Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Janji

with 59 comments


Ini sepenggal cerita yang kupunya, dari serpih-serpih masa silam yang tersisa. Cerita tentang seorang lelaki bermata surya. Penuh dengan muatan energi. Juga, nyalang dan kejam.Lelaki yang dengannya aku pernah menghabiskan sepersepuluh dari usia yang telah dijatahkan Tuhan untukku. Dan sepersepuluh waktu itu adalah impian tentang sarang lebah yang menggantung ringkih di pohon tua, dengan kubangan hitam pekat di sekeliling bawahnya.

Lelaki bermata surya itu bukanlah seorang pria tampan bak pangeran. Toh, tak juga terlalu buruk rupa. Ia juga bukan belia pengobral kata. Hanya seorang lelaki yang tak lagi muda, dengan beberapa gurat keriput di wajahnya. Bibir tipis yang nyaris terkatup sepanjang hari. Sehingga suaranya pun aku lupa seperti apa persisnya.

Yang bersemayam dalam ruang ingatanku hanya cengkeraman tangannya. Cengkeraman yang kukuh, liar dan menyakitkan. Cengkeraman yang begitu intim dengan lenganku dan menyisakan beberapa lekukan, jejak hunjam kuku hitamnya. Serta beberapa birat, yang dulunya mengalirkan darah segar. Darah yang kuperoleh dengan susah payah dari sisa makanan yang disedekahkan tetangga.

Baiklah, kumulai saja ceritanya. Sebelum temaram yang menggantung di mataku semakin pekat. Kisah hidupku dengan lelaki itu dimulai saat ibu membawa pulang seseorang di suatu pagi yang cemerlang. Dan bayangan yang menghalangi masuknya sinar matahari dari pintu itu ternyata milik seorang lelaki yang dikenalkan ibu sebagai ayah.

Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku asing dengan wajahnya, tubuhnya, tatapannya bahkan untuk menyapanya, Ayah! Aku tak mengerti dan sedikit tak mau tahu, apakah ia benar-benar ayahku atau seseorang yang dipungut ibu entah dari rimba mana, untuk menjadi ayahku. Yang aku tahu, setelah kehadirannya, aku memiliki seorang ayah. Satu figur yang tak pernah kupunya, bahkan sejak saat pertama aku berkenalan dengan aroma dunia.

Sejak kehadiran ’ayah’ di rumah, ibu semakin tak punya waktu untukku. Ia bahkan tak pernah lagi memandikanku. Menggosok tengkukku—tempat di mana daki begitu cepat menutupi putih kulit asli—apalagi memijat kulit kepalaku dengan minyak kemiri. Tak! Yang ada, ibu sibuk mengurusi ayah. Makan ayah, pakaian ayah, air hangat untuk mandi ayah, serta menempeli ayah sepanjang waktu ia berada di rumah.

Ibu juga tak peduli padaku, meski ia tahu ada yang berubah pada tampilan fisikku. Aku mulai berlekuk. Sama seperti ibu! Aku juga mulai ketiban ’tamu bulanan’. Yang pertama kali kutemukan saat mengganti pakaian dalam sepulang sekolah. Yang kutatap dengan nanar dan ketakutan, lalu menyurukkannya pada kolong lemari usang di sudut kamar. Cemas dan panik yang memeluk seluruh benak, membuatku menarik selendang usang yang tersampir di balik pintu. Punya ibu. Aku melipatnya tanpa pola. Mengganti celana dalam lalu menyelipkan lipatan selendang di antara selangkangan. Berbagai praduga mengisi benak. Menebak-nebak, benda apa yang tadi mencederai organ keperempuananku?

Meski tanya itu tak pernah terjawab, meski ibu tak pernah menyadari kehilangan beberapa selendangnya, meski darah terus mengalir selama enam hari berturut-turut, toh setelah semuanya kembali normal tanyaku juga hilang begitu saja. Dan bulan-bulan selanjutnya aku menjadi terbiasa. Terbiasa mengambil kain apa saja, untuk mencegah darah mengalir. Setelah terkumpul banyak, memberanikan diri untuk mencucinya di sungai kecil beberapa kilometer di belakang rumah. Meski dengan gumpalan rasa jijik, toh aku merasa terhibur dengan aliran darah yang mengalir dari kain-kain basah, lalu menghilang dalam lumatan riak-riak sungai.

Tapi itu tak lama. Karena yang terjadi sesudahnya, tiga bulan kemudian, jauh dari gapai duga yang kupunya. Tak terlintas sedikit pun. Ibu pergi. Pergi di suatu pagi. Pergi meninggalkan banyak luka. Luka di tubuhnya dan luka di hatiku. Ia juga meninggalkan banyak darah dan tanya. Darah yang menciprat tak hanya di sekujur tubuh, juga di pematang sawah, di baju ayah, di tangan dan tubuhku yang memeluk tubuh kakunya. Banyak tanya yang tersisa. Namun diam ayah memenjarakan tanya itu di palung hatiku.

Kami mengubur ibu di belakang rumah. Tak ada yang mengetahui kematian ibu, selain kami, angin dan helai daun padi yang berayun di sekitar jasad ibu. Aku kerap membeo kalimat ayah bila ada yang bertanya tentang ibu. ”Ibu ke Malaysia, jadi TKW.” Dan dari sudut mata kulihat ia tersenyum samar, puas dengan jawabanku. Lalu semua tanya menguap begitu saja, raib bersama waktu yang berlari.

Setahun berlalu seperti angin. Ayah menghabiskan waktunya di rumah dan sawah. Hanya itu. Ia tak pernah mampir di warung, berbincang seperti kebanyakan lelaki penghuni kampung. Ia selalu pulang di jam yang sama. Dan aku, penunggu rumah yang setia. Jauh melampaui anjing tetangga, yang terkadang berlari kesana-kemari.

Sepeninggal ibu, kami lebih miskin dari sebelumnya. Makan hanya sekadarnya. Lauk pauk adalah barang mewah yang bersemayam di ranah impian. Tak terjangkau. Paling jauh, sepotong kecil ikan asin yang disuguhkan tetangga bersama sepiring nasi hangat. Hadiah untukku yang membantu menjaga balita mereka. Ayah memang menghabiskan waktunya di sawah. Tapi setengah dari waktu itu dihabiskannya dengan duduk merenung di pinggir pematang. Memandang kosong ke tempat di mana dulu ibu terkapar bermandi darah!

Ayah sepertinya memang akrab dengan darah. Beberapa kali dalam sebulan, Ayah selalu pulang dalam keadaan berdarah-darah. Kulitnya berbarut-barut, seperti tergores senjata tajam. Toh, aku tak yakin ia baru berkelahi dengan seseorang. Dan aku tak berani bertanya. Seperti biasa. Aku hanya mencuci pakaiannya yang bernoda ke sungai kecil di belakang rumah. Dan menikmati darah yang mengalir dari baju basah, beringsut mencumbu beningnya air sungai yang mengalir. Entah kenapa aku menikmatinya. Begitu seterusnya.

Dan neraka itu mulai menunjukkan aromanya, beberapa bulan setelah fenomena baju berdarah. Ayah kerap marah tanpa alasan. Ia kerap mencengkeram lengan dan mendorong tubuh kurusku ke sudut ruang. Tatap nyalangnya memerintahkanku untuk tetap di situ berjam-jam lamanya. Menghitung detik dalam gelap, yang rasanya lebih panjang dari empat purnama. Dan itu merupakan awal!

Ayah bukan lagi figur asing yang pertama kukenal. Ayah berubah menjadi sosok tak terjamah kewarasan. Kehadirannya bukan saja mimpi buruk tapi sebuah reinkarnasi makhluk tak berperadaban. Aku tak mengenalinya. Sama sekali. Tak.

Aku ingat malam ketiga dalam hukuman, ketika bayangnya hadir di celah sinar yang menyeruak kegelapan. Membawa pisau berkilau dan secangkir minuman. Hatiku bergetar. Tubuhku menggeletar. Jiwaku tersirap memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan pisau di tangan. Akankah aku bernasib sama dengan ibu? Akankah aku mati sebelum menikmati cinta pertama, surga dunia masa remaja yang kucuri dengar dari pembicaraan gadis-gadis di sungai belakang rumah?

Namun, sepertinya ketakutanku terlalu hitam. Lelaki itu menyodorkan cangkir di tangannya. Tanpa bicara. Hanya dagunya bergerak sekadarnya, menyuruhku minum. Meski ragu, dahaga lebih dulu mengambil keputusan. Mengalahkan bayang-bayang menyeramkan. Begitu gelas kosong kuletakkan di lantai, ia bergerak membantuku berdiri. Memapah ke ruang tengah. Meja kayu tua satu-satunya yang ada di ruangan itu telah dipenuhi dengan sepiring nasi berteman telur mata sapi yang kuningnya tak bulat lagi. Hmm.., jadi ini bau yang tadi menggugah lelap gelisahku di ruang gelap.

”Makanlah. Hanya ini yang ada..” ujarnya seraya mendekatkan tubuhku ke meja dan meninggalkanku begitu saja. Ia menghilang di balik pintu kamar.

Dengan ragu dan berkali-kali menoleh ke pintu kamar yang tertutup sepertiga, aku mengulurkan tangan. Mencoba menjamah nasi yang telah tiga hari tak kunikmati. Tersendat-sendat suap demi suap mengalir di kerongkongan, memenuhi organ pencernaan.

”Sudah?” Aku nyaris terjengkang dari duduk ketika mendengar suara hangat di belakangku. Astaga?! Aku mengangguk gentar.

”Kalau begitu, tolong pijat sebentar, ya? Ayah lelah.” Aku kembali mengangguk. Tak punya pilihan. Aku mengekori langkahnya menuju kamar depan, ruang yang penuh debu, sarang laba-laba dan seperangkat perabot usang.

Aku mulai memijat kakinya. Naik ke punggung dan akhirnya kepala. Aku melihat lelaki itu memejamkan mata. Hmm, mungkin ia telah terbang ke alam mimpi, pikirku. Sayangnya tak demikian setelah beberapa saat aku menikmati keras lekuk wajahnya. Mencoba mengenalinya dari jarak yang nyaris tak pernah ada. Ia membuka mata. Tepat menghunjam ke wajahku. Ia menatapku dalam diam, tajam dan menyulut dingin ke sekujur tubuhku. Aku bergidik samar.

”Kau tahu? Kau bukan anakku.” Aku mengangguk.

”Kau tahu? Kau bukan apa-apaku?” Lagi-lagi aku mengangguk.

”Kau tahu? Kenapa aku tetap bersamamu?” Kali ini aku menggeleng, bimbang sesaat.

”Karena ibumu telah menitipkanmu di ambang ajalnya. Dan ia pun telah menitipkan sebuah janji untukku.” Aku terdiam.

”Setahun aku menunggu. Dan kau tahu apa artinya? Itu lebih dari siksa neraka! Lebih dari kiamat! Tapi aku sudah berjanji. Dan sekarang, saatnya aku menepati janjiku pada ibumu.” Aku menatapnya tak mengerti. Namun, sebuah jejak samar dari gerak tubuhnya kemudian menyadarkanku. Membalutku dalam dingin dan geletar tak berkesudahan. Meski sepasang tangan dan sebidang kehangatan mengungkungku dalam kecepatan dan keliaran. Merobek segalanya. Harapan, tangis dan masa depan. Dan dalam erang dan kesakitan aku menghapus nama Tuhan dalam ruang ingatan!

Waktu tak sekadar berlalu bagai angin namun waktu juga tak meninggalkan bekas pada kehadiranku. Aku hanya mampu mencerna darah berbeda yang kucuci di sungai belakang rumah. Aku hanya mampu membelai hunjam kuku yang menghitam di lenganku. Dan aku hanya mampu menekuri bayang ibu yang tersisa dalam kubangan dangkal di pematang sawah. Selebihnya, tak!

Kau tahu apa artinya darah bagi seorang anak perempuan? Khususnya darah yang mengalir dari organ kewanitaan selama tujuh hari berturut? Itulah pertanda tapak kedewasaan yang tengah diretasnya. Kedewasaan menyikapi hidup dan sekitar. Termasuk kedewasaan menyimak makna darah itu sendiri. Dan kubungkus itu semua di palung hati terdalam. Tersembunyi dalam kegelapan.

Purnama. Dan berahi menemukan tambatannya. Aku lunglai di bingkai jendela. Membiarkan lelaki di belakangku mengemasi pakaiannya dan beringsut meninggalkan kamar. Aku terus mengulum amarah, melumatnya perlahan-lahan. Mengendapkannya pada jejalan catatan buram di sudut ruang.

Aku menghitung detik. Menunggu pintu berderit dan langkah-langkah menjauh dari jangkauan pendengaran. Rasanya sangat menyiksa. Jauh melampaui malam-malam penuh erang kesakitan. Sekejap sepi mengurungku. Tak ada suara apa-apa, kecuali teriakan tokek yang sesekali memecah hening. Aku beranjak keluar dan berdiri tepat di ambang pintu, mencoba melihat dalam gelap samar-samar. Kuhirup udara dalam-dalam dan memenuhi rongga yang ada di sekujur tubuh. Perlahan mulai mengeja, seiring lambat langkah menembus hitamnya malam yang berpendar secercah cahaya purnama.

Pagi terang-benderang. Tapi itu justru menyulitkan untukku melihat dan bernapas. Kepalaku masih terasa sakit. Juga tubuh. Kupegangi kepala yang terasa lembab. Sedikit memicing untuk memastikan cairan apa yang telah mengeramasi kepala. Merah. Aku menangkap warna itu dengan hati menggigil. Hidungku membaui amis. Darah. Hei.., dimana aku? Kepalaku benar-benar sakit. Bahkan untuk mengangkat tubuh pun sudah tak mampu.

Mataku mengerjap-ngerjap, mencoba mengenali sekitar. Sejauh mata memandang hanya batang padi yang kulihat, dengan bulir-bulir buahnya yang tertimpa surya bagai keping emas. Menyilaukan. Tempatku terkapar menyerupai ceruk dangkal.

Aku mencoba mengingat. Apa yang terjadi? Namun sepertinya itu menjadi pe-er yang rumit. Karena aku tak bisa mengingat apa yang membuatku berada di tempat ini. Tempat di mana aku pernah memeluk ibu dalam kubangan darah. Susah payah kucoba untuk duduk. Tak mudah. Karena sakit di sekujur tubuh telah menghunjam tulang dan urat kesadaran. Namun itu tak seberapa. Karena pemandangan seorang lelaki yang tertelungkup di sawah membuatku tersengat. Sebilah belati menghunjam punggungnya, tempat dimana darah mengucur. Deras dan tak terbendung. Mengalir hingga ke genangan air di sawah. Namun tak seperti di sungai belakang rumah, darah itu menggenang lama di sana. Dan tak berganti warna.

Aku menggumam perlahan, Ibu, aku telah menepati janji. Janji saat memelukmu terakhir, di sini.. Dan kulepas senyum terakhir untuk pagi. Pagi yang telah lama tak kunikmati..

Written by tukang kliping

18 April 2010 pada 14:19

Ditulis dalam Cerpen

Tagged with

59 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. hmmm… suka banget baca cerpennya kawan kita ini. sukses ya ren. kata-katanya sangat bercahaya

    Putra Gara

    18 April 2010 at 21:47

  2. Terlalu suram. Dan, anehnya aku gak dapat esensinya, ada yang bisa bantu?

    Semendo

    18 April 2010 at 23:07

  3. Jempol buat Kompas 🙂

    A

    19 April 2010 at 06:46

  4. Aku sangat surprise dengan cerpen ini. Keren dan penuturannya begitu terang benderang. Beberapa karya R Yulia pernah aku baca di Majalah Story dan Harian Global. namun yg di kompas sungguh luar biasa. Salut untuk R Yulia, salut untuk redaktur sastra Kompas.

    Bamby Cahyadi

    19 April 2010 at 11:01

  5. Cerpen dengan gaya naratif. Pergulatan batin seorang gadis remaja ketika harus berhadapan dengan ayah tirinya…. Yang tidak mengenal siapa ayah kandung. Yang kemudian membunuh ayah tirinya…..

    Remmy Novaris DM

    19 April 2010 at 12:47

  6. @Tukang kliping:
    Saya cari kumpulan cerpen Kartini dan Suara Pembaruan soalnya susah untuk mengecek di websitenya. Tidak setiap saat bisa ke warnet. Tak punya HP yg bisa internet. Sedang kalo mau beli majalahnya, jauh. Saya di pelosok, sulit untuk mendapatkan korannya. Padahal dua media itu berskala nasional seperti Kompas.

    GELA

    Gela

    19 April 2010 at 15:20

  7. Wah…tumben sy mau baca cerpen ini sampai habis walaupun masih dikantor. Diksinya keren.

    Mimin

    19 April 2010 at 18:12

  8. @ Gela: untuk membaca cerpen-cerpen dari koran lain diseluruh Indonesia, silakan akses http://www.sriti.com atau http://lakonhidup.wordpress.com

    Bamby Cahyadi

    20 April 2010 at 14:28

  9. @tukang kliping:
    Bagaimana cara menyumbang suara?

    fikas

    20 April 2010 at 15:39

  10. Gak hobi baca cerpen nih.
    Tapi yang ini, coba baca dikit malahan keterusan.
    Sastra yang Sangat Bagus.

    nn

    20 April 2010 at 17:22

  11. Lagi-lagi nama baru… tambah “cemburu”… 🙂

    bhoernomo

    21 April 2010 at 09:26

  12. Terima kasih untuk seluruh komentarnya. Semoga ini semakin memotivasi saya untuk menulis lebih baik lagi..Juga terima kasih untuk Redaktur Sastra Kompas yang telah memberikan kesempatan untuk saya…

    R.Yulia

    21 April 2010 at 09:52

  13. mau tanya kalau alamat e-mail buat ngrim cerpen ke kompas ada yang tahu?
    Tks sudah dibantu

    Klana asmara

    21 April 2010 at 12:47

  14. aku bener2 nikmatin cerpen ini, g sama sekali ngebosenin

    Arum Palagan

    21 April 2010 at 15:33

  15. @ Klana Asmara : Untuk kirim cerpen ke Kompas, pakai email : opini@kompas.co.id atau ke opini@kompas.com

    BOCORAN…. cerpen terbaik pilihan kompas 2010, ada Agus Noor, ada Rama Dira J, ada Sungging Raga, ,…. siapa lagi yang nyusul?

    Kasih selamat ah buat mereka bertiga, bravo!

    Bamby Cahyadi

    21 April 2010 at 20:55

  16. @ Tukang Kliping: kok sekarang ada moderasi, hiks…

    Bamby Cahyadi

    21 April 2010 at 21:23

  17. @bamby: belum ada moderasi, komentar Anda tertangkap akismet si penjaga spam karena berisi alamat email, sudah saya tampilkan.

    Wah jika benar; selamat buat Agus Noor, Rama Dira J dan Sungging Raga.

    tukang kliping

    22 April 2010 at 00:19

  18. Wah, selamat ya Bung Rama dan Bung Agus Noor 🙂

    A

    22 April 2010 at 08:02

  19. rasanya masih sprti mimpi saja,senja ewood-ku akan satu buku dg air matanya agus noor.

    ayo utk tmn2 yg lain, teruslah giat menulis..

    Raga

    22 April 2010 at 11:20

  20. sungguh, sulit menjadi keseharian yg “bening”. ia mengalir. ia penuh permenungan. mmbuat kita selintas bergumam: “Kok ‘gak bikin yg seperti ini.”. akhirnya bikin resah dan memaksa: kita mesti menulis..

    moses

    22 April 2010 at 11:37

  21. @Bung Bamby: makasih atas infonya, bang

    Klana asmara

    22 April 2010 at 12:22

  22. @Mas Bamby: Ou, sudah terpilih lagi cerpen terbaik Kompas? Cerpen Agus, Rama dan Sungging, yang mana itu Mas Bamby? Selain mereka siapa lagi ya? Mohon info: apakah cerpen fav-ku “Kaki yang Terhormat” (Gus Tf Sakai), “Hantu Nancy” (Ugoran Prasad) dan “Tukang Cuci” (Mardi Luhung) tidak terpilih ya?

    bhoernomo

    22 April 2010 at 18:54

  23. Oya, selamat untuk Mas (Sungging) Raga…. Ini cerpen pertama masuk pilihan Kompas. Semoga makin semangat dan cerpen-cerpen berikutnya makin baguss….

    bhoernomo

    22 April 2010 at 19:00

  24. Cerpen Gus tf Sakai (Kaki yang Terhormat) pasti terpilih, Mas Bhoernomo. Cerpennya selalu bagus dan kayaknya selalu terpilih masuk buku terbaik Kompas sejak zaman duluuuu banget…!!
    O ya, aku sangat suka cerpennya Ulat dalam Sepatu.

    Yanti

    23 April 2010 at 07:40

  25. Gus TF salah satu yang masuk dalam cerpen terbaik pilihan Kompas.

    Bamby Cahyadi? Hehehe masuk Kompas aja belum hiks hiks hiks

    Bamby Cahyadi

    23 April 2010 at 09:27

  26. Maaf…maaf.., ada yang terlupa. Terima kasih juga utk tukang kliping yg telah mendokumentasikan cerpen ini.

    R.Yulia

    23 April 2010 at 17:12

  27. Terima kasih ucapan selamatnya, kawan2. Gak nyangka juga cerpen pertamaku yang dimuat Kompas(Kucing Kiyoko) akhirnya bisa menjadi finalis cerpen Pilihan Kompas 2009. Well, sekali lagi trims ucapan selamatnya, trima kasih tukang kliping 😉

    Rama Dira J

    23 April 2010 at 21:01

  28. Selamat jg buat R.Yulia. Harapan sy ‘Janji’ masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 2010.

    Rama Dira J

    23 April 2010 at 21:02

  29. @Mas Bamby: Terima kasih infonya. Senang prediksiku tentang cerpen Gus Tf Sakai juga masuk. Apakah Mas Bamby berteman dengan Gus Tf? Bolehkah saya minta nomer HP atau alamat emailnya?

    Saya doakan (juga untuk diri saya sendiri, he he) cerpen Mas Bamby segera dimuat Kompas 🙂

    Apa tak ada yang tahu cerpen Ugoran dan Mardi juga masuk atau tidak?

    bhoernomo

    24 April 2010 at 17:25

  30. @ Rama Dira; Selamat juga untukmu, Rama. Terima kasih, sayangnya saya tak berani bermimpi..:)

    @ Raga; Aku ucapin selamat juga lewat forum ini ya? Meskipun kemarin sudah di fb..hehe

    Juga selamat untuk cerpen terbaik lainnya…, karya-karya hebat..

    R.Yulia

    25 April 2010 at 10:42

  31. selamat kepada cerpenis yang terpilih karyanya untuk dibukukan dalam buku kumcer kompas pilihan 2009, ikut senang rasanya nama-nama baru ada di dalamnya.
    @ yulia: apakah itu pengalaman pribadimu? he.he.. karena cerpenmu begitu kuat. penuh guratan emosi. menimbulkan empati kepada siapa yang membacanya.

    ewing

    25 April 2010 at 18:36

  32. hmmm, salut buat tukang kliping. saya jadi enak untuk membaca cerpen2 kompas yang selama setahun atau lebih yang luput untuk saya dapatkan. dan untuk cerpen JANJI (R Yulia) ini keren deh. aku suka…

    oei hendry

    25 April 2010 at 20:11

  33. @Mas bhoernomo: Ini nomer hp Gus TF Sakai, 08153581817. Tapi nomer ini aku dapat udah lama, entah masih beliau pakai atau tidak. Aku sendiri belum pernah coba ngontak. Waktu itu takut. Sekarang juga masih takut. Hihihi……

    Ira

    25 April 2010 at 20:33

  34. @Rama Dira
    Kucing Kiyoko mmg bagus kok bung Rama. Sangat layak dan pantas masuk cerpen pilihan 🙂

    A

    25 April 2010 at 21:34

  35. R Yulia…bole minta alamat FB nya? makasih.
    salam kenal.

    Maop

    26 April 2010 at 10:15

  36. @ A : makasih A 🙂

    Rama Dira J

    26 April 2010 at 15:55

  37. Sudah keluar ya cerpen terbaik kompas. Selamat buat Rama Dira dan S. Raga. Saya berharap juga sih…tapi jika belum masuk insya Allah karya2 teman2 bakal jadi pemicu di tahun ini.

    Agus

    27 April 2010 at 12:50

  38. Cerpen Janji bagus. Rasanya darah dekat saat baca cerpen ini

    Agus

    27 April 2010 at 12:55

  39. @Bhoernomo: cerpen Tukang Cuci karya Mardi Luhung juga terpilih.

    oei ramadhan

    27 April 2010 at 18:33

  40. @ Rama Dira : sy kira kucing kiyoko anda bisa masuk karena faktor keberuntungan saja. masih banyak karya lain yang lebih layak 😦

    B

    29 April 2010 at 16:12

  41. @ B : He..he.. santai aja, Boz. setiap org bebas menentukan pilihan termasuk pada cerpen. Kalau Anda adalah bagian dari tim yg memilih cerpen pilihan kompas, mungkin kucing kiyoko tak akan masuk 😉

    Rama Dira J

    30 April 2010 at 09:30

  42. He..he..he.. B-)

    B

    3 Mei 2010 at 09:36

  43. Seru juga ya soal cari bocoran-bocoran. Sepertinya pada gak sabar.
    Selamat buat RY. Soal bagus dan tidak, biar para kritikus bicara. Saya suka bacanya. Bergidik.

    Aba Mardjani

    11 Mei 2010 at 20:31

  44. Salam Hangat Selalu.
    Penulis yang menarik rangkaian diksi yang kreatif dengan majas yang belum terungkap, tapi menjelma menjadi kisah muram yang menyentuh hingga ke palung hati. Sudikah kiranya Anda memberikan sapaan pada saya yang tersihir dengan keliaran diksi bahasa Anda. Mungkin esensi cerita belumlah terungkap, tapi nilai plus yang saya tangkap begitu kuat pada penjabaran kisi otentik cerita Anda. Applouse yang semarak saya tepukkan untuk Anda, sebagai nilai sebuah apresiasi yang bisa saya relungkan.
    Saya akan mencoba memberikan resensi pendek untuk menjawab esensi cerita diatas, sekaligus menjawab kebingungan bung Semendo yang belum bisa menemukan nilai esensi yang bisa di petik dari tangkai yang mencuat dalam batang bunga cerita diatas. Pertama, sudikah kiranya Anda membuka pikiran positif dalam mencium semerbaknya aroma kemuraman yang menimbulkan tanya dan juga siksa, hingga ceruk mata hati kita melelehkan rinai airmata?. Aliran energi positif yang tersentuh mata batin akan menimbulkan relung renung pada diri kita tentang tabiat fiktif karakter tokoh cerita diatas yang menuai konflik keluguan dalam kemuraman hidup yang belum terecap dalam buai bahagia. Lama sekali membaca kata perkata hingga pada akhirnya malah jantung saya sendiri yang di remas secara brutal oleh esensi kisi cerita. Miris yang mengiris setelah remasan jantung saya, kemudian di kelamkan lagi oleh panasnya minyak berbahan rasa iba saat saya ingin menggorengnya sambil menundukkan kepala. Mampukah saya menggoreng jantung saya sendiri karena pilu melihat kenestapaan yang ada di sekeliling kehidupan fana ini. Cerita yang bertabur rasa muram yang mengubah paradigma berfikir logis, tentang adanya sisi kejam dari hati manusia. Janji yang belum terungkap secara tersurat, dan pembaca budiman diajak berfikir untuk mengungkapkan dua janji itu( janji si tokoh utama pada mendiang ibu dan juga janji suami pada istri). Balutan darah keji yang terungkap membuat runyam esensi cerita. Kisah diatas adalah untaian diksi kata yang memesona,tapi sangat lemah untuk mengungkapkan sensualitas makna cerita yang ingin penulis ungkapkan pada pembaca budiman sekalian. Sebagai peresensi, saya akan mencoba untuk menelisik dari sudut pandang yang berbeda tentang kisi cerita dan juga nilai yang menyertakan kesimpulan yang bisa menjawab judul cerpen Janji, buah karya R. Yulia.
    Tulang belakang yang menjadi otak dalam cerita diatas adalah perhelatan masa remaja seorang gadis yatim yang kedatangan seorang ayah tiri yang acuh dalam kehidupannya. Kemudian dari yatim yang kelam berubah menjadi piatu yang muram saat ibunya terkubur di pematang sawah. Tangannya dan tangan ayah tirinya yang mengubur jasad ibunya yang belum di jelaskan motif kematatiannya. Dari sini lah Janji itu terucap dalam benak si tokoh utama dan juga sang ayah tiri yang bermata surya itu( jelas kiasan mata surya adalah kekejaman yang menyala bagai api surya).
    Semua paragrap mengguratkan masa-masa remaja si tokoh utama yang lalai dari kasih sayang ibu sejak hadirnya seorang ayah tiri yang juga acuh tentang keberadaannya. Remaja yang kelam dalam mengungkapkan jadi diri dan minimnya interaksi sosial kekeluargaan. Dari sini pembaca budiman bisa menyelami kisi pilu yang mengetuk dinding pintu hati. Semua kemalangan serasa lengkap setelah kematian ibu yang ia kubur dengan Janji darah terhadap ayah tirinya. Secara tegas saya katakan Janji itu belum terungkap secara tersurat. Ini menunjukkan esensi cerita yang mengajak para pembaca budiman untuk mengungkapkan Janji itu( tentu masing-masing pribadi bisa menebak secara berbeda tentang Janji itu). Secara jelas bisa saya lihat bahwa Janji itu berbalut dendam dan menuntut kematian( janji si tokoh utama pada mendiang ibunya). Dapat kita temukan juga secara tersurat bahwa sang ayah memiliki janji sebagai berikut: ….”karena ibumu telah menitipkanmu diambang ajalnya. Dan ia pun terlah menitipkan sebuah janji untukku”… . Belum terungkap janji apakah itu pada mendiang istrinya terhadap anak tirinya kelak. Dalam benak pikiran saya setelah membaca kelanjutan paragraf, saya temukan Janji itu. ….”Setahun aku menunggu. Dan kau tahu apa artinya? Itu lebih dari siksa neraka. Lebih dari kiamat. Tapi aku sudah berjanji……”. Saya menebak janji itu adalah sebuah hasrat birahi yang harus di tuntaskan dalam setahun penantian. Hanya penulis yang tahu tentang janji itu. Saya menemukan janji si ayah tiri lebih dari sekedar merawat anak tirinya bagai anjing penjaga rumah, yang suatu saat akan menggonggong dan menggigit jantungnya hingga tewas. Anjing itu begitu penurut dan tak menginginkan untuk lari. Kemiskinan yang menjerat justru membuat beku si Anjing remaja yang rela makan sekadarnya. Saya jadi menangis melihat kelemahan si bocah remaja yang sejak dini diacuhkan kemudian menjadi korban lampiasan api birahi yang menuntutnya untuk bertindak dalam sebuah janji menghabisi nyawa ayah tirinya jikalau menjamah lekuk tubuhnya, Mungkin juga janji dalam sebuah dendam yang menuntut balas pada kematian ibunya. Selebihnya tak.
    Singkatnya, cerita diatas berisi kontemplasi perihal masalah sederhana yang berdampak luar biasa dalam kehidupan tokoh. Upaya yang cukup berhasil dari untaian kalimat yang mempertegas diksi majas kemuraman yang menyayat, akan tetapi sangat kurang menjabarkan artian judul dalam ranah cerita. Tentu saja pembaca diajak berfikir tentang Janji itu, dan masing- masing pembaca bisa mengungkapkan makna berbeda tantang sebuabh Janji. Secara keseluruhan cerita diatas menceritakan kekelaman hidup seorang remaja yang sepersepuluh masa hidupnya di opsi remaja telah terenggut kebahagiaanya dan menjadikan kemalangan. Terimakasih atas wacana Anda. Salut untuk Anda. Sukses berkarya selalu.

    Tova Zen

    13 Mei 2010 at 08:57

  45. pilihan katanya saya suka…

    A

    21 Mei 2010 at 13:46

  46. @tukang kliping
    Posting tgl 21 Mei 2010 jam 13:46 BUKAN dibuat oleh saya.
    Mohon perhatiannya. Terima kasih.

    A

    21 Mei 2010 at 14:06

  47. cerpenya lumayan panjang boss… hehe

    Jabon/jabon

    23 Mei 2010 at 21:24

  48. seru n menegangkan,,,
    pemberani bnget anaknya….
    semua jempol sya buat penulisnya.. heeee

    Eva Hutri

    15 Juni 2010 at 14:31

  49. Jujur, saya sama sekali tidak mengerti dengan cerpen ini, sebenarnya pesan apa yang ingin disampaikan. Tapi saya rasa itu hanya dari sudut pandang saya saja, tidak tahu dengan teman – teman yang lain.

    Ngomong – ngomong soal cerpen pilihan terbaik, saya menjagokan “laila”

    David Siregar

    9 Agustus 2010 at 11:08

  50. keren gaya bahasa nya asyik dan mudah di mengerti.saat baca nya pengen nangis rasa nya.kpn ya bisa bikin cerpen sebagus itu.

    preti

    9 Desember 2010 at 16:14

  51. Harus bilang apalagi dengan karya yang bagus ini. Indah kata katanya, dalam maknanya. Ingin suatu hari bisa menulis seindah ini.

    S.Nayogo

    7 Februari 2011 at 16:12

  52. Bre pegawai lama di kompas. wajar meski cerpennya jelek, tetep dimuat (dulu sblm di kompas gak pernah bisa tembus).
    http://id.shvoong.com/social-sciences/1687045-bre-redana/

    farid

    29 Juni 2011 at 12:03

  53. kata-katanya bagus, mudah dimengerti dan endingnya dapet…

    gb3n

    17 Juli 2011 at 13:40

  54. baguuuuuuusss 🙂

    asaaaaaaa

    18 September 2011 at 11:24

  55. cerpen yang nikmaaat sekali. Selamat !

    Padang

    16 Desember 2011 at 14:39

  56. cerita yang renyah, namun susah untuk dikunyah, bukan berarti tak berani, namun aku ngeri.
    tak terbayangkan, jika aku menjadi tokoh “aku”. god jobs mbak, di tunggu karya-karya berikutnya.

    Alfaruq Faruqi

    22 Maret 2012 at 01:21

  57. merinding,takut si gadis kenapa-napa. gadis yang tegar,berani.sekaligus sabar menerima cobaan.
    saat membacanya rasanya ingin menolong si gadis.merasakan betapa sesak napas menerima kenyataan bahwa dia harus menjalani hidup dengan ikhlas.
    apalagi setiap bulan harus mencuri selendang ibu.ah betapa nasib seorang gadis desa.tak tahu harus berbuat apa.ketika pertama melihat darah.apa yang harus dilakukan.sendirian.tanpa tahu harus bercerita kepada siapa.takut…. wahai semua ibu… tolonglah anak gadismu.. ada saatnya dia butuh bantuanmu.

    sepertinya pengalaman pribadi penulis. memangnya selendang ibu ada berapa?

    hapex

    28 September 2012 at 10:37

  58. kewl uyyy… gw tampol jg tuh si ayah. ah elah, lu tau dah gw pigimane.. wkwkwk..

    penghuni bumi

    13 April 2013 at 21:00


Tinggalkan Balasan ke Jabon/jabon Batalkan balasan