnya. Tapi persoalan selera adalah sebuah kenyataan dalam dunia sastra di semua belahan dunia. Apresiasi (baik dalam bentuk pujian dan kritik) adalah perlu, karena bahasa adalah benda yang bergerak, dinamis. Kalau toh, akhirnya karya menjadi persoalan selera, yaitu tadi, karena hegemoni sastra Koran. Minimnya Jurnal Sastra, medium sastra lainnya, tentu tidak akan melahirkan seorang kritikus sastra yang kompeten, yang banyak adalah para komentator saja (Hehehe… mungkin yang kayak saya ini adalah komentator)

    Bamby Cahyadi

    12 Juli 2010 at 22:32

  21. @mas Bamby, saya telah sangat terbiasa kok dengan diskursus sejak hampir 20 tahun lalu semasa di Jogja. Jd santai aja. Cerpen ini sebetulnya lahir sekitar tahun 95-98. Dan beberapa peristiwanya memang saya alami sendiri, seperti saat pementasan alm Rendra di Bulaksumur misalnya. Kemudian nuansa gerakan mahasiswa serta karnaval tokoh disitu memang secara paradigmatik saya rasakan sendiri saat itu. Nyaris true story, kok. Sama sekali tidak bermaksud membesar-besarkan. Btw,terima kasih atas sambutannya dalam dunia sastra. Semoga membuat saya jauh lebih baik dalam pembelajaran menulis.

    Trudonahu Abdurrahman Raffles

    13 Juli 2010 at 06:01

  22. Ngomong-ngomong tentang selera dan subjektivitas, aku mau ikutan nimbrung ah. 🙂

    Aku membiasakan membaca sebuah cerpen sampai tuntas, karena bagaimana mungkin aku bisa mengatakan cerpen itu bagus atau tidak, membawa pesan/misi apa, dan sebagainya; jika membacanya saja tidak selesai?

    Bagiku tidak masalah sebuah cerpen membawa-bawa data, fakta, bahkan nama dan kota secara jelas. Apa bedanya? Novel “Jazz, Parfum, dan Insiden”-nya SGA dalam “Trilogi Insiden” pemberian seorang teman beberapa waktu lalu jelas-jelas memuat keempatnya. Apanya yang salah?

    Di atas semua itu, aku lebih menyukai cerpen realis yang tampak nyata di depan mata dan (sangat mungkin) ada di sekitarku, dan atau cerpen kearifan lokal yang membuatku lebih mengenal dan menghargai keragaman budaya tanah air. Karena dalam batas-batas kefiksiannya, dongeng-dongeng itu memang ada dan berkembang dalam masyarakat kita di berbagai daerah.

    Mewakili genre realis itu, bolehlah kusebut nama Putu Wijaya dengan realis-simbolis spontannya (ini istilahku saja), atau A.A. Navis, Benny Arnas dan–belakangan, Guntur Alam, untuk genre yang mengangkat lokalitas.

    Tentang cerpen Kompas di atas, menurut seleraku masih jauh lebih layak dibaca daripada cerpen “Ereksi” (Bamby Cahyadi), misalnya, yang pernah kubaca. Cerpen “Ereksi” adalah contoh sebuah karya yang gagal total dalam sudut pandangku, karena setelah sampai ending pikiranku justru disesaki aroma cabul. Aku tidak habis pikir, untuk apa menulis cerita seperti karya-karya Marga T itu???

    Sebagai seorang muslim, aku yakin sepenuhnya, apapun yang kita perbuat, termasuk aktivitas menulis di dalamnya, pasti akan dimintai pertanggung-jawaban kelak. Hmm…

    Di lain pihak, aku juga kurang menyukai cerpen-cerpen bergaya surealis. Mengkhayal abis, alias mustahil. Ending cerpen Sungging Raga yang terpilih dalam Cerpen Kompas Pilihan 2009 juga termasuk ending yang tidak kusukai.

    Aku menikmati sebuah karya sastra lebih dari sekadar melampiaskan dahaga membaca, tapi juga mencari sesuatu yang berharga yang ditawarkan penulisnya untuk memperkaya jiwa.

    Salam.

    Setta SS

    13 Juli 2010 at 07:34

    • saya setuju dan suka dengan komentar yang satu ini, hahahahaha…

      salam kenal mas 🙂

      nofen

      6 Oktober 2010 at 19:15

  23. Wowh… Si Lakonhidup komentar nie.
    Haha…
    Ga’ papa, dengan begini kita akan bisa menjadi lebih baik. Komentar-komentar Pedas seperti beberapa rekan-rekan di atas dapat menjadi Motivasi Negatif yang sangat ampuh untuk kemajuan kita sesama penulis.
    Lanjutkan.

    Somad...

    13 Juli 2010 at 08:40

  24. Sebuah diskusi yg menarik dan bermutu dr rekan Arumbinang, Bung Donni, Bung Bamby dan Bung Setta.

    Tiap kali menyimak kolom komentar di blog ini beserta segala pro-kontranya, saya pikir semuanya kembali lagi ke masalah selera bila kita menilai sebuah karya seni.

    Dua jempol buat redaktur Kompas yg sejak awal tahun ini terasa ada perubahan.
    Kompas kini mulai berani mengangkat ‘selera alternatif’ yg mungkin berada di luar jalur ‘selera mainstream’ yang selama ini mendominasi sastra koran Indonesia.
    Keragaman inilah yg saya yakini bisa makin memajukan dunia sastra kita.

    A

    13 Juli 2010 at 08:49

  25. tapi juri/kritikus yg baik tentu seleranya adalah yg seharusnya,dan sepertinya di luar sana lebih sering melakukan hal ini drpada di negeri kita ini.
    Saya senang dgn diskusi yg membangun.

    Ran Pasnim

    13 Juli 2010 at 12:30

  26. belum baca jadi belum tau isinya apa?? yang kasih koment makin hari makin banyak.wah bisa2 ni kita ngegrup aja sekalian

    dewi ma'rufah

    13 Juli 2010 at 15:27

  27. @dewi, ide bagus. Kalo ada grup fb-nya bisa dishare. Lumayan buat nambah elmu.

    Semendo

    13 Juli 2010 at 16:51

  28. Rafles, selamat ya.
    ada tulisan yg ktnya menghasilkan pahala bg penulisnya tp tulisan lain menghasilkan dosa, ayo bgm?
    gak nyambung dg cerpen di atas,…..

    Han Gagas

    14 Juli 2010 at 15:06

  29. menulis tak ubahnya berkata, smoga kita bisa menulis(berkata) sesuatu yang bermanfaat, menginspirasi (postif) pembaca. Jaya selalu sastra indonesia, karena tanpa sastra tak ada ibarat. Bukankah dengan ‘ibarat’ banyak hal menjadi lebih mudah untuk kita pahami? Jaya selalu sastra indonesia!!!!

    mashdar

    14 Juli 2010 at 17:26

  30. Mengkritik boleh saja tapi harus yg santun ya kawan, pedas kan bumbu. Boleh juga kita mengaca diri (ngaca kualitas karya kita sendiri!) sebelum mengkritik pedas karya org lain, hehehhe, ayo siapa yg kena sintilanku ini?!!!
    kelebihan, kekurangan, dan solusi atau masukan, itulah 3 unsur kritik yg baik, lg2 ini menurutku, tdk hanya klaim ini gagal, baik, jelek, uhhh, apaan tuh, wkwkwkwkkwkw, ehehhehehh, hahahhahah

    Han Gagas

    15 Juli 2010 at 14:39

  31. sentilanku bukan untuk Setta, si lakon hidup yg telah membawa manfaat bagi saya dan mungkin anda. tapi untuk… yg tak pernah memberi manfaat bg saya dan mungkin anda kecuali hanya ludahan kata2!

    Han Gagas

    15 Juli 2010 at 14:42

    • Masih ada aja orang macem ini. Sebagai seorang sastrawan, dua komentar anda di atas ini sangat naif sekali bung!

      Aureliano

      29 Agustus 2010 at 17:30

  32. let’s criticize the message not the messenger,

    saya pikir tak perlu membuat karya hebat untuk menjadi kritikus yang baik, ia punya peran yang berbeda di dunia sastra

    tukang kliping

    15 Juli 2010 at 17:25

  33. Mudah-mudahan minggu depan, diskusi di sini makin, asyik.

    Bamby Cahyadi

    15 Juli 2010 at 19:07

  34. Wah…cerpen ini sukses besar dalam menggiring pembaca pada perdebatan seru…Tapi gagal dalam menggiring pembaca ke dalam ruang imajinasi penulis. Apapun penilaian kita tentang sebuah karya sastra semuanya sah! Yang tidak sah itu adalah “memaksakan” selera pada orang lain. Orang berhasil masuk dalam ruang imajinasi penulis cerpen di atas akan menilai cerpen itu bagus, tetapi bagi mereka yang gagal masuk ke ruang imajinasi penulis, yah pasti akan menganggap cerpen di atas sangat menjenuhkan. Anda termasuk yang mana, itu juga sah!

    Yohanes Jehabut

    16 Juli 2010 at 01:37

  35. wah, tulisan dari Yohanes Lehabut ini yg paling aku terima

    Han Gagas

    16 Juli 2010 at 10:06

  36. ‘Karya Seni’ merupakan bentuk nominal, sebagaimana dg selera kita dalam menikmatinya…
    Perdebatan ttg sebuah karya seni hampir dipastikan selalu ada…
    Jayalah pekarya seni, yg telah berani ‘hidup’ !

    Pwnp98

    16 Juli 2010 at 18:53

  37. Perbedaan pndapat itu biasa slama masih dlm koridornya. Namun memang lebih bagus,seperti yg dkatakan mas Han, jika mengkritik cerpen Kompas padahal karya sendiri blum dimuat di Kompas.

    Hatare

    17 Juli 2010 at 13:10

  38. @hatare:

    Tidak tepat rasanya argumen itu dilontarkan, kita menilai kritikus dari kritiknya bukan karyanya yang lain, dalam hal ini cerpen.

    Analogi argumen Anda adalah kritikus film lebih bagus jika ia telah menghasilkan film box office atau mendapat oscar. Kritik Martin Scorsese tidak lebih baik dari Anthony Lane.

    tukang kliping

    17 Juli 2010 at 13:28

  39. sedang dalam ruang pameran lukisan, memandang lukisan yang beraneka rupa, dan ada lukisan yang harus saya pandangi berlama-lama guna menemukan keindahannya…

    ewing

    18 Juli 2010 at 14:58

  40. @ Hatare: pernyataanmu, membuat nilai karya cerpen di luar medium sastra koran kompas menjadi tidak berarti. Persoalan cerpen dimuat atau belum dimuatnya di kompas bukan masalah pada karya (kualitas), tapi pada masalah “keberuntungan” semata. Itu soal waktu saja.

    Ada beberapa cerpenis yang besar dan terus menulis sampai kini, mereka harus menunggu 10 tahun bahkan ada yang 12 tahun untuk masuk Kompas. Saya sendiri sejak 2008 mengirim cerpen ke Kompas, hingga kini tak ada satupun cerpen saya dimuat di Kompas. Hal itu tak menyurut saya untuk tidak menulis cerpen. Tapi, walaupun karya mereka belum terdaftar dalam list cerpen Kompas, tapi karya-karya mereka berkualitas sastra (saya tak perlu menyebutkan satu-satu). Cukup baca saja, buku-buku kumcer yang ada, atau arsip-arsip di dunia maya.

    Bamby Cahyadi

    18 Juli 2010 at 16:05

  41. saya jadi inget temen dari Riau…dalam sebulan 50 (limapuluh) cerpennya dipulangi kompas. katanya, rasanya dia pengen gantung diri dan mencampakkan pena-nya. saya percaya. sebelum dia layangkan karyanya ke jakarta, di sebuah koran mingguan yg terbit di medan, seminggu 7 hingga 10 cerpen dia saya terima. cerpen-nya dahsyat-dahsyat. ketika keberuntungan sdh berpihak kepadanya, sekian tahun lalu, cerpen2nya dimuat kompas…

    saya percaya apa yang dibilang Bamby Cahyadi, bahwa keberuntungan tak bisa dipisahkan dari upaya. sebab, seringkali cerpen yg muncul di kompas, bobotnya jauh lebih buruk dari cerpen2 yang mereka retour…

    hoebartz

    18 Juli 2010 at 19:30

  42. Setuju sekali dengan apa yang diucapkan saudara Bamby. Contohnya saja cerpenis Rama dira yang katanya sudah sejak 2002 mengirimkan karyanya kepada Kompas namun selalu di tolak, hinnga 2009 barulah Ia bisa menembusnya. Padahal kalau diperhatikan, karyakarya-nya yang terbit di media lain itu : Karya Sastra yang Bagus.

    Somad...

    18 Juli 2010 at 19:54

  43. @Hatare
    Semua org, baik itu pembaca atau penulis, sdh berkarya atau belum, tentunya boleh berpendapat. Itu kan yg dinamakan apresiasi?
    Coba anda bayangkan bila anda dtg ke sebuah pameran lukisan, lalu anda ditanya oleh pelukisnya ttg sebuah karya lukisan.
    Kebetulan anda kurang suka.
    Lalu pelukisnya menjawab,”Anda sendiri bisa melukis tidak? Sudah pernah pameran berapa kali?”
    🙂

    Menilai karya seni itu sudah pasti subyektif bung, tergantung selera masing2 org. Salam. 🙂

    A

    19 Juli 2010 at 07:11

    • belum tentu

      NN

      31 Oktober 2010 at 22:38

  44. suka dengan tulisan ini…

    hafiz al asad

    21 Juli 2010 at 17:51

  45. aQ br bc cerpennya,sebenarnya cerpennya bagus,tapi saya g dpt keterngan tenteng kapan perempuan itu berangkat dan kembali dr petualangannya….Good Luck!!!

    anthon86

    2 Agustus 2010 at 10:02

  46. maaf-maaf jika saya saleh kate ya. semua silakan berpendapat. bravo.

    han gagas

    13 Agustus 2010 at 15:40

  47. mantap……….akhirnya jadi istrinya juga dong… 🙂

    bisyri

    18 Agustus 2010 at 20:49

  48. pasti ini cinta yang terpendam ya,, so sweet…
    bagus banget..

    Tyas

    21 Agustus 2010 at 21:38

  49. membaca dialog-dialog di atas, tiba-tiba saya jadi penasaran? Apakah Kompas memang menjadi puncak piramida pencapaian sastra koran Indonesia, sehingga banyak penulis yang berlomba-lomba mengirimkan naskahnya?? jika memang benar, apa parameternya?? bukankah karya-karya yang dimuat itu merupakan pilihan segelintir redaktur Kompas saja?? sama halnya dengan koran/media cetak lain kan?? Jika mekanismenya seperti itu, bagaimana bisa pilihan segelintir orang dapat menjadi barometer sastra koran Indonesia??

    Aureliano

    29 Agustus 2010 at 17:38

    • itu krn Kompas satu-satunya koran berskala nasional yang didistribusikan dan dibaca dari Sabang sampe Merauke, tdk seperti koran lain.

      jjasdi

      1 September 2010 at 05:53

    • setuju…

      nofen

      6 Oktober 2010 at 19:25

  50. oh, kalo begitu artinya baik-buruknya cerpen dinilai dari banyak-tidaknya orang yang membacanya?? secara tidak langsung, bung jjasdi menyatakan, bahwa oplah dan jangkauan penyebaran koran tersebut yang menentukan kualitas karya yang dimuat, begitu?? koq aneh ya?? kualitas karya kan semestinya dinilai dari estetika karya tersebut. atau karena cerpen tersebut sudah dimuat Kompas, serta-merta sudah menunjukkan bahwa karya tersebut bagus (setidaknya menurut redaktur kompas yang segelintir itu)? aneh sekali!!!

    Aureliano

    1 September 2010 at 18:41

    • Sepanjang pengetahuan saya bung, Kompas sendiri atau redakturnya blm pernah menyatakan diri sbg barometer tertinggi kry seni, dlm hal ini cerpen, di Indonesia.

      Yg terjadi adalah, anda bs lihat sendiri bentuk kecilnya di blog ini, sebagian pelaku dan penikmat seni di Indonesia menjadikan Kompas sbg dasar legitimasi untuk memposisikan karya2 mereka dan karya2 favorit mereka sbg “yg terbaik”.
      Dan sbg konsekuensinya “memandang ke bawah” karya2 lain yg tidak sesuai dgn selera mereka.

      A

      2 September 2010 at 10:28

  51. Memang benar Kompas atau redaktur Kompas sendiri tidak pernah menyatakan diri sbg barometer tertinggi kry seni (karena toh parameternya tidak jelas), akan tetapi citra dalam benak sekian banyak pembacanya menempatkan cerpen Kompas sebagai puncak piramida sastra koran Indonesia.
    Hal ini bisa dilihat, dalam bentuk tanggapan-tanggapan di blog ini sendiri, contohnya:
    – selamat deh buat penulisnya, udah masuk Kompas sudah hebat! (tanggapan ‘ruangrinduceritaku’ di atas)
    – selamat karena sudah menembus Kompas, itu prestasi yang bisa dibilang hebat (tanggapan ‘ruang-cerita’ untuk cerpen Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku)
    – Kompas tetap yg terbaik, berani mengajukan cerpenis yg baru beda dgn koran tempo (tanggapan efra untuk cerpen Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku)
    – selamat ya anda sering dimuat di Kompas. Saya sendiri belum bisa saja tuh, padahal karya tulis saya di tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan banyak dimuat di majalah terbitan ibukota dan harian lokal. (tanggapan YS untuk cerpen Lempuyangan Seraut Kenangan)

    Dari beberapa pendapat di atas tersirat bahwa suatu karya bisa masuk Kompas adalah pencapaian yang cukup sulit, dan oleh karenanya sangat bergengsi. Bolehlah dikatakan bahwa pendapat-pendapat tersebut tergantung selera masing-masing orang. Akan tetapi, ironisnya, hal itu juga terjadi pada para cerpenis Indonesia. Bisa dilihat sendiri dari tanggapan-tanggapan di atas, bagaimana para cerpenis itu seakan berlomba-lomba ingin tampil di Kompas, sampai-sampai “Ada beberapa cerpenis yang besar dan terus menulis sampai kini, mereka harus menunggu 10 tahun bahkan ada yang 12 tahun untuk masuk Kompas. Saya sendiri sejak 2008 mengirim cerpen ke Kompas, hingga kini tak ada satupun cerpen saya dimuat di Kompas (Bamby Cahyadi); Rama dira yang katanya sudah sejak 2002 mengirimkan karyanya kepada Kompas namun selalu di tolak, hinnga 2009 barulah Ia bisa menembusnya (tanggapan Somad)”.

    Kalau Kompas tidak dianggap sebagai puncak pencapaian mereka di sastra koran, kenapa mereka seakan-akan tetap berambisi untuk masuk Kompas?? Toh Kompas bukan satu-satunya media yang memuat sastra koran setiap minggunya. Apa motivasi para cerpenis itu?? Honorariumkah?? Karena karyanya (mungkin) akan dibaca banyak orang, dari sabang sampai Merauke seperti bung jjasdi bilang??

    Ironis! Sangat ironis!

    Aureliano

    2 September 2010 at 15:44

    • cerpen apa saja sih yang bagus menurut bang aureliano? saya jadi penasaran

      apapun motivasinya, kompetisi dipercaya meningkatkan kualitas, bukan begitu? jika anda redakturnya, pasti akan senang jika anda punya 100 cerpen yang harus dipilih ketimbang 10, misalnya

      paijo

      4 September 2010 at 08:15

  52. Maaf ya atas kometar2 saya di sini yg ternyata nyelekit dan kurang pada tempatnya.
    Mohon maaf pada yang terkait dan semuanya.
    Terima kasih, krn anda sastra indonesia makin semarak.

    Han Gagas

    3 September 2010 at 10:01

  53. ini semua hanya masalah selera.
    jika anda tanya selera saya yang gmn. saya akan menjawab. saya suka gaya bahasa Dewi Lestari. karena Tegas,tak bertele2, memberikan kita sebuah pemahaman baru dan selalu update untk semua exlporasi kata2..
    Itulah selera saya..
    untk Cerpen d atas…, hmmm, maaf saya tak begitu membacabya sampai habis.

    Iwansteep

    8 September 2010 at 14:07

  54. […] PEREMPUAN DALAM BAJU ZIARAH Di copy dari blog cerpen compas […]

  55. ciNnNn…..
    crTA nA GO0d ABiezzzz
    py btW isI Na n2 aP Cih.Taw INti dR CRta N2 lh…hehehe kci tw’n du0nkzzzzzzzzzz

    mEYta mEYciZzZ

    18 September 2010 at 18:56

  56. @ Trudonahu Abdurrahman Raffles
    mas trudonahu.. clo mo baca cerpennya mas bambi cari aja di lakonhidup.wordpress.com.. aku udah lupa. cerpennya mas bambi di muat dimana?

    Abdul Hadi

    22 September 2010 at 09:00

  57. menurutku cerpen ini lumayan

    Hernowo bayuaji

    15 November 2010 at 20:36

  58. Cerpen setengah bagus. Isinya melulu biodata si tokoh perempuan.. Ga ada alur, mski ini ga harus, tapi ya tidak ada sesuatu yg lain yg spesial, ga ada petuah2nya hehe.. Isi diary si toni inimah, cerita usang jaman2 demo doang. Tapi bagus, kok, iya bagus.

    Juno

    15 Februari 2011 at 02:37

  59. Selamat malam… Saya masih SMA dan mendapat tugas untuk meresensi cerpen ini… Tapi ya, berhubung keterbatasan pengetahuan akan sastra, saya masih bingung dengan alur dan amanatnya… ada yang bisa membantu menjelaskan? thanks.

    Shu

    22 Februari 2011 at 20:59

  60. Sneng ma kta2 ‘sesuatu dri hati akan turun k hati’
    Ngga gtu ngerti cerpen tp sneng ja klo bca cerpen tntang emansipasi wanita
    Good job 🙂

    Ncezjuntak

    7 Desember 2011 at 23:39


Tinggalkan Balasan ke Iwansteep Batalkan balasan